Wednesday, December 6, 2017

WAKTU HARAM SHALAT

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


WAKTU HARAM SHALAT SUNNAH (TAHRIM)
(فصل)
 وخمسة أوقات لا يصلى فيها إلا صلاة لها سبب: بعد صلاة الصبح حتى تطلع الشمس وعند طلوعها حتى تتكامل وترتفع قدر رمح وإذا استوت حتى تزول وبعد صلاة العصر حتى تغرب الشمس وعند الغروب حتى يتكامل غروبها.
Ada lima waktu yang tidak boleh melakukan shalat kecuali shalat yang memiliki sebab yaitu:
setelah shalat subuh sampai terbit matahari;
saat terbit matahari sampai sempurna dan naik sekitar satu tombak;
saat matahari tepat di tengah sampai condong;
setelah shalat ashar sampai matahari terbenam;
saat matahari terbenam sampai sempurna terbenamnya.

Shalat—sebagaimana dituturkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW—adalah tiang agama. Orang yang baik shalatnya akan baik pula agamanya. Orang yang sebaliknya maka akan berlaku sebaliknya pula.

Shalat juga merupakan sarana paling utama bagi seorang hamba dalam berkomunikasi dengan Allah SWT. Kapan pun dan di mana pun seseorang diperbolehkan melakukan shalat sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Namun demikian di dalam fiqih Islam ditentukan adanya beberapa waktu di mana seseorang tidak diperbolehkan melakukan shalat di dalamnya. Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safînatun Najâ menyebutkan adalah 5 (lima) waktu yang diharamkan untuk shalat. Sedangkan Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ menjelaskan kelima waktu tersebut sebagai berikut:

Pertama, ketika terbitnya matahari. 

Waktu haram shalat yang pertama ini dimulai sejak mulai terbitnya matahari sampai dengan meninggi sekira ukuran satu tombak. Dalam rentang waktu tersebut tidak diperbolehkan melakukan shalat. Namun bila posisi tinggi matahari sudah mencapai satu tombak maka sah melakukan shalat secara mutlak.

Kedua, ketika waktu istiwa sampai dengan tergelincirnya matahari selain pada hari Jum’at.

Waktu istiwa adalah waktu di mana posisi matahari tepat di atas kepala. Pada saat matahari berada pada posisi ini diharamkan melakukan shalat. Perlu diketahui bahwa waktu istiwa’ sangat sebentar sekali sampai-sampai hampir saja tidak bisa dirasakan sampai matahari tergelincir. 

Keharaman melakukan shalat di waktu ini tidak berlaku untuk hari Jum’at. Artinya shalat yang dilakukan pada hari Jum’at dan bertepatan dengan waktu istiwa’ diperbolehkan dan sah shalatnya.

Ketiga, ketika matahari berwarna kekuning-kuningan sampai dengan tenggelam.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: «حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ

Artinya: “Ada tiga waktu di mana Rasulullah SAW melarang kita shalat dan mengubur jenezah di dalamnya: ketika matahari terbit sampai meninggi, ketika unta berdiri di tengah hari yang sangat panas sekali (waktu tengah hari) sampai matahri condong, dan ketika matahari condong menuju terbenam hingga terbenam.”

Keempat, setelah melakukan shalat subuh sampai dengan terbitnya matahari.

Keharaman shalat pada waktu ini berlaku bagi orang yang melakukan shalat subuh secara adâan atau pada waktunya. 

Gambaran contoh kasusnya sebagai berikut, anggaplah waktu shalat subuh dimulai dari jam 4 pagi dan pada jam 5 matahari telah terbit yang juga berarti habisnya waktu subuh. Ketika seseorang melakukan shalat subuh pada jam 4.15 menit umpamanya, atau pada jam berapapun ia melakukannya, maka setelah selesai shalat subuh ia tidak diperbolehkan lagi melakukan shalat sunah sampai dengan terbitnya matahari dan bahkan sampai matahari meninggi kira-kira satu tombak. Karena saat terbitnya matahari sampai dengan meninggi satu tombak juga merupakan waktu yang dilarang untuk melakukan shalat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sebaliknya, dalam rentang waktu jam 4 sampai jam 5 pagi selagi ia belum melakukan shalat subuh maka ia diperbolehkan melakukan shalat apapun. 

Adapun orang yang melakukan shalat subuh secara qadlâan pada waktu shalat subuh maka ia diperbolehkan melakukan shalat lain setelahnya. Sebagai contoh kasus, seumpama seseorang pada hari kemarin karena suatu alasan belum melakukan shalat subuh lalu mengqadlanya pada waktu subuh hari ini. Setelah ia melakukan shalat subuh qadla tersebut ia tidak dilarang melakukan shalat lainnya.

Kelima, setelah melakukan shalat ashar sampai dengan tenggelamnya matahari.

Sebagaimana diharamkan melakukan shalat setelah shalat subuh di atas juga diharamkan melakukan shalat bagi orang yang telah melakukan shalat ashar secara adâan atau pada waktunya. 

Sebagaimana contoh kasus di atas, juga bagi orang yang pada waktu shalat ashar melakukan shalat ashar qadla sebagai pengganti shalat ashar yang belum dilakukan pada hari sebelumnya, maka ia diperbolehkan melakukan shalat lainnya.

Keharaman melakukan shalat setelah melakukan shalat ashar ini terus berlaku sampai dengan tenggelamnya matahari.

Rasulullah SAW bersabda:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ

Artinya: “Tak ada shalat setelah shalat subuh sampai matahari meninggi dan tak ada shalat setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Imam Bukhari).

Pertanyaan berikutnya adalah shalat apa yang haram dilakukan pada kelima waktu tersebut? Apakah apapun shalatnya tidak boleh dilakukan pada kelima waktu haram tersebut?

Syekh Muhammad Nawawi Banten dalam kitabnya tersebut menuturkan bahwa shalat yang diharamkan dilakukan pada kelima waktu itu adalah shalat sunah yang tidak memiliki sebab yang mendahului dan tidak memiliki sebab yang membarengi. Sebagai contoh adalah shalat tahiyatul masjid. Ini adalah shalat sunah yang dilakukan karena adanya sebab yang mendahului shalatnya, yakni masuknya seseorang ke dalam masjid. Kapanpun seseorang masuk masjid ia disunahkan melakukan shalat tahiyatul masjid meskipun pada salah satu dari lima waktu yang terlarang untuk shalat.

Sedangkan contoh shalat sunah yang memiliki sebab yang membarengi adalah shalat gerhana bulan dan matahari. Shalat sunah ini mesti dilakukan berbarengan dengan waktunya bulan dan matahari mengalami gerhana, tidak bisa dilakukan sebelum atau sesudah gerhananya usai. Maka semisal terjadi gerhana pada waktu yang diharamkan untuk shalat maka tidak haram hukumnya melakukan shalat sunah gerhana pada waktu tersebut.

Dengan kata lain shalat yang dilarang dilakukan pada lima waktu tersebut adalah shalat sunah mutlak atau shalat sunah yang memiliki sebab yang terjadi setelah shalatnya dilakukan. 

Shalat sunah mutlak adalah shalat sunah yang tidak terikat dengan apapun. Ia dilakukan begitu saja tanpa adanya sebab tertentu. Sebagai contoh, ketika Anda memiliki waktu luang dan ingin mengisinya dengan ibadah kepada Allah maka Anda bisa melakukan shalat dua rokaat atau lebih. Shalat seperti ini disebut shalat sunah mutlak. Kapanpun dan di manapun Anda bisa melakukannya, hanya saja dilarang dilakukan pada kelima waktu tersebut di atas.

Adapun shalat sunah yang memiliki sebab yang terjadi setelah dilakukannya shalat sebagai contohnya adalah shalat sunah safar, yakni shalat sunah yang dilakukan ketika seseorang hendak melakukan satu perjalanan. Sebab dilakukannya shalat sunah ini adalah adanya perjalanan yang akan dilakukan. Karena perjalanannya—sebagai sebab—baru akan dilakukan setelah dilakukannya shalat maka shalat sunah safar tidak diperbolehkan dilakukan pada kelima waktu yang dilarang.

Perlu diketahui juga bahwa keharaman melakukan shalat di lima waktu tersebut tidak berlaku di tanah suci Makah. Artinya, di tanah suci Makah seseorang diperbolehkan melakukan shalat apapun di waktu kapanpun yang ia mau, termasuk di salah satu dari lima waktu yang diharamkan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ

Artinya: “Jangan kalian larang seseorang berthawaf dan shalat di rumah ini (ka’bah) kapanpun ia mau baik siang malam maupun siang.” (HR. An-Nasai)

Adapun di Madinah berlaku hukum sebagaimana umumnya tempat, tidak seperti di Kota Makkah. 

No comments:

Post a Comment