WAKTU HARAM SHALAT SUNNAH (TAHRIM)
setelah shalat subuh sampai terbit matahari;
saat terbit matahari sampai sempurna dan naik sekitar satu tombak;
saat matahari tepat di tengah sampai condong;
setelah shalat ashar sampai matahari terbenam;
saat matahari terbenam sampai sempurna terbenamnya.
Shalat—sebagaimana dituturkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW—adalah tiang agama. Orang yang baik shalatnya akan baik pula agamanya. Orang yang sebaliknya maka akan berlaku sebaliknya pula.
(فصل)
وخمسة أوقات لا يصلى فيها إلا صلاة لها سبب: بعد صلاة الصبح حتى
تطلع الشمس وعند طلوعها حتى تتكامل وترتفع قدر رمح وإذا استوت حتى تزول
وبعد صلاة العصر حتى تغرب الشمس وعند الغروب حتى يتكامل غروبها.
Ada lima waktu yang tidak boleh melakukan shalat kecuali shalat yang
memiliki sebab yaitu:setelah shalat subuh sampai terbit matahari;
saat terbit matahari sampai sempurna dan naik sekitar satu tombak;
saat matahari tepat di tengah sampai condong;
setelah shalat ashar sampai matahari terbenam;
saat matahari terbenam sampai sempurna terbenamnya.
Shalat—sebagaimana dituturkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW—adalah tiang agama. Orang yang baik shalatnya akan baik pula agamanya. Orang yang sebaliknya maka akan berlaku sebaliknya pula.
Shalat
juga merupakan sarana paling utama bagi seorang hamba dalam
berkomunikasi dengan Allah SWT. Kapan pun dan di mana pun seseorang
diperbolehkan melakukan shalat sebagai sarana mendekatkan diri kepada
Tuhannya.
Namun
demikian di dalam fiqih Islam ditentukan adanya beberapa waktu di mana
seseorang tidak diperbolehkan melakukan shalat di dalamnya. Syekh Salim
bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safînatun Najâ menyebutkan adalah 5 (lima) waktu yang diharamkan untuk shalat. Sedangkan Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ menjelaskan kelima waktu tersebut sebagai berikut:
Pertama, ketika terbitnya matahari.
Waktu
haram shalat yang pertama ini dimulai sejak mulai terbitnya matahari
sampai dengan meninggi sekira ukuran satu tombak. Dalam rentang waktu
tersebut tidak diperbolehkan melakukan shalat. Namun bila posisi tinggi
matahari sudah mencapai satu tombak maka sah melakukan shalat secara
mutlak.
Kedua, ketika waktu istiwa sampai dengan tergelincirnya matahari selain pada hari Jum’at.
Waktu
istiwa adalah waktu di mana posisi matahari tepat di atas kepala. Pada
saat matahari berada pada posisi ini diharamkan melakukan shalat. Perlu
diketahui bahwa waktu istiwa’ sangat sebentar sekali sampai-sampai
hampir saja tidak bisa dirasakan sampai matahari tergelincir.
Keharaman
melakukan shalat di waktu ini tidak berlaku untuk hari Jum’at. Artinya
shalat yang dilakukan pada hari Jum’at dan bertepatan dengan waktu
istiwa’ diperbolehkan dan sah shalatnya.
Ketiga, ketika matahari berwarna kekuning-kuningan sampai dengan tenggelam.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
ثَلَاثُ
سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا
أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: «حِينَ
تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ
الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ
لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ
Artinya: “Ada tiga
waktu di mana Rasulullah SAW melarang kita shalat dan mengubur jenezah
di dalamnya: ketika matahari terbit sampai meninggi, ketika unta berdiri
di tengah hari yang sangat panas sekali (waktu tengah hari) sampai
matahri condong, dan ketika matahari condong menuju terbenam hingga
terbenam.”
Keempat, setelah melakukan shalat subuh sampai dengan terbitnya matahari.
Keharaman shalat pada waktu ini berlaku bagi orang yang melakukan shalat subuh secara adâan atau pada waktunya.
Gambaran
contoh kasusnya sebagai berikut, anggaplah waktu shalat subuh dimulai
dari jam 4 pagi dan pada jam 5 matahari telah terbit yang juga berarti
habisnya waktu subuh. Ketika seseorang melakukan shalat subuh pada jam
4.15 menit umpamanya, atau pada jam berapapun ia melakukannya, maka
setelah selesai shalat subuh ia tidak diperbolehkan lagi melakukan
shalat sunah sampai dengan terbitnya matahari dan bahkan sampai matahari
meninggi kira-kira satu tombak. Karena saat terbitnya matahari sampai
dengan meninggi satu tombak juga merupakan waktu yang dilarang untuk
melakukan shalat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sebaliknya, dalam
rentang waktu jam 4 sampai jam 5 pagi selagi ia belum melakukan shalat
subuh maka ia diperbolehkan melakukan shalat apapun.
Adapun
orang yang melakukan shalat subuh secara qadlâan pada waktu shalat
subuh maka ia diperbolehkan melakukan shalat lain setelahnya. Sebagai
contoh kasus, seumpama seseorang pada hari kemarin karena suatu alasan
belum melakukan shalat subuh lalu mengqadlanya pada waktu subuh hari
ini. Setelah ia melakukan shalat subuh qadla tersebut ia tidak dilarang
melakukan shalat lainnya.
Kelima, setelah melakukan shalat ashar sampai dengan tenggelamnya matahari.
Sebagaimana
diharamkan melakukan shalat setelah shalat subuh di atas juga
diharamkan melakukan shalat bagi orang yang telah melakukan shalat ashar
secara adâan atau pada waktunya.
Sebagaimana
contoh kasus di atas, juga bagi orang yang pada waktu shalat ashar
melakukan shalat ashar qadla sebagai pengganti shalat ashar yang belum
dilakukan pada hari sebelumnya, maka ia diperbolehkan melakukan shalat
lainnya.
Keharaman melakukan shalat setelah melakukan shalat ashar ini terus berlaku sampai dengan tenggelamnya matahari.
Rasulullah SAW bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ
Artinya:
“Tak ada shalat setelah shalat subuh sampai matahari meninggi dan tak
ada shalat setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Imam
Bukhari).
Pertanyaan berikutnya adalah shalat
apa yang haram dilakukan pada kelima waktu tersebut? Apakah apapun
shalatnya tidak boleh dilakukan pada kelima waktu haram tersebut?
Syekh
Muhammad Nawawi Banten dalam kitabnya tersebut menuturkan bahwa shalat
yang diharamkan dilakukan pada kelima waktu itu adalah shalat sunah yang
tidak memiliki sebab yang mendahului dan tidak memiliki sebab yang
membarengi. Sebagai contoh adalah shalat tahiyatul masjid. Ini adalah
shalat sunah yang dilakukan karena adanya sebab yang mendahului
shalatnya, yakni masuknya seseorang ke dalam masjid. Kapanpun seseorang
masuk masjid ia disunahkan melakukan shalat tahiyatul masjid meskipun
pada salah satu dari lima waktu yang terlarang untuk shalat.
Sedangkan
contoh shalat sunah yang memiliki sebab yang membarengi adalah shalat
gerhana bulan dan matahari. Shalat sunah ini mesti dilakukan berbarengan
dengan waktunya bulan dan matahari mengalami gerhana, tidak bisa
dilakukan sebelum atau sesudah gerhananya usai. Maka semisal terjadi
gerhana pada waktu yang diharamkan untuk shalat maka tidak haram
hukumnya melakukan shalat sunah gerhana pada waktu tersebut.
Dengan
kata lain shalat yang dilarang dilakukan pada lima waktu tersebut
adalah shalat sunah mutlak atau shalat sunah yang memiliki sebab yang
terjadi setelah shalatnya dilakukan.
Shalat
sunah mutlak adalah shalat sunah yang tidak terikat dengan apapun. Ia
dilakukan begitu saja tanpa adanya sebab tertentu. Sebagai contoh,
ketika Anda memiliki waktu luang dan ingin mengisinya dengan ibadah
kepada Allah maka Anda bisa melakukan shalat dua rokaat atau lebih.
Shalat seperti ini disebut shalat sunah mutlak. Kapanpun dan di manapun
Anda bisa melakukannya, hanya saja dilarang dilakukan pada kelima waktu
tersebut di atas.
Adapun shalat sunah yang
memiliki sebab yang terjadi setelah dilakukannya shalat sebagai
contohnya adalah shalat sunah safar, yakni shalat sunah yang dilakukan
ketika seseorang hendak melakukan satu perjalanan. Sebab dilakukannya
shalat sunah ini adalah adanya perjalanan yang akan dilakukan. Karena
perjalanannya—sebagai sebab—baru akan dilakukan setelah dilakukannya
shalat maka shalat sunah safar tidak diperbolehkan dilakukan pada kelima
waktu yang dilarang.
Perlu diketahui juga
bahwa keharaman melakukan shalat di lima waktu tersebut tidak berlaku di
tanah suci Makah. Artinya, di tanah suci Makah seseorang diperbolehkan
melakukan shalat apapun di waktu kapanpun yang ia mau, termasuk di salah
satu dari lima waktu yang diharamkan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah
SAW:
لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ
Artinya:
“Jangan kalian larang seseorang berthawaf dan shalat di rumah ini
(ka’bah) kapanpun ia mau baik siang malam maupun siang.” (HR. An-Nasai)
Adapun di Madinah berlaku hukum sebagaimana umumnya tempat, tidak seperti di Kota Makkah.
No comments:
Post a Comment