Tuesday, April 16, 2013

Shahih Bukhary Hadits Nomor 28

نا يعقوب بن إبراهيم قال حدثنا بن علية عن عبد العزيز بن صهيب عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم ح وحدثنا آدم قال حدثنا شعبة عن قتادة عن أنس قال قال النبي صلى الله عليه وسلم لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
 Hadits 28: Menyebarkan Salam Bagian Dari Islam

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-28, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Pembahasan hadits ke-28 ini diberi judul "Menyebarkan Salam Bagian Dari Islam", sesuai dengan judul asli yang diberikan oleh Imam Bukhari (باب إِفْشَاءُ السَّلاَمِ مِنَ الإِسْلاَمِ).

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-28:


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

Dari Abdullah bin Amr, bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Islam bagaimanakah yang lebih baik?" Maka beliau menjawab, "Memberi makan dan mengucap salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak engkau kenal."

Penjelasan Hadits

Matan hadits ini persis dengan hadits kita bahas sebelumnya yakni Hadits 12: Humanisme Islam. Kedua hadits tersebut diriwayatkan Abdullah bin Amr. Baik pertanyaannya maupun jawaban Rasulullah SAW, keduanya sama persis.

Namun demikian, seperti dijelaskan pada hadits sebelumnya, ketika Imam Bukhari mencantumkan dua hadits yang matan (redaksi) nya sama, beliau memiliki maksud tersendiri ketika menempatkan hadits dengan matan serupa di tempat yang berbeda. Pertama, karena hadits tersebut mengandung pelajaran yang tidak cukup hanya dipaparkan pada satu bab saja. Kenyataannya, memang banyak hadits Nabi yang memuat sejumlah kandungan berbeda. Ia berbicara tentang aqidah, sekaligus juga menerangkan tentang ibadah dan akhlak, misalnya.

Kedua, Imam Bukhari berkeinginan agar umat Islam yang mempelajari kitab shahihnya mendapatkan penekanan kembali mengenai hal yang sangat penting, yang dirasa kemanfaatannya sangat banyak jika hadits dengan matan yang mirip itu ditampilkan. Kemungkinan hal kedua ini yang menjadi alasan hadits ke-12 yang matannya sama dengan hadits ke-28 ini sama-sama dimuat dalam Kitabul Iman. Karenanya Imam Bukhari memberikan judul yang berbeda. Hadits ke-12 diberinya judul (باب إِطْعَامُ الطَّعَامِ مِنَ الإِسْلاَمِ), penekanannya pada memberi makan. Sedangkan hadits ke-28 ini diberinya judul (باب إِفْشَاءُ السَّلاَمِ مِنَ الإِسْلاَمِ), penekanannya pada mengucap/menyebarkan salam.

Ketiga, Sesungguhnya Imam Bukhari tidak pernah mengulang hadits dengan matan dan sanad yang sama persis. Kalaupun matannya sama, sanadnya pasti berbeda. Demikian pula dengan hadits ini. Meskipun hadits ke-12 dan hadits ke-28 diriwayatkan dari dari Laits, dari Yazid, dari Abul Khair, dari Abdullah bin Amr, namun Imam Bukhari menerima hadits ke-12 dari Amru bin Khalid, sedangkan hadits ke-28 diterimanya dari Qutaibah.


Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Islam memiliki nilai humanisme yang sangat tinggi. Sebab Islam bukan hanya mengatur hubungan kepada Allah, melainkan juga pada sesama.
2. Memberikan makan kepada fakir miskin dan upaya meningkatkan kesejahteraan mereka merupakan salah satu ajaran Islam yang sekaligus menunjukkan betapa tingginya humanisme Islam;
3. Muslim hendaknya menciptakan kedamaian di manapun ia berada. Menyebarkan salam kepada siapapun, baik yang dikenal maupun tidak adalah bagian dari upaya ini, sepanjang tidak dikhawatirkan mereka itu orang kafir;
4. Rasulullah adalah teladan terbaik yang sangat luar biasa. Beliau menjawab pertanyaan dengan jawaban yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan penanya.

Demikian hadits ke-28 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita, memotivasi kita untuk memperbaiki kualitas keislaman kita, hingga menjadikan kita termasuk muslim yang baik yang diantara indikatornya adalah gemar memberi makan orang lain dan menyebarkan salam. Wallaahu a'lam bish shawab.

Shahih Bukhary Hadits Nomor 27

دثنا أبو اليمان قال أخبرنا شعيب عن الزهري قال أخبرني عامر بن سعد بن أبي وقاص عن سعد رضى الله تعالى عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطى رهطا وسعد جالس فترك رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا هو أعجبهم إلي فقلت يا رسول الله مالك عن فلان فوالله إني لأراه مؤمنا فقال أو مسلما فسكت قليلا ثم غلبني ما أعلم منه فعدت لمقالتي فقلت مالك عن فلان فوالله إني لأراه مؤمنا فقال أو مسلما ثم غلبني ما أعلم منه فعدت لمقالتي وعاد رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قال يا سعد إني لأعطي الرجل وغيره أحب إلي منه خشية أن يكبه الله في النار ورواه يونس وصالح ومعمر وابن أخي الزهري عن الزهري
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

 Hadits 27: Mukmin atau Muslim? Memberi itu Perlu Prioritas

Tertarik dengan judul di atas? Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya dapat hadir kembali. Kali ini kita akan membahas hadits ke-27, yang masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Pembahasan hadits ke-27 ini diberi judul "Mukmin atau Muslim? Memberi itu Perlu Prioritas", karena pada hadits ini nanti kita akan mendapatkan dua pelajaran utama yaitu tentang hakikat seseorang apakah mukmin atau muslim, dan bagaimana Rasulullah SAW mempertimbangkan sesuatu dalam menyusun skala prioritas pemberian/hadiah.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-27:

عَنْ سَعْدٍ رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَعْطَى رَهْطًا وَسَعْدٌ جَالِسٌ ، فَتَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَجُلاً هُوَ أَعْجَبُهُمْ إِلَىَّ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ عَنْ فُلاَنٍ فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَرَاهُ مُؤْمِنًا . فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا . فَسَكَتُّ قَلِيلاً ، ثُمَّ غَلَبَنِى مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِى فَقُلْتُ مَا لَكَ عَنْ فُلاَنٍ فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَرَاهُ مُؤْمِنًا فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا . ثُمَّ غَلَبَنِى مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِى وَعَادَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ثُمَّ قَالَ يَا سَعْدُ ، إِنِّى لأُعْطِى الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْهُ ، خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللَّهُ فِى النَّارِ

Dari Sa'ad r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah membagi-bagikan hadiah kepada beberapa orang. Pada saat itu Sa'ad sedang duduk di dekat mereka. Akan tetapi Rasulullah tidak memberikannya kepada seorang laki-laki, dan hal tersebut sangat menarik perhatianku. Aku bertanya kepada Rasulullah, "Apa sebabnya engkau tidak memberikan hadiah tersebut kepada si fulan? Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin." Maka Rasulullah bersabda, "atau seorang Muslim?"Aku terdiam sebentar. Kemudian pengetahuan tentang orang itu mendesakku untuk bertanya lagi. "Apa sebabnya engkau tidak memberikan hadiah tersebut kepada si fulan? Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin." Maka Rasulullah bersabda, "atau seorang Muslim?" Kemudian pengetahuan tentang orang itu mendesakku untuk bertanya lagi dan Rasulullah memberikan jawaban yang sama. Lalu beliau bersabda, "Hai Sa'ad, sesungguhnya aku akan memberi orang itu, akan tetapi aku lebih suka memberikannya kepada orang lain untuk menjaga orang yang diberi itu jangan sampai ditelungkupkan di neraka."

Penjelasan Hadits

عَنْ سَعْدٍ رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَعْطَى رَهْطًا وَسَعْدٌ جَالِسٌ
Dari Sa'ad r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah membagi-bagikan hadiah kepada beberapa orang. Pada saat itu Sa'ad sedang duduk di dekat mereka.

Yang dimaksud dengan Sa'ad paa hadits ini adalah Sa'ad bin Abi Waqash.

Kata رَهْطًا artinya adalah sekelompok orang yang terdiri dari dari 3 sampai 10 orang. Bisa juga berarti sekelompok orang dari Bani atau Kabilah yang sama.

Jadi saat itu Rasulullah membagi-bagikan hadiah kepada sekelompok orang. Dan demikianlah kedermawanan Rasulullah. Beliau adalah orang yang paling dermawan, suka memberi, dan tidak menolak permintaan selagi beliau bisa memenuhi permintaan itu. Namun kali ini, ada pemandangan ganjil yang ditangkap oleh Sa'ad bi Abi Waqash.

فَتَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَجُلاً هُوَ أَعْجَبُهُمْ إِلَىَّ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ عَنْ فُلاَنٍ فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَرَاهُ مُؤْمِنًا
Akan tetapi Rasulullah tidak memberikannya kepada seorang laki-laki, dan hal tersebut sangat menarik perhatianku. Aku bertanya kepada Rasulullah, "Apa sebabnya engkau tidak memberikan hadiah tersebut kepada si fulan? Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin."

Itulah pemandangan ganjil yang ditangkap Sa'ad. Tersisa satu orang dari kelompok itu yang tidak diberi oleh Rasulullah SAW. Di sini, perhatian Sa'ad terusik. Keheranannya muncul. Di samping, ia juga terdorong untuk menanyakan kepada Rasulullah SAW barangkali beliau terlupa atau ada alasan tertentu.

Sa'ad yang memiliki asumsi kuat (zhannul ghalib) terhadap orang itu kemudian bertanya kepada Rasulullah sekaligus mempersaksikan asumsinya dengan bersumpah (فَوَاللَّهِ). Atas dasar ini muncullah pendapat bahwa sumpah diperbolehkan meskipun hanya didasari asumsi yang kuat, karena Rasulullah SAW tidak melarang Sa'ad untuk bersumpah. "Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin." Inilah persaksian Sa'ad sekaligus alasannya agar orang tersebut semestinya juga diberi karena ia mukmin.

Namun, mendengar pertanyaan dan pernyataan tersebut, Rasulullah SAW justru balik bertanya.

أَوْ مُسْلِمًا
Atau ia seorang Muslim?

Inilah pertanyaan Rasulullah. Beliau ingin agar Sa'ad mengevaluasi persaksiannya yang seakan-akan memastikan kalau seseorang itu mukmin. Benarkah ia mukmin atau baru muslim?

فَسَكَتُّ قَلِيلاً ، ثُمَّ غَلَبَنِى مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِى فَقُلْتُ مَا لَكَ عَنْ فُلاَنٍ فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَرَاهُ مُؤْمِنًا فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا
"Aku terdiam sebentar. Kemudian pengetahuan tentang orang itu mendesakku untuk bertanya lagi. "Apa sebabnya engkau tidak memberikan hadiah tersebut kepada si fulan? Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin."

Sa'ad berfikir sebentar. Namun asumsinya yang kuat terhadap orang itu mendorongnya untuk bertanya dengan pertanyaan yang sama. Memberikan persaksian dengan sumpah yang sama. Bahwa orang itu adalah mukmin.

أَوْ مُسْلِمًا
Atau ia seorang Muslim?

Rasulullah SAW juga menjawab dengan bertanya balik. Pertanyaan yang sama.

Tanya jawab ini kemudian terulang sekali lagi. Hingga akhirnya Rasulullah menjelaskan alasannya mengapa satu orang itu tidak diberi oleh Rasulullah SAW.

يَا سَعْدُ ، إِنِّى لأُعْطِى الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْهُ ، خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللَّهُ فِى النَّارِ
"Hai Sa'ad, sesungguhnya aku akan memberi orang itu, akan tetapi aku lebih suka memberikannya kepada orang lain untuk menjaga orang yang diberi itu jangan sampai ditelungkupkan di neraka."

Itulah alasannya. Rasulullah SAW juga berkeinginan memberi orang itu. Namun beliau memiliki pertimbangan lain untuk memprioritaskan siapa yang diberi dan siapa yang tidak. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa sekelompok orang yang ada si situ bersama orang ini adalah mualaf. Mereka baru masuk Islam. Dan untuk menguatkan keislaman mereka, Rasulullah memperbesar perhatian kepada mereka dalam bentuk pemberian itu. Maka jadilah keislaman mereka makin kuat. Mereka merasa diapresiasi oleh Rasulullah. Mereka merasa mendapatkan kepastian jaminan hidup dalam Islam. Persis seperti apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW pasca perang Hunain yang saat itu beliau memberikan bagian ghanimah yang sangat besar kepada para mualaf, namun tidak memberikan bagian kepada kaum Anshar yang telah kuat keimanannya. Dan kondisi orang yang satu ini, yang tidak diberi oleh Rasulullah saat ini, juga seperti itu. Ia bukan mualaf. Ia muslim yang kuat. Kalaupun tidak diberi, tidak mengapa bagi dia yang telah memiliki keimanan.

Namun demikian, seseorang seperti Sa'ad tidak boleh memastikan orang itu mukmin hanya dari pandangan zhahir saja. Karenanya ketika Sa'ad bersumpah bahwa orang itu mukmin, Rasulullah bertanya apakah ia mukmin atau muslim. Dalam riwayat Ibnu Arabi ada lafadz tambahan bahwa Rasulullah bersabda kepada Sa'ad: لا تقل مؤمن بل مسلم ("Jangan katakan mukmin, tapi katakanlah muslim").

Dari sana tahulah Sa'ad, dan juga kita, bahwa jawaban Rasulullah SAW mengandung hikmah yang dalam. Bahwa tidak seyogyanya seseorang memuji dan mempersaksikan keimanan orang lain dari zhahirnya, karena iman adalah perkara batin. Kedua, bahwa Rasulullah SAW memberikan kepada mereka (orang-orang mualaf) pemberian itu untuk menguatkan keislaman mereka. Dikhawatirkan, jika mereka tidak diberi seperti itu mereka akan murtad dan murtad itu menyebabkan mereka ditelungkupkan ke neraka. Inilah makna sabda Nabi "akan tetapi aku lebih suka memberikannya kepada orang lain untuk menjaga orang yang diberi itu jangan sampai ditelungkupkan di neraka".

Dalam riwayat-riwayat yang lain dijelaskan bahwa orang yang tidak diberi oleh Rasulullah itu bernama Ja'il. Ia seorang muhajirin. Kedudukannya mulia dalam pandangan Rasulullah SAW. Suatu saat Rasulullah bertanya kepada Abu Dzar, "Bagaimana pendapatmu tentang Ja'il?". Abu Dzar menjawab, "Seperti muhajirin lainnya." Kemudian Rasulullah bertanya, "Bagaimana pendapatmu tentang si fulan?". Abu Dzar menjawab, "Ia adalah pemimpin kaum". Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Jika demikian, Ja'il lebih baik dari dirinya."

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah adalah orang yang dermawan, beliau biasa membagi-bagikan hadiah/pemberian;
2. Diperbolehkan bertanya kepada qiyadah/pemimpin terkait hal-hal yang tidak dipahami dan diperbolehkan pula untuk menyampaikan usul atau pendapat demi memperoleh maslahat (kebaikan bersama);
3. Diperbolehkan untuk menegaskan satetemen/pernyataan dengan sumpah. Sebagian ulama berpendapat bahwa sumpah diperbolehkan meskipun hanya didasari asumsi yang kuat;
4. Tidak diperbolehkan memastikan seseorang telah mukmin hanya berdasarkan zahirnya saja, karena iman adalah masalah hati yang tidak dapat diketahui orang lain secara pasti;
5. Boleh memastikan seseorang dengan menyebutnya sebagai muslim, bahkan dianjurkan, karena keislaman seseorang bisa dipastikan dari syahadat yang telah ia ikrarkan atau amal jasadiyah yang ia kerjakan;
6. Secara terminologi, iman tidak sama dengan islam. Seorang muslim (yang telah bersyahadat) belum tentu mukmin (hatinya benar-benar beriman), namun seorang mukmin sudah pasti muslim;
7. Diantara bentuk pengajaran adalah dialog, diantaranya dengan bertanya kembali kepada murid agar ia merenung dan berfikir tentang pertanyaan itu;
8. Dalam memberikan sesuatu, hendaklah memiliki prioritas berdasarkan kemanfaatan yang lebih besar. Sehingga diperbolehkan memberi sesuatu kepada sebagian orang dan tidak memberikannya kepada sebagian yang lain. Dalam hadits ini Rasulullah membagikan pemberian kepada sekelompok orang yang masih mualaf dan tidak kepada Ja'il yang telah mukmin agar mereka semakin kuat keislamannya. Sementara Ja'il yang termasuk muhajirin, tidak diberi hadiah itu pun tidak masalah. Hal yang sama juga dilakukan Rasulullah pasca perang Hunain. Rasulullah membagikan ghanimah yang banyak kepada Mualaf Mekah agar keislamannya semakin kuat, sementara kaum Anshar tidak diberi sejumlah ghanimah.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-27. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga bisa menjadi seorang mukmin, serta mampu mengambil ibrah dan hikmah dari segala ilmu dan pengalaman.

Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 26

حدثنا أحمد بن يونس وموسى بن إسماعيل قالا حدثنا إبراهيم بن سعد قال حدثنا بن شهاب عن سعيد بن المسيب عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل أي العمل أفضل فقال إيمان بالله ورسوله قيل ثم ماذا قال الجهاد في سبيل الله قيل ثم ماذا قال حج مبرور
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>.


 Hadits 26: Amal yang Paling Utama

Terorisme masih saja menghangat hingga kini. Terkadang, aksi terorime diakibatkan oleh pemahaman yang keliru terhadap hadits yang akan kita bahas sekarang ini, insya Allah. Yaitu hadits ke-25 dalam Shahih Bukhari. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Pembahasan hadits ke-25 ini diberi judul "Memerangi Manusia Hingga Bersyahadat, Shalat dan Zakat". Kami berharap pembaca tidak hanya membaca judulnya karena dikhawatirkan terjadi misinterpretasi terhadap hadits ini. Sebaliknya, kami merekomendasikan pembaca membaca keseluruhan penjelasan hadits di bawah ini.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-25:


عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga bersaksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan supaya mereka menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan itu maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam. Sedangkan perhitungan terakhir mereka terserah kepada Allah.

Penjelasan Hadits

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاة
Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga beraksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan supaya mereka menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat

Jika ada kata-kata أُمِرْتُ (aku diperintah) yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, maka maksudnya adalah diperintah Allah, karena hanya Dia-lah yang memerintah Rasulullah SAW. Sedangkan jika kata-kata أُمِرْتُ (aku diperintah) diucapkan oleh sahabat maka artinya adalah diperintah oleh Rasulullah, kata-kata itu tidak mengandung interpretasi "Aku diperintah oleh sahabat yang lain." Karena selama mereka adalah mujtahid maka mereka tidak menjadikan perintah mujtahid lain sebagai hujjah.

Kalimat حَتَّى يَشْهَدُوا (hingga mereka bersaksi) menjelaskan bahwa tujuan memerangi adalah adanya sebab-sebab yang disebutkan dalam hadits. Ini sekaligus berarti bahwa orang yang sudah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat akan dijamin jiwanya. Tidak boleh diperangi.

Menegakkan shalat (يُقِيمُوا الصَّلاَة) artinya mengerjakan shalat wajib secara kontinyu dengan memenuhi syarat dan rukunnya.

Dalam hadits ini dipakai istilah أقاتل (aku memerangi) bukan أقتل (aku membunuh). Keduanya berbeda. Dan dalam kerangka hadits inilah Abu Bakar memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Tidak ada satupun riwayat yang menunjukkan beliau membunuh mereka.

، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ
Jika mereka melakukan itu maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam

Jika mereka telah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat, maka mereka mendapat perlindungan dari Rasulullah atau pemerintah Islam. عَصَمُوا (mereka dalam lindunganku) artinya terjaga atau terlindungi. Al 'Ishmah berasal dari Al 'Ishaam, yaitu tali untuk mengikat mulut ghirbah (tempat air dari kulit binatang) agar airnya tidak mengalir.

Kecuali karena alasan-alasan hukum Islam (إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ) maksudnya adalah, meskipun dalam kondisi normal seseorang dilindungi dalam Islam, namun jika ia melakukan kejahatan maka hukuman hadud tetap dilaksanakan. Misalnya jika seorang muslim yang telah menikah terbukti berzina dengan terpenuhi empat saksi yang melihatnya, maka ia dirajam.

Demikian pula mereka tidak boleh diperangi kecuali dengan alasan yang disyahkan hukum Islam. Misalnya, melakukan bughat (pemberontakan kepada pemerintahan Islam yang sah).

وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
Sedangkan perhitungan terakhir mereka terserah kepada Allah.

Yaitu dalam hal-hal yang rahasia, khususnya yang lolos dari hukum. Karena hukum dalam Islam ditetapkan atas bukti zhahir. Adapun batinnya, atau jika ada kesalahan dalam putusan hukum, maka Allah yang akan mengadilinya di akhirat kelak.

Ibnu Hajar Al Asqalani menegaskan bahwa hadits ini menjadi dalil untuk tidak mengkafirkan ahli bid'ah yang mengikrarkan tauhid dan melaksanakan syariat. Hadits ini juga menjadi dalil diterimanya taubat orang kafir, terlepas dari kekafirannya sebelum itu bersifat dzahir atau batin.

Ibnu Hajar Al Asqalani juga menjawab keraguan sebagian orang yang merasakan pertentangan antara hadits ini yang dianggap menuntut untuk memerangi orang-orang yang menolak tauhid dengan ketentuan terhadap orang yang membayar jizyah atau mu'ahadah (terikat perjanjian damai) tidak diperangi.

Beliau menjawab bahwa ada enam jawaban untuk pertanyaan di atas. Pertama, hadits ini dinasakh dengan hukum penarikan jizyah dan mu'ahadah. Kedua, hadits ini bersifat umum lalu dikhususkan dengan hadits lain tentang jizyah dan mu'ahadah bahwa keduanya tidak diperangi. Ketiga, konteks hadits ini bersifat umum namun memiliki maksud tertentu. Maksud dari an-naas (manusia) dalam hadits ini adalah kaum musyrikin, bukan ahli kitab. Namun pendapat ini lemah sebab orang yang terikat perjanjian damai bisa saja orang musyrik. Keempat, maksud syahadah dalam hadits ini adalah menegakkan agama Islam dan menundukkan pembangkang. Tujuan itu bisa dicapai dengan berperang, atau mereka membayar jizyah, atau dengan mu'ahadah. Kelima, bahwa tuntutan dari perang tersebut adalah agar mereka bertauhid atau membayar jizyah sebagai pengganti. Keenam, tujuan diwajibkannya jizyah adalah mendesak mereka untuk memeluk Islam. Seakan-akan Rasulullah bersabda, "hingga mereka memeluk Islam atau melaksanakan perbuatan yang mengharuskan mereka memeluk Islam." Jawaban terakhir ini dikatakan oleh Ibnu hajar sebagai jawaban yang paling baik.

Yusuf Qardhawi membahas hadits ini secara panjang lebar dalam Fiqih Jihad dengan maksud agar tidak disalah pahami oleh umat Islam. Agar jangan sampai umat salah memahami bahwa melalui hadits ini Islam diwajibkan memerangi manusia non muslim seluruhnya. Bukan. Bukan seperti itu maksudnya.

Maka Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa konteks hadits ini adalah peperangan terbatas. An-naas yang disebutkan dalam hadits ini secara khusus mengacu kepada orang-orang musyrik yang telah menindas dakwah di Makkah dan selalu menzalimi kaum muslimin.

Yusuf Qardhawi di dalam Fiqih Jihad juga menjelaskan bahwa perang-perang yang dilakukan oleh umat Islam di masa Rasulullah, baik ghazwah maupun sariyah, hampir semuanya didahului oleh penyerangan dari pihak musuh, rencana penyerangan dari pihak musuh (diantaranya dengan memobilisasi kekuatan), atau pengkhianatan pihak musuh (misalnya Yahudi Bani Qainuqa', Quraidhah, dan Nadhir). Bisa dikatakan bahwa peperangan Rasulullah bersifat difa'iyah (defensif).

Yusuf Qardhawi juga mengutip pendapat banyak ulama secara detail khusus untuk membahas satu hadits ini, termasuk pendapat Ibnu Hajar di atas dan pendapat Al Jashash.

Yusuf Qardhawi juga mengutip penjelasan Ibnu Taimiyah. Diantaranya adalah penjelasan Ibnu Taimiyah dalam Al-Qaidah fi Qital Al Kafir bahwa maksud hadits ini adalah "Aku tidak diperintahkan untuk berperang kecuali hingga sampai pada tujuan ini. Bukan bermaksud aku diperintah untuk memerangi semua orang hingga tercapai tujuan ini. Penafsiran ini bertentangan dengan nash dan ijma'. Beliau tidak melakukan itu tetapi sebagaimana pada sirahnya, bahwa orang yang berdamai dengan beliau tidak akan diperangi."

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah, yang diperintah oleh Allah adalah peperangan yang terbatas pada orang-orang non muslim, khususnya yang memerangi, menzalimi, atau mengkhianati Islam ;
2. Orang-orang yang telah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat tidak boleh diperangi, kecuali dengan alasan hukum Islam (misalnya melakukan bughat);
3. Harta dan jiwa kaum muslimin yang telah bertauhid, shalat dan zakat dilindungi oleh pemerintah Islam kecuali karena adanya hukum Islam yang dilanggar (misalnya zina);
4. Bagi kesalahan yang tidak terjamah hukum, atau lolos dari pengadilan Islam, maka tetap ada pengadilan lain yang akan mengadilinya yaitu pengadilan Allah SWT.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-25. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga istiqamah dalam tauhid, menegakkan shalat dan menunaikan zakat serta kita dijauhkan dari pemahaman yang salah terhadap hadits. Allaahumma aamiin.

Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 25

حدثنا عبد الله بن محمد المسندي قال حدثنا أبو روح الحرمي بن عمارة قال حدثنا شعبة عن واقد بن محمد قال سمعت أبي يحدث عن بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام وحسابهم على الل
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>


 Hadits 25: Memerangi Manusia Hingga Bersyahadat, Shalat dan Zaka
Terorisme masih saja menghangat hingga kini. Terkadang, aksi terorime diakibatkan oleh pemahaman yang keliru terhadap hadits yang akan kita bahas sekarang ini, insya Allah. Yaitu hadits ke-25 dalam Shahih Bukhari. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Pembahasan hadits ke-25 ini diberi judul "Memerangi Manusia Hingga Bersyahadat, Shalat dan Zakat". Kami berharap pembaca tidak hanya membaca judulnya karena dikhawatirkan terjadi misinterpretasi terhadap hadits ini. Sebaliknya, kami merekomendasikan pembaca membaca keseluruhan penjelasan hadits di bawah ini.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-25:



عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga bersaksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan supaya mereka menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan itu maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam. Sedangkan perhitungan terakhir mereka terserah kepada Allah.

Penjelasan Hadits

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاة
Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga beraksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan supaya mereka menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat

Jika ada kata-kata أُمِرْتُ (aku diperintah) yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, maka maksudnya adalah diperintah Allah, karena hanya Dia-lah yang memerintah Rasulullah SAW. Sedangkan jika kata-kata أُمِرْتُ (aku diperintah) diucapkan oleh sahabat maka artinya adalah diperintah oleh Rasulullah, kata-kata itu tidak mengandung interpretasi "Aku diperintah oleh sahabat yang lain." Karena selama mereka adalah mujtahid maka mereka tidak menjadikan perintah mujtahid lain sebagai hujjah.

Kalimat حَتَّى يَشْهَدُوا (hingga mereka bersaksi) menjelaskan bahwa tujuan memerangi adalah adanya sebab-sebab yang disebutkan dalam hadits. Ini sekaligus berarti bahwa orang yang sudah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat akan dijamin jiwanya. Tidak boleh diperangi.

Menegakkan shalat (يُقِيمُوا الصَّلاَة) artinya mengerjakan shalat wajib secara kontinyu dengan memenuhi syarat dan rukunnya.

Dalam hadits ini dipakai istilah أقاتل (aku memerangi) bukan أقتل (aku membunuh). Keduanya berbeda. Dan dalam kerangka hadits inilah Abu Bakar memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Tidak ada satupun riwayat yang menunjukkan beliau membunuh mereka.

، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ
Jika mereka melakukan itu maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam

Jika mereka telah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat, maka mereka mendapat perlindungan dari Rasulullah atau pemerintah Islam. عَصَمُوا (mereka dalam lindunganku) artinya terjaga atau terlindungi. Al 'Ishmah berasal dari Al 'Ishaam, yaitu tali untuk mengikat mulut ghirbah (tempat air dari kulit binatang) agar airnya tidak mengalir.

Kecuali karena alasan-alasan hukum Islam (إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ) maksudnya adalah, meskipun dalam kondisi normal seseorang dilindungi dalam Islam, namun jika ia melakukan kejahatan maka hukuman hadud tetap dilaksanakan. Misalnya jika seorang muslim yang telah menikah terbukti berzina dengan terpenuhi empat saksi yang melihatnya, maka ia dirajam.

Demikian pula mereka tidak boleh diperangi kecuali dengan alasan yang disyahkan hukum Islam. Misalnya, melakukan bughat (pemberontakan kepada pemerintahan Islam yang sah).

وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
Sedangkan perhitungan terakhir mereka terserah kepada Allah.

Yaitu dalam hal-hal yang rahasia, khususnya yang lolos dari hukum. Karena hukum dalam Islam ditetapkan atas bukti zhahir. Adapun batinnya, atau jika ada kesalahan dalam putusan hukum, maka Allah yang akan mengadilinya di akhirat kelak.

Ibnu Hajar Al Asqalani menegaskan bahwa hadits ini menjadi dalil untuk tidak mengkafirkan ahli bid'ah yang mengikrarkan tauhid dan melaksanakan syariat. Hadits ini juga menjadi dalil diterimanya taubat orang kafir, terlepas dari kekafirannya sebelum itu bersifat dzahir atau batin.

Ibnu Hajar Al Asqalani juga menjawab keraguan sebagian orang yang merasakan pertentangan antara hadits ini yang dianggap menuntut untuk memerangi orang-orang yang menolak tauhid dengan ketentuan terhadap orang yang membayar jizyah atau mu'ahadah (terikat perjanjian damai) tidak diperangi.

Beliau menjawab bahwa ada enam jawaban untuk pertanyaan di atas. Pertama, hadits ini dinasakh dengan hukum penarikan jizyah dan mu'ahadah. Kedua, hadits ini bersifat umum lalu dikhususkan dengan hadits lain tentang jizyah dan mu'ahadah bahwa keduanya tidak diperangi. Ketiga, konteks hadits ini bersifat umum namun memiliki maksud tertentu. Maksud dari an-naas (manusia) dalam hadits ini adalah kaum musyrikin, bukan ahli kitab. Namun pendapat ini lemah sebab orang yang terikat perjanjian damai bisa saja orang musyrik. Keempat, maksud syahadah dalam hadits ini adalah menegakkan agama Islam dan menundukkan pembangkang. Tujuan itu bisa dicapai dengan berperang, atau mereka membayar jizyah, atau dengan mu'ahadah. Kelima, bahwa tuntutan dari perang tersebut adalah agar mereka bertauhid atau membayar jizyah sebagai pengganti. Keenam, tujuan diwajibkannya jizyah adalah mendesak mereka untuk memeluk Islam. Seakan-akan Rasulullah bersabda, "hingga mereka memeluk Islam atau melaksanakan perbuatan yang mengharuskan mereka memeluk Islam." Jawaban terakhir ini dikatakan oleh Ibnu hajar sebagai jawaban yang paling baik.

Yusuf Qardhawi membahas hadits ini secara panjang lebar dalam Fiqih Jihad dengan maksud agar tidak disalah pahami oleh umat Islam. Agar jangan sampai umat salah memahami bahwa melalui hadits ini Islam diwajibkan memerangi manusia non muslim seluruhnya. Bukan. Bukan seperti itu maksudnya.

Maka Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa konteks hadits ini adalah peperangan terbatas. An-naas yang disebutkan dalam hadits ini secara khusus mengacu kepada orang-orang musyrik yang telah menindas dakwah di Makkah dan selalu menzalimi kaum muslimin.

Yusuf Qardhawi di dalam Fiqih Jihad juga menjelaskan bahwa perang-perang yang dilakukan oleh umat Islam di masa Rasulullah, baik ghazwah maupun sariyah, hampir semuanya didahului oleh penyerangan dari pihak musuh, rencana penyerangan dari pihak musuh (diantaranya dengan memobilisasi kekuatan), atau pengkhianatan pihak musuh (misalnya Yahudi Bani Qainuqa', Quraidhah, dan Nadhir). Bisa dikatakan bahwa peperangan Rasulullah bersifat difa'iyah (defensif).

Yusuf Qardhawi juga mengutip pendapat banyak ulama secara detail khusus untuk membahas satu hadits ini, termasuk pendapat Ibnu Hajar di atas dan pendapat Al Jashash.

Yusuf Qardhawi juga mengutip penjelasan Ibnu Taimiyah. Diantaranya adalah penjelasan Ibnu Taimiyah dalam Al-Qaidah fi Qital Al Kafir bahwa maksud hadits ini adalah "Aku tidak diperintahkan untuk berperang kecuali hingga sampai pada tujuan ini. Bukan bermaksud aku diperintah untuk memerangi semua orang hingga tercapai tujuan ini. Penafsiran ini bertentangan dengan nash dan ijma'. Beliau tidak melakukan itu tetapi sebagaimana pada sirahnya, bahwa orang yang berdamai dengan beliau tidak akan diperangi."

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah, yang diperintah oleh Allah adalah peperangan yang terbatas pada orang-orang non muslim, khususnya yang memerangi, menzalimi, atau mengkhianati Islam ;
2. Orang-orang yang telah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat tidak boleh diperangi, kecuali dengan alasan hukum Islam (misalnya melakukan bughat);
3. Harta dan jiwa kaum muslimin yang telah bertauhid, shalat dan zakat dilindungi oleh pemerintah Islam kecuali karena adanya hukum Islam yang dilanggar (misalnya zina);
4. Bagi kesalahan yang tidak terjamah hukum, atau lolos dari pengadilan Islam, maka tetap ada pengadilan lain yang akan mengadilinya yaitu pengadilan Allah SWT.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-25. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga istiqamah dalam tauhid, menegakkan shalat dan menunaikan zakat serta kita dijauhkan dari pemahaman yang salah terhadap hadits. Allaahumma aamiin.

Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 24

حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك بن أنس عن بن شهاب عن سالم بن عبد الله عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على رجل من الأنصار وهو يعظ أخاه في الحياء فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم دعه فإن الحياء من الإيمان
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>..

 Hadits 24: Malu adalah Sebagian dari Iman

Alhamdulillah, pembahasan Hadits Shahih Bukhari kali ini memasuki hadits yang ke-24, biidznillah. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Sebagaimana judul yang bab yang diberikan oleh Imam Bukhari pada hadits ini " باب الْحَيَاءُ مِنَ الإِيمَانِ " pembahasan hadits ini juga diberikan judul yang sama dalam bahasa Indonesianya, yaitu "Malu adalah Sebagian dari Iman"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-24:



عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ

Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.'"


Penjelasan Hadits
Ayah dari Salim yang dimaksud dalam hadits ini tidak lain adalah Abdullah bin Umar bin Khattab.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ
Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu

Kata يَعِظُ berarti menasehati, menakut-nakuti, atau mengingatkan. Dalam hadits Shahih Bukhari yang lain (bab adab, yang insya Allah akan kita bahas nantinya jika sampai di sana) disebutkan dengan kalimat وَهْوَ يُعَاتَبُ فِى الْحَيَاءِ (ia mencela sifat malu saudaranya). Mungkin dalam bahasa kita, laki-laki ini mengatakan "Engkau sangat pemalu" atau "Sifat malu itu membahayakanmu."

Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan kemungkinan bahwa laki-laki tersebut sangat pemalu hingga ia tidak ingin meminta haknya. Karena itu ia dicela oleh saudaranya.

Namun ternyata, sikap laki-laki yang mencela atau menasehati saudaranya dari rasa malu itu tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW yang saat itu lewat di depan mereka.

دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ
Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman

Inilah salah satu sifat Rasulullah. Bahwa beliau tidak membiarkan sesuatu yang salah di hadapannya. Beliau tidak mendiamkan sesuatu yang keliru, kecuali menegurnya. Sebaliknya, segala hal yang terjadi atau diucapkan di hadapan Rasulullah SAW, sedangkan beliau membiarkan atau mendiamkannya, maka itu dianggap sebagai persetujuan Rasulullah SAW yang memiliki legitimasi hukum di dalam Islam. Dalam istilah hadits yang demikian itu disebut "hadits taqriri" yakni persetujuan dari Rasulullah SAW.

Maka dalam hadits ini Rasulullah SAW mengingatkan bahwa yang benar justru adalah tidak menghilangkan rasa malu dalam diri saudaranya. Biarkan saja seseorang memiliki sifat malu. Ia adalah akhlak yang disunnahkan. Malu adalah sebagian dari iman.

"Kalaupun sifat malu itu menghalangi seseorang dari meminta haknya," tulis Ibnu hajar dalam Fathul Bari, "maka dia akan diberi pahala sesuai dengan hak yang ditinggalkannya."

Karena sifat malu itu, menurut Ibnu Qutaibah, "Dapat menghalangi seseorang untuk melakukan kemaksiatan sebagaimana iman."

Malu didefinisikan sebagai sikap menahan diri dari perbuatan buruk atau hina. Sifat malu ini merupakan gabungan dari sifat takut dan iffah (menjaga kesucian diri).

Pendapat lain mengatakan bahwa malu adalah takut akan dosa karena melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Ada juga yang berpendapat bahwa malu berarti menahan diri karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal, maupun adat kebiasaan. Pengertian yang disebutkan terakhir ini lebih umum dan mencakup definisi yang cukup luas.

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Kaum muslimin hendaknya selalu memiliki semangat untuk menasehati saudaranya, mengingatkannya dengan penuh kasih sayang, dan tidak berdiam diri dari kesalahan;
2. Salah satu sifat Rasulullah adalah meluruskan ketika ada kekeliruan yang beliau ketahui, dan membetulkan kesalahan yang beliau dapati. Sehingga ketika Rasulullah diam terhadap sesuatu yang diketahui beliau, maka itu berarti taqrir (persetujuan) dari beliau;
3. Hendaklah seorang muslim memiliki rasa malu dan menjaga sifat itu tetap ada pada dirinya;
4. Malu adalah sebagian dari iman.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-24. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang senantiasa memiliki semangat berdakwah dan memiliki rasa malu. Allaahumma aamiin.

Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 23

حدثنا محمد بن عبيد الله قال حدثنا إبراهيم بن سعد عن صالح عن بن شهاب عن أبي أمامة بن سهل أنه سمع أبا سعيد الخدري يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بينا أنا نائم رأيت الناس يعرضون علي وعليهم قمص منها ما يبلغ الثدي ومنها ما دون ذلك وعرض علي عمر بن الخطاب وعليه قميص يجره قالوا فما أولت ذلك يا رسول الله قال الدين
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
 Hadits 23: Kualitas Beragama Manusia Bertingkat-tingkat

Kali ini kita membicarakan hadits yang ke-23, biidznillah. Yakni hadits ke-23 dalam Shahih Bukhari (صحيح البخارى), di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Imam Bukhari tidak memberi judul tersendiri untuk hadits ke-23 ini, melainkan satu judul dengan hadits sebelumnya; باب تَفَاضُلِ أَهْلِ الإِيمَانِ فِى الأَعْمَالِ (Tingkatan orang-orang beriman dalam beramal). Untuk memudahkan pembaca, menyesuaikan dengan konteks hadits ini kita berikan judul pembahasannya: "Kualitas Beragama Manusia Bertingkat-tingkat"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-23:


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ النَّاسَ يُعْرَضُونَ عَلَىَّ ، وَعَلَيْهِمْ قُمُصٌ مِنْهَا مَا يَبْلُغُ الثُّدِىَّ ، وَمِنْهَا مَا دُونَ ذَلِكَ ، وَعُرِضَ عَلَىَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلَيْهِ قَمِيصٌ يَجُرُّهُ . قَالُوا فَمَا أَوَّلْتَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الدِّينَ

Dari Abu Said Al-Khudri r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Aku bermimpi dalam tidurku seakan-akan aku melihat manusia di hadapankan kepadaku. Baju mereka diantaranya ada yang sebatas buah dada dan ada yang kurang dari itu. Dan kulihat pula Umar bin Khattab memakai baju yang dihela-helanya karena sangat panjang." Rasulullah ditanya, "Apakah takwil mimpi Anda ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "agama."

Penjelasan Hadits

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ النَّاسَ يُعْرَضُونَ عَلَىَّ
Aku bermimpi dalam tidurku seakan-akan aku melihat manusia di hadapankan kepadaku.

Dalam hadits ini Rasulullah SAW menceritakan mimpinya. Dan sebagaimana telah diketahui bahwa mimpi Rasulullah adalah benar. Ia tidak seperti mimpi bagi manusia pada umumnya, yang tidak bisa dijadikan hujjah.

وَعَلَيْهِمْ قُمُصٌ مِنْهَا مَا يَبْلُغُ الثُّدِىَّ ، وَمِنْهَا مَا دُونَ ذَلِكَ
Baju mereka diantaranya ada yang sebatas buah dada dan ada yang kurang dari itu.

Kalimat الثدي adalah bentuk jamak dari ثدي , artinya buah dada. Kalimat itu merupakan bentuk mudzakkar, meskipun ada pula ahli bahasa yang mengatakan sebagai bentuk mu'annats. Namun yang benar, kalimat الثدي bisa digunakan untuk menyebutkan baik laki-laki maupun perempuan. Terlebih dalam lanjutan hadits ini disebutkan nama Umar bin Khatab.

، وَعُرِضَ عَلَىَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلَيْهِ قَمِيصٌ يَجُرُّهُ
Dan kulihat pula Umar bin Khattab memakai baju yang dihela-helanya karena sangat panjang

Disebutkan secara khusus nama Umar di sini juga untuk menunjukkan keutamaan Umar bin Khatab. Bahwa beliau dengan segala kelebihannya, yang tegas terhadap kebenaran, kokoh dalam membela Islam hingga diberikan gelar Al-Faruq memang memiliki keutamaan yang luar biasa. Salah satunya adalah persaksian Rasulullah SAW dalam mimpinya ini.

. قَالُوا فَمَا أَوَّلْتَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
Rasulullah ditanya, "Apakah takwil mimpi Anda ya Rasulullah?"

Inilah para sahabat. Mereka sangat antusias dalam menerima pelajaran dari Rasulullah SAW dan sangat bersemangat untuk beramal. Meskipun pada dasarnya mereka tidak banyak bertanya, namun jika mereka belum menangkap secara jelas maksud Rasulullah maka mereka akan bertanya. Dan dalam kesempatan ini mereka melakukannya. Lalu Rasulullah menjawab dengan jawaban singkat, namun dipahami para sahabat: الدِّينَ "agama"

Bahwa baju dalam mimpi tersebut adalah takwil dari agama. Artinya, orang-orang mukmin memiliki kualitas beragama yang bertingkat-tingkat. Ada yang rendah, ada yang tinggi, dan ada yang sangat tinggi seperti Umar. Bukankah di hadits sebelumnya telah dibahas bahwa iman seseorang juga ada yang sangat kecil hingga ia menjadi penghuni surga yang datang terakhir ke sana?

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Mimpi Rasulullah SAW adalah benar. Apa yang diceritakan Rasulullah SAW dari mimpinya adalah wahyu yang perlu diketahui oleh para sahabat dan umatnya untuk diambil sebagai pelajaran dan tuntunan;
2. Manusia dalam bergama memiliki tingkatan kualitas yang berbeda-beda;
3. Agama dilambangkan dengan baju bisa diartikan bahwa agama adalah pelindung bagi seseorang dari teriknya siksa dan hinanya murka Allah, serta merupakan kehormatan hakiki bagi hambaNya;
4. Hadits ini menunjukkan salah satu keutamaan Umar bin Khatab.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-23. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang senantiasa meningkatkan kualitas beragama. Allaahumma aamiin.

Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 22

حدثنا إسماعيل قال حدثني مالك عن عمرو بن يحيى المازني عن أبيه عن أبي سعيد الخدري رضى الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال يدخل أهل الجنة الجنة وأهل النار النار ثم يقول الله تعالى أخرجوا من كان في قلبه مثقال حبة من خردل من إيمان فيخرجون منها قد اسودوا فيلقون في نهر الحيا أو الحياة شك مالك فينبتون كما تنبت الحبة في جانب السيل ألم تر أنها تخرج صفراء ملتوية قال وهيب حدثنا عمرو الحياة وقال خردل من خير
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>.
 Hadits 22: Iman Kunci Masuk Surga

Alhamdulillah, kini pembahasan hadits Shahih Bukhari memasuki hadits ke-22. Hadits yang akan kita bahas ini masih termasuk dalam kitab Al-Iman, kitab kedua dalam Shahih Bukhari setelah kitab Bad'il Wahyi. Imam Bukhari memberikan judul bab hadits ke-22 ini باب تَفَاضُلِ أَهْلِ الإِيمَانِ فِى الأَعْمَالِ (Tingkatan orang-orang beriman dalam beramal). Untuk memudahkan pembaca, karena isi hadits ini menceritakan orang beriman yang dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke surga meskipun imannya sangat kecil, kita berikan judul "Iman Kunci Masuk Surga." Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-22: عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ ، ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَخْرِجُوا مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ . فَيُخْرَجُونَ مِنْهَا قَدِ اسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِى نَهَرِ الْحَيَا - أَوِ الْحَيَاةِ ، شَكَّ مَالِكٌ - فَيَنْبُتُونَ كَمَا تَنْبُتُ الْحِبَّةُ فِى جَانِبِ السَّيْلِ ، أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً . قَالَ وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا عَمْرٌو الْحَيَاةِ . وَقَالَ خَرْدَلٍ مِنْ خَيْرٍ Dari Abu Said Al-Khudri r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Setelah penduduk surga masuk ke surga dan penduduk neraka masuk ke neraka, maka Allah Ta'ala pun berfirman, 'Keluarkanlah dari neraka orang-orang yang dalam hatinya terdapat iman walaupun sebesar biji sawi.' Mereka pun dikeluarkan dari neraka. Hanya saja tubuh mereka telah hitam legam bagaikan arang. Oleh karena itu, mereka dilemparkan ke sungai Haya' atau hayat –terdapat keraguan dari Imam Malik. Kemudian tubuh mereka berubah bagaikan benih yang tumbuh setelah banjir. Tidakkah engkau melihat benih tersebut tumbuh berwarna kuning dan berlipat-lipat." Wuhaib berkata, "Amr menceritakan kepada kami, "Sungai Al-Hayat"dan Wuhaib berkata, "kebaikan sebesar biji sawi." Penjelasan Hadits يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ ، ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَخْرِجُوا مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ Setelah penduduk surga masuk ke surga dan penduduk neraka masuk ke neraka, maka Allah Ta'ala pun berfirman, 'Keluarkanlah dari neraka orang-orang yang dalam hatinya terdapat iman walaupun sebesar biji sawi.' Hadits ini menjelaskan bahwa kelak, orang-orang yang masuk ke surga berdiam di sana. Abadi dalam nikmat Allah SWT. Sementara, orang-orang yang masuk neraka akan "diseleksi" lagi. Diantara mereka ada "penduduk tetap" yang kekal di neraka, yaitu orang-orang kafir dan munafik; yang tidak memiliki keimanan sedikitpun. Sedangkan orang-orang mukmin yang masuk neraka karena kemaksiatannya namun masih memiliki iman, mereka menjadi "penduduk sementara". Suatu saat, dengan kehendak-Nya Allah SWT mengeluarkan mereka dari neraka. Allah memberi perintah : أَخْرِجُوا مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ 'Keluarkanlah dari neraka orang-orang yang dalam hatinya terdapat iman walaupun sebesar biji sawi.' مِثْقَالُ حَبَّةٍ (walaupun sebesar biji sawi) maksudnya adalah iman yang paling kecil. Al-Khatabi menjelaskan bahwa kata itu tidak bermaksud menunjukkan berat, namun standar dalam pengetahuan, karena mengungkapkan sesuatu yang terlintas dalam pikiran dengan sesuatu yang terlihat menjadikannya lebih mudah dipahami. Jika diketahui benda yang paling kecil saat ini adalah nukleus (inti atom), bahkan proton atau neutron, maka itupun bisa dipakai untuk memaknai maksud "habbah". فَيُخْرَجُونَ مِنْهَا قَدِ اسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِى نَهَرِ الْحَيَا - أَوِ الْحَيَاةِ ، شَكَّ مَالِكٌ – Mereka pun dikeluarkan dari neraka. Hanya saja tubuh mereka telah hitam legam bagaikan arang. Oleh karena itu, mereka dilemparkan ke sungai Haya' atau hayat –terdapat keraguan dari Imam Malik. Setelah diperintahkan oleh Allah, orang-orang yang memiliki keimanan -meskipun dengan keimanan yang paling kecil- itu pun dikeluarkan dari neraka. Yang menjadi masalah, setelah sekian lama "terbakar" di neraka, tubuh mereka menjadi hitam legam. Wallaahu a'lam bagaimana hakikatnya, karena kondisi akhirat jelas berbeda dengan kondisi di dunia. Yang pasti, tubuh yang hitam seperti arang ini menjadi masalah dan perlu "diperbaiki" sebelum masuk surga. Karenanya ia "dicuci" di sungai hayaa atau hayaat. Imam Malik –yang menjadi salah satu rawi hadits ini hingga sampai ke Imam Bukhari- ragu-ragu mana diantara dua nama ini yang benar. Kata hayaa (الْحَيَا) artinya hujan yang dapat menumbuhkan tanaman. Dinamakan demikian karena sungai ini begitu dimasuki, tubuh yang tadinya hitam seperti arang berubah segar, seperti tanaman yang tumbuh setelah hujan. Sedangkan kata hayat (الْحَيَاةِ) berarti kehidupan. Disebut sungai kehidupan karena ia menghidupkan tubuh yang tadinya hitam legam, tidak hidup dan tidak mati akibat siksa neraka, menjadi hidup kembali dengan sempurna. Di akhir hadits ini Imam Bukhari menyebutkan ketegasan rawi lain –yaitu Wuhaib- yang tanpa ragu-ragu menyebutkan bahwa yang benar adalah hayat (sungai kehidupan). فَيَنْبُتُونَ كَمَا تَنْبُتُ الْحِبَّةُ فِى جَانِبِ السَّيْلِ ، أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً Kemudian tubuh mereka berubah bagaikan benih yang tumbuh setelah banjir. Tidakkah engkau melihat benih tersebut tumbuh berwarna kuning dan berlipat-lipat. Kata الْحِبَّةُ berarti benih tumbuh-tumbuhan. Jadi setelah "dicuci" di sungai hayat, tubuh mereka laksana buih yang tumbuh; segar, berwarna kuning (warna kulit yang indah), dan berlipat-lipat bagusnya. Dikatakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, bahwa hadits ini ditempatkan di kitabul iman sebagai hujjah yang membantah keyakinan golongan murji'ah yang berpendapat bahwa iman tidak bisa bertambah dan berkurang. Padahal di dalam hadits ini dijelaskan bahwa ada orang yang imannya sangat kecil, mereka masuk neraka terlebih dahulu. Hadits ini juga membantah keyakinan golongan mu'tazilah yang menyatakan bahwa orang yang berbuat maksiat akan kekal di neraka. Pelajaran Hadits Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut: 1. Keimanan manusia bertingkat-tingkat, ada yang sempurna, ada yang besar, dan ada pula yang kecil, bahkan sangat kecil; 2. Orang yang beriman namun bermaksiat dan belum mendapat ampunan dari Allah SWT, maka ia akan dimasukkan ke neraka terlebih dahulu; 3. Orang yang memiliki iman, meskipun sangat kecil, tidak akan kekal di neraka. Ia akan dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke surga; 4. Di akhirat ada sungai hayat (sungai kehidupan) yang fungsinya mencuci orang yang dikeluarkan dari neraka, mengubah mereka dari kondisi yang semula hitam legam tubuhnya menjadi segar, kekuning-kuningan seperti benih yang baru tumbuh; 5. Siksa di akhirat sangat pedih dan keras hingga menjadikan tubuh berwarna hitam seperi arang, meskipun kulitnya selalu diganti begitu hancur karena api neraka itu; 6. Diperbolehkan menggunakan analogi untuk memudahkan tersampainya ilmu dan menjadikan orang lain lebih memahami maksudnya; 7. Jika seseorang ragu-ragu antara dua hal yang diingatnya (mana yang benar), hendaklah ia menyebutkan keduanya seperti yang dilakukan Imam Malik dalam meriwayatkan hadits ini; 8. Iman adalah kunci masuk surga. Orang yang beriman terbagi menjadi dua golongan dalam memasuki surga. Pertama, langsung masuk surga tanpa masuk neraka. Kedua, masuk neraka terlebih dahulu baru kemudian masuk surga. Sedangkan orang yang tidak beriman, mereka akan kekal di neraka. Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-22: Iman Kunci Masuk Surga. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita istiqamah dalam iman dan amal shalih, dan kita berdoa kepada Allah semoga termasuk orang mukmin yang dimasukkan surga tanpa mampir ke neraka terlebih dahulu. Allaahumma aamiin. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 21

حدثنا سليمان بن حرب قال حدثنا شعبة عن قتادة عن أنس رضى الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان من كان الله ورسوله أحب إليه مما سواهما ومن أحب عبدا لا يحبه إلا لله ومن يكره أن يعود في الكفر بعد إذ أنقذه الله كما يكره أن يلقى في النار
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
 Hadits 21: Benci Kekafiran

Alhamdulillah, posting hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya bisa hadir kembali pada pekan ini, biidznillah. Posting 17 Rabiul Akhir 1432 H yang bertepatan dengan 22 Maret 2011 ini memasuki pembahasan hadits ke-21. Hadits yang akan kita bahas ini masih termasuk dalam kitab Al-Iman, kitab kedua dalam Shahih Bukhari. Bagi pembaca yang mengikuti rubrik hadits ini secara rutin, insya Allah tidak akan asing dengan hadits berikut ini, karena ia memiliki matan (redaksi) yang sama dengan salah satu hadits sebelumnya. Imam Bukhari memberikan judul bab untuk hadits ke-21 ini " باب مَنْ كَرِهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِى النَّارِ مِنَ الإِيمَانِ". Mengambil makna dari sana, kita singkat judul pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-21 ini menjadi: "Benci Kekafiran". Berikut ini matan lengkap hadits Shahih Bukhari ke-21: عَنْ أَنَسٍ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَمَنْ أَحَبَّ عَبْدًا لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَمَنْ يَكْرَهُ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِى النَّارِ Dari Anas r.a., dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda: "Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka." Penjelasan dan Pelajaran Hadits Jika kita perhatikan, tampaklah bahwa matan (redaksi) hadits di atas sangat mirip dengan hadits ke-16: manisnya iman. Imam Bukhari memang seringkali membawakan hadits yang matan (redaksinya) mirip atau bahkan sama di dua atau lebih tempat (bab, bahkan kitab) yang berbeda. Karenanya kemudian ada ulama seperti Imam Adz-Dzahabi atau Syaikh Al-Albani yang membuat mukhtashar (ringkasan) Shahih Bukhari. Mukhtashar-mukhtashar itu biasanya hanya menyertakan satu hadits sekali saja. Tanpa mengulangnya. Namun demikian, Imam Bukhari memiliki maksud tersendiri ketika menempatkan hadits dengan matan serupa di tempat yang berbeda. Pertama, karena hadits tersebut mengandung pelajaran yang tidak cukup hanya dipaparkan pada satu bab saja. Kenyataannya, memang banyak hadits Nabi yang memuat sejumlah kandungan berbeda. Ia berbicara tentang aqidah, sekaligus juga menerangkan tentang ibadah dan akhlak, misalnya. Kedua, Imam Bukhari berkeinginan agar umat Islam yang mempelajari kitab shahihnya mendapatkan penekanan kembali mengenai hal yang sangat penting, yang dirasa kemanfaatannya sangat banyak jika hadits dengan matan yang mirip itu ditampilkan. Kemungkinan hal kedua ini yang menjadi alasan hadits ke-21 yang mirip dengan hadits ke-16 ini sama-sama dimuat dalam Kitabul Iman. Karenanya Imam Bukhari memberikan judul yang berbeda. Ketiga, Sesungguhnya Imam Bukhari tidak pernah mengulang hadits dengan matan dan sanad yang sama persis. Kalaupun matannya sama, sanadnya pasti berbeda. Demikian pula dengan hadits ini. Meskipun hadits ke-21 dan hadits ke-16 diriwayatkan dari Anas r.a namun perawi sesudahnya (sampai bersambung ke Imam Bukhari) berbeda. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, hadits ke-21 ini diriwayatkan oleh para perawi yang semuanya adalah orang-orang Bashrah. Karena matan hadits ke-21 ini tidak jauh berbeda dengan hadits ke-16: manisnya iman, maka pembaca bisa membaca hadits ke-16: manisnya iman, untuk melihat penjelasan dan pelajaran hadits. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 20

ثنا محمد بن سلام قال أخبرنا عبدة عن هشام عن أبيه عن عائشة قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أمرهم أمرهم من الأعمال بما يطيقون قالوا إنا لسنا كهيئتك يا رسول الله إن الله قد غفر لك ما تقدم من ذنبك وما تأخر فيغضب حتى يعرف الغضب في وجهه ثم يقول إن أتقاكم وأعلمكم بالله أنا

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

 Hadits 20: Beramal Sesuai Sunnah, Tidak Memberatkan Diri Agar Bisa Istiqamah


Judul pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-20 ini agak panjang. Hadits yang kita bahas ini masih berada dalam kitab iman (كتاب الإيمان) dalam Shahih Bukhari.

Imam Bukhari memberi judul hadits ini bab قَوْلِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِاللَّهِ "sabda Nabi SAW: aku paling mengetahui Allah diantara kalian". Hadits ini berisikan dialog Rasulullah bersama sahabatnya sebagaimana didengar oleh Aisyah. Karena isinya bermuatan tuntunan Rasulullah kepada para sahabat agar menjalankan hal-hal yang sanggup dikerjakan dan tidak memberatkan diri, maka kita jadikan judul hadits ke-20 ini "Beramal Sesuai Sunnah, Tidak Memberatkan Diri Agar Bisa Istiqamah" dengan harapan begitu membaca judul ini pembaca langsung mengerti arah hadits ke-20 Shahih Bukhari ini.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-20:


عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا أَمَرَهُمْ أَمَرَهُمْ مِنَ الأَعْمَالِ بِمَا يُطِيقُونَ قَالُوا إِنَّا لَسْنَا كَهَيْئَتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ . فَيَغْضَبُ حَتَّى يُعْرَفَ الْغَضَبُ فِى وَجْهِهِ ثُمَّ يَقُولُ إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللَّهِ أَنَا

Dari Aisyah r.a. bahwa ia berkata, apabila Rasulullah SAW menyuruh para sahabatnya, maka beliau menyuruhnya untuk mengerjakan amalan-amalan yang sanggup mereka kerjakan. Akan tetapi kemudian mereka berkata, "Ya Rasulullah, kami ini tidak sepertimu. Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang." Maka, mendengar ucapan mereka itu, Rasulullah SAW marah hingga terlihat tanda kemarahan di wajahnya. Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang paling bertaqwa dan yang mengetahui tentang Allah diantara kamu sekalian adalah aku."

Penjelasan Hadits

إِذَا أَمَرَهُمْ أَمَرَهُمْ مِنَ الأَعْمَالِ بِمَا يُطِيقُونَ
Apabila Rasulullah SAW menyuruh para sahabatnya, maka beliau menyuruhnya untuk mengerjakan amalan-amalan yang sanggup mereka kerjakan

Inilah kebiasaan Rasulullah SAW dalam memerintah para sahabat untuk beramal. Dan inilah tuntunan Islam. Bahwa seorang muslim tidak dianjurkan memperberat diri dalam beribadah.

Ketika Islam memberikan tugas dan kewajiban kepada umatnya, maka beban itu telah diukur agar sesuai dengan kemampuan mereka. Itulah yang dilakukan Rasulullah SAW. Beliau memerintahkan sesuatu yang mudah, bukan sesuatu yang sulit dan berat. Agar para sahabat dan umatnya sanggup menjalankannya secara terus menerus (istiqamah). Dalam hadits lain dijelaskan bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang terus menerus.

وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دَامَ وَإِنْ قَلَّ

Dan sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus meskipun sedikit. (Muttafaq 'alaih)

Karena itu kita dapati hadits lain yang membatasi amal sunnah agar tidak memberatkan umat Islam. Misalnya tilawah Al-Qur'am maksimal khatam satu kali dalam tiga hari. Tidak boleh lebih cepat dari itu. Puasa sunnah dibatasi yang paling tinggi adalah puasa daud, satu hari puasa satu hari tidak. Tidak boleh berpuasa terus menerus. Demikian pula untuk shalat malam disunnahkan agar tetap memiliki waktu istirahat, tidak shalat terus-menerus sepanjang malam.

قَالُوا إِنَّا لَسْنَا كَهَيْئَتِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ
Akan tetapi kemudian mereka berkata, "Ya Rasulullah, kami ini tidak sepertimu. Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang."

Dengan ungkapan ini para sahabat menyampaikan keberatannya. Para sahabat meminta amal yang berat karena mereka yakin semakin berat amal makin tinggi derajat mereka di sisi Allah dan mereka mendapatkan ampunan atas dosa-dosa mereka.

Inilah mereka para sahabat yang begitu antusias dalam menyambut seruan Islam. Inilah mereka para sahabat yang sangat bersemangat dalam menyongsong amal. Maka mereka mengungkapkan alasan yang membuat mereka merasa berhak mendapatkan kewajiban yang lebih berat. Argumen yang membuat merasa merasa tidak cukup dengan amal-amal yang diperintahkan Rasulullah dan menyediakan diri jika ada pilihan amal yang lebih berat. Bahwa amal itu cukup untuk diri Rasulullah sebab Allah telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Sementara mereka? Mereka merasa tidak ada jaminan ampunan sehingga mereka harus beramal keras dan berat agar mendapatkan ampunan itu.

فَيَغْضَبُ حَتَّى يُعْرَفَ الْغَضَبُ فِى وَجْهِهِ ثُمَّ يَقُولُ إِنَّ أَتْقَاكُمْ وَأَعْلَمَكُمْ بِاللَّهِ أَنَا
Maka, mendengar ucapan mereka itu, Rasulullah SAW marah hingga terlihat tanda kemarahan di wajahnya. Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang paling bertaqwa dan yang mengetahui tentang Allah diantara kamu sekalian adalah aku."

Rasulullah marah dengan jawaban para sahabat. Bukan karena argumennya bahwa amal ibadah bisa mendatangkan ampunan dari Allah, tetapi karena Rasulullah mengkhawatirkan jika mereka justru tidak mampu istiqamah dan terus menerus beramal seandainya amal yang diperintahkan itu lebih berat. Juga agar umat Islam sepanjang generasi mencukupkan diri dengan sunnah.

Apa yang dilakukan Rasulullah dengan amal-amal –yang kelihatannya ringan menurut sahabat saat itu- sekaligus diperintahkan hal yang sama bagi sahabatnya bukan karena Rasulullah telah diampuni hingga boleh beringan-ringan dalam beramal. Namun itu justru karena Rasulullah adalah orang yang paling bertaqwa; seharusnya itu pula yang dilakukan oleh orang lain, yang ketaqwaannya masih berada di bawah Rasulullah SAW. Demikian pula, Rasulullah SAW adalah orang yang paling makrifat (mengetahui) Allah SWT dan beliau paling tahu bahwa Allah mencintai amal seperti itu; meksipun ringan atau sedikit namun dilakukan terus menerus dan sesuai sunnah.

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Amal shalih bisa mendatangkan ampunan Allah, menghapus dosa orang yang melakukan, dan meningkatkan derajat;
2. Dianjurkan untuk melakukan hukum azimah (hukum asal) ataupun rukhshah (keringanan) sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan syariat. Melakukan sesuatu yang lebih ringan tapi sesuai syariat adalah lebih baik daripada melakukan sesuatu yang lebih berat tapi bertentangan dengan syariat;
3. Ibadah yang paling utama adalah yang dilakukan terus-menerus;
4. Hadits ini menunjukkan betapa besar semangat para sahabat dalam beribadah dan menambah kebaikan;
5. Diperbolehkan marah jika melihat sesuatu yang bertentangan dengan syariat, sekaligus dianjurkan untuk mengingatkan (nahi munkar);
6. Boleh menyampaikan kebaikan atau kelebihan diri sesuai kebutuhan dan bisa mendatangkan manfaat dengan syarat tidak berniat membesar-besarkan;
7. Rasulullah adalah orang yang mencapai tingkat kesempurnaan karena telah menghimpun dua hal sekaligus yaitu ketaqwaan (amal tertinggi) dan makrifat (ilmu).

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-20. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita senantiasa bersemangat beramal sesuai sunnah, tanpa memberatkan diri dan bisa menjalankannya dengan istiqamah. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 19

حدثنا عبد الله بن مسلمة عن مالك عن عبد الرحمن بن عبد الله بن عبد الرحمن بن أبي صعصعة عن أبيه عن أبي سعيد الخدري أنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم يوشك أن يكون خير مال المسلم غنم يتبع بها شعف الجبال ومواقع القطر يفر بدينه من الفتن
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>.

 Hadits 19: Menghindari Fitnah, Menyelamatkan Agama


Alhamdulillah, kini kita memasuki pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-19. Hadits ini masih berada dalam kitab iman (كتاب الإيمان).

Imam Bukhari memberikan judul bab hadits ini مِنَ الدِّينِ الْفِرَارُ مِنَ الْفِتَنِ "menghindar dari fitnah merupakan bagian dari agama". Imam Nawawi menjelaskan bahwa judul ini bisa menimbulkan kritikan. Namun ia berpendapat bahwa Imam Bukhari benar, sebab yang dimaksudkannya adalah menjaga agama. Bahwa menghindar dari fitnah merupakan upaya untuk menjaga agama, maka Imam Bukhari menyebutnya dengan agama.

Untuk memudahkan pembaca dan lebih mengarahkan ke muatan dan kandungan hadits, pembahasan hadits ke-19 Shahih Bukhari ini diberi judul "Menghindari Fitnah, Menyelamatkan Agama"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-19:


عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ ، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ

Dari Abu Sa’id Al Khudri r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Akan datang suatu masa, sebaik-baik harta orang muslim adalah kambing (biri-biri). Digembalakan di puncak-puncak bukit dan di tempat-tempat air hujan berkumpul (lembah-lembah). Dia menghindarkan agamanya dari bencana.”

Penjelasan Hadits

يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ
Akan datang suatu masa, sebaik-baik harta orang muslim adalah kambing (biri-biri). Digembalakan di puncak-puncak bukit dan di tempat-tempat air hujan berkumpul (lembah-lembah).

ُوشِكُ artinya (akan datang) dalam waktu dekat.
شَعَفَ artinya puncak bukit atau puncak gunung.
مَوَاقِعَ الْقَطْرِ artinya tempat-tempat air hujan berkumpul, yaitu dasar lembah

Tidak ada ketentuan pasti mengenai berapa persis lamanya waktu dekat dalam hadits-hadits Rasulullah SAW. Bahkan dalam salah satu haditsnya Rasulullah pernah bersabda bahwa beliau di utus di waktu yang dekat dengan hari kiamat.

Bisa jadi yang dimaksud dekat di sini adalah masa kekhilafahan paska khulafaur rasyidin. Di mana pada periode tertentu masa kekhilafahan Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah terdapat kezaliman dari penguasa. Atau bisa jadi masa itu adalah masa modern. Atau bahkan masa itu belum datang.

يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ
ia menghindarkan agamanya dari bencana

يَفِرُّ بِدِينِهِ artinya menghindarkan agamanya.
Jadi penggembalaan yang dilakukan muslim pada hadits di atas adalah dalam rangka uzlah; mengasingkan diri. Upaya itu ditempuh dengan tujuan menghindarkan agamanya, menyelamatkan imannya, mengamankan keyakinannya. Dari fitnah.

Apa yang dimaksud dengan الْفِتَنِ (fitnah) dalam hadits ini? الْفِتَنِ merupakan bentuk jamak dari fitnah. Kata فتنة (fitnah) sendiri di dalam Al-Qur'an disebutkan sebanyak 28 kali. 22 kali kata fitnah disebutkan dalam bentuk nakirah (فتنة). Dan 6 kali disebutkan dalam bentuk makrifat (الفتنة). Ia memiliki banyak arti.

Diantara arti fitnah adalah ujian bagi iman seseorang. Apakah ia kuat mempertahankan keimanan dengan adanya ujian tersebut, atau justru imannya goyah dan tumbang. Pengertian ini misalnya kita dapati pada QS. Al-Baqarah : 102 dan QS. Al-Anfal : 28.

Arti fitnah yang lain adalah kekacauan yang dibuat oleh orang-orang kafir, kezaliman yang mereka usung di muka bumi, dan segenap upaya mereka menghalang-halangi manusia dari agama Allah. Pengertian ini misalnya terdapat dalam firman-Nya:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah : 193)

Atau dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ

Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. Al-Anfal : 73)

Fitnah juga bisa berarti bencana, adzab, dan sejenisnya yang ditimpakan Allah kepada orang-orang kafir maupun para ahli maksiat. Misalnya dalam firman-Nya:

وَحَسِبُوا أَلَّا تَكُونَ فِتْنَةٌ فَعَمُوا وَصَمُّوا ثُمَّ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ عَمُوا وَصَمُّوا كَثِيرٌ مِنْهُمْ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ

Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencanapun (terhadap mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), maka (karena itu) mereka menjadi buta dan pekak, kemudian Allah menerima taubat mereka, kemudian kebanyakan dari mereka buta dan tuli (lagi). Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Maidah : 71)

Atau dalam firman-Nya:

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Anfal : 25)

Fitnah dalam hadits ini lebih cenderung mengacu pada irisan pengertian pertama dan kedua. Maksudnya adalah, ujian keimanan bagi seorang mukmin yang timbul dari lingkungan yang tidak islami atau penguasa zalim. Ia memiliki irisan dengan pengertian kedua, tetapi tidak selalu yang menimbulkan fitnah itu adalah orang kafir. Bahkan ketika yang menyulut fitnah adalah orang kafir, orang mukmin diwajibkan berjihad untuk menghilangkan fitnah tersebut. Pada titik ini, ketika seorang mukmin berdiam diri di wilayah tersebut ia tidak mampu melakukan perubahan, bahkan dikhawatirkan ia terbawa dalam kemaksiatan atau kekufuran. Sementara untuk melawan ia tidak memiliki kekuatan. Dengan demikian, jalan yang tetap pada kondisi demikian adalah uzlah untuk menghindari fitnah dan menyelamatkan agamanya.

Atau kondisi lain di mana kaum muslimin berada dalam perpecahan dan permusuhan antara dua pihak yang sama-sama kuat. Misalnya mereka sama-sama mengklaim sebagai pemerintah Islam yang sah dan karenanya terjadi peperangan besar antar kaum muslimin yang hanya menjadikan kaum muslimin berguguran dalam perang saudara. Dalam kondisi demikian, beruzlah untuk menghindarkan diri dari perang saudara –jika keduanya tidak jelas mana yang berada di pihak yang benar- dan menyelamatkan agama lebih utama. Wallaahu a'lam bish shawab.

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Bolehnya beruzlah jika ada sebab tertentu dan membawa kemaslahatan;
2. Akan datang suatu masa di mana fitnah meraja lela, pada saat itu seorang mukmin dianjurkan untuk beruzlah dalam rangka menghindari fitnah dan menyelamatkan agamanya;
3. Seorang mukmin harus selalu berorientasi akhirat. Pertimbangan utama dalam berbuat sesuatu adalah agama/imannya. Apakah sesuatu itu membawa manfaat dan kebaikan bagi agamanya atau justru menggerus imannya.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-19. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita memiliki kekuatan iman dan menjadikannya sebagai orientasi kita. Dan semoga Allah SWT menyelamatkan kita dari fitnah yang berakibat buruk bagi agama kita. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 18

حدثنا أبو اليمان قال أخبرنا شعيب عن الزهري قال أخبرني أبو إدريس عائذ الله بن عبد الله أن عبادة بن الصامت رضى الله تعالى عنه وكان شهد بدرا وهو أحد النقباء ليلة العقبة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال وحوله عصابة من أصحابه بايعوني على أن لا تشركوا بالله شيئا ولا تسرقوا ولا تزنوا ولا تقتلوا أولادكم ولا تأتوا ببهتان تفترونه بين أيديكم وأرجلكم ولا تعصوا في معروف فمن وفي منكم فأجره على الله ومن أصاب من ذلك شيئا فعوقب في الدنيا فهو كفارة له ومن أصاب من ذلك شيئا ثم ستره الله فهو إلى الله إن شاء عفا عنه وإن شاء عاقبه فبايعناه على ذلك
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

 Hadits 18: Klausul Baiat Aqabah I


Alhamdulillah, kini kita memasuki pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-18. Hadits ini masih berada dalam kitab iman (كتاب الإيمان).

Matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-18 ini menjelaskan tentang klausul baiat (janji) Aqabah yang diperintahkan Rasulullah kepada sahabat-sahabat Anshar generasi awal yang hadir pada saat itu untuk diamalkan. Imam Bukhari tidak memberikan judul untuk hadits ini dalam Shahih-nya kecuali menuliskan "bab" yang menurut sebagian ulama itu dimaksudkan karena pembahasannya masih dalam domain bab sebelumnya. Namun, untuk memudahkan pembahasan kita berikan judul bab "Klausul Baiat Aqabah I" untuk hadits ke-18 ini.

Berikut ini matan hadits Shahih Bukhari ke-18:


أَنَّ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ - رضى الله عنه - وَكَانَ شَهِدَ بَدْرًا ، وَهُوَ أَحَدُ النُّقَبَاءِ لَيْلَةَ الْعَقَبَةِ - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ « بَايِعُونِى عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا ، وَلاَ تَسْرِقُوا ، وَلاَ تَزْنُوا ، وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ ، وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ ، وَلاَ تَعْصُوا فِى مَعْرُوفٍ ، فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِى الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ ، وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ » . فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِكَ

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallaahu anhu, salah seorang yang mengikuti perang Badar dan salah seorang utusan dalam pertemuan Aqabah, bahwa Rasulullah SAW sedang dikelilingi oleh para sahabatnya dan beliau bersabda, "Berbaiatlah (berjanji) kalian semua kepadaku untuk: (1) Tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun, (2) Tidak mencuri, (3) Tidak berzina, (4) Tidak membunuh anak-anakmu, (5) Tidak membuat fitnah di antara kalian, (6) Tidak durhaka terhadap perintah kebaikan. Barangsiapa yang menepati perjanjian itu maka ia akan diberi pahala oleh Allah dan barangsiapa yang melanggar salah satu dari perjanjian itu, maka ia akan dihukum di dunia ini. Hukuman itu menjadai kafarah (tebusan) baginya, dan barangsiapa yang melanggar salah satunya kemudian ditutup oleh Allah, maka perkaranya terserah kepada Allah. Jika Dia berkehendak untuk mengampuninya, maka akan diampuni dan jika Dia berkehendak untuk menghukumnya, maka Dia akan menghukumnya." Maka kami pun berbaiat kepada Rasulullah atas yang demikian itu.

Penjelasan Hadits

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -
Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan bahwa dalam kalimat ini ada kata yang dihilangkan (diringkas) namun maknanya bisa dipahami sebagaimana tata bahasa Arab yang sudah dimaklumi. Yaitu kata قال sebelum kalimat di atas. Maksudnya Ubadah bin Shamit berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda hadits ini.

Ubadah bin Shamit adalah salah seorang sahabat Nabi yang berasal dari Anshar. Ia termasuk salah seorang tokoh sahabat dan termasuk pertama masuk Islam dari kalangan Anshar. Ikut serta dalam baiat Aqabah I dan baiat Aqabah II serta perang badar. Pada hadits ini Ubadah bin Shamit meriwayatkan hadits Rasulullah ketika beliau mengambil janji (membaiat) para sahabat Ansar yang berjumlah 12 orang di Aqabah. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai baiat Aqabah I.

وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ
Dan di sisinya ada sekumpulan sahabatnya

Kata عِصَابَةٌ berarti kelompok yang berjumlah antara 10 sampai 40 orang. Dan seperti keterangan di atas, sahabat Anshar yang turut serta dalam baiat Aqabah I saat itu berjumlah 12 orang.

بَايِعُونِى عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا
Berbaiatlah (berjanjilah) kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun

Penggunaan istilah مبابعة, dalam hadits di atas berbentuk fi'il amar بَايِعُونِى dari kata البيع (jual beli) yang berarti perjanjian adalah termasuk bentuk majaz yaitu diqiyaskan dengan transaksi jual beli. Jual beli antara Allah SWT dengan para hamba-Nya.

Inti dari aqidah Islam adalah tauhid, tidak menyekutukan Allah SWT. Karenanya ia menjadi klausul awal dalam baiat aqabah ini, sebelum perintah-perintah yang lain. Tauhid juga menjadi kunci bagi Islam dan segala amal menjadi sia-sia belaka tanpa tauhid yang benar.

Di awal dakwah Rasulullah, hal yang pertama dibangun adalah tauhid yang benar ini. Aqidah yang selamat. Salimul aqidah. Bagi sahabat Anshar, yang mereka baru pertama bertemu langsung dengan Rasulullah, tauhid ini ditegaskan kembali. Agar mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.

وَلاَ تَسْرِقُوا
Tidak mencuri

Setelah hubungan dengan Allah SWT. Klausul baiat Aqabah kedua ini terkait dengan hak Adam dalam hal bagaimana mendapatkan harta dengan cara yang baik. Dalam hubungan dengan Allah kita dilarang berbuat zalim dengan syirik, dalam hubungan dengan manusia pun kita dilarang berbuat zalim. Maka Allah mengharamkan mencuri. Rasulullah melarang mencuri.

وَلاَ تَزْنُوا
Tidak berzina

Ini klausul baiat aqabah yang ketiga. Larangan berzina. Jika klausul pertama menjaga hak Allah, klausul kedua menjaga harta, maka klausul ketiga ini menjaga keturunan dan kehormatan.

وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ
Tidak membunuh anak-anakmu

Diantara kebiasaan orang jahiliyah di waktu itu adalah membunuh anak, diantaranya yang paling populer adalah dengan modus mengubur anak perempuan. Maka kaum muslimin diperintahkan untuk berbaiat agar tidak membunuh anak-anaknya. Ini sekaligus larangan kepada seluruh kaum muslimin agar tidak membunuh anak-anak. Urusan jiwa adalah milik Allah, manusia tidak berhak membunuhnya tanpa alasan yang benar. Demikian pula rezeki juga urusan Allah. Maka orangtua tidak boleh takut lapar dan takut miskin dengan adanya anak-anak.

وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ
Tidak membuat fitnah di antara kalian

Kata بهتان (fitnah) berarti kebohongan yang dapat menjadikan pendengarnya tersentak. Kata افتراء (bohong) digunakan secara khusus bagi tangan dan kaki.

Banyak penjelasan mengenai kalimat بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ dalam hadits ini. Sebagian ulama menjelaskan maksudnya adalah antara tangan dan kaki, yakni hati. Sebagian lain, seperti Abu Muhammad bin Abu Hamzah menjelaskan bahwa baina aidiikum berarti seketika, sedangkan arjulikum itu masa yang akan datang. Sedangkan Al Karmani menjelaskan bahwa kaki dipergunakan sebagai penguat tangan.

وَلاَ تَعْصُوا فِى مَعْرُوفٍ
Tidak durhaka terhadap perintah kebaikan

Maksudnya dari المعروف adalah kebaikan yang berasal dari Allah baik berupa perintah maupun larangan.

Imam Nawawi menyebutkan kemungkinan lain yang lebih luas: "Maksudnya adalah jangan kalian menentangku atau salah seorang pemimpin kalian dalam kebaikan."

فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
Barangsiapa yang menepati perjanjian itu maka ia akan diberi pahala oleh Allah

Ini adalah konsekeunsi logis yang dikabarkan Rasulullah kepada para sahabat bahwa jika mereka mentaati isi baiat itu, maka mereka mendapatkan pahala dari Allah SWT, yang dalam riwayat yang lain disebutkan lafal jannah. Mendapatkan surga.

، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِى الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ
barangsiapa yang melanggar salah satu dari perjanjian itu, maka ia akan dihukum di dunia ini

Ini menyangkut klausul yang kedua sampai keenam. Bukan tentang syirik. Karena hadits ini secara umum ditujukan kepada kaum muslimin.

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hudud (hukuman-hukuman dalam Islam) adalah sebagai kafarah (tebusan dosa) dengan mengambil dasar dari hadits ini. Akan tetapi sebagian lainnya bependapat hudud bukan berfungsi sebagai kafarah secara pasti. Pendapat terakhir didasarkan pada hadits lain dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Saya tidak tahu apakah hudud adalah sebagai kafarat bagi penderitanya atau tidak."

Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, pendapat yang kuat adalah pendapat pertama. Dengan taubat dan kerelaan menerima hudud, maka itu menjadi kafarah bagi dosa terkait yang dilakukan seorang mukmin. Adapun hadits Abu Hurairah itu disampaikan sebelum hadits Abu Ubadah, sehingga ia dinasakh dengan hadits ini.

وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ ، وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ
Dan barangsiapa yang melanggar salah satunya kemudian ditutup oleh Allah, maka perkaranya terserah kepada Allah. Jika Dia berkehendak untuk mengampuninya, maka akan diampuni dan jika Dia berkehendak untuk menghukumnya, maka Dia akan menghukumnya.

Ada kalanya seseorang melanggar hukum Islam tetapi tidak dikenai hudud karena pengadilan tidak tahu dan tidak ada yang melaporkannya. Maka bagi orang yang demikian, keputusannya sepenuhnya di tangan Allah. Ada kalanya diampuni, ada kalanya dihukum di akhirat nanti. Meskipun orang tersebut bertaubat kepada Allah SWT.

. فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِكَ
Maka kami pun berbaiat kepada Rasulullah atas yang demikian itu.

Inilah para sahabat. Mereka tidak perlu melakukan tawar menawar atau keberatan atas segala klausul baiat yang telah disabdakan Rasulullah SAW. Maka pada malam itu, terjadilah peristiwa yang monumental: baiat aqabah I. Kelak ia, dilanjutkan baiat Aqabah II, menjadi pondasi bagi bangunan Madinah yang siap menerima dan melindungi Rasulullah. Siap menjadi basis sosial Islam. Lalu Rasulullah dan para sahabat dari Makkah pun hijrah dan Islam memulai babak baru dalam sejarahnya. Periode Madinah.

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Adanya baiat yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah di Aqabah dengan klausul sebagaimana di atas dan kemudian dikenal dengan nama Baiat Aqabah I;
2. Dilarang syirik, mencuri, berzina, membunuh anak, membuat fitnah, dan tidak mendurhakai kebaikan;
3. Dalam Islam ada hudud (hukuman-hukuman) yang dijatuhkan kepada pelanggar hukum Islam (tertentu, seperti mencuri dan berzina). Bagi orang yang rela menjalani hudud itu -disertai taubat- ia menjadi kafarah (tebusan) atas dosa itu;
4. Ada kalanya dalam Islam, seseorang lolos dari pengadilan agama atau hudud. Jika demikian halnya, maka ia akan berhadapan dengan pengadilan Allah di akhirat nanti. Bisa jadi ia diampuni, bisa jadi ia dijatuhi hukuman;
5. Karakter para sahabat yang dengan serta merta mentaati Rasulullah termasuk dalam klausul perjanjian ini;.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-18. Semoga Allah memberikan hidayah hingga kita lebih paham dengan agama ini dan menjadi hamba-Nya yang tunduk pada aturannya serta setia pada ajaran Rasulullah, termasuk klausul baiat aqabah ini. Wallaahu a'lam bish shawab