Wednesday, June 5, 2013

Hadits 46: Mengerjakan yang Wajib itu Beruntung, Menambah dengan yang Sunnah Lebih Beruntung

Alhamdulillah, kita kembali bertemu dalam rubrik Hadits yang kini memasuki pembahasan hadits ke-46 dari Shahih Bukhari, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان). Imam Bukhari memberikan judul untuk hadits ini "Bab Zakat adalah Sebagian dari Islam" karena kewajiban yang lain (puasa dan zakat) yang disebut pada hadits ini sudah dibahas pula pada hadits-hadits sebelumnya.

Di bagian akhir matan hadits ini ada jaminan dari Rasulullah bagi orang yang mengerjakan kewajiban tanpa menguranginya sebagai orang yang beruntug, maka pembahasan hadits ke-46 ini diberi judul "Mengerjakan yang Wajib itu Beruntung, Menambah dengan yang Sunnah Lebih Beruntung"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-46:


عَنْ طَلْحَةَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ يَقُولُ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ، ثَائِرُ الرَّأْسِ ، يُسْمَعُ دَوِىُّ صَوْتِهِ ، وَلاَ يُفْقَهُ مَا يَقُولُ حَتَّى دَنَا ، فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الإِسْلاَمِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - - صلى الله عليه وسلم - خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِى الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ. فَقَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهَا قَالَ لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَصِيَامُ رَمَضَانَ. قَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهُ قَالَ لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ . قَالَ وَذَكَرَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الزَّكَاةَ . قَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهَا قَالَ لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ . قَالَ فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لاَ أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلاَ أَنْقُصُ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ
Dari Thalhah bin Ubaidillah, bahwa seorang laki-laki Najd datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan kepala penuh debu. Kami mendengar suaranya tetapi tidak mengerti apa yang ia ucapkan, hingga ia mendekat kepada Rasulullah. Kemudian dia menanyakan tentang Islam. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Shalat lima waktu dalam sehari semalam." Kemudian ia bertanya, "Apakah ada lagi selain itu?" Rasulullah pun menjawab, "Tidak. Kecuali jika engkau suka mengerjakan shalat sunnah." Kemudian Rasulullah meneruskan ucapannya, “Dan puasa Ramadhan.” Orang tersebut bertanya lagi, “Adakah selain itu?” Nabi menjawab, “Tidak, kecuali engkau mau berpuasa sunnah.” Kemudian Rasulullah menyebutkan, “Dan zakat.” Orang tersebut bertanya lagi, “Adakah selain itu?” Rasulullah pun menjawab, “Tidak, kecuali engkau suka berbuat sunnah.” Kemudian orang itu pergi sambil berkata, “Demi Allah, tidak akan kutambah dan kukurangi apa yang engkau sebutkan itu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dia pasti beruntung jika ia benar-benar menepati perkataannya.”

Penjelasan Hadits

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ ، ثَائِرُ الرَّأْسِ
seorang laki-laki Najd datang kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan kepala penuh debu

Laki-laki dari Najd tersebut, menurut Ibnu Bathal dan lainnya adalah Dhammam bin Tsa’labah, seorang utusan Bani Sa’ad bin Bakar. Mereka berpendapat berdasarkan hadits senada yang diriwayatkan Muslim. Namun, Imam Qurthubi menolak pendapat itu dengan alasan haditsnya berbeda.

Tsa’irar ra’si (dengan kepala penuh debu), artinya adalah rambutnya kusut, tidak teratur dan berdebu, menandakan dari perjalanan jauh.


يُسْمَعُ دَوِىُّ صَوْتِهِ ، وَلاَ يُفْقَهُ مَا يَقُولُ
Kami mendengar suaranya tetapi tidak mengerti apa yang ia ucapkan

Dawiyun , menurut Al Khatabi, adalah suara yan keras dan diulang-ulang, tetapi tidak dapat dipahami karena berasal dari tempat yang jauh.


حَتَّى دَنَا ، فَإِذَا هُوَ يَسْأَلُ عَنِ الإِسْلاَمِ
hingga ia mendekat kepada Rasulullah. Kemudian dia menanyakan tentang Islam

Orang tersebut bertanya tentang Islam, maksudnya adalah syariat Islam yang fi’liyah; syari’at fi’liyah (ajaran Islam yang bersifat perbuatan). Karenanya Rasulullah tidak menyebutkan syahadat. Sedangkan haji tidak disebutkan, bisa dimungkinkan dua hal. Pertama, pada saat itu haji belum disyariatkan. Kedua, hadits tersebut diringkas oleh perawi. Kemungkinan kedua dikuatkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani karena ada hadits lain yang juga dikeluarkan Imam Bukhari (bab Shiyam) menyebutkan amal-amal lainnya.


خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِى الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ. فَقَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهَا قَالَ لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ
"Shalat lima waktu dalam sehari semalam." Kemudian ia bertanya, "Apakah ada lagi selain itu?" Rasulullah pun menjawab, "Tidak. Kecuali jika engkau suka mengerjakan shalat sunnah."

Rasulullah menyebutkan kewajiban shalat lima waktu, yaitu Dzuhur, Ashar, Magrib, Isya’ dan Subuh. Namun orang tersebut ingin memastikan apakah hanya itu. Rasulullah pun kemudian memberitahukan, jika ingin shalat sunnah selain shalat fardlu tersebut, maka shalat sunnah itu menjadi tambahan pahala baginya.


وَصِيَامُ رَمَضَانَ. قَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهُ قَالَ لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ
“Dan puasa Ramadhan.” Orang tersebut bertanya lagi, “Adakah selain itu?” Nabi menjawab, “Tidak, kecuali engkau mau berpuasa sunnah.”

Rasulullah menyebutkan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan. Namun orang tersebut ingin memastikan apakah hanya itu. Rasulullah pun kemudian memberitahukan, jika ingin puasa sunnah selain puasaa Ramadhan, maka puasa sunnah itu menjadi tambahan pahala baginya.


الزَّكَاةَ . قَالَ هَلْ عَلَىَّ غَيْرُهَا قَالَ لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ
Kemudian Rasulullah menyebutkan, “Dan zakat.” Orang tersebut bertanya lagi, “Adakah selain itu?” Rasulullah pun menjawab, “Tidak, kecuali engkau suka berbuat sunnah.”

Rasulullah menyebutkan kewajiban zakat, yang tentu saja telah mencapai nishab dan haul. Namun orang tersebut ingin memastikan apakah hanya itu. Rasulullah pun kemudian memberitahukan, jika ingin berinfaq sunnah, maka infaq sunnah/sedekah itu menjadi tambahan pahala baginya.


فَأَدْبَرَ الرَّجُلُ وَهُوَ يَقُولُ وَاللَّهِ لاَ أَزِيدُ عَلَى هَذَا وَلاَ أَنْقُصُ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ
Kemudian orang itu pergi sambil berkata, “Demi Allah, tidak akan kutambah dan kukurangi apa yang engkau sebutkan itu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dia pasti beruntung jika ia benar-benar menepati perkataannya.”

Orang itupun pergi dengan bersumpah bahwa ia hanya akan mengerjakan kewajiban-kewajiban tersebut, tanpa menambah dan menguranginya.

Meskipun orang tersebut tidak mengerjakan amal-amal sunnah yang menjadi tambahan baginya, melaksanakan yang wajib tanpa menguranginya akan membuat dia beruntung. Sebaliknya, jika ia tidak menepati apa yang ia lakukan, dalam arti mengurangi kewajban-kewajiban tersebut, maka ia akan merugi. Imam Nawawi menjelaskan, jika dengan memenuhi/mengerjakan yang wajib saja seseorang akan beruntung. Maka bagi seseorang yang memenuhi kewajiba serta menjalankan yang sunnah, niscaya ia akan lebih beruntung.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Rasulullah senantiasa memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk belajar dan mempersilakan mereka untuk bertanya;
2. Diantara syariat fi’liyah yang wajib adalah shalat lima waktu, puasa Ramadhan dan zakat.
3. Ibadah wajib harus dikerjakan
4. Ibadah sunnah –seperti shalat sunnah, puasa sunnah dan sedekah- merupakan tambahan pahala bagi yang mengerjakannya
5. Orang yang telah mengerjakan hal yang wajib tanpa menguranginya adalah orang yang beruntung. Sedangkan orang yang mengerjakan hal yang wajib tanpa pengurangan, malah ditambah dengan hal yang sunnah adalah oran yang lebih beruntung lagi.

Demikian hadits ke-46 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT untuk senantiasa menjalankan yang wajib dan mengerjakan yang sunnah. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 45: Kesempurnaan Islam

Alhamdulillah, kita kembali bertemu dalam rubrik Hadits yang kini memasuki pembahasan hadits ke-45 dari Shahih Bukhari, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان). Karena di dalam hadits ke-45 ini disebutkan surat Al Maidah ayat 3 yang menjelaskan tentang kesempurnaan Islam, maka pembahasan hadits ini diberi judul "Kesempurnaan Islam"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-45:


عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّ رَجُلاً مِنَ الْيَهُودِ قَالَ لَهُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ، آيَةٌ فِى كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا . قَالَ أَىُّ آيَةٍ قَالَ ( الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا ) . قَالَ عُمَرُ قَدْ عَرَفْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِى نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ
Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang Yahudi yang berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, ada sebuah ayat dalam kitab kalian yang jika diturunkan kepada kami, maka kami akan menjadikan hari turunnya ayat itu sebagai hari raya.” Umar pun bertanya, “Ayat manakah yang kau maksud?” Orang itu menjawab, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan Kuridhai Islam sebagai agamamu.” Umar berkata, “Kami tahu hari dan tempat diturunkan ayat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu pada saat beliau berada di Arafa pada hari Jum’at.”

Penjelasan Hadits

أَنَّ رَجُلاً مِنَ الْيَهُودِ
Bahwa ada seorang laki-laki Yahudi

Menurut Imam Ath Thabari dan Imam Thabrani, seorang Yahudi pada hadits di atas adalah Ka’ab Al Ahbar. Jika hadits ini dikompromikan dengan hadits lainnya, yakni pada kitab Maghazi nantinya, pada saat itu yang menemui Umar adalah sekelompok Yahudi, lalu Ka’ab Al Ahbar menjadi wakil/juru bicaranya.

يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ، آيَةٌ فِى كِتَابِكُمْ تَقْرَءُونَهَا لَوْ عَلَيْنَا مَعْشَرَ الْيَهُودِ نَزَلَتْ لاَتَّخَذْنَا ذَلِكَ الْيَوْمَ عِيدًا
Wahai Amirul Mukminin, ada sebuah ayat dalam kitab kalian yang jika diturunkan kepada kami, maka kami akan menjadikan hari turunnya ayat itu sebagai hari raya

Maksud “akan kami jadikan” (لاَتَّخَذْنَا) adalah mengagungkan hari tersebut dan menjadikannya sebagai hari raya. Sebab hari itu agama telah disempurnakan oleh Allah.

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan Kuridhai Islam sebagai agamamu

Inilah ayat yang menjelaskan bahwa Islam telah disempurnakan Allah. Inilah ayat yang menegaskan kesempurnaan Islam. Yaitu surat Al Maidah ayat 3. Kesempurnaan Islam ini adalah nikmat yang sangat besar, sehingga orang Yahudi menyarankan menjadikan hari itu sebagai hari raya yang diperingati, diingat dan disyukuri.

Menjelaskan ayat ini, Ibnu Katsir di dalam tafsirnya mengatakan, "Ini merupakan nikmat Allah yang paling besar kepada umat ini, karena Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka; mereka tidak memerlukan lagi agama yang lain, tidak pula memerlukan nabi yang lain."

Ibnu Abbas berkata mengenai ayat ini, "Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan kepada Nabi-Nya dan orang-orang mukmin bahwa Dia telah menyempurnakan Islam untuk mereka, karena itu Islam tidak memerlukan tambahan lagi selamanya. Allah telah mencukupkannya dan tidak akan menguranginya. Dan Allah telah ridha kepadanya, maka Dia tidak akan pernah membencinya."

Sayyid Quthb di dalam tafsir Fi Zhilalil Qur'an menjelaskan bahwa dalam berinteraksi dengan ayat ini, orang-orang yang beriman harus memiliki tiga sikap:

Pertama, ia meyakini kesempurnaan Islam, bahwa Islam tidak memiliki kekurangan. Syariat Islam berlaku untuk semua manusia, di semua tempat dan segala zaman. Kesempurnaan iman adalah dengan menjalankan seluruh syariat Islam yang sempurna ini.

Kedua, ia menyadari nikmat besar berupa Islam dan iman. Nikmat besar itulah yang menjamin eksistensinya sebagai manusia. Tanpa membebaskan diri dari segala sesembahan sehingga hanya menyembah Allah serta menjadikan syariat Islam sebagai peraturan hidupnya, tanpa itu, ia sesungguhnya tidak memiliki eksistensi sebagai manusia.

Ketiga, ia ridha kepada Islam yang telah diridhai oleh Allah. Ia menyadari bahwa orang-orang yang beriman adalah orang yang telah dipilih Allah, dan dengan kesadaran itu ia berupaya istiqamah dengan segenap kemampuan dan kekuatan.

ذَلِكَ الْيَوْمَ وَالْمَكَانَ الَّذِى نَزَلَتْ فِيهِ عَلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَهُوَ قَائِمٌ بِعَرَفَةَ يَوْمَ جُمُعَةٍ
Kami tahu hari dan tempat diturunkan ayat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu pada saat beliau berada di Arafah pada hari Jum’at

Mungkin sebagian orang berpikir bahwa jawaban Umar tidak ada hubungannya dengan kata-kata Ka’ab Al Ahbar. Padahal jawaban Umar tersebut justru menyatakan bahwa umat Islam bahwa hari turunnya ayat tersebut justru bertepatan dengan dua hari raya. Bukan hanya satu. Yakni hari Jum’at dan hari Arafah.

Pada riwayat Thabrani, ada tambahan tegas: (wahumaa ‘iidaanan)“dan keduanya adalah hari raya”. Sedangkan pada riwayat Tirmidzi memakai lafadz, “Seorang Yahudi menanyakan tentang hal tersebut, maka dia berkata, ‘Ayat tersebut turun pada dua hari raya, yaitu hari Jum’at dan hari Arafah.

As-Sadi menguatkan bahwa setelah turunnya ayat tersebut tak ada lagi ayat halal dan haram sesudahnya.

Lalu apa korelasi hadits ini dengan iman yang menjadi judul kitab ini? Atau, mengapa Imam Bukhari memasukkan hadits ini ke dalam kitab iman, bahkan dalam judul bab bertambah dan berkurangya iman? Sebab, Islam yang telah sempurna, jika ia diyakini dan dijalankan seluruhnya, berarti pelakunya telah mencapai iman yang sempurna. Jika ada bagian dalam syariat Islam yang tidak dijalaninya, maka imannya juga berkurang sebanding dengan apa yang ia langgar.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Islam telah mencapai kesempurnaan, Islam adalah agama yang sempurna. Allah Ta'ala menjaminnya melalui surat Al Maidah ayat 3;
2. Ketika seluruh ajaran Islam diyakini dan diamalkan, itulah kondisi iman yang sempurna. Sedangkan jika ada hal yang tidak dijalankan, imannya berkurang sesuai dengan kadar yang ia tinggalkan;
3. Orang Yahudi un mengetahui bahwa Islam adalah agama yang sempurna;
4. Ayat tentang kesempurnaan Islam (QS. Al Maidah : 3) diturunkan Allah pada haji wada' di hari Arafah bertepatan dengan hari Jumat;
5. Hari Arafah adalah bagian dari hari raya Idul Adha, sedangkan hari Jum'at adalah hari raya pekanan bagi umat Islam.

Demikian hadits ke-45 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk senantiasa berupaya menyempurnakan iman sebagaimana kesempurnaan Islam. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 44: Mukmin Pasti Masuk Surga

Alhamdulillah, kita kembali bertemu dalam rubrik Hadits yang kini memasuki pembahasan hadits ke-44 dalam Shahih Bukhari, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Imam Bukhari memberi judul hadits ini باب زِيَادَةِ الإِيمَانِ وَنُقْصَانِهِ (Bertambah dan berkurangnya iman). Karena di dalam hadits ini disebutkan ada iman yang setingkat sya'iirah, ada yang setingkat burrah, dan ada pula yang setingkat dzarrah. Jika kemudian pembahasan hadits ke-44 ini diberi judul "Mukmin Pasti Masuk Surga" karena tingkat manapun dari ketiganya, semuanya akan dikeluarkan Allah dari neraka, yang berarti juga akan dimasukkan Allah ke dalam surga.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-44:


عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَفِى قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْرٍ ، وَيَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَفِى قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ ، وَيَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَفِى قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ
Dari Anas radhiyallaahu 'anhu bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda: "Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan dalam hatinya ada kebaikan (iman) seberat sya'irah. Dan akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan dalam hatinya ada kebaikan (iman) seberat burrah. Dan akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan dalam hatinya ada kebaikan (iman) seberat dzarrah."

Penjelasan Hadits


يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَفِى قَلْبِهِ وَزْنُ شَعِيرَةٍ مِنْ خَيْر
Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan dalam hatinya ada kebaikan (iman) seberat sya'irah.

Sungguh, hadits ini menunjukkan betapa Allah Subhanahu wa Ta'ala itu maha penyayang (Ar-Rahim). Jika Ar-Rahman berarti Allah Maha Pemurah yang memberikan rezeki dan nikmat kepada seluruh manusia dan makhlukNya, tanpa peduli apakah ia beriman atau kafir, muslim ataupun non muslim. Sedangkan Ar-Rahim berarti Allah Maha Penyayang kepada orang-orang beriman. Diantara bentuk kasih sayang Allah kepada hambaNya yang mukmin adalah dikeluarkannya mereka dari neraka, sekecil apapun iman mereka. Di sinilah berlaku ketentuan Allah bahwa mukmin itu tidak akan keka di neraka, bahwa mukmin itu pasti masuk surga.

Yang perlu diingat dan diperhatikan, kita tidak meremehkan neraka. Jangan karena ketentuan itu lalu kita mudah bermaksiat kepada Allah seraya beralasan "toh nantinya masuk surga juga", atau seperti kata sebagian orang "tidak apa masuk neraka sebentar." Sebentar? Sebentar apanya? Tahukah kita betapa lama perhitungan waktu di akhirat? Dan kalaupun sebentar, siapa yang tahan dengan siksa neraka sementara yang paling ringan saja adalah bara neraka ketika diinjak kaki maka otak pun ikut mendidih. Hadits ini memberikan rasa optimis (tafa'ul) dan harap (raja') kepada orang beriman untuk masuk surga, tanpa menghilangkan rasa takut (khauf) kepada neraka.

Dalam hadits ini digunakan kata "khair" untuk menyatakan "iman." Hal seperti ini juga menjadi dalil bahwa iman itu bukan hanya perkara keyakinan hati, tetapi juga menuntut manifestasi amal. Seperti dijelaskan dalam hadits-hadits sebelumnya bahwa puasa bagian dari iman, jihad bagian dari iman, dan sebagainya.

Disebutkannya "sya'irah" (biji gandum) di dalam hadits ini adalah untuk menunjukkan bahwa iman, meskipun ia kecil, masih dinilai Allah. Orang yang beriman, meskipun imannya tipis, ia masih memiliki kesempatan dikeluarkan Allah dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Kecil atau tipisnya iman bukan berbeda dengan hilang atau rusaknya iman.

Di dalam Fathul Bari', Ibnu Hajar Al Asqalani mengutip perkataan Ibnu Bathal : "Perbedaan tingkat keyakinan manusia disebabkan karena perbedaan tingkat keilmuan dan kebodohan seseorang. Orang yang keilmuannya rendah, maka tingkat keyakinannya sebesar dzarrah. Sedangkan orang yang tingkat keilmuannya lebih tinggi, maka tingkat keyakinannya sebesar burrah atau sya'ir. Meskipun demikian, dasar keyakinan yang terdapat dalam hati seseorang tidak boleh berkurang, bahkan harus bertambah dengan bertambahnya ilmu."

Ibnu Hajar juga menambahkan penjelasan dari Ibnu Uyainah bahwa ketaatan seseorang untuk beramal juga mempengaruhi iman. Ketika ia taat maka iman naik, ketika ia bermaksiat berarti imannya turun.

Secara sederhana, untuk menjelaskan tingkatan iman, yang pertama adalah bahwa inti iman itu harus ada terlebih dulu. Dalam istilah Ibnu Bathal itu disebut "dasar iman." Bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb yang menciptakan alam semesta dan memeliharanya, sekaligus satu-satunya Ilah yang berhak diibadahi. Dia mengutus Muhammad sebagai Rasulullah dan penutup para Nabi, dengan Al-Qur'an sebagai kitab suci. Meyakini bahwa semua isi Al-Qur'an adalah benar, adanya para malaikat adalah benar, terjadinya kiamat serta adanya hari kiamat hingga surga dan neraka adalah benar. Keyakinan-keyakinan itu sebagai dasar iman tidak boleh terkikis. Kalau sampai tidak mempercayai, maka hilanglah imannya.

Jika ia meyakini dasar-dasar iman itu, artinya ia memiliki iman. Tinggal tingkatan iman tersebut apakah tinggi apakah rendah. Besar atau kecil. Jika rendah/kecil, apakah paling kecil seperti dzarrah, atau agak besar lagi burrah, atau agak besar lagi sya'irah. Semuanya itu tergantung pada keilmuan dan komitmen amal. Saat ia yakin berzina itu dilarang, ia sesungguhnya masih beriman. Namun dalam kondisi itu ternyata ia tetap berzina karena tidak mampu menundukkan syahwatnya, imannya tidak hilang tetapi jatuh dan berkurang tajam, hingga mungkin mencapai tingkatan dzarrah. Ini salah satu contohnya.

وَيَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَفِى قَلْبِهِ وَزْنُ بُرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ
Dan akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan dalam hatinya ada kebaikan (iman) seberat burrah

Jika sya'irah adalah biji gandum, burrah adalah biji gandum yang lebih kecil lagi. Ini untuk memudahkan manusia memahami bahwa meskipun iman itu telah mengecil seperti ini, Allah tetap maha penyayang akan mengeluarkannya dari neraka.

وَيَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَفِى قَلْبِهِ وَزْنُ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ
Dan akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah dan dalam hatinya ada kebaikan (iman) seberat dzarrah

Dzarrah, dipahami para ulama sebagai benda terkecil. Dulu, dzarrah itu disebut sebagai biji sawi, namun saat ini ia bisa disebut sebagai atom atau elektron. Yang intinya, dzarrah adalah partikel terkecil yang ada di dunia. Lagi-lagi, meskipun iman sampai pada tingkat teramat sangat kecil seperti ini, Allah masih mengasihi orang beriman dengan mengeluarkannya dari neraka dan akan memasukkannya ke dalam surga. Karena itulah, sesungguhnya amat merugi orang yang tidak beriman. Sebaliknya, nikmat yang paling besar adalah nikmat iman.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Iman itu bisa bertambah dan berkurang;
2. Iman setiap orang berbeda-beda, ada yang kuat ada yang lemah, ada yang besar ada yang kecil, yang kecil pun bisa setingkat sya'irah (biji gandum), burrah (biji gandum yang lebih kecil lagi), bahkan dzarrah (partikel terkecil);
3. Iman, seberapapun kecilnya, dengan rahmat Allah ia akan menjadi penyelamat dari neraka dan menjadi kunci masuk surga;
4. Allah Maha Rahim, sangat penyayang kepada hambaNya yang beriman;
5. Hendaklah kita menjaga iman kita, mempertahankannya agar tidak lepas atau hilang sama sekali

Demikian hadits ke-44 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT untuk senantiasa menjaga iman kita dan terus berusaha meningkatkannya. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 43: Amal yang Paling Dicintai Allah

Alhamdulillah, kita kembali bertemu dalam rubrik Hadits yang kini memasuki pembahasan hadits ke-43 dalam Shahih Bukhari.

Karena hadits ini membahas tentang dilarangnya beribadah yang memaksakan diri dan perintah untuk mengerjakan amal semampunya agar bisa istiqomah, maka hadits ke-43 ini kita beri judul: Amal yang Paling Dicintai Allah.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-43:


عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا امْرَأَةٌ قَالَ مَنْ هَذِهِ . قَالَتْ فُلاَنَةُ . تَذْكُرُ مِنْ صَلاَتِهَا . قَالَ مَهْ ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ ، فَوَاللَّهِ لاَ يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا . وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
Dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa pada suatu hari ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pulang ke rumah Aisyah,beliau melihat ada seorang wanita di dekatnya. Lalu Nabi bertanya, “siapakah wanita itu?” Aisyah menjawab,”inilah si Fulanah yang terkenal banyak melakukan shalat.” Kemudian Nabi bersabda, “Jangan begitu! Tetapi kerjakanlah semampumu. Demi Allah, Dia tidak bosan untuk memberikan pahala hingga kamu sendiri yang malas beramal. Agama yang paling disukai Allah adalah yang dilakukan secara tetap dan teratur.

Penjelasan Hadits

دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا امْرَأَةٌ
beliau melihat ada seorang wanita di dekatnya.

Ibnu Hajar Al Asqalani, setelah mengetengahkan sejumlah riwayat dan pendapat mengenai hadits ini, beliau menegaskan bahwa wanita yang diceritakan dalam hadits ini semula berada di rumah Aisyah. Ketika beliau tiba di rumah Aisyah, wanita ini pulang dan sebelum meninggalkan kediaman Aisyah, ia sempat bertemu Rasulullah. Setelah ia pergi, Rasulullah pun menanyakan perihal wanita itu.


قَالَ مَنْ هَذِهِ
Lalu Nabi bertanya, “siapakah wanita itu?”

Pertanyaan Rasulullah ini menunjukkan bahwa beliau tidak mengenal wanita itu, atau kurang jelas siapa yang barusan datang menemui Aisyah. Kemungkinan kedua lebih besar karena dalam riwayat yang lain, khususnya Muslim dari Zuhri dari Urwah, wanita tersebut adalah Al Haula binti Tuwait bin Habib Asad bin Abdul Izzi, yang termasuk keluarga Khadijah radhiyallahu 'anha.


قَالَتْ فُلاَنَةُ . تَذْكُرُ مِنْ صَلاَتِهَا
Aisyah menjawab,”inilah si Fulanah yang terkenal banyak melakukan shalat.”

Aisyah menjawab dengan menyebutkan keutamaan wanita itu menurut banyak orang, yakni banyaknya shalat yang ia lakukan. Bahkan, disebutkan bahwa wanita itu shalat sepanjang malam dan tidak tidur.


قَالَ مَهْ ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ ، فَوَاللَّهِ لاَ يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا
Kemudian Nabi bersabda, “Jangan begitu! Tetapi kerjakanlah semampumu. Demi Allah, Dia tidak bosan untuk memberikan pahala hingga kamu sendiri yang malas beramal.

Kata "mah" (jangan begitu), merupakan teguran Rasulullah kepada Aisyah dengan maksud melarangnya agar tidak memuji wanita itu dan agar tidak melakukan perbuatan seperti itu.

Rasulullah memerintahkan agar Aisyah dan juga seluruh umatnya untuk mengerjakan amal sesuai kemampuan mereka, yang dapat dilakukan secara terus menerus. Tidak memaksakan diri dengan amal berat yang bisa saja dilakukannya beberapa kali tetapi setelah itu terputus dan tidak dapat diteruskan lagi.

Kata "wallaahi"(demi Allah) yang diucapkan Rasulullah menunjukkan bahwa bolehnya bersumpah tanpa diminta, bahkan ia menjadi sunnah jika dilakukan dalam rangka menegaskan dan memotivasi orang lain untuk mengerjakan perintah Allah.

Kata "malal" adalah majaz (kata kiasan) yang digunakan untuk menunjukkan bahwa Allah memutuskan pahala bagi orang yang bosan beribadah.


وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَا دَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
Agama yang paling disukai Allah adalah yang dilakukan secara tetap dan teratur.

Di sinilah kata "Din" (agama) bermakna amal, yang menunjukkan bahwa amal adalah bagian dari iman. Dan amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinyu dan istiqamah. Banyak hadits yang senada dengan hadits ini, bahwa amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang terus menerus, kontinyu, istiqamah.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Memaksakan diri dalam beribadah sunnah adalah tercela
2. Tidak boleh memuji dan meniru orang yang menyelisihi Qur'an dan hadits Nabi
3. Hendaknya mengerjakan ibadah sesuai kemampuan agar amal ibadah tersebut bisa dijalankan secara kontinyu alias terus menerus
4. Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang dikerjakan secara kontinyu serta terus menerus.

Demikian hadits ke-43 Shahih Bukhari beserta penjelasannya. Semoga kita mendapat taufiq dari Allah sehingga mampu mengerjakan amal-amal yang kontinyu alias terus menerus. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 42: Pahala Kebaikan Dilipatgandakan 10 hingga 700 Kali Lipat

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari bisa hadir lagi menyapa pembaca. Kini memasuki hadits ke-42, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Imam Bukhari tidak memberikan judul tersendiri pada hadits ini, melainkan mengikuti judul pada hadits sebelumnya yaitu باب حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ (kebaikan Islam seseorang). Untuk memudahkan pembahasan, hadits ke-42 ini kita beri judul: "Pahala Kebaikan Dilipatgandakan 10 hingga 700 Kali Lipat"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-42:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ ، فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ ، وَكُلُّ سَيِّئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِمِثْلِهَا
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Jika seseorang memperbagus keislamannya, maka setiap kebaikan yang dilakukannya dituliskan 10 hingga 700 kali lipat, sedangkan setiap kejelekannya hanya ditulis sepertinya (satu saja)"

Penjelasan Hadits

إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ
Jika seseorang memperbagus keislamannya

Hadits ini menggunakan lafadz jamak "ahadukum" karena ditujukan kepada para banyak sahabat yang saat itu mendengarkan hadits beliau, namun maknanya tetap berlaku bagi setiap pribadi. Artinya, siapapun orangnya asalkan memenuhi syarat ini maka ia akan mendapatkan pelipatgandaan amal kebaikan seperti dijelaskan dalam lanjutan hadits ini.

Makna memperbagus keislamannya adalah teguh di atas Islam yang ia ikrarkan dengan syahadat dan berkomitmen dengan ajaran-Nya.

فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ
maka setiap kebaikan yang dilakukannya dituliskan 10 hingga 700 kali lipat

Inilah kasih sayang Allah yang diberikan untuk hambaNya yang muslim. Asalkan ia beriman, asalkan ia Muslim yang berkomitmen dengan keislamannya, setiap amal kebaikannya dilipatgandakan 10 hingga 700 kali lipat.

وَكُلُّ سَيِّئَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِمِثْلِهَا
sedangkan setiap kejelekannya hanya ditulis sepertinya (satu saja)

Berbeda dengan amal kebaikan yang dilipatgandakan, amal buruk yang dikerjakannya hanya ditulis satu saja. Bahkan dalam hadits sebelumnya disebutkan "kecuali jika Allah memaafkannya." Artinya, jika amal buruk itu diamaafkan Allah, ia bahkan tidak ditulis sama sekali.

Dengan rahmat Allah inilah, sungguh pintu surga dibuka seluas-luasnya bagi muslim. Allah memberinya peluang besar agar catatan amal kebaikannya bertumpuk-tumpuk, sementara catatan amal kejelekannya hanya sedikit, bahkan tertutupi oleh amal kebaikannya.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Seorang muslim hendaklah memperbagus keislamannya, yakni dengan tetap teguh di atas Islamnya dan berkomitmen dengan ajaranNya;
2. Bagi muslim yang demikian, Allah melipatgandakan catatan amal kebaikannya menjadi 10 hingga 700 kali lipat;
3. Amal kejelekan seorang muslim hanya dicatat seperti apa yang ia lakukan, tanpa dilipatgandakan;
4. Hadits ini menunjukkan betapa besarnya kasih sayang Allah kepada orang-orang yang beriman.

Demikian hadits ke-42 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT untuk senantiasa memperbaiki keislaman kita, memperbanyak amal kebaikan dan menjauhi amal kejelekan. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 41: Kasih Sayang Allah kepada Hamba-Nya yang Muslim

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-41. Hadits ke-41 ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Imam Bukhari memberi judul باب حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ (kebaikan Islam seseorang) untuk hadits ini dan hadits berikutnya. Sekedar memudahkan pembaca dan agar lebih fokus, pembahasan hadits ke-41 ini kita beri judul: "Kasih Sayang Allah kepada Hamba-Nya yang Muslim"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-41:


عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ يُكَفِّرُ اللَّهُ عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلَفَهَا ، وَكَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصُ ، الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ ، وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلاَّ أَنْ يَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهَا
Dari Abu Sa'id Al Khudri r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila seseorang masuk Islam kemudian Islamnya menjadi baik, maka Allah akan menghapus segala kejahatan yang telah dilakukannya. Setelah itu, ia akan diberi balasan yaitu setiap kebaikannya akan dibalas Allah sepuluh hingga tujuh ratus kali. Sedangkan kejahatannya dibalas setimpal dengan kejahatannya itu, kecuali jika Allah memaafkannya "

Penjelasan Hadits

إِذَا أَسْلَمَ الْعَبْدُ فَحَسُنَ إِسْلاَمُهُ
Apabila seseorang masuk Islam kemudian Islamnya menjadi baik

Yakni seorang musyrik atau non Muslim masuk Islam dan keislamannya bukan sebatas identitas atau ”Islam KTP”, melainkan ia bersungguh-sungguh berislam, jujur dalam memeluk Islam, dan memenuhi ajaran Islam. Baik lahir maupun batin ia berislam. Hatinya benar-benar beriman, dan dibuktikan dengan ketundukan dirinya dalam menjalankan ibadah.

Di sinilah hubungan hadits ini dengan iman yang menjadi judul kitab ini: kitabul iman. Bahwa Islam yang baik itu adalah iman (keyakinan di hati, pengakuan di lisan, dan pembuktian dengan amal). Dan bahwa iman itu tidak dianggap kecuali jika dibuktikan dengan amal.


يُكَفِّرُ اللَّهُ عَنْهُ كُلَّ سَيِّئَةٍ كَانَ زَلَفَهَا
maka Allah akan menghapus segala kejahatan yang telah dilakukannya.

Inilah keutamaan masuk Islam. Inilah ”imbalan” bagi seorang musyrik atau kafir yang masuk Islam. Segala dosanya semasa dihapuskan dengan syahadat yang ia ikrarkan. Dosa apapun. Bahkan, dosa membunuh seorang mujahid yang dilakukan sewaktu masih kafir pun akan diampuni oleh Allah jika ia masuk Islam dan bersungguh-sungguh dengan keislamannya.

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah menjelaskan contoh itu.

يَضْحَكُ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى إِلَى رَجُلَيْنِ يَقْتُلُ أَحَدُهُمَا الآخَرَ يَدْخُلاَنِ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُ هَذَا فِي سَبِيْلِ اللهِ فَيَقْتُلُ ثُمَّ يَتُوْبُ اللهُ عَلَى الْقَاتِلِ فَيَسْلَمَ فَيَسْتَشْهِدُ
“Allah SWT tertawa melihat dua orang yang ingin saling membunuh, tetapi keduanya masuk surga.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana itu bisa terjadi?”

(Rasulullah menjawab), “Orang yang pertama berperang di jalan Allah, lalu ia terbunuh sebagai syahid. Kemudian, si pembunuh bertaubat dan masuk Islam. Ia berperang di jalan Allah hingga mati sebagai syahid.” (Muttafaq ‘alaih)

Jika perlu mencontohkan dua orang yang saling membunuh kemudian keduanya masuk surga seperti hadits tersebut, barangkali Hamzah bin Abdul Muthalib dan Wahsyi bisa disebut di sini. Pada perang uhud, Hamzah dibunuh oleh Wahsyi dengan tombaknya. Setelah futuhnya Makkah, Wahsyi kemudian memeluk Islam. Ia bersungguh-sungguh dengan keislamannya, dipenuhi penyesalan yang dalam karena telah membunuh orang terbaik, Hamzah. Ia bahkan tak pernah berani memandang wajah Rasulullah sejak masuk Islam hingga beliau wafat karena penyesalannya telah membunuh paman Nabi. Di masa pemerintahan khalifah Abu Bakar, Wahsyi kemudian membunuh orang terjelek dengan tombaknya, yaitu nabi palsu Musailamah Al-Kadzab. Jadilah Wahsyi tercatat sejarah sebagai pernah membunuh orang baik dan juga membunuh orang terjelek. Singkat cerita, Wahsyi kemudian syahid pada sebuah peperangan yang diikutinya.

Demikianlah kehebatan masuk Islam. Ia seperti me-restart kehidupan seseorang, menjadikannya bersih dari dosa sebelumnya dan membuatnya suci laksana kain putih yang belum terkena noda. Maka Rasulullah memaafkan begitu saja ketika Wahsyi datang kepada beliau untuk masuk Islam, sebagaimana Allah menjadikan keislamannya sebagai penghapus atas dosanya yang telah lalu. Inilah kasih sayang Allah kepada Muslim. Keislamannya menghapuskan segala dosa sebelumnya.

وَكَانَ بَعْدَ ذَلِكَ الْقِصَاصُ
Setelah itu, ia akan diberi balasan

Setelah seseorang masuk Islam, barulah balasan atas amal diperhitungkan. Jika seseorang kafir, sebaik apapun perbuatannya ia tidak akan ditulis sebagai amal kebaikan yang mendapatkan pahala.

الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ
yaitu setiap kebaikannya akan dibalas Allah sepuluh hingga tujuh ratus kali.

Subhanallah. Inilah kasih sayang Allah yang kedua. Kebaikan seorang Muslim bukan hanya ditulis sebagai satu atau dua kebaikan, melainkan dilipatgandakan sepuluh hingga tujuh ratus kali. Siapakah yang bisa memberikan keuntungan yang demikian besar selain Allah? Tidakkah kita tergiur untuk memperbanyak "transaksi" dengan Allah.

Ustman bin Affan pernah kembali dari perjalanan bisnisnya. Menjelang sampai ke Madinah, sejumlah saudagar Yahudi telah menyambutnya. Mereka menawarkan keuntungan yang banyak kepada Ustman agar mau menjual dagangannya kepada mereka. Ada yang menawarkan keuntungan lima puluh persen. Ada yang menawarkan keuntungan seratus persen. Ada yang menawarkan keuntungan dua kali lipat dari modalnya. Namun Ustman tetap tidak mau. Ketika mereka bertanya, Utsman mengatakan bahwa telah ada yang akan memberikan keuntungan sepuluh kali lipat kepadanya.

"Siapa orang itu? Setahu kami tidak ada lagi saudagar-saudagar kaya selain kami," kata salah seorang saudagar Yahudi.
"Allah. Dia memberikan balasan sepuluh kali lipat. Karenanya seluruh unta ini beserta barang dagangan yang dipikulnya aku sedekahkan kepada fakir miskin yang ada di Madinah," jawab Ustman membuat mereka keheranan.

Seperti itulah idealnya semangat umat Islam menyambut balasan kebaikan yang berlipat ganda ini. Menyambut kasih sayang Allah yang luar biasa.

وَالسَّيِّئَةُ بِمِثْلِهَا إِلاَّ أَنْ يَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهَا
Sedangkan kejahatannya dibalas setimpal dengan kejahatannya itu, kecuali jika Allah memaafkannya

Inilah kasih sayang Allah yang ketiga. Jika kebaikan dibalas sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan dalam hadits yang lain "ilaa maasya'aLlah" hingga tak terhingga tergantung pada kehendak Allah, kejahatan hanya ditulis serupa. Tidak dilipatgandakan. Bahkan, jika Allah berkehendak, ia akan dimaafkan. Karenanya seorang Muslim dituntut untuk memperbanyak taubat, agar kesalahannya diampuni oleh Allah SWT.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Allah sangat sayang kepada hamba-Nya yang Muslim;
2. Masuk Islam atau menjadi Muslim haruslah sungguh-sungguh dan jujur, bukan sekedar Muslim secara identitas saja;
3. Orang yang masuk Islam, dosanya yang telah lalu dihapus oleh Allah dengan keislamannya tersebut;
4. Balasan kebaikan bagi seorang Muslim dilipatgandakan oleh Allah antara sepuluh hingga tujuh ratus kali;
5. Balasan kesalahan bagi seorang Muslim adalah sepadan dengan kesalahan itu, tidak dilipatgandakan, bahkan jika Allah berkehendak akan diampuni-Nya;
6. Seorang Muslim perlu menyambut kasih sayang Allah ini dengan memperbanyak kebaikan, menjauhi kejahatan dan memperbanyak taubat.

Demikian hadits ke-41 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT untuk senantiasa menjadi baik keislaman kita, memaksimalkan kebaikan, menjauhi kejahatan. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 40: Nuansa Iman dalam Sejarah Perpindahan Kiblat

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-40. Hadits ke-40 ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Karena redaksinya menjelaskan sejarah perpindahan kiblat serta memasukkan amal ke dalam iman, pembahasan hadits ke-40 ini kita beri judul: "Nuansa Iman dalam Sejarah Perpindahan Kiblat"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-40:


عَنِ الْبَرَاءِ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ أَوَّلَ مَا قَدِمَ الْمَدِينَةَ نَزَلَ عَلَى أَجْدَادِهِ - أَوْ قَالَ أَخْوَالِهِ - مِنَ الأَنْصَارِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا ، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا ، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلاَّهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ ، وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قِبَلَ مَكَّةَ ، فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ ، وَكَانَتِ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ، وَأَهْلُ الْكِتَابِ ، فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ أَنْكَرُوا ذَلِكَ . قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ فِى حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا ، فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ

Dari Barra' bahwa Rasulullah SAW pertama kali datang ke Madinah tinggal di rumah kakek atau paman-paman beliau dari kalangan Ansar. Ketika itu Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis (Al Quds atau Yerusalem) antara 16 atau 17 bulan lamanya. Sesungguhnya Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka'bah) sebagai kiblatnya. Rasulullah SAW pertama kali melaksanakan shalat dengan menghadap Ka'bah adalah shalat Asar yang dilaksanakannya secara berjamaah. Kemudian salah seorang yang selesai bermakmum kepada Nabi keluar dan pergi melewati sebuah masjid pada saat jamaahnya sedang ruku' menghadap Baitul Maqdis. Lantas orang itu berkata, "Demi Allah, baru saja saya shalat bersama Rasulullah SAW menghadap ke Baitullah di Makkah." Maka dengan segera mereka mengubah kiblat menghadap ke Baitullah. Orang Yahudi dan ahli kitab mulanya sangat bangga ketika Nabi dan para pengikutnya shalat menghadap Baitul Maqdis. Tetapi setelah umat Islam beralih ke Baitullah mereka mencela perubahan itu. Zuhair berkata, Abu Ishaq mengatakan dari Barra' dalam hadits ini, bahwa banyak orang yang telah meninggal di masa kiblat masih ke Baitul Maqdis dan banyak juga yang terbunuh setelah kiblat menghadap ke Baitullah. Kami tidak mengerti bagaimana hukumnya shalat itu. Lalu turunlah ayat, "Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu."(QS. Al Baqarah : 143)

Penjelasan Hadits
Sebutan kakek atau paman adalah bahasa kiasan (majaz) untuk menunjukkan hubungan kekerabatan Rasulullah dengan kaum Ansar. Di mana ibu dari kakek Rasulullah (Abdul Muthalib) adalah Salma binti Amru yang berasal dari Bani Adi bin Najjar, Yatsrib, yang kini menjadi kaum Ansar. Saat pertama-tama di Madinah, Rasulullah tinggal di Bani Malik bin Najjar.

وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا ، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ
Ketika itu Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis (Al Quds atau Yerusalem) antara 16 atau 17 bulan lamanya. Sesungguhnya Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka'bah) sebagai kiblatnya.

Ketika di Makkah pun sebenarnya kiblat menghadap ke Baitul Maqdis. Hanya saja di sana bisa 'disiasati' dengan mengambil tempat shalat di antara dua sudut Ka'bah sehingga Ka'bah berada di antara diri beliau dan Baitul Maqdis. Dengan demikian beliau shalat sekaligus menghadap Ka'bah dan Baitul Maqdis.

Setelah hijrah ke Madinah, hal itu tidak mungkin dilakukan. Maka selama 16 atau 17 bulan beliau menghadap ke Baitul Maqdis, meski Rasulullah lebih suka menghadap Ka'bah. Tapi inilah ibadah, dan inilah contoh ketundukan Rasulullah kepada perintah Allah. Ibadah harus sesuai dengan perintah Allah, dan ibadah tak bisa dikalahkan oleh perasaan.

Munculnya angka 16 bulan atau 17 bulan ini adalah keraguan riwayat Zuhair dalam Shahih Bukhari ini. Hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dasar perhitungan. Dihitung 16 bulan jika dimulai dari bulan kedatangan Rasulullah hingga perpindahan kiblat. Sedangkan 17 bulan jika memasukkan seluruh bulan dalam rentang itu, sebab keduanya terjadi pada pertengahan bulan. Rasulullah tiba di Madinah pada 12 Rabiul Awal, sedangkan perpindahan kiblat ini terjadi pada pertengahan Rajab tahun kedua hijrah.

وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلاَّهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ ، وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قِبَلَ مَكَّةَ ، فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ
Rasulullah SAW pertama kali melaksanakan shalat dengan menghadap Ka'bah adalah shalat Asar yang dilaksanakannya secara berjamaah. Kemudian salah seorang yang selesai bermakmum kepada Nabi keluar dan pergi melewati sebuah masjid pada saat jamaahnya sedang ruku' menghadap Baitul Maqdis. Lantas orang itu berkata, "Demi Allah, baru saja saya shalat bersama Rasulullah SAW menghadap ke Baitullah di Makkah." Maka dengan segera mereka mengubah kiblat menghadap ke Baitullah.

Inilah sejarah perpindahan kiblat. Ia dimulai pada shalat Asar di hari itu, pertengahan Rajab tahun 2 H. Itulah untuk pertama kalinya di Masjid Nabawi, shalat berjamaah menghadap Ka'bah. Dan seperti turunnya perintah lain melalui wahyu, para sahabat segera menyebarkannya agar bisa diketahui dan dilaksanakan kaum muslimin dengan segera.

Seseorang yang disebutkan dalam hadits ini, yang segera mengumumkan kepada jama'ah shalat di tempat lain adalah Abbad bin Bisyr. Jama'ah shalat Asar yang ditemui Abbad dalam hadits ini adalah Bani Salamah. Dan subhaanallah, mereka pun langsung mengubah arah kiblatnya, meskipun saat itu dalam kondisi ruku'. Masjid inilah yang kini disebut dengan Masjid Qiblatain (Masjid dengan dua kiblat), karena saat itu para sahabat shalat Asar menghadap baitul maqdis kemudian mengubah arah kiblatnya menghadap ke Ka'bah.

Hadits ini juga menunjukkan bahwa sahabat Nabi itu memiliki sifat adil, sehingga hadits yang dibawanya harus dipercayai, apalagi ketika ia menguatkan ucapannya dengan sumpah. Ini yang membedakan ahlus sunnah dengan syi'ah. Ahlus sunnah meyakini semua sahabat itu adil (haditsnya bisa diterima).

Hadits ini sekaligus menunjukkan karakter sahabat yang bersegera dalam beramal. Mereka memiliki ruhul istijabah yang luar biasa. Menyambut Al-Qur'an sebagaimana prajurit menyambut instruksi komandan; dinantikan, begitu datang perintah langsung dilaksanakan. Sahabat bukan generasi yang banyak bicara. Sahabat bukan generasi yang banyak berwacana. Mereka adalah generasi beramal (qaumun 'amaliyun). Dalam terminologi Sayyid Qutb, mereka adalah generasi Qur'ani yang unik (jailul Qur'anil farid).

َكَانَتِ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ، وَأَهْلُ الْكِتَابِ ، فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ أَنْكَرُوا ذَلِكَ
Orang Yahudi dan ahli kitab mulanya sangat bangga ketika Nabi dan para pengikutnya shalat menghadap Baitul Maqdis. Tetapi setelah umat Islam beralih ke Baitullah mereka mencela perubahan itu.

Inilah kondisi ahlul kitab, terutama Yahudi. Mulanya mereka membanggakan diri karena kaum Muslimin satu kiblat dengan mereka. Mereka merasa bangga, merasa besar, merasa dicontoh. Namun begitu Allah mengubah kiblat kaum Muslimin, perasaan itu dengan serta merta berganti dongkol dan benci. Perasaan itu pun meluap ke lisan berbentuk celaan dan caci maki.

قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ فِى حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا ، فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
Zuhair berkata, Abu Ishaq mengatakan dari Barra' dalam hadits ini, bahwa banyak orang yang telah meninggal di masa kiblat masih ke Baitul Maqdis dan banyak juga yang terbunuh setelah kiblat menghadap ke Baitullah. Kami tidak mengerti bagaimana hukumnya shalat itu. Lalu turunlah ayat, "Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu."(QS. Al Baqarah : 143)

Di sinilah kandungan bab Iman dalam hadits ini. Para sahabat bertanya-tanya tentang shalat mereka yang meninggal sebelum perpindahan kiblat. Bagaimana hukumnya? Yang mereka maksud terutama adalah sepuluh Muslim yang meninggal sebelum perpindahan kiblat. Yakni Abdullah bin Syihab, Muthalib bin Azhar, Sakran bin Amru yang ketiganya dari kalangan Quraisy. Yang meninggal di Habasyah adalah Huthab bin Harits, Amru bin Umayyah, Abdullah bin Harits, Urwah bin Abdul Izzi, dan Adi bin Nadhlah. Sedangkan dari kalangan Ansar adalah Barra' bin Ma'rur dan As'ad bin Zurarah.

Menjawab pertanyaan itu, Allah SWT menurunkan firmanNya dalam QS. Al Baqarah ayat 143: وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ (Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu). Di sini Allah menggunakan kata "iman" untuk menjawab pertanyaan "shalat." Ini menjadi dalil bahwa amal (termasuk shalat) adalah bagian dari iman. Ini berbeda dengan pandangan kelompok Murji'ah yang mengingkari bahwa amal dalam agama adalah iman.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Rasulullah memiliki hubungan kekerabatan dengan kaum Ansar, yakni dari ibu kakek beliau;
2. Selama di Madinah, Rasulullah menghadap kiblat Baitul Maqdis selama 16-17 bulan lamanya, sebelum Allah memindahkan kiblat ke Baitullah Makkah;
3. Hadits ini menunjukkan keutamaan Rasulullah, di mana Allah kemudian memindahkan kiblat ke arah Ka'bah, sejalan dengan keinginan Rasulullah;
4. Para sahabat adalah generasi yang bersegera dalam beramal dan seperti itulah seharusnya kaum muslimin;
5. Para sahabat adalah orang yang adil, haditsnya diterima walaupun ia seorang diri (ahad);
6. Hadits ini menunjukkan bahwa amal adalah termasuk iman, ini sekaligus menjadi bantahan bagi kelompok murji'ah yang berpandangan sebaliknya;
7. Kaum Yahudi memiliki kebencian terhadap Islam, terutama ketika umat Islam teguh memegang agamanya.

Demikian hadits ke-40 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga bersegera dalam beramal sebagaimana karakteristik sahabat yang tercermin dalam hadits ini. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 39: Islam itu Mudah

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-39. Hadits ke-39 ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Imam Bukhari memberi judul باب الدِّينُ يُسْرٌ (Agama itu Mudah) untuk hadits ini. Senada dengan itu, pembahasan hadits ke-39 ini kita beri judul: "Islam itu Mudah"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-39:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah) dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam"

Penjelasan Hadits

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
Sesungguhnya agama itu mudah

Inilah karakter agama Islam sebagai agama yang telah diridhai Allah dan diturunkan dalam kesempurnaan kepada umat terakhir.

Ada pendapat yang mengatakan Islam dikatakan mudah karena ia berbeda dengan agama-agama sebelumnya, di mana Allah telah menghilangkan kesulitan-kesulitan yang dibebankan kepada umat terdahulu. Dicontohkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam hal taubat misalnya. Untuk diterima taubatnya, umat terdahulu ada yang diharuskan bunuh diri. Sedangkan bagi kaum muslimin cukup dengan menyesali dosanya, berjanji tidak mengulangi dan memperbanyak kebaikan.

Pada dasarnya, Islam adalah agama yang mudah karena ia diturunkan oleh Allah SWT yang Maha Tahu karakter dan kemampuan manusia. Manusia adalah ciptaan Allah dan Dialah yang paling tahu apa yang tepat serta mudah bagi ciptaan-Nya itu. Dia tidak memberikan beban atau kewajiban yang tidak sanggup ditanggung oleh hamba-Nya.

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al-Baqarah : 286)

Dalam hal aqidah, aqidah Islam yang pokoknya adalah tauhid merupakan keyakinan yang sejalan dengan fitrah, menenangkan hati dan memuaskan akal. Sehingga sangat mudah bagi manusia yang mau berfikir untuk mengikuti aqidah ini, tanpa kesulitan. Tidak seperti filsafat yang rumit dan juga tidak seperti politheisme yang membingungkan.

Dalam hal ibadah, ibadah Islam adalah ibadah yang mudah. Shalatnya lima waktu dalam sehari semalam merupakan ibadah yang pertengahan. Ia tidak seperti shalat umat terdahulu yang sampai puluhan kali dalam sehari dengan jangka waktu lama. Tidak pula terlalu jarang seperti peribadatan pekanan dalam agama selain Islam. Shalat bisa dilakukan di bumi mana saja, dengan baju yang mana saja asalkan menutupi aurat dan tidak melanggar syariah, dan dengan imam siapa saja dari kaum muslimin.

Puasa juga mudah. Ia hanya terbentang dari fajar hingga matahari terbenam. Satu bulan dalam satu tahun. Tidak seberat puasa kaum terdahulu. Selain mendekatkan kepada Allah, puasa juga menyehatkan pencernaan dan melatih kepekaan sosial.

Zakat dan haji juga demikian. Kedua ibadah yang sangat memerlukan harta ini hanya diwajibkan bagi kaum muslimin yang mampu. Mampu menunaikan zakat karena memiliki harta yang telah mencapai nishab dan haul, mampu menunaikan haji karena memiliki biaya serta aman dan kondusif dalam melaksanakannya.

Taubat bisa dilakukan siapa saja dengan cara yang juga mudah. Ia tidak seperti dipraktikkan agama lainnya yang mengharuskan seseorang yang berdosa untuk mengumumkan aibnya di depan orang lain dan membayar dengan sejumlah uang. Taubat dalam Islam bisa dilakukan oleh masing-masing orang hanya kepada Allah. Taubat dalam Islam berhak didapatkan oleh siapapun tanpa membedakan ia miskin atau kaya, banyak harta atau tidak memilikinya.

Muamalah dalam Islam juga sesuatu yang mudah. Ia sejalan dengan fitrah manusia dan tidak pernah memberatkan. Mulai dari jual beli dan berbagai bentuk interaksi sesama yang bertumpu pada prinsip keadilan, kasih sayang dan saling menguntungkan. Menikah juga mudah dilakukan. Islam tidak memberatkan mahar, namun menyerahkannya kepada kesepakatan antara kedua belah pihak calon suami dan istri sehingga mudah dipenuhi.

Allah SWT berfirman :

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (QS. Al-Hajj : 78)

وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan

Siapa yang menentang Islam, ia akan kalah sendiri. Karena karakter agama Islam itu mudah, maka siapa yang menyulitkan diri sendiri ia akan kalah. Siapa yang berlebih-lebihan dalam agama ini ia akan kalah. Artinya, ia takkan mampu menjalankan agama ini dengan sempurna. Justru akan futur, jatuh dan tenggelam di tengah jalan.

Misalnya dicontohkan dalam sebuah hadits di mana ada tiga orang yang bertanya kepada Aisyah mengenai amal Rasulullah. Lalu mereka menyimpulkan bahwa mereka harus berusaha lebih karena Rasulullah telah diampuni dosanya. Maka orang pertama bertekad untuk qiyamullail sepanjang malam tanpa tidur. Orang kedua bertekad akan berpuasa setiap hari tanpa kecuali. Dan orang ketiga bertekad membujang selamanya, tanpa menikah.

Rasulullah SAW yang kemudian mengetahui perkara ini meluruskan mereka agar mengikuti sunnah Rasulullah. Bahwa qiyamullail dijalankan tetapi ada waktu untuk istirahat. Puasa tidak setiap hari, tetapi maksimalnya adalah puasa Dawud (sehari puasa sehari tidak). Dan seorang muslim hendaklah menikah, tidak membujang.

Apa yang diingatkan Rasulullah SAW itu tidak lain adalah mengikuti karakter agama ini. Bahwa Islam itu mudah. Dan seorang muslim tidak boleh berlebihan, memaksakan diri, atau memperberat yang akhirnya justru ia cepat bosan lalu berhenti, atau terhalang dari kewajiban dan keutamaan lain dari agama ini.

فَسَدِّدُوا
Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya,

Yaitu amalkanlah Islam itu sebagaimana mestinya, dengan baik dan benar, tanpa berlebihan dan tanpa menguranginya

وَقَارِبُوا
atau mendekati semestinya

Jika tidak mampu, berusahalah mendekati mestinya. Senantiasa berusaha mendekati kesempurnaan sebagaimana yang telah ditunjukkan Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur'an dan hadits

وَأَبْشِرُوا
dan bergembiralah (dengan pahala Allah)

Bergembiralah, karena dengan mengamalkan Islam sebagaimana adanya itu engkau akan mendapatkan pahala dari Rabbmu. Bergembiralah, sebab dengan menjalankan Islam yang mudah itu engkau akan mendapatkan ganjaran dan kebaikan dari Tuhanmu. Dan amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus meskipun ia sedikit. Ketidakmampuan seseorang dalam menjalankan perintah Allah tanpa kesengajaan tidaklah mengurangi pahalanya, dan sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada banyak amalan tetapi bid'ah.

وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam

Al-Ghadwah (الْغَدْوَةِ) artinya permulaan siang. Ar-Rauhah (الرَّوْحَة) artinya setelah terbenamnya matahari. Ad-Duljah (الدُّلْجَةِ) artinya akhir malam.

Maksudnya adalah, mintalah pertolongan kepada Allah SWT dengan beribadah pada waktu-waktu yang telah ditentukan, utamanya adalah permulaan siang (Dzuhur), Maghrib dan waktu-waktu qiyamullail. Mintalah pertolongan kepada Allah dalam segala hal, baik urusan dunia maupun urusan akhirat, khususnya dalam bab ini adalah agar diisitiqamahkan dalam menjalankan Islam yang mudah, yang sesuai sunnah. Tanpa berlebih-lebihan sekaligus tanpa pengurangan.

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa hadits ini memiliki korelasi yang erat dengan hadits-hadits sebelumnya. Yakni jika hadits sebelumnya menunjukkan bahwa shalat, puasa dan jihad merupakan bagian dari iman dan memiliki keutamaan besar, hadits ini mengingatkan agar dalam menjalankan ketiganya kita tetap berada dalam koridor sunnah, sesuai dengan karakter Islam yang mudah. Tidak mempersulit diri dan berlebih-lebihan.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Islam itu agama yang mudah. Ia diturunkan dengan sempurna sesuai dengan fitrah dan kemampuan manusia;
2. Seorang muslim harus menjalankan Islam sesuai karakternya yang mudah, tidak mempersulit diri atau berlebih-lebihan;
3. Orang yang berlebih-lebihan dan mempersulit diri dalam beragama cenderung akan jatuh dalam kekalahan, baik itu bosan, futur atau terjebak pada ghuluw dan bid'ah;
4. Seorang muslim harus berusaha menjalankan Islam sebagaimana ia diperintahkan, jika tidak mampu hendaklah berusaha mendekatinya;
5. Seorang muslim harus optimis dengan pahala dan kebaikan yang akan diberikan kepadanya sebagai balasan atas komitmennya terhadap Islam dan sunnah;
6. Seorang muslim hendaklah senantiasa memohon kepada Allah dengan terus beribadah kepada-Nya;
7. Seorang muslim hendaklah memanfaatkan waktu-waktu utama dan memperhatikan kesempatannya untuk meraih momentum terbaik dalam beribadah dan beramal.

Demikian hadits ke-39 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga kita mampu menetapi Islam yang pada hakikatnya mudah ini. Semoga Allah menjadikan kita istoqmah, tanpa sikap berlebihan dan pengurangan. Karena, Islam itu Mudah. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 38: Puasa Ramadhan dengan Ikhlas adalah Sebagian dari Iman

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-38. Seperti hadits sebelumnya, hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Untuk hadits ke-38 ini, Imam Bukhari memberi judul باب صَوْمُ رَمَضَانَ احْتِسَابًا مِنَ الإِيمَانِ, yang diterjemahkan menjadi judul pembahasan hadits ini: "Puasa Ramadhan dengan Ikhlas adalah Sebagian dari Iman"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-38:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala), maka diampuni dosanya yang telah lalu"

Penjelasan Hadits

Sebagaimana disinggung pada hadits sebelumnya, hadits ke-38 ini merupakan salah satu dari empat hadits berturut-turut yang diberi judul oleh Imam Bukhari dengan berakhiran "minal iman" (bagian dari iman). Imam Bukhari memberi judul باب قِيَامُ لَيْلَةِ الْقَدْرِ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-35, باب الْجِهَادُ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-36, باب تَطَوُّعُ قِيَامِ رَمَضَانَ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-37, dan باب صَوْمُ رَمَضَانَ احْتِسَابًا مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-38 ini.

Empat hadits itu –sesuai judulnya- sengaja diletakkan pada urutan ini oleh Imam Bukhari untuk menegaskan bahwa iman itu bukan semata-mata keyakinan dalam hati, tetapi juga dibuktikan dengan amal. Dan amal-amal yang disebutkan dalam hadits ini merupakan bagian dari iman. Jika ia dilakukan, maka itu menjadikan iman semakin sempurna. Sebaliknya, jika ia tidak dilakukan, maka itu menandakan imannya kurang.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala)

Matan hadits ini (hadits ke-38), hanya berbeda satu huruf dengan hadits sebelumnya (hadits ke-37). Jika pada hadits ke-37 menggunakan "qaf", hadits ini menggunakan "shad." Pada hadits ke-37, lafadz "Qaama" berarti shalat malam, lafadz "Shaama" pada hadits ke-38 ini artinya berpuasa. Itulah bedanya. Yang pertama adalah amal di malam hari, yang kedua amal di siang hari. Namun, kedua-duanya baru akan bernilai di sisi Allah jika dilandasi keikhlasan. Dan keduanya akan mendapatkan balasan yang sama-sama luar biasa.

غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
diampuni dosanya yang telah lalu

Inilah balasan yang luar biasa itu. Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Pelajaran Hadits

Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Allah SWT hanya menerima ibadah yang ikhlas;
2. Orang yang berpuasa Ramadhan dengan ikhlas, ia akan diganjar oleh Allah Ta'ala dengan diampuninya dosa yang telah lalu.

Demikian hadits ke-38 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga senantiasa berusaha menjaga dan meningkatkan iman serta bersemangat dalam beribadah, termasuk berpuasa dengan ikhlas pada bulan Ramadhan. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 37: Ikhlas Shalat Malam pada Ramadhan adalah Sebagian dari Iman

Pembahasan hadits Shahih Bukhari, biidznillah, kini memasuki hadits ke-37. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Sebagaimana hadits ke-35 dan hadits ke-36, hadits ke-37 ini juga membicarakan bagian dari iman. Karenanya pada hadits-hadits tersebut Imam Bukhari memberikan judul yang selalu berakhiran dengan "minal iman" (bagian dari iman). Hadits ke-37 ini oleh Imam Bukhari diberi judul باب تَطَوُّعُ قِيَامِ رَمَضَانَ مِنَ الإِيمَانِ, yang diterjemahkan menjadi judul pembahasan hadits ini: "Ikhlas Shalat Malam pada Ramadhan adalah Sebagian dari Iman"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-37:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menegakkan shalat di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala), maka diampuni dosanya yang telah lalu"

Penjelasan Hadits
Sebagaimana para ulama ahlus sunnah wal jama'ah lainnya, Imam Bukhari berkeyakinan bahwa amal shalih merupakan bagian dari iman dan dapat meningkatkan/mempertebal iman. Iman bisa bertambah dan berkurang. Perbuatan atau amal shalih dapat menambah iman, sebaliknya maksiat dapat menurunkan iman. Demikianlah aqidah yang lurus, yang berbeda dengan paham murji'ah yang berpendapat bahwa iman hanyalah pembenaran di hati, tanpa amal anggota badan.

Imam Bukhari agaknya ingin menekankan aqidah itu dalam kitab iman ini sehingga empat hadits berturut-turut, termasuk hadits ke-37 ini beliau beri judul yang selalu berakhiran dengan "minal iman" (bagian dari iman). Maka, beliau memberi judul باب قِيَامُ لَيْلَةِ الْقَدْرِ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-35, باب الْجِهَادُ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-36, باب تَطَوُّعُ قِيَامِ رَمَضَانَ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-37 ini, dan باب صَوْمُ رَمَضَانَ احْتِسَابًا مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-38 nanti.

قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
Barangsiapa menegakkan shalat di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala)

Seperti disebutkan pada hadits ke-35 yang merupakan pengecualian, semua hadits yang berisi kalimat syarat dan balasan/konsekuensi seperti ini keduanya menggunakan fi'il madhi. Khusus hadits ke-35 menggunakan fiil mudhari (kata kerja bentuk sekarang) pada kalimat syarat dan fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau) pada kalimat jawab/konsekuensinya karena hadits itu mengisyaratkan bahwa shalat pada lailatul qadar itu tidak dapat dipastikan. Sedangkan pada hadits ini, kalimat syarat menggunakan fi'il madhi karena shalat malam pada bulan Ramadhan bisa dipastikan, sebagaimana dapat diketahui bahwa malam itu adalah Ramadhan.

Hadits ke-37 ini menjelaskan keutamaan shalat malam pada bulan Ramadhan, namun keutamaan itu hanya bisa didapatkan jika shalat malam itu dikerjakan dengan ikhlas, semata-mata karena iman dan mengharapkan balasan dari Allah.

غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
diampuni dosanya yang telah lalu

Inilah keutamaan itu. Keutamaan yang luar biasa, diampuninya dosa-dosa yang telah lalu. Adakah ganjaran yang lebih hebat dari ini? Bukankah ini adalah kemurahan dan kasih sayang Allah untuk hamba-hambaNya yang beriman? Jika dosa sudah diampuni, itu berarti Allah meridhaiNya dan tempat kembalinya adalah surga.

Pelajaran Hadits

Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Iman bukan sebatas pengakuan di hati, tetapi juga mewujud dalam amal. Sehingga amal yang baik akan menambah iman, sebaliknya amal yang jelek (kemaksiatan) akan mengurangi iman;
2. Menegakkan shalat pada bulan Ramadhan adalah sebagian dari iman;
2. Allah SWT hanya menerima ibadah yang ikhlas;
3. Diantara keutamaan shalat malam pada bulan Ramadhan dengan ikhlas adalah diampuninya dosa yang telah lalu.

Demikian hadits ke-37 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga senantiasa berusaha menjaga dan meningkatkan iman serta bersemangat dalam beribadah, termasuk shalat malam pada bulan Ramadhan. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 36: Jihad adalah Sebagian dari Iman, Menang atau Syahid adalah Kebaikan

Senada dengan hadits ke-35, hadits ke-36 ini juga mengetengahkan bagian dari Iman. Meskipun secara eksplisit kita tidak menemukan kalimat seperti itu dalam hadits ini, Imam Bukhari memberikan judul باب الْجِهَادُ مِنَ الإِيمَانِ (Bab Jihad adalah sebagian dari Iman) untuk hadits ini.

Untuk lebih mengarahkan pembaca pada tekstual hadits, pembahasan hadits ke-36 ini judulnya diperpanjang menjadi "Jihad adalah Sebagian dari Iman, Menang atau Syahid adalah Kebaikan"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-36:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ انْتَدَبَ اللَّهُ لِمَنْ خَرَجَ فِى سَبِيلِهِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ إِيمَانٌ بِى وَتَصْدِيقٌ بِرُسُلِى أَنْ أُرْجِعَهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ ، أَوْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَلَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى مَا قَعَدْتُ خَلْفَ سَرِيَّةٍ ، وَلَوَدِدْتُ أَنِّى أُقْتَلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Allah menggembirakan hati orang yang berperang di jalan Allah, yakni orang yang berperang semata-mata karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya, bahwa ia akan kembali membawa kemenangan dan ghanimah, atau dimasukkan ke dalam surga. Andaikata tidak menyulitkan umatku, niscaya aku akan selalu ikut berperang. Aku ingin mati terbunuh di jalan Allah, kemudian hidup kembali dan terbunuh, kemudian hidup lagi dan terbunuh pula"

Penjelasan Hadits

انْتَدَبَ اللَّهُ لِمَنْ خَرَجَ فِى سَبِيلِهِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ إِيمَانٌ بِى وَتَصْدِيقٌ بِرُسُلِى
Allah menggembirakan hati orang yang berperang di jalan Allah, yakni orang yang berperang semata-mata karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya

Maksud dari "Allah menggembirakan hati" (انْتَدَبَ اللَّهُ) adalah segera memberikan balasan yang baik, atau mengabulkan keinginan. Bahwa bagi orang yang berjihad fi sabilillah, Allah akan memberikan satu dari dua hal yang akan disebutkan di belakang nanti.

Siapakah mujahid fi sabilillah (orang yang berperang di jalan Allah)? Hadits ini memberikan definisi bahwa mujahid fi sabilillah yang mendapatkan janji balasan kebaikan itu adalah orang yang berperang semata-mata karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Indikasi orang yang berperang karena keimanan semacam itu adalah, tujuannya berperang tidak lain adalah untuk meninggikan agama Allah.

Dalam hadits yang lain disebutkan,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ ، فَمَنْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِىَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW lalu bertanya: "Ada orang berperang untuk mendapatkan ghanimah (rampasan perang), ada orang berperang supaya disebut-sebut (namanya), ada orang berperang supaya dilihat kedudukannya, maka manakah yang dapat disebut fi sabilillah?" Rasulullah menjawab: "Siapa yang berperang supaya kalimat Allah SWT menjadi tinggi, maka dia-lah yang berperang fi sabilillah" (HR. Bukhari)

Bagi orang-orang yang demikianlah, ada kabar gembira dari Allah, ada janji, ada balasan kebaikan yang akan didapatkan; baik ia menang maupun syahid. Apa itu balasannya?

أَنْ أُرْجِعَهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ ، أَوْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ
bahwa ia akan kembali membawa kemenangan dan ghanimah, atau dimasukkan ke dalam surga

Inilah balasannya. Sungguh, bagi mujahid fi sabilillah, ia menang maupun syahid, kedua-duanya adalah kebaikan. Jika ia menang maka ia akan kembali dengan membawa kemenangan dan ghanimah. Dengan kemenangan, dakwah akan semakin kokoh, Islam semakin kuat dan aturan-aturan Allah lebih luas dapat diterapkan. Sedangkan jika ia syahid, maka ia akan masuk surga.

Tak sekedar masuk surga seperti mukmin yang lain, orang yang syahid fi sabilillah memiliki keistimewaan khusus. Dalam sejumlah riwayat lainnya, termasuk dalam kitab jihad yang hadits-haditsnya insya Allah akan kita bahas pada gilirannya nanti, dapat diketahui bahwa keutamaan orang yang syahid fi sabilillah itu luar biasa. Diantaranya adalah tidak merasakan sakitnya mati kecuali seperti sakitnya digigit semut, mudah hisabnya karena dosanya diampuni kecuali hutang, dan sangat cepat dalam melintasi shirath menuju surga.

وَلَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى مَا قَعَدْتُ خَلْفَ سَرِيَّةٍ ، وَلَوَدِدْتُ أَنِّى أُقْتَلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ
Andaikata tidak menyulitkan umatku, niscaya aku akan selalu ikut berperang. Aku ingin mati terbunuh di jalan Allah, kemudian hidup kembali dan terbunuh, kemudian hidup lagi dan terbunuh pula

Subhaanallah. Tidak ada keinginan Rasulullah untuk mati berkali-kali kecuali untuk mencapai syahid. Ini menggambarkan betapa besarnya pahala jihad dan mati syahid.

Rasulullah juga ingin untuk selalu ikut berperang. Namun beliau khawatir itu akan memberatkan umatnya, terlebih jika jihad dijadikan fardhu ain bagi setiap muslim pada setiap perang. Karenanya pada sebagian perang, khususnya perang-perang besar Rasulullah ikut, tetapi pada sebagiannya lagi Rasulullah menetap di Madinah, tidak ikut berperang. Perang Badar, Uhud, Ahzab, Khaibar, Fathu Makkah, dan Hunain, semuanya diikuti oleh Rasulullah. Tetapi pada beberapa ekspedisi (sariyah) Rasulullah cukup mengutus pasukan tanpa keikutsertaan beliau. Demikian juga pada perang Muktah, Rasulullah juga tidak ikut serta.

Begitu besarnya keutamaan mati syahid, hingga ketika orang yang syahid telah berada di surga, mereka juga memiliki keinginan seperti Rasulullah, seandainya bisa hidup lagi, berjihad lalu mati syahid lagi.

مَا أَحَدٌ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ يُحِبُّ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا وَلَهُ مَا عَلَى الأَرْضِ مِنْ شَىْءٍ ، إِلاَّ الشَّهِيدُ ، يَتَمَنَّى أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا فَيُقْتَلَ عَشْرَ مَرَّاتٍ ، لِمَا يَرَى مِنَ الْكَرَامَةِ

Tidak seorangpun yang masuk surga namun dia suka untuk kembali ke dunia padahal dia hanya mempunyai sedikit harta di bumi, kecuali orang yang mati syahid. Dia berangan-angan untuk kembali ke dunia kemudian berperang lalu terbunuh hingga sepuluh kali karena dia melihat keistimewaan karamah (mati syahid). (HR. Al-Bukhari)

Karena itu, sebagai seorang muslim kita harus memancangkan niat untuk ikut berjihad fi sabilillah. Meskipun pada kenyataannya nanti tidak ada kesempatan untuk berjihad, niat yang ikhlas dan jujur itu akan membawanya meraih syahadah (pahala atau kedudukan mati syahid).

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ طَلَبَ الشَّهَادَةَ صَادِقًا أُعْطِيَهَا وَلَوْ لَمْ تُصِبْهُ

Barangsiapa yang memohon syahadah (mati syahid) dengan jujur, maka dia akan diberikan (pahala) syahadah meskipun dia tidak mati syahid. (HR. Muslim)

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Untuk mengokohkan kaum mukminin, Allah SWT menunjukkan keutamaan sebagian ibadah, termasuk jihad fi sabilillah;
2. Jihad fi sabilillah dalam pandangan Allah adalah jihad yang dilandasi iman;
3. Jihad fi sabilillah senantiasa berakhir dengan kebaikan. Jika menang, mujahid mendapatkan kemenangan dan ghanimah. Sedangkan jika syahid, ia mendapatkan surga;
4. Keutamaan jihad dan mati syahid sangat besar. Begitu besarnya hingga Rasulullah SAW secara khusus menginginkan bisa mati syahid berkali-kali.

Demikian hadits ke-36 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita termasuk hamba-Nya yang memiliki niat untuk berjihad fi sabilillah, berdoa mendapatkan kemuliaan mati syahid dan mempersiapkan diri meraihnya. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 35: Korelasi Iman dan Shalat pada Lailatul Qadar

Setelah membahas tanda-tanda munafik pada hadist sebelumnya, kita kini akan membahas kembali tanda-tanda keimanan dan kebaikannya.

Hadits yang akan kita bahas berikut adalah hadits ke-35, masih berada di bawah kitab iman. Ia berbicara mengenai keutamaan (fadhilah) menghidupkan lailatul Qadar. Dalam kaitannya dengan iman, menghidupkan lailatul Qadar adalah salah satu bagiannya. Karenanya, Imam Bukhari memberikan judul "Menegakkan Shalat pada Lailatul Qadar adalah sebagian dari Iman."

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-35:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Abu Hurairah, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menegakkan shalat pada Qadar karena iman dan mengharapkan perhitungan (pahala), maka diampuni dosanya yang telah lalu"

Penjelasan Hadits

Setelah Imam Bukhari menyebutkan hadits mengenai tanda-tanda kemunafikan, beliau kembali menyebutkan hadits mengenai tanda-tanda iman dan kebaikan/keutamaannya, karena pembicaraan tentang iman adalah tujuan utama dari kitabul iman. Maka di hadits ini beliau menjelaskan tentang shalat pada lailatul qadar adalah sebagian dari iman. Pada hadits selanjutnya nanti beliau menyebutkan shalat malam pada Ramadhan dan puasa Ramadhan adalah juga sebagian dari iman.

Berbeda dengan perawi lain yang menyebutkan matan hadits ini dengan fi'il madhi, matan hadits ke-35 Shahih Bukhari ini menggunakan fiil mudhari (kata kerja bentuk sekarang) pada kalimat syarat dan fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau) pada kalimat jawab/konsekuensinya. Fi'il madhi pada kalimat jawab merupakan isyarat kepastian balasan dari Allah. Sedangkan fi'il mudhari pada kalimat syarat di hadits ini mengisyaratkan bahwa shalat pada lailatul qadar itu tidak dapat dipastikan. Ini berbeda dengan shalat malam dan puasa pada bulan Ramadhan pada hadist selanjutnya (37 dan 38). Keduanya dapat dipastikan sehingga haditsnya memakai fi'il madhi.

مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
Menegakkan shalat pada lailatul Qadar

Inilah yang tidak dapat dipastikan. Selain Rasulullah, tidak ada manusia yang dapat memastikan bahwa saat itu adalah lailatul Qadar, meskipun dari berbagai hadita yang ada dapat diketahui tanda-tandanya dan malam keberapa di bulan Ramadhan yang lebih berpeluang menjadi waktu turunnya lailatul Qadar.

Yang dapat dilakukan adalah bermujahadah (sungguh-sungguh) untuk mendapatkan lailatul Qadar dengan memegakkan shalat pada malam-malam Ramadhan, terutama pada malam ganjil pada sepuluh hari terakhir. Dengan demikian, ketika turun lailatul Qadar, ia akan mendapatkan balasan/keutamaan yang ada pada hadita ini sebab ia pada saat itu terhitung menegakkan shalat di malam Qadar.

إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
karena iman dan mengharapkan perhitungan (pahala)

Artinya dengan ikhlas. Seseorang menegakkan shalat karena iman dan mengharap ridha serta perhitungan (pahala) dari Allah, bukan mengharapkan sesuatu dari selain-Nya seperti pujian, dikatakan kuat beribadah dan lain-lain. Hadits ini dan yang sejenis juga menjadi dalil bahwa seorang hamba yang beribadah dengan mengharapkan pahala serta ingin memperoleh surga tetap masuk dalam kategori ikhlas. Tidak seperti klaim sebagian sufi yang mengatakan bahwa beribadah dengan mengharap surga dan takut neraka berarti tidak ikhlas.

غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Diampuni dosanya yang telah lalu

Subhaanallah... adakah balasan lain yang lebih hebat daripada ini. Sungguh Allah maha pengampun lagi penyayang. Dia berkenan mengampuni dosa-dosa hambaNya dengan wasilah shalat malam pada lailatul Qadar. Jika seorang hamba telah mendapatkan ampunan, bukankah tempat kembalinya adalah surga? Adakah yang lebih hebat dari ini? Jika demikian, berarti lelah dan beratnya mujahadah untuk mencari lailatul Qadar dengan menegakkan shalat di malam-malam Ramadhan tidaklah seberapa dibandingkan dengan dahsyatnya balasan yang akan diterimanya

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Menegakkan shalat pada lailatul Qadar adalah sebagian dari iman;
2. Ibadah harus ikhlas dengan dilandasi iman, jika tidak ikhlas maka tidak akan diterima Allah SWT;
3. Diantara keutamaan shalat pada lailatul Qadar dengan ikhlas adalah diampuninya dosa yang telah lalu.

Demikian hadits ke-35 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita dimudahkan Allah untuk beribadah, diantaranya berupaya mencari lailatul qadar dengan menegakkan shalat pada malam-malam Ramadhan. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 34: Tanda-tanda Munafik (2)

Pembahasan hadits Shahih Bukhari, biidznillah, kini memasuki hadits ke-34. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Sebagaimana hadits ke-33, hadits ke-34 ini juga membicarakan tanda-tanda munafik. Bedanya, jika pada hadits ke-33 disebutkan tiga tanda, pada hadits ini ada empat. Karenanya, pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-34 ini kita beri judul "Tanda-tanda Munafik (2)".

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-34:


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

Dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, "Empat hal, barangsiapa memilikinya maka ia adalah munafik tulen. Barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat itu, maka ia memiliki karakter munafik hingga ia melepaskannya: Jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika berdebat ia bertindak tak terpuji."

Penjelasan Hadits

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا
Empat hal, barangsiapa memilikinya maka ia adalah munafik tulen. Barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat itu, maka ia memiliki karakter munafik hingga ia melepaskannya:

Kita mungkin bertanya, mengapa pada hadits sebelumnya disebutkan tiga tanda munafik sedangkan pada hadits ini disebutkan ada empat hal? Imam Al Qurthubi menjawab, "Ada kemungkinan Rasulullah SAW baru mengetahui sifat tambahan itu." Namun, pendapat ini tidak disetujui oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa kedua hadits di atas (hadits ke-33 dan ke-44) tidak ada pertentangan. Karena sifat yang menunjukkan karakter orang munafik belum tentu tanda-tanda munafik. Karena bisa saja tanda-tanda tersebut merupakan sifat asli munafik. Dan jika ditambahkan sifat yang lain maka kemunafikannya akan semakin sempurna (tulen).

Dalam riwayat Muslim ada tambahan kata مِنْ (dari) sehingga berbunyi مِنْ عَلاَمَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ (diantara tanda-tanda munafik itu ada tiga). Riwayat Muslim dari Abu Hurairah tersebut malah mengindikasikan tidak adanya pembatasan terhadap tanda-tanda munafik. Masih ada tanda lain di luar tiga itu, meskipun tiga tanda yang telah disebutkan pada hadits ke-33 adalah tanda-tanda pokok atau utama.

Empat hal yang akan disebutkan dalam lanjutan hadits ini jika terhimpun dalam diri seseorang, maka itu menjadi indikator bahwa orang tersebut adalah munafik tulen. Jika salah satu atau sebagiannya dimiliki seseorang, maka ia termasuk berkarakter munafik, sampai ia meninggalkan atau melepaskan sifat-sifat tersebut.

Apa saja keempat sifat itu?

إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika berdebat ia bertindak tak terpuji

Tiga hal yang disebutkan pertama adalah sama dengan tiga tanda-tanda munafik yang disebutkan pada hadits ke-33. Seperti disebutkan di awal, itulah tanda-tanda utama. Mengapa? Sebab domain amal seseorang hanya tiga; perkataan, perbuatan dan niat. Dusta itu merusak perkataan, khianat itu merusak perbuatan, mengingkari janji itu merusak niat. Sedangkan jika janji tidak terpenuhi tanpa sengaja (sebenarnya sudah berusaha tapi tidak berhasil), maka ia tidak dikategorikan sebagai tanda munafik, sebagaimana dijelaskan Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin.

Hal baru dalam hadits ini yang tidak disebutkan sebagai tanda munafik dalam hadits sebelumnya adalah bertindak "fujur" ketika berdebat. Fujur yang dimaksud dalam hadits ini adalah meninggalkan kebenaran dan menggunakan tipu daya untuk menolaknya. Sebenarnya karakter ini bisa dimasukkan dalam kategori berdusta dalam berbicara.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Tanda-tanda munafik yang pokok ada tiga. Namun, selain yang tiga itu ada sifat lain yang dimiliki oleh munafik, diantaranya bersikap buruk ketika berdebat dengan berdusta dan menggunakan tipu daya untuk menolak kebenaran;
2. Jika seseorang secara sempurna memiliki tanda-tanda munafik atau sifat munafik, maka ia adalah munafik tulen. Jika sebagian sifat yang dimiliki sedangkan yang lainnya tidak, maka ia memiliki sebagian kemunafikan;
3. Selain tiga tanda kemunafikan yaitu jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia mengingkari dan jika diberi amanah ia berkhianat, orang yang munafik memiliki sifat fujur ketika berdebat (meninggalkan kebenaran dan menggunakan tipu daya untuk menolak kebenaran itu).

Demikian hadits ke-34 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah SWT dari kemunafikan dan orang munafik, serta dikaruniai taufiq agar terjauh dari tanda-tanda munafik. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 33: Tanda-tanda Munafik

Pembahasan Hadits Shahih Bukhari, biidznillah, kini memasuki hadits ke-33. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Sebagaimana judul yang diberikan oleh Imam Bukhari " باب عَلاَمَةِ الْمُنَافِقِ", pembahasan Hadits Shahih Bukhari ke-33 ini kita beri judul "Tanda-tanda Munafik".

Berikut ini matan (redaksi) Hadits Shahih Bukhari ke-33:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat"

Penjelasan Hadits

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga:

Hadits ini adalah hadits yang sangat populer, sekaligus hadits yang sangat penting untuk memperingatkan kita agar waspada terhadap kemunafikan; jangan sampai penyakit itu menjangkiti kita.

Munafik (المنافق) artinya adalah orang yang nifaq (النفاق). Nifaq secara bahasa berarti ketidaksamaan antara lahir dan batin. Jika ketidaksamaan itu dalam hal keyakinan, hatinya kafir tetapi mulutnya mengatakan beriman, maka ia termasuk nifaq i'tiqadi. Pada zaman Rasulullah SAW, di Madinah ada munafik-munafik jenis ini dengan gembongnya bernama Abdullah bin Ubay bin Salul. Nifaq jenis ini seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ

Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah : 8)

Karena kemunafikan itu masalah hati yang tersembunyi, maka tidak seorangpun yang bisa memastikan seseorang itu munafik atau bukan. Bahkan sahabat sekaliber Umar bin Khatab pun tidak mengetahuinya. Hanya seorang sahabat yang tahu satu per satu orang-orang munafik di Madinah waktu itu. Dialah Hudzaifah Ibnul Yaman. Hudzaifah mengetahui siapa orang-orang munafik karena Rasulullah SAW memberitahukan kepadanya. Itu merupakan salah satu keutamaan Hudzaifah sehingga ia dijuluki pemegang rahasia Rasulullah.

Meskipun tidak dapat diketahui secara pasti, kemunafikan bisa diwaspadai dari tanda-tandanya. Dalam hadits ini Rasulullah SAW menjelaskaskan bahwa tanda-tanda munafik itu ada tiga.

Jika tanda-tanda munafik ini ada pada seseorang, hendaklah orang itu diwaspadai supaya tidak dijadikan pemimpin bagi umat Islam. Namun yang lebih penting, dengan memperhatikan tiga tanda-tanda munafik ini kita mewaspadai diri kita agar jangan sampai kemunafikan hinggap dalam jiwa.

Tanda Munafik yang Pertama

إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ
jika berbicara ia berbohong

Inilah tanda munafik yang pertama; gemar berbohong. Semakin sering berbohong, semakin dekat dengan kemunafikan.

Dalam hadits lain Rasulullah SAW pernah mensifati seorang mukmin. Bahwa mungkin saja seorang mukmin itu penakut, mungkin saja bakhil, tetapi tidak mungkin seorang mukmin itu pembohong.

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ جَبَانًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ بَخِيلًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا فَقَالَ لَاََََ

Ditanyakan kepada Rasulullah Saw: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut?” Beliau menjawab: ‘Ya.” Lalu ditanya lagi: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi bakhil?” Beliau menjawab: “Ya.” Lalu ditanyakan lagi: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi pembohong?” Beliau menjawab: “Tidak!” (HR. Malik dari Sofwan bin Sulaim dalam Al-Muwatha')

Tanda Munafik yang Kedua


وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
jika berjanji ia mengingkari

Inilah tanda munafik yang kedua; gemar mengingkari janji. Semakin sering mengingkari janji, semakin dekat dengan kemunafikan. Karenanya, berhati-hatilah dengan janji.

Tanda munafik yang kedua ini tidak lebih mudah dihindari daripada tanda munafik pertama. Sering kali seorang muslim sudah mampu menjaga agar perkataannya benar, menghindari berbohong, tetapi ia masih mudah berjanji padahal ia tahu dirinya sulit memenuhi janji itu. Apalagi jika seseorang menjadi pemimpin; dorongan untuk berjanji biasanya lebih besar. Maka intensitas memberikan janji semakin besar. Lihatlah praktik kampanye di zaman sekarang. Bukankah dalam satu pertemuan saja bisa dicatat sekian banyak janji? Berhati-hatilah.

Tanda Munafik yang Ketiga


وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
dan jika diberi amanah ia berkhianat

Ini tanda munafik yang ketiga; mengkhianati amanah. Semakin sering dilakukan, semakin dekat dengan kemunafikan. Semakin besar amanah yang dikhianati, semakin jelas tanda kemunafikan. Sekali lagi, meskipun kita tidak bisa memastikan.

Amanah bentuknya bisa bermacam-macam. Bisa jadi ia adalah pekerjaan atau profesi yang di dalamnya ada kewajiban yang seharusnya kita penuhi. Bisa jadi ia adalah kepemimpinan yang dipercayakan kepada kita. Bahkan titipan barang dari orang lain agar kita menjaganya, atau rahasia dari orang lain agar kita menyimpannya, semua itu termasuk amanah.

Maka, marilah kita melakukan introspeksi diri agar tidak terjerumus dalam kemunafikan. Jika selama ini kita kurang komit terhadap kejujuran, mudah mengingkari janji atau menganggap remeh amanah, marilah kita bertaubat dan memperbaiki diri.

Pelajaran Hadits

Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Munafik adalah orang yang nifaq, antara lahir dan batinnya tidak sama (bertolak belakang). Yang paling parah adalah ketika secara dzahir mengatakan beriman tetapi hatinya kafir ;
2. Meskipun orang munafik tidak dapat diketahui secara pasti, namun tanda-tandanya dapat dikenali;
3. Tanda-tanda orang munafik ada tiga yaitu jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia mengingkari dan jika diberi amanah ia berkhianat.

Demikian Hadits ke-33 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah SWT dari kemunafikan dan orang munafik, serta dikaruniai taufiq agar terjauh dari tanda-tanda munafik. Wallaahu a'lam bish shawab.[]