Saturday, August 5, 2017
ILMU
Majlis ilmu atau tempat pendidikan
Menyampaikan ilmu
Etika ilmu
Fatwa
Mimpi
Pengobatan atau meditasi
Perhitungan tahun
MUAMALAT
A. Pengertian
Fiqih Muamalah
Fiqih Muamalah terdiri
atas dua kata, yaitu fiqih dan muamalah. Berikut penjelasan dari Fiqih,
Muamalah, dan Fiqih Muamalah.
·
Fiqih
Menurut etimologi,
fiqih adalah الفهم)) [paham],
seperti pernyataan : فقهت الدرس (saya
paham pelajaran itu). Arti ini sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu hadis
riwayat Imam Bukhari berikut:
من يرد ا لله به خيرا يفقهه في الد ين
Artinya: “Barang
siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisiNya, niscaya
diberikan kepadaNya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.”
Secara terminologi, fiqih pada mulanya berarti
pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah,
akhlak, maupun ibadah sama dengan arti syari’ah
islamiyah. Namun, pada
perkembangan selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian dari syariah
Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah
Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal
sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.
·
Muamalah
secara etimologi, kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata’amala yang
artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengenal.
Secara terminology Muamalah ialah segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama
manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal
usul kehidupannya. Aturan agama yang mengatur hubungan antar sesama manusia,
dapat kita temukan dalam hukum Islam tentang perkawinan, perwalian,
warisan, wasiat, hibah perdagangan, perburuan, perkoperasian dll. Aturan agama
yang mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya dapat kita temukan
antara lain dalam hukum Islam tentang makanan, minuman, mata pencaharian, dan
cara memperoleh rizki dengan cara yang dihalalkan atau yang diharamkan.
·
Fiqih Muamalah
Pengertian fiqih muamalah secara terminologi
dapat dibagi menjadi dua:
a)
Fiqih muamalah dalam arti luas
1. Menurut Ad-Dimyati, fiqih muamalah adalah aktifitas untuk menghasilkan
duniawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.
2.
Menurut pendapat
Muhammad Yusuf Musa yaitu ketentuan-ketentuan hukum mengenai kegiatan
perekonomian, amanah dalam bentuk titipan dan pinjaman, ikatan kekeluargaan,
proses penyelesaian perkara lewat pengadilan, bahkan soal distribusi harta
waris.
3.
Menurut pendapat
Mahmud Syaltout yaitu ketentuan-ketentuan hukum mengenai hubungan perekonomian
yang dilakukan anggota masyarakat, dan bertendensikan kepentingan material yang
saling menguntungkan satu sama lain.
Berdasarkan pemikiran diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa fiqh muamalah adalah mengetahui ketentuan-ketentuan
hukum tentang usaha-usaha memperoleh dan mengembangkan harta, jual beli, hutang
piutang dan jasa penitiapan diantara anggota-anggota masyarakat sesuai
keperluan mereka, yang dapat dipahami dan dalil-dalil syara’ yang terinci.
b)
Fiqih muamalah dalam arti sempit:
1 . Menurut Hudhari Beik,
muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.
2.
Menurut Idris Ahmad
adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam
usahanya mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling
baik.
A.
Ruang Lingkup Fiqih Muamalah
Ruang
lingkup fiqih muamalah terbagi menjadi dua:
·
Al-Muamalah Al-Adabiyah.
Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah
ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak
dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang
bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.
·
Al-Muamalah Al-Madiyah
1.
Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah)
2.
Gadai (rahn)
3.
Jaminan/ tanggungan (kafalah)
4.
Pemindahan utang (hiwalah)
5 .
Jatuh bangkit (tafjis)
6.
Batas bertindak (al-hajru)
7.
Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)
8.
Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
9 .
Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
10.
Upah (ujral al-amah)
11.
Gugatan (asy-syuf’ah)
12.
Sayembara (al-ji’alah)
13.
Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah)
14.
Pemberian (al-hibbah)
15.
Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu)
16.
beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah),
seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnnya.
17.
Pembagian hasil pertanian (musaqah)
18.
Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah)
19.
pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf)
20.
Pihak penyandang dana meminjamkan uang kepada
nasabah/ Pembari modal (qiradh)
21.
Pinjaman barang (‘ariyah)
22.
Sewa menyewa (al-ijarah)
23.
Penitipan barang (wadi’ah)
Fikih Muamalah dan Kemajuan Zaman
Seiring dengan bermunculannya konsep-konsep
bisnis baru yang menawarkan berbagai konsep transaksi bisnis, tentu sebagai
salah satu sumber hukum agama mayoritas di Indonesia seharusnya fiqh muamalah
juga harus lebih cekatan dalam menyiasati dan memecahkan masalah hukum dari
transaksi bisnis tersebut, kalau memang hal itu haram menurut agama maka tugas
para fuqaha baru adalah memunculkan konsep produk transaksi baru yang mirip dengan
transaksi tersebut tapi tetap sesuai dengan konsep syari’ah.
Jika dilihat perkembangan bisnis sekarang,
memang dapat disimpulkan bahwa konsep fiqh muamalah klasik tersebut tidak
relevan lagi dengan perkembangan bisnis sekarang oleh karena itu kehadiran
konsep fiqh muamalah kontemporer yang menawarkan konsep transaksi bisnis
kontemporer sangat membantu dalam memecahkan masalah ini, sehingga kita sebagai
ummat islam dapat dengan nyaman menjalankan bisnis tersebut tanpa khawatir akan
melanggar ketentuan yang ditetapkan hukum Islam.
Akan tetapi perlu diingat juga bahwa sebagian
besar konsep fiqh muamalah kontemporer itu masih banyak mengasopsi konsep fiqh
muamalah klasik karena para ulama kontemporer tetap memakai prinsip-prinsip
hukum muamalah klasik dalam menetapkan hukum transaksi muamalah kontemporer
karena memang prinsip itu tidak dapat dihilangkan, hanya saja melalui proses
ijtihad yang disesuaikan dengan konteks sekarang.
Jadi walaupun fiqh muamalah klasik itu sudah
dianggap tidak relevan lagi dengan konteks bisnis kontemporer sekarang tidak
dapat dipungkiri juga kalau fiqh muamalah klasik mempunyai peran yang sangat
penting dalam pembuatan konsep fiqh muamalah kontemporer karena fiqh muamalah
klasik itulah yang menjadi konsep utamanya walaupun sudah dimodifikasi
sedemikian rupa.
Ada beberapa faktor yang
dapat dijadikan sebagai acuan dalam menilai terjadinya perubahan, yaitu faktor
tempat, faktor zaman, faktor kondisi social, faktor niat, dan faktor adat
kebiasaan.
Pada dasarnya, kita masih dapat menerapkan
kaidah-kaidah muamalat klasik namun tidak semuanya dapat diterapkan pada bentuk
transaksi yang ada pada saat ini. Dengan alasan karena telah berubahnya
sosio-ekonomi masyarakat. Sebagaimana kaidah yang telah diketahui:
المحفظة بالقديم الصلح و
الأخذ بالجديد الأصلح
Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil
jadid aslah
Yaitu memelihara warisan intelektual klasik
yang masih relevan dan membiarkan terus praktik yang telah ada di zaman modern,
selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya. Dengan kaidah di atas, kita
dapat meyimpulkan bahwa transaksi ekonomi pada masa klasik masih dapat
dilaksanakan selama relevan dengan kondisi, tempat dan waktu serta tidak
bertentangan dengan apa yang diharamkan.
Dalam kaitan dengan perubahan social dan pengaruh
dalam persoalan muamalah ini, nampak tepat analisis yang dikemukakan Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah ketika beliau merumuskan sebuah kaidah yang amat relevan
untuk diterapkan di zaman modern dalam mengatisipasi sebagai jenis muamalah
yang berkembang.
Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan
sebagai acuan dalam menilai terjadinya perubahan, yaitu faktor tempat, faktor
zaman, faktor kondisi social, faktor niat, dan faktor adat kebiasaan.
Faktor-faktor ini amat berpengaruh dalam menetapkan hokum bagi para mujtahid
dalam menetapkan suatu hokum bidang muamalah. Dalam menghadapi perubahan social
yang disebabkan kelima faktor ini, yang akan dijadikan acuan dalam menetapkan
hukum suatu persolan muamalah adalah tercapainya maqashid asy-syari’ah. Atas
dasar itu, maqashid asy-syari’ah lah yang menjadi ukuran keabsahan suatu akad
atau transaksi muamalah.
A.
Pengertian Harta
Harta di dalam bahasa Arab disebut al-mal atau jamaknya al-amwal(Munawir, 1984). Harta (al-mal) menurut kamus Al-Muhith tulisan Al Fairuz Abadi,
adalah ma
malaktahu min kulli syai (segala
sesuatu yang engkau punyai). Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai
segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’
(hukum Islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian
(An-Nabhani, 1990). Di dalam Al Quran, kata al mal dengan berbagai bentuknya disebut 87 kali yang
terdapat dalam 79 ayat dalam 38 surat. Berdasarkan pengertian tersebut, harta
meliputi segala sesuatu yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari
(duniawi), seperti uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan,
perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan pakaian
termasuk dalam katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang
harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan kepada
manusia.
Menurut Jumhur ulama, al-Mal (harta):
كل ما له قيمة يلزم متلفها بضمانه
Segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang
yang merusak atau melenyapkannya.
Menurut Hanafiyah: Harta adalah segala sesuatu yang
dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan. Menurut definisi ini, harta
memiliki dua unsur, yaitu:
1. Harta dapat dikuasai dan dipelihara
secara nyata. Sesuatu yang tidak bisa disimpan atau dipelihara secara
nyata, seperti ilmu, kesehatan, kemuliaan, kecerdasan, udara, panas matahari,
cahaya bulan, tidak dapat dikatakan harta.
2. Dapat dimanfaatkan menurut
kebiasaan. Segala sesuatu yang tidak bermanfaat seperti daging bangkai, makanan
yang basi, tidak dapat disebut harta; atau bermanfaat, tetapi menurut kebiasaan
tidak diperhitungkan manusia, seperti satu biji gandum, setetes air, segenggam
tanah, dan lain-lain. Semua itu tidak disebut harta sebab terlalu sedikit
sehingga zatnya tidak dapat dimanfaatkan, kecuali kalau disatukan dengan
sesuatu yang lain.
Salah satu perbedaan dari definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah
dan jumhur ulama adalah tentang benda yang tidak dapat diraba, seperti manfaat.
Ulama Hanafiyah memandang bahwa manfaat termasuk sesuatu yang dapat dimiliki,
tetapi bukan harta. Adapun menurut ulama selain hanafiyah (jumhur),manfaat
termasuk harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan zatnya.
Jadi, perbedaan esensi harta antara ulama Hanafiyah dan Jumhur:
1. Bagi jumhur ulama harta
tidak saja bersifat materi, namun juga nilai manfaat yang terkandung di
dalamnya.
2. Adapun menurut ulama mazhab Hanafi
harta hanya menyangkut materi, sedangkan manfaat termasuk ke dalam pengertian
hak milik.
Sementara menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, yang
dimaksud dengan harta ialah:
1. Nama selain manusia yang diciptakan allah untuk mencukupi kebutuhan hidup
manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat, dan dikelola (tasharruf)
dengan jalan ikhtiar.
2. Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia
maupun oleh sebagin manusia
3. Sesuatu yang sah untuk diperjualbelikan
4. Sesuatu yang
dapat dimiliki dan mempunyai nilai(harga)
5. Sesuatu yang
berwujud, Sesutu yang tidak berwujud meskipun dapat diambil manfaatnya tidak
termasuk harta,
6. Sesuatu yang
dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat diambil manfaatnya
ketika dibutuhkan.
Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal, 40),
secara linguistik, al maal didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat
mendatangkan ketenangan, dan bisa dimiliki oleh manusia dengan sebuah upaya
(fi'il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi) seperti; komputer, Kamera
digital, hewan ternak, tumbuhan, dan lainnya. Atau pun berupa manfaat, seperti, kendaraan, atau
tempat tinggal.
Berdasarkan definisi ini, sesuatu akan dikatakan
sebagai al-maal, jika memenuhi dua kriteria;
· Sesuatu itu harus bisa memenuhi kebutuhan manusia,
hingga pada akhirnya bisa mendatangkan kepuasan dan ketenangan atas
terpenuhinya kebutuhan tersebut, baik bersifat materi atau immateri.
· Sesuatu itu harus berada dalam genggaman kepemilikan
manusia. Konse-kuensinya, jika tidak bisa atau belum dimiliki, maka tidak bisa
dikatakan sebagai harta. Misalnya, burung yang terbang diangkasa, ikan yang
berada di lautan, bahan tambang yang berada di perut bumi, dan lainnya
B. Cara
Mendapatkan Harta Atau Asal Usul Harta dan Pemanfaatannya
Islam tidak membatasi cara seseorang dalam mencari
dan memperoleh harta selama yang demikian itu tetap diberlakukan dalam prinsip
umum yang berlaku yaitu halal dan baik. Hal ini berarti islam tidak melarang
seseorang untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin, karena bagaimanapun yang
menentukan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah Allah SWT sendiri
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat diatas. Di samping itu dalam pandangan
islam harta itu bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai keridhaan Allah.
Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang
menjadi karunia Allah untuk dimiliki oleh manusia bagi menunjang
kehidupannyasecara garis besar ada dua bentuk :
1. Pertama, memperoleh
harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapapun. Cara seperti ini sering disebut
dengan penguasaan harta bebas(ihrazu al-mubahat). Disamping itu juga harta
bebas bisa diperoleh melalui berburu hewan, mengumpulkan kayu dan rerumputan di
hutan rimba, dan menggali barang tambang yang berada diperut bumi selama belum
ada pihak yang menguasinya, baik individu maupun Negara.
2. Kedua, memperoleh harta yang telah
dimiliki oleh seseorang melalui suatu transaksi atau akad. Bentuk ini
dipisahkan pada dua cara. Pertama peralihan harta berlangsung dengan sendirinya
atau disebut juga ijbari yang siapapun tidak dapat merencanakan atau menolaknya
seperti melalui warisan. Kedua peralihan harta berlangsung tidak dengan
sendirinya,, dengan arti atas kehendak dankeinginan sendiri yang disebut
ikhtiyari, baik melalui kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian maupun
melalui kehendak dan perjanjian timbale balik antara dua atau beberapa pihak
seperti jual beli.
Cara memperoleh harta yang dilarang ialah yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip tersebut di atas, yaitu memperoleh harta dengan cara-cara yang
mengandung unsur paksaan dan tipuan yang bertentanga dengan prinsip sukarela,
seperti merampas harta orang lain, menjual barang palsu, mengurangi ukuran dan
timbangan, dan sebagainya. Kemudian memperoleh hartanya dengan cara yang justru
mendatangkan mudharat/keburukan dalam kehidupan masyarakat, seperti jual beli
ganja, perjudian, minuman keras, prostitusi,dan lain sebagainya. Atau
memperoleh harta dengan jalan yang bertentangan dengan nilai keadilan dan
tolong menolong, seperti riba, meminta balas jasa tidak seimbang dengan jasa
yang diberikan. Juga menjual barang dengan harga jauh lebih tinggi dari harga
yang sebenarnya, atau bisa dikatakan mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Adapun petunjuk Allah SWT yang berkaitan
dengan penggunaan harta adalah sebagai berikut:
1. Digunakan untuk kepentingan
kebutuhan hidup sendiri penggunan harta untuk kebutuhan hidup dinyatakan Allah
dalam Firman-Nya pada beberapa ayat al-qur’an diantaranya pada surat
al-Mursalat ayat 43. Artinya:
“ Makan dan minumlah
kamu dengan enak apa yang telah kamu kerjakan.”
Walupun yang disebutkan dalam ayat ini hanyalah
makan dan minum, namun tentunya yang dimaksud disini adalah semua kebutuhan
hidup seperti pakaian dan perumahan.
2. Digunakan untuk memnuhi
kewajibannya terhadap Allah. Kewajiban kepada Allah itu ada dua macam:
a. Kewajiban
materi yang berkenaan dengan kewajiban agama yang merupakan utang terhadap
Allah seperti keperluan membayar zakat atau nazar atau kewajiban materi
lainnya, meskipun secara praktis juga digunakan dan dimanfaatkan meskipun
secara praktis juga digunakan dan dimanfaatkan untuk manusia. Kewajiban materi
dalam bentuk ini dinyatakan allah dalam beberapa ayat al-qur;an diantaranya
surat al baqarah ayat 267. Artinya:
“Wahai orang orang yang beriman
nafkahkanlah (zakatkanlah) dari yang baik-baik apa yang kamu usahakan dan
apa-apa yangkami keluarkan untukmu dari dalam bumi”.
b. kewajiban materi
yang harus ditunaikan untuk keluarga yaitu anak, istri dan kerabat. Tentang
kewajiban materi untuk istri dan anak dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 233. Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan
cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah
Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka
tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut
yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan”.
3. Dimanfaatkan bagi kepentingan
sosial. Hal ini dilakukan karena meskipun semua orang dituntut untuk berusaha
mencari rezeki namun yang diberian allah itu tidaklah sama untuk setiap orang.
Kenyataan berbedanya perolehan rezeki ini dinyatakan Allah dalam surat An-Nahl
ayat 71. Artinya:
“Dan Allah melebihkan sebahagian
kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang
dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak
yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka
mengingkari nikmat Allah”.
Orang yang mendapatkan kelebihan rezeki itu
dituntut untuk menafkahkan sebagian dari perolehannya itu, sebagaimana
disebutkan Allah dalam banyak tempat, diantaranya surat al-Munafiqun ayat 10
yang artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang Telah kami
berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu;
lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, Mengapa Engkau tidak menangguhkan
(kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan Aku dapat bersedekah dan
Aku termasuk orang-orang yang saleh?"
C. Macam-Macam
Harta
1. Mal Mutaqawwim dan Ghair Mutakawwim.
Menurut Wahbah Zuhaili(1989,IV,hal.44), al-maal al mutaqawwim adalah harta
yang dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh
syara' untuk memanfaatkannya, seperti makana, pakaian, kebun apel, dan lainnya.
al-maal gairu al mutaqawwim adalah harta yang belum diraih atau dicapai dengan
suatu usaha, maksudnya harta tersebut belum sepenuhnya berada dalam genggaman
kepemilikan manusia, seperti mutiara di dasar laut, minyak di perut bumi, dan
lainnya. Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan,
kecuali dalam keadaan darurat, seperti minuman keras. Bagi seorang muslim,
harta gairu al mutaqawwim tidak boleh dikonsumsi, kecuali dalam keadaan
darurat. Namun demikian, yang diperbolehkan adalah kadar minimal yang bisa menyelamat-kan
hidup, tidak boleh berlebihan.
Bagi non-muslim, minuman keras dan babi adalah harta mutaqwwim, ini menurut
pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat seorang muslim atau
non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, maka berkewajiban untuk
menggantinya.
Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas tersebut termasuk
dalam ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Dengan
alasan, bagi non-muslim yang hidup di daerah Islam harus tunduk aturan Islam
dalam hal kehidupan bermuamalah. Apa yang diperbolehkan bagi muslim, maka
dibolehkan juga bagi non-muslim, dan apa yang dilarang bagi muslim, juga
berlaku bagi non-muslim.
Harta mutakawwim adalah semua harta yang baik jenisnya maupun cara
memperoleh dan penggunaannya. Dan harta ghair mutaqawwim adalah yaitu yang
tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya maupun cara
penggunaannya.
2. Mal Mitsli dan Mal Qimi.
Mal Mitsli adalah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuannya,
dalam arti dapat berdiri sebagiannya ditemapt yang lain tanpa ada perbedaan
yang perlu dinilai. Dan Mal Qimi adalah benda-benda yang kurang dalam
kesatuan-kesatuannya karenanya tidak dapat berdiri sebagian ditempat sebagian
yang lainnya tanpa ada perbedaan.
Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanannya dipasaran, tanpa
adaya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau kesatuannya.
Harta mitsli dapat dikatagorikan menjadi empat bagian:
1) Al makilaat (sesuatu yang dapat
ditakar) seperti; gandu, terigu, beras;
2) Al mauzunaat (sesuatu yang
dapat ditimbang) seperti; kapas, besi, tembaga;
3) Al 'adadiyat (sesuatu yang
dapat dihitung) seperti; pisang, telor, apel, begitu juga dengan hasil-hasil
industri, seperti; mobil yang satu tipe, buku-buku baru, perabotan rumah, dan
lainnya;
4) Al dzira'iyat (sesuatuyang
dapat diukur dan memiliki persamaan atas bagian-bagiannya) seperti; kain,
kertas, tapi jika terdapat perbedaan atas juz-nya (bagian), maka dikatagorikan
sebagai harta qimi, seperti tanah.
Al maal al qimi adalah harta yang tidak terdapat padanannya di pasaran,
atau terdapat padanannya, akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda, seperti
domba, tanah, kayu, dan lainnya. Walaupun sama jika dilihat dari fisiknya, akan
tetapi stiap satu domba memiliki nilai yang berbeda antara satu dan lainnya.
Juga termasuk dalam harta qimi adalah durian, semangka yang memilki kualitas
dan bntuk fisik yang berbeda.
Dalam perjalanannya, harta mistsli bisa berubah menjadi harta qimi atau
sebaliknya;
1. Jika harta mitsli susah untuk didapatkan di pasaran (terjadi kelangkaan
atau scarcity), maka secara otomatis berubah menjadi harta qimi,
2. Jika terjadi percampuran antara dua harta mitsli dari dua jenis yang
berbeda, seperti modifikasi Toyota dan Honda, maka mobiltersebut menjadi harta
qimi,
3. Jika harta qimi terdapat anyak padanannya di pasaran, maka secara otomatis
menjadi harta mitsli.
3. Harta Istihlak dan Harta Isti’mal.
Harta istihlak terbagi dua, yaitu istihlak haqiqi yang artinya suatu benda
yang menjadi harta yang secara jelas zatnya habis sekali digunakan. Dan yang
kedua istihlak huquqi yang artinya harta yang sudah habis nilainya bila telah
digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada.
·
Harta isti’mal adalah
sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap terpelihara.
·
Al maal al istikhlaki
adalah harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan merusak bentuk
fisik harta tersebut, seperti aneka warna makanan dan minuman, kayu bakar, BBM,
uang, dan lainnya. Jika kita ingin memanfaatkan makanan dan minuman, maka kita
harus memakan dan meminumnya sampai bentuk fisiknya tidak kita jumpai, artinya
barang tersebut tidak akan mendatangkan manfaat, kecuali dengan merusaknya.
Adapun untuk uang, cara mengkonsumsinya adalah dengan membelanjakanya.
Ketika uang tersebut keluar dari sakudan genggaman sang pemilik, maka uang
tersebut inyatakan hilang dan hangus, karena sudah menjadi milik orang lain,
walaupun mungkin secara fisik, bentuk dan wujudnya masih tetap sama. Intinya,
harta istikhlaki adalah harta yang hanya bisa dikonsumsi sekali saja.
·
Al maal al isti'mali
adalah harta yang mungkin untuk bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk
fisiknya, seperti perkebunan, rumah kontrakan, kendaraan, pakaian, dan lainnya.
Berbeda dengan istikhlaki, harta isti'mali bisa dipakai dan dikonsumsi untuk
beberapa kali.
4. Harta ‘Iqar dan Manqul
Menurut Hanafiyah (1989.IV, hal.46), manqul adalah harta yang memungkinkan
untuk dipindah, ditransfer dari suatu tempat ke tempat lainnya, baik bentu
fisiknya (dzat atau 'ain) berubah atau tidak, dengan adanya perpindahan
tersebut. Diantaranya adalah uang, harta perdagangan, hewan, atau apa pun
komoditas lain yang dapat ditimbang atau diukur.
Sedangkan 'iqar adalah sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan. Namun demikian, tanaman, bangunan atau apapun yang terdapat di atas tanah, tidak bisa dikatakan sebagai iqar kecuali ia tetap mengikuti atau bersatu dengan tanahnya.
Sedangkan 'iqar adalah sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan. Namun demikian, tanaman, bangunan atau apapun yang terdapat di atas tanah, tidak bisa dikatakan sebagai iqar kecuali ia tetap mengikuti atau bersatu dengan tanahnya.
Jika tanah yang terdapat bangunannya dijual, maka tanah dan bangunan
tersebut merupakan harta 'iqar. Namun, jika bangunan atau tanaman dijual secara
terpisah dari tanahnya, maka bangunan tersebut bukan merupakan harta 'iqar.
Intinya, menurut Hanafiyah, harta 'iqar hanya terfokus pada tanah, sedangkan
manqul adalah harta selain tanah.
Berbeda dengan Hanafiyah, ulama madzhab Malikiyah cenderung mempersempit
makna harta manqul, dan memperluas makna harta iqar. Menurut malikiyah, manqul adalah
harta yang mungkin untuk dipindahkan atau ditransfer dari satu tempat ketempat
lainnya tanpa adanya perubahan atas bentuk fisik semula, seperti kendaraan,
buku, pakaian, dan lainnya. Sedangkan 'iqar adalah harta yang secara asal tidak
mungkin bisa dipindah atau ditransfer. seperti tanah, atau mungkin dapat
dipindah, akan tetapi terdapat perubahan atas bentuk fisiknya, seperti pohon,
ketika dipindah akan berubah menjadi lempengan kayu.
Dalam perkembanganya, harta manqul dapat berubah menjadi harta 'iqar, dan
begitu juga sebaliknya. Pintu, listrik, batu bata, semula merupakan harta
manqul, akan tetapi setelah melekat pada bangunan, maka akan berubah menjadi
harta 'iqar. Begitu juga dengan batu bara, minyak bumi, emas, ataupun barang
tambang lainnya, semula merupakan harta 'iqar, akan tetapi setelah berpisah
dari tanah berubah menjadi harta manqul.
5. Harta ‘Ain dan Dayn
Harta ‘ain ialah harta yang berbentuk benda, harta ‘ain terbagi dua yang
pertama harta ‘ain dzati qimah yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang
sebagai harta karena memiliki nilai. Yang kedua harta ‘ain ghyar dzati qimah
yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta karena tidak memiliki
harga. Sedangkan Harta Dayn adalah sesuatu yang ada dalam tanggung jawab.[13]
6. Mal al-‘aini dan mal al-naf’i.
Harta ‘aini ialah benda yang memiliki nilai dan berbentuk. Dan harta naf’I
adalah a’radl yang berangsur-angsur tumbuh menurut perkembangan masa.
7. Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur.
Harta mamluk ialah sesuatu yang masuk kebawah milik, milik perorangan
maupun milik badan hukum. Harta mamluk terbagi dua, yang pertama harta
perorangan yang berpautan dengan harta bukan pemilik. Dan yang kedua harta
perkongsian anatara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan
pemiliknya. Asalnya bukan milik seseorang.
Harta mubah ialah sesuatu yang pada seperti air pada mata air. Dan harta
Mahjur ialah sesuatu yang tidak boleh dimiliki sendirin memberikan pada orang
lain menurut syariat.
8. Harta yang dapat dibagi dan yang
tidak dapat dibagi.
Harta yang dapat dibagi ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian
atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi. Dan Harta yang tidak dapat
dibagi ialh harta yang menimbulkan kerusakan atau kerugian apabila harta
tersebut dibagi-bagi.
9. Harta pokok dan harta hasil.
Harta pokok ialah harta yang mungkin darinya terjadi harta yang lain, dan
harta hasil ialah terjadi dari harta yang lain.
10. Harta khas dan harta ‘am
Harta khas ialah harta pribadi, tidak sekutu dengan yang lain, tidak boleh
diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya. Dan harta ‘am ialah harta milik
bersama yang boleh diambil manfaatnya.
D. Fungsi
Harta
Harta berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah khas, sebab ibadah
memerlukan alat-alat. Untuk meningkatkan keimanan kepada Allah. Untuk
meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode selanjutnya. Untuk
menyelaraskan kehidupan dunia dan akherat. Untuk menegakan dan mengembangkan
ilmu-ilmu. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan. Untuk menumbuhkan
silaturahim.
Harta dipelihara manusia karena manusia membutuhkan
manfaat harta tersebut. Diantar sekian banyak fungsi harta antara lain
sebagai berikut:
Untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas
(mahdhah).
b. Untuk
meningkatkan keimanan (ketakwaan) kepada Allah.
c. Untuk
meneruskan kehidupan dari suatu periode ke periode berikutnya.
d. Untuk
menyelaraskan (menyeimbangkan)antara kehidupan dunia dan akhirat.
Untuk mengembangkan dan meningkatkan ilmu-ilmu.
Peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan
tuan atau adanya orang kaya dan orang miskin.
Konsep AL-Huquq (Hak-hak Dalam Islam)
Pengertian
hak
secara etimologi berarti milik, ketetapan, dan
kepastian Al-haqq berarti menetapkan dan menjelaskan Q.S
Al-Anfal : 8
ليحق الحق و يبطل الباطل...
"agar Allah menetapkan yang hak (islam)
dan membatalkan yang bathil (syirik)…
Al-haqq berarti bagian
(kewajiban) Q.S Al-Baqarah : 241
وللمطلقات متاع بالمعروف
حقا على المتقين
"kepada wanita-wanita yang diceraikan
(hendklah diberikan oleh suaminya mut'ah) menurutyang ma'ruf sebagai suatu
kewajiban bagi orang-orang taqwa"
Rukun-rukun hak
1. pemilik hak (orang yang berhak)
2. objek hak
Macam-macam hak
·
dari segi
pemilik hak :
a. Hak Allah (segala bentuk yang boleh
mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkan-Nya, dan menyebarluaskan syi'ar
agama-Nya, seperti : ibadah, jihad)
b. Hak Manusia (pada hakikatnya untuk memelihara
kemaslahatan setiap pribadi manusia, misalnya : pewarisan hak qishas)
c. Hak Berserikat (gabungan) antara hak Allah
dengan hak manusia, tetapi ada kalanya hak Allah lebih dominant, seperti :
persoalan 'iddah
·
dari segi
objek hak
a. haq mali (hak yang terkait
dengan harta, seperti : hak penjual terhadap harga barang yang dijual)
b. haq ghair mali (hak yang
tidak terkait dengan kehartabendaan, seperti : hak qishas)
c. haq asy-syakhshi (hak yang
ditetapkan syara' bagi seorang pribadi, berupa kewajiban terhadap orang lain,
seperti : hak penjual untuk menerima harga barang yang dijual, hak terhadap
orang yang berhutang)
d. haq al-'aini (hak seseorang
yang ditetapkan syara' terhadap zat sesuatu, sehingga ia memiliki kekuasaan
penuh untuk menggunakan dan mengembangkan haknya itu, seperti : hak memiliki
sesuatu benda)
e. haq al-irtifaq (hak
terhadap benda yang dijadikan sebagai jaminan hutang)
·
dari segi
kewenangan pengadilan terhadap hak itu
a. haq diyani (hak yang tidak
boleh dicampuri / intervensi oleh kekuasaan pengadilan, misalnya : dalam
persoalan hutang yang tidak boleh dibuktikan pemberi hutang karena tidak
cukupnya alat-alat bukti dipengadilan)
b. haq qadha'I (seluruh hak
yang tunduk dibawah kekuasaan pengadilan, dan pemilik hak itu mampu untuk menuntut
dan membuktikan haknya itu didepan hakim)
Sumber
atau sebab hak
a. syara' (seperti berbagai ibadah yang
diperintahkan)
b. akad (seperti jual beli, hibah dan wakaf
dalam pemindahan hak milik)
c. kehendak pribadi (seperti janji dan nazar)
d. perbuatan yang bermanfaat (seperti melunasi
hutang)
e. perbuatan yang menimbulkan kemudharatan bagi
orang lain (seperti mewajibkan seseorang membayar gantu rugi akibat
kelalaiannya dalam menggunakan milik seseorang)
Akibat
hukum sesuatu hak
a. menyangkut pelaksanaan dan penuntutan hak
KONSEP HAK MILIK
(Milikiyah)
Milkiyah merupakan
bagian terpenting dari hak aini.
1. Keistimewaan yang diberikan oleh syara' kepada
pemilik harta:
ü menghalangi orang lain untuk
memanfaatkan tanpa ijin pemiliknya.
2. Halangan syara' yang membatasi kebebasan pemilik
dalam bertasarruf:
a. Disebabkan pemilik dipandang tidak cakap
secara hukum. Seperti: anak kecil
atau cacat mental (safih).
b. Untuk melindungi hak orang
lain, seperti: pada harta bersama.
3. Sebab-sebab pemilikan
a. Ihraz al-mubahat (penguasaan
harta mubah) = harta benda yang tidak termasuk
dalam milik
yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan
hukum untuk
memilikinya. Seperti: ikan di laut; rumput di pinggir sungai; hewan
di hutan.
Syarat yang harus dipenuhi:
1) tidak ada
orang lain yang mendahului من سبق إلى مـباح فقـد ملكه.
2) penguasaan
harta itu dilakukan untuk tujuan dimiliki.
Dalam sebuah negara: konsep
ihraz al-mubahat menjadi terbatas, karena adanya aturan hukum yang membatasi
harta mubah apa saja yang dapat dimiliki secara bebas. Karena demi melindungi
kepentingan publik, negara berhak menyatakan sumber kekayaan alam tertentu
sebagai milik negara. Misalnya: barang tambang – kayu di hutan – hewan langka –
cagar alam dan lain-lain. Maka kata "larangan hukum" = mencakup
kebijakan yang diterbitkan negara.
b. Tawallud (berkembang
biak)
berlaku = pada harta yang bersifat produktif = hewan – kebun – sektor jasa
mobil – rumah (sewa).
c. khalafiyah
(penggantian), ada 2 cara:
1) Penggantian atas seseorang
oleh orang lain, misalnya: pewarisan.
2) Penggantian benda
atas benda yang lainnya, misalnya: pertanggungan karena
merusakkan barang/menghilangkan.
d. Akad = merupakan sebab
pemilikan yang paling kuat dan luas berlaku dalam
kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan.
Dalam Islam: pemilik harta bebas memanfaatkan dan mengembangkannya
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari'ah Islam. Namun
pemilik hakiki adalah Allah, harta di tangan manusia adalah amanah. – Individu
bagian dari masyarakat, maka dalam setiap harta yang dimiliki oleh individu
terdapat hak-hak orang lain yang harus dipenuhi = zakat. – maka kebebasan
dalam
bertindak terhadap milik pribadinya tidak boleh melanggar hak publik
yang
berkaitan dengan kepentingan umum.
4. Pembagian macam-macam milkiyah:
a. Dari segi obyek:
1) milk al-'ain (benda)
2) milk al-manfaah
3) milk ad-dain (milik
piutang). Seperti:
harta yang dihutangkan – harga jual yang
belum
terbayar – harga kerugian barang yang dirusak.
b. Dari segi unsur harta (benda
dan manfaat)
1)
Al-milk at-tam = pemilik benda dan manfaat
2)
Al-milk an-naqish = pemilik hanya salah satu unsur harta saja.
a) pemilikan atas manfaat: diperoleh via ijarah – i'arah – wakaf
b) pemilikan atas benda tanpa manfaat: wasiat
c. Dari segi bentuk, milik
dibedakan menjadi:
1) milk
mutamayyaz (milik jelas) = pemilikan sesuatu benda yang mempunyai batas-batas
yang jelas; tertentu yang dapat dipisahkan dari yang lainnya. Seperti:
pemilikan seekor binatang – sebuah kitab – sebuah rumah.
2) milk
masya' (milik campuran) = pemilikan atas sebagian, tidak tertentu dari sebuah
harta benda. Seperti: pemilikan atas separuh rumah; 1/4 kebun dan
sebagainya. Jika diadakan pembagian atas harta campuran maka menjadi milk
mutamayyaz.
Milk masya' = bisa berupa milk 'ain atau milk dain, seperti ad-duyun
al-musytarikah: 2 orang atau lebih membeli sesuatu secara tangguh.
Ø
BEBERAPA PRIPSIP
PEMILIKAN
3. Pada prinsipnya
milk 'ain disertai milk manfa'ah, bukan sebaliknya.
2 Pada
prinsipnya pemilikan pertama pada benda yang belum pernah dimiliki sebelumnya
adalah sebagai milk tam.
3 Pada
prinsipnya pemilikan sempurna tidak dibatasi waktu, sedang pemilikan naqish
dibatasi waktu.
4 Pada
prinsipnya pemilikan benda tidak dapat digugurkan, namun dapat
dialihkan/dipindah.
5 Pada
prinsipnya milk masya' atas benda, dalam hal tasharruf, sama posisinya dengan
milk mutamayyaz = dalam hal ini boleh menjual, mewakafkan, berwasiat, tetapi
tidak boleh tasharruf dalam 3 akad:
a. Rahn tujuan rahn: agunan pelunasan hutang,
sehngga marhun (obyek rahn) harus diserahkan kepada murtahin. Tentu dalam hal
ini tidak boleh hanya sebagian.
b. Hibah harus disertai penyerahan, sedang
penyerahan hanya dapat dilakukan pada milk mutamayyaz.
c. ijarah = tidak boleh hanya sebagian.
Ø
HAK MILIK INDIVIDU
1. hak untuk memiliki
2. hak untuk
memanfaatkan
3. Hak untuk memindahtangankan kekayaan yang diakui
dan dipelihara dalam Islam.
Tetapi mereka mempunyai kewajiban moral untuk
menyerahkan harta, karena kekayaan itu juga merupakan hak masyarakat.
Adz-dzariyat (51): 19
KONSEP UMUM AQAD
PENGERTIAN AKAD
Kata akad berasal dari Bahasa Arab al-‘aqd yang
secara etimolagi berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan,
(al-ittifaq).[1] Secara terminology fiqh, akad didefinisikan dengan ”pertalian
ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan penerimaan ikatan)
sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan”. Menurut
Hasbi Ash-Shiddieqy, yang mengutip definisi yang dikemukakan Al-Sanhury, akad
ialah: perikatan ijab dan Kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan kerelaan
kedua belah pihak.
Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan
Kabul dengan cara yang dibenarkan syara, yang menetapkan adanya akibat-akibat
hukum pada objeknya.
TUJUAN AKAD
Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat
yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu :Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang
telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
ü Tujuan harus berlangsung adanya hingga
berakhirnya pelaksanaan akad.
ü Tujuan akad harus dibenarkan syara’.
RUKUN DAN SYARAT AKAD
Dalam menjalankan Akad perlu adanya Rukun dan syarat akad yang harus dijalani, berikut
adalah rukun dan syaratnya:
Ø Rukun-rukun akad
1. ‘Aqid, adalah orang yang berakad terkadang
masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa
beberapa orang.
2. Ma’qud alaih, ialah benda-benda yang
diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad
hibah (pemberian), gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad
kafalah.
3. Maudhu’ al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad.
3. Maudhu’ al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad.
4. Shighat al-aqd, ialah ijab Kabul, ijab ialah
permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai
gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Kabul ialah perkataam yang keluar
dari pihak yang berakad pula yang diucapkan setelah adanya ijab.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat
al-aqd (akad) ialah:
a. Shighat al-aqd harus jelas pengertiannya,
misalnya: “aku serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah atau pemberiannya”.
b. Harus bersesuian antara ijab dan
Kabul.
c. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari
pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, atau tidak karena diancam.
cara yang
diungkapkan dari para ulama’ fiqh dalam berakad
1. Dengan cara tulisan atau kitabah, misalnya
dua aqid berjauhan tempatnya maka ijab Kabul boleh dengan kitabah atau
tulisan.
2. Isyarat, bagi orang tertentu akad atau ijab
Kabul tidak dapat dilaksanakan dengan tulisan maupun lisan, misalnya pada orang
bisu yang tidak bias baca maupun tulis, maka orang tersebut akad dengan
isyarat.
3. Perbuatan, cara lain untuk membentuk akad selain secara lisan, tulisan atau isyarat ialah dengan cara perbuatan. Misalnya seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang tertentu kemudian penjual menyerahkan barang yang dibelinya.
3. Perbuatan, cara lain untuk membentuk akad selain secara lisan, tulisan atau isyarat ialah dengan cara perbuatan. Misalnya seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang tertentu kemudian penjual menyerahkan barang yang dibelinya.
4. Lisan al-hal. Menurut sebagian ulama’,
apabila seseorang meninggalkan barang-barang dihadapan orang lain kemudian dia
pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu
dipandang telah ada akad ida’ (titipan).
Ø Syarat-syarat akad
Syarat-syarat ang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna
wujudnya dalam berbagai akad:
1.
Kedua
orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), maka akad orang tidak cakap
(orang gila, orang yang berada dibawah pengampuan (mahjur) karena boros dan
lainnya akadnya tidak sah
2.
Yang
dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
3.
Akad itu diijinkan oleh syara’, dilakukan oleh
orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan akid yang memiliki
barang.
4.
Akad bukan
jenis akad yang dilarang.
5.
Akad dapat
memberi faedah.
6.
Ijab harus
berjalan terus, maka ijab tidak sah apabila ijab tersebut dibatalkan sebelum
adanya qobul.
7.
Ijab dan qobul harus bersambung, jika
seseorang melakukan ijab dan berpisah sebelum terjadinya qobul, maka ijab yang
demikian dianggap tidak sah.
Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini juga disebut dengan idhofi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
PRINSIP-PRINSIP AKAD
Dalam hukum Islam telah menetapkan beberapa prinsip akad yang berpengaruh kepada pelaksanaan akad yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan adalah sebagai berikut:
· prinsip kebebasan berkontrak
· prinsip perjanjian itu mengikat
· prinsip kesepakatan bersama
· prinsip ibadah
· prinsip keadilan dan keseimbangan prestasi.
· prinsip kejujuran (amanah)
DASAR HUKUM SYAR’I AKAD
Adapun dasar-dasar akad diantaranya :
Firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al Maidah
ayat 1 yakni:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah
aqad-aqad itu dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu
sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.”
Dalam kaidah fiqih dikemukakan yakni:
Dalam kaidah fiqih dikemukakan yakni:
Hukum asal dalam transaksi adalah keridlaan
kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang
diakadkan. Maksud keridlaan tersebut yakni keridlaan dalam transaksi
adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila
didasarkan kepada keridlaan kedua belah pihak.
HIKMAH AKAD
Diadakanya akad dalam muamalah antar sesama manusia tentu mempunyai hikmah, hikmah akad antara
lain:
ü Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau
lebih dalam bertransaksi
ü Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu
ikatan perjanjian.
ü Akad merupakan paying hokum didalam kepemilikan
sesuatu, sehingga orang lain tidak dapat menggugat atau milikinya.
Secara etimologi akad berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan. Adapun secara terminology, Akad adalah perikatan ijab dan Kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan dari kedua belah pihak.
Rukun-rukun akad meliputi: ‘aqid, orang yang berakad. Mauqud alaih, benda-benda yang diakadkan. Maudhu’ al-aqd, tujuan atau maksud pokok melakukan akad. Shighat al-aqd, ijab Kabul.
Akad memiliki berbagai macam, tergantung dari ahli fiqh muamalah itu memandang dari sudut pandangnya. Selain itu, akad memiliki kedudukan yang sangat penting dalam fiqh muamalah dalam kehidupan sehari-hari umat manusia.
BENTUK-BENTUK PEMBERIAN HARTA KEPADA ORANG LAIN
HIBAH,SEDEKAH dan HADIAH
v
HIBAH
Pengertian Hibah
Secara etimologi kata hibah
adalah bentuk masdar dari kata wahaba, yang berarti pemberian.
Sedangkan hibah menurut istilah adalah akad
yang pokok persoalannya, pemberian harta milik
orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan.
Hibah adalah akad pemberian harta
milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai
tanda kasih sayang.
Firman Allah SWT. :
وَأَتَىالْمَالَ عَلَىحُبِّهِ ذَوِىالْقُرْبَىوَالْيَتَمَىوَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّائِلِيْنَ وَفِىالرِّقَابِ
“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya” (QS. Al Baqarah : 177).
Memberikan Sesuatu kepada orang lain, asal barang atau harta
itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT. Untuk
itu hibah hukumnya mubah.
Sabda Nabi SAW. :
عَنْ خَالِدِابْنِ عَدِيِ أَنَّ النَّبِىَص م قَالَ مَنْ جَاءَهُ مِنْ اَخِيْهِ مَعْرُوْفٌ مِنْ غَيْرِإِسْرَافٍ وَلاَمَسْأَلَةٍ فَلْيَقْبِلْه ُ وَلاَيَرُدُّهُ فَإِنَّمَا هُوَرِزْقٌ سَاقَهُ الله ُاِلَيْهِ (رواه احمد)
“Dari Khalid bin Adi, sesungguhnya Nabi
Muhammad SAW. telah bersabda, : “Barang siapa yang diberi oleh saudaranya
kebaikan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak ia minta, hendaklah diterima
(jangan ditolak). Sesungguhnya yang demikian itu pemberian yangdiberikan Allah
kepadanya” (HR. Ahmad).
Rukun dan Syarat Hibah
a. Pemberi Hibah (Wahib)
Syarat-syarat pemberi hibah (wahib)
adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan
tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.
b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu)
Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu),
diantaranya :
Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya
pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas
dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak
sah dilakukan hibah kepadanya
c. Barang yang dihibahkan (Mauhub)
Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub),
diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai
atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status
kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.
d. Akad (Ijab dan Qabul)
misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan
atau kuberikan tanah ini kepadamu ”, si penerima menjawab, “ya saya terima
pemberian saudara”.
Macam-macam
Hibah
Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu
:
1. Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang
mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya
tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya menghibahkan rumah, sepeda
motor, baju dan sebagainya.
2. Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar
dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau
barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah
manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja.
Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah
seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan
pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang
yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.
Hikmah Hibah
Adapun hikmah hibah adalah :
1. Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama
2. Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
3. Dapat mempererat tali silaturahmi
4. Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.
Syarat
Hibah
Adapun syarat-syarat hibah sebagai berikut :
a. Syarat bagi Penghibah (pemberi hibah) :
1. Penghibah adalah orang yang memiliki dengan
sempurna sesuatu atas harta yang dihibahkan. Dalam hibah terjadi pemindahan
milik karena itu mustahil orang yang tidak memiliki akan menghibahkan sesuatu
barang kepada orang lain.
2. Penghibah itu adalah orang yang mursyid,
yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi persoalan
atau perkara yang berkaitan dengan pengadilan mengenai harta tersebut.
3. Penghibah tidak berada di bawah perwalian
orang lain, jadi penghibah itu harus orang dewasa, sebab anak-anak kurang
kemampuannya.
4. Penghibah harus bebas tidak ada tekanan
dari pihak lain dipaksa karena hibah disyratkan kerelaan dalam kebebasan.
5. Seseorang melakukan hibah itu dalam
mempunyai iradah dan ikhtiyar dalam melakukan tindakan atas dasar pilihannya
bukan karena dia tidak sadar atau keadaan lainnya. Seseorang dikatakan ikhtiar
dalam keadaan tindakan apabila ia melakukan perbuatan atas dasar pilihannya
bukan karena pilihan orang lain, tentu saja setelah memikirkan dengan matang.
b. Syarat bagi Penerima Hibah :
1. Bahwa ia telah ada dalam arti yang sebenarnya karena itu tidak sah anak
yang lahir
menerima hibah.
2. Jika penerima hibah itu orang yang belum mukalaf, maka yang bertindak
sebagai penerima hibah adalah wakil atau walinya atau orang yang bertanggung
jawab memelihara dan mendidiknya.
c. Syarat bagi barang atau harta yang dihibahkan :
1. Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya waktu hibah
dilaksanakan.
2. Barang yang dihibahkan itu adalah barang yang boleh dimiliki secara sah
oleh ajaran Islam.
3. Barang itu telah menjadi milik sah dari harta
penghibah mempunyai sebidang tanah yang akan dihibahkan adalah seperempat tanah
itu, di waktu menghibahkan tanah yang seperempat harus dipecah atau ditentukan
bagian dan tempatnya.
4. Harta yang dihibahkan itu dalam kekuasaan
yang tidak terikat pada suatu perjanjian dengan pihak lain seperti harta itu
dalam keadaan digadaikan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) membatasi harta yang
dihibahkan sebanyak-banyaknya sepertiga ( 1/3 ) dari harta milik penghibah,
sebagaimana tersebut dalam Pasal 210 Ayat ( 1 ).
Mencabut Hibah
Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah
itu hukumnya haram, kecuali hibah orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW. :
لاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِىعَطِيَّةًأَوْيَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا إِلاَّالْوَالِدِفِيْمَايُعْطِىلِوَلَدِهِ
“Tidak halal seorang muslim memberikan suatu
barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR.
Abu Dawud).
Sabda Rasulullah SAW. :
اَلْعَائِدُ فِىهِبَتِهِ كَااْلكَلْبِ يُقِئُ ثُمَّ يَعُوْدُفِىقَيْئِهِ (متفق عليه)
“Orang yang menarik kembali hibahnya
sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu” (HR.
Bukhari Muslim).
Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut
:
1. Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa
mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.
2. Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang
menerima hibah..
3. Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan
fitnah dari pihak lain
v SEDEKAH
Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang
berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain
secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga
berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang
mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas
oleh para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu' (sedekah secara
spontan dan sukarela).
Shadaqah itu tidak hanya dalam bentuk materi,
tetapi juga dalam bentuk tindakan seperti senyum kepada orang lain termasuk
shadaqah. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW. :
تَبَسُّمُكَ فِىوَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ
(رواهالبخارى)
“Tersenyum dihadapan temanmu itu adalah bagian
dari shadaqah” (HR. Bukhari).
Hukum hadiah-menghadiahkan dari orang Islam
kepada orang diluar Islam atau sebaliknya adalah boleh karena persoalan ini
termasuk sesuatu yang berhubungan dengan sesama manusia (hablum minan
naas).
Shadaqah itu tidak hanya dalam bentuk materi,
tetapi juga dalam bentuk tindakan seperti senyum kepada orang lain termasuk
shadaqah. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW. :
تَبَسُّمُكَ فِىوَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ
(رواهالبخارى)
“Tersenyum dihadapan temanmu itu adalah bagian
dari shadaqah” (HR. Bukhari).
Hukum hadiah-menghadiahkan dari orang Islam
kepada orang diluar Islam atau sebaliknya adalah boleh karena persoalan ini
termasuk sesuatu yang berhubungan dengan sesama manusia (hablum minan
naas).
Hukum Shadaqah
Hukum shadaqah adalah sunah
Sabda Rasulullah SAW. :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّهُمَّ عَنْهُمَ عَنِ النَّبِيْ ص م قَالَ لَوْدُعِيْتُ إِلَىذِرَاعٍ أَوْكُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ
أُهْدِيَ اِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْكُرَاعٌ لَقَبِلْتُ (رواه البخارى)
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW.telah
bersabda sekiranya saya diundang untuk makan sepotong kaki binatang, undangan
itu pasti saya kabulkan, begitu juga kalau potongan kaki binatang dihadiahkan
kepada saya tentu saya terima” (HR. Bukhari).
Syarat-syarat Shadaqah
A. Orang yang memberikan shadaqahitu sehat akalnya
dan tidak dibawah perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang
yang kurang sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqahnya.
B. Penerima haruslah orang yang benar-benar
memerlukan karena keadaannya yang terlantar.
C. Penerima shadaqah haruslah orang yang berhak
memiliki, jadi shadaqah atau hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan
tidak sah.
D. Barang yang dishadaqahkan harus bermanfaat bagi
penerimanya.
Rukun Shadaqah
A. Pemberi shadaqah
B. Penerima shadaqah
C. Ijab dan Qabul artinya pemberi menyatakan
memberikan, penerima menyatakan suka.
D. Barang atau Benda (yang dishadaqahkan).
Hikmah Shadaqah
A. Menumbuhkan ukhuwah Islamiyah
B. Dapat menghindarkan dari berbagai bencana
C. Akan dicintai Allah SWT.
Sabda Nabi Muhammad SAW. :
تَهَادُوْافَإِنَّ الْهَدِيَّةَتُذْهِبُ وَحَرَّالصَّدْرِ (رواه ابو يعلى)
“Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat
menghilangkan tipu daya dan
kedengkian” (HR. Abu Ya’la).
عَلَيْكُمْ بِالْهَدَايَافَاِنَّهَاتُورِثُ الْمَوَدَّةَوَتُذْهِبُ الضَّغَائِنَ (رواه الديلمى)
“Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena
ia akan mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR.
Dailami).
v HADIAH
Hadiah adalah akad pemberian
harta milik seseorang kepada orang lain tanpa adanya imbalan sebagai
penghormatan atas suatu prestasi.
Hukum Hadiah
Hukum hadiah adalah mubah artinya boleh saja
dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Sabda Rasulullah SAW. :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّهُمَّ عَنْهُمَ عَنِ النَّبِيْ ص م قَالَ لَوْدُعِيْتُ إِلَىذِرَاعٍ أَوْكُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ
أُهْدِيَ اِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْكُرَاعٌ لَقَبِلْتُ (رواه البخارى)
“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW.telah
bersabda sekiranya saya diundang untuk makan sepotong kaki binatang, undangan
itu pasti saya kabulkan, begitu juga kalau potongan kaki binatang dihadiahkan
kepada saya tentu saya terima” (HR. Bukhari).
Syarat-syarat Hadiah
A. Orang yang memberikan hadiah itu sehat akalnya
dan tidak dibawah perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang
yang kurang sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan hadiahnya.
B. Penerima haruslah orang yang benar-benar
memerlukan karena keadaannya yang terlantar.
C. Penerima hadiah haruslah orang yang berhak
memiliki, jadi hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah.
D. Barang yang dihadiahkan harus bermanfaat bagi
penerimanya.
Hukun Hadiah
A. Pemberi hadiah.
B. Penerima hadiah.
C. Ijab dan Qabul artinya pemberi menyatakan
memberikan, penerima menyatakan suka.
D. Barang atau Benda (yang dihadiahkan).
Hikmah Hadiah
A. Menjadi unsur bagi suburnya kasih sayang
B. Menghilangkan tipu daya dan sifat
kedengkian.
Sabda Nabi Muhammad SAW. :
تَهَادُوْافَإِنَّ الْهَدِيَّةَتُذْهِبُ وَحَرَّالصَّدْرِ (رواه ابو يعلى)
“Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat
menghilangkan tipu daya dan
kedengkian” (HR. Abu Ya’la).
عَلَيْكُمْ بِالْهَدَايَافَاِنَّهَاتُورِثُ الْمَوَدَّةَوَتُذْهِبُ الضَّغَائِنَ (رواه الديلمى)
“Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena
ia akan mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR.
Dailami).
v persamaan dan Perbedaan Antara Sedekah, Hibah,
dan Hadiah
Baik sedekah, hibah, maupun hadiah merupakan
perbuatan memberikan sesuatu kepada orang lain yang menerimanya. Namun
demikian, terdapat perbedaan antara ketiganya. Persamaan dan perbedaannya
adalah sebagai berikut.
ü persamaan
1. Sedekah, hibah, dan hadiah sama-sama merupakan
wujud kedermawanan yang dimiliki seseorang
2. Sedekah, hibah, dan hadiah merupakan pemberian
secara cuma-cuma tanpa mengharap pemberian kembali.
ü perbedaan
Ø
Sedekah
· pemberian sesuatu yang didasarkan atas
kepedulian terhadap fakir miskin.
· Perbuatan ini dilakukan semata-mata untuk
mencari Ridha Allah SWT
· Sebagai salah satu perwujudanrasa syukur kepada
Allah SWT
· Pemberian ini ditujukan kepada fakir miskin dan
anak yatim
· Pemberian biasanya dalam bentuk uang
· Untuk melaksanakan sedekah tidak perlu tata
cara tertentu
· Sedekah hukumnya sunnah muakkad
Ø
Hibah
· Merupakan pemberian yang didasarkan atas kasih
sayang
· Pemberian ini lebih bersifat keduniawian
· Pemberian ini ditujukan kepada orang-orang yang
masih dalam hubungan keluarga
· Pemberian ini biasanya dalam bentuk barang
tidak bergerak
· Untuk melaksanakan hibah perlu tata cara
tertentu, misalnya dilakukan secara tertulis
· Hibah hukumnya sunnah
Ø
Hadiah
· Merupakan pemberian yang diberikan atas keadaan
atau peristiwa tertentu
· Pemberian ini lebih bersifat keduniawian
· Pemberian ini ditujukan kepada orang-orang
tertentu
· Pemberian ini biasanya dalam bentuk barang,
baik barang bergerak seperti alat-alat sekolah, televisi, dan lain-lain, maupun
barang bergerak
· Untuk melaksanakan hadiah, bisa melalui tata
cara atau prosedur tertentu dan bisa pula tidak
Hadiah hukumnya mubah (boleh)
Perdagangan (Al Buyu’) dan
Hal-hal yang Berhubungan Dengannya
Pengertian Jual Beli (Al
Buyu’)
Jual beli Adalah proses
pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain dengan menggunakan
uang sebagai alat tukarnya. Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran
sesuatu dengan sesuatu
(yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i,
asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Dasar Hukum Jual Beli
Landasan atau dasar hukum
mengenai jual beli ini disyariatkanberdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :
1. Al Qur’an
Yang mana Allah SWT berfirman dalam surat
An-Nisa : 29
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu
makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisa : 29).
“Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba” (QS.
Al-Baqarah : 275).
2. Sunnah
Nabi, yang mengatakan:” Suatu ketika
Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan
tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang
menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’). Maksud mabrur dalam
hadist adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan
orang lain.
3. Ijma’
Ulama telah sepakat bahwa
jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi
kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan
atau barang milik orang lain
yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi
tertentu, hukum jual beli itubisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram,
dan makruh.
Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun dan
syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli ayang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum
islam).
Rukun Jual Beli:
·
Dua pihak membuat akad penjual dan pembeli
·
Objek akad (barang dan harga)
·
Ijab qabul (perjanjian/persetujuan)
a. Orang
yang melaksanakan akad jual beli ( penjual dan pembeli )
Syarat-syarat yang harus dimiliki
oleh penjual dan pembeli adalah :
1. Berakal,
jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak sah.
2. Baligh, jual belinya anak kecil
yang belum baligh dihukumi tidak sah. Akan tetapi, jika anak itu sudah mumayyiz
(mampu membedakan baik atau buruk), dibolehkan melakukan jual beli terhadap
barang-barang yang harganya murah seperti : permen, kue, kerupuk, dll.
3. Berhak menggunakan hartanya. Orang
yang tidak berhak menggunakan harta
milik orang yang sangat bodoh (idiot) tidak sah jual belinya.
Firman Allah ( Q.S. An-Nisa’(4): 5):
b. Sigat atau Ucapan
Ijab dan Kabul. Ulama fiqh
sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan
pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui
ucapan ijab (dari
pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).
Adapun syarat-syarat ijab kabul adalah :
1. Orang yang
mengucap ijab kabul telah akil baliqh.
2. Kabul harus sesuai dengan ijab.
3. Ijab dan kabul dilakukan dalam suatu majlis.
c. Barang Yang Diperjual Belikan
Barang yang diperjual-belikan harus
memenuhi syarat-syarat yang diharuskan, antara lain :
1. Barang
yang diperjual-belikan itu halal.
2. Barang
itu ada manfaatnya.
3. Barang
itu ada ditempat, atau tidak ada tapi ada ditempat lain.
4. Barang
itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaanya.
5. Barang
itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembelidengan jelas, baik
zatnya, bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.
d. Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern
sampai sekarang ini berupa uang).
Adapun syarat-syarat bagi nilai
tukar barang yang dijual itu adalah :
1. Harga jual
disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
2. Nilai tukar
barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara
hukum, misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit.
3. Apabila jual beli
dilakukan secara barter atau Al-muqayadah (nilai
tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa uang).
Syarat
Jual-Beli
Syarat jual beli menurut madzhab Hanafiyah
Dalam akad jual beli harus disempurnakan empat (4)
syarat, yaitu:
·
Syarat In’iqad
(dibolehkan oleh syar’i)
·
Syarat Nafadz
(harus milik pribadi sepenuhnya)
·
Syarat Umum
(terbebas dari cacat)
·
Syarat Luzum
(Syarat yang membebaskan dari khiyar)
Syarat jual beli menurut madzhab
Malikiyah
Malikiyah
merumuskan 3 macam syarat jual beli, yaitu:
·
Aqid
·
Sighat
·
Obyek Jual Beli
Syarat jual
beli menurut madzhab Syafi’iyah
Syafi’iyah
merumuskan dua kelompok persyaratan jual beli, yaitu:
·
Ijab Qabul
·
Obyek Jual beli.
Menurut Madzhab Hanabilah
Madzhab
Hanabilah merumuskan tiga kategori syarat jual beli, yaitu:
·
Aqid
·
Sighat
·
Obyek Jual Beli
Hal-hal Yang Terlarang Dalam Jual Beli
Jual beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain ditinjau
dari segi sah atau tidak sah dan terlarang atau tidak terlarang.
1. Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu
jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
2. Jual beli yang terlarang dan tidak sah (bathil)
yaitu jual beli yang salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi atau jual
beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan (disesuaikan dengan ajaran
islam).
3. Jual beli yang sah tapi terlarang ( fasid ).
Jual beli ini hukumnya sah, tidak membatalkan akad jual beli, tetapi dilarang
oleh Islam karena sebab-sebab lain.
4. Terlarang
sebab Ahliah (Ahli Akad). Ulama telah sepakat bahwa jual beli
dikategorikan sah apabila dilakukan oleh orang yang baliqh, berakal, dapat
memilih. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya sebagai berikut :
Ø Jual beli yang dilakukan oleh orang gila.
Ø Jual beli yang dilakukan oleh anak kecil. Terlarang
dikarenakan anak kecil belum cukup dewasa untuk mengetahui perihal tentang jual
beli.
Ø Jual beli yang dilakukan oleh orang buta. Jual beli ini
terlarang karena ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan barang yang baik.
Ø Jual beli terpaksa
5. Jual beli fudhul adalah jual
beli milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.
6. Jual beli yang terhalang. Terhalang disini
artinya karena bangkrut, kebodohan, atau pun sakit.
7. Jual
beli malja’ adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya,
yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim.
8. Terlarang Sebab Shigat. Jual
beli yang antara ijab dan kabulnya tidak ada kesesuaian maka dipandang tidak sah. Beberapa jual
beli yang termasuk terlarang sebab shiqat sebagai berikut :
Ø Jual beli Mu’athah. Jual
beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun
harganya, tetapi tidak memakai ijab kabul.
Ø Jual
beli melalui surat atau melalui utusan dikarenakan kabulyang
melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah, seperti surat tidak sampai
ketangan orang yang dimaksudkan.
Ø Jual beli dengan syarat
atau tulisan. Apabila isyarat dan tulisan tidak dipahami dan tulisannya jelek
(tidak dapat dibaca), maka akad tidak sah.
Ø Jual
beli barang yang tidak ada ditempat akad. Terlarang karena tidak memenuhi syarat in’iqad (terjadinya
akad). Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan kabul.
Ø Jual beli munjiz adalah yang
dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.
9. Terlarang
Sebab Ma’qud Alaih (Barang jualan) Ma’qud alaih adalah
harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa
disebut mabi ’(barang jualan) dan harga. Tetapi ada beberapa masalah yang
disepakati oleh sebagian ulama, tetapi diperselisihkan, antara lain :
Ø Jual
beli benda yang tidak ada atau dikhwatirkan tidak ada.
Ø Jual beli yang tidak dapat diserahkan. Contohnya jual
beli burung yang ada di udara, dan ikan yang ada didalam air tidak berdasarkan
ketetapan syara’.
Ø Jual beli gharar adalah
jual beli barang yang menganung unsur menipu (gharar)..
Ø Jual beli barang yang najis dan yang terkena
najis. Contohnya : Jual beli bangkai, babi, dll.
Ø Jual beli air
Ø Jual beli barang yang tidak jelas (majhul). Terlarang
dikarenakan akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.
Ø Jual
beli yang tidak ada ditempat akad (gaib) tidak dapat dilihat. Jual
beli sesuatu sebelum dipegangi. Jual beli buah-buahan atau
tumbuhan apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad.
Setelah ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid.
10. Terlarang Sebab Syara’ Jenis
jual beli yang dipermasalahkan sebab syara’ nya diantaranya adalah:
· jual beli riba
· Jual beli dengan uang dari barang yag
diharamkan. Contohnya jual beli khamar, anjing, bangkai.
· Jual beli barang dari hasil pencegatan barang yakni mencegat
pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang dituju sehingga orang yang mencegat
barang itu mendapatkan keuntungan.
· Jual
beli waktu adzan jum’at.Terlarang dikarena bagi laki-laki yang melakukan
transaksi jual belidapat mengganggukan aktifitas kewajibannya sebagai
muslim dalam mengerjakan shalat jum’at.
· Jual beli anggur untuk
dijadikan khamar .
· Jual
beli barang yang sedang dibeli oleh orang laing. Jual beli hewan ternak yang
masih dikandung oleh induknya.
MACAM-MACAM JUAL BELI
1. Macam- Macam Jual Beli Ditinjau dari Segi Obyek
Jual Beli
a. Jual beli benda yang kelihatan
Yaitu pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang
diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan
masyarakat banyak dan boleh dilakukan, seperti membeli beras di pasar.
b. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian.
Yaitu jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam
adalah untuk jual beli yang tidak tunai, salam pada awalnya berarti meminjamkan
barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah
perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu,
sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad
c. Jual beli benda yang tidak ada serta tidak
dapat dilihat
Yaitu jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu
sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang
titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.
2. Macam-Macam Jual Beli Ditinjau dari Segi Pelaku Akad (Subyek)
a. Dengan lisan
Penyampaian akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang seperti dengan
berbicara.
b. Dengan perantara atau utusan
Penyampaian akad jual beli melalui perantara, utusan, tulisan, atau
surat-menyurat sama halnya dengan ijab qabul dengan ucapan, misalnya Via Pos
dan Giro. Jual beli ini dilakukan antara penjual dan pembeli tidak berhadapan
dalam satu majelis akad, tetapi melalui Pos dan Giro, jual beli seperti ini
dibolehkan menurut syara’.
c. Jual beli dengan perbuatan
Yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab qabul, seperti seseorang
mengambil rokok yang sudah bertuliskan label harganya, dibandrol oleh penjual
kemudian diberikan uang pembayarannya kepada penjual. Jual beli dengan cara
demikian dilakukan tanpa sighat ijab qabul antara penjual dan pembeli, menurut
sebagian Syafi’iyah tentu hal ini dilarang sebab ijab qabul sebagai rukun jual
beli. Tetapi sebagian lainnya, seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli barang
kebutuhan sehari-hari dengan cara yang demikian, yakni tanpa ijab qabul
terlebih dahulu.
3. Macam-Macam
Jual Beli Berdasarkan Pertukaran
a. Jual beli saham (Pesanan)
Jual beli saham adalah juual beli melalui pesanan, yaitu jual beli dengan
cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.
b. Jual beli muqayadhah (barter)
Jual beli muqayadhah adalah jual beli dengan cara menukar barang
dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.
c. Jual beli muthlaq
Jual beli muthalaq adalah jual beli barang dengan suatu yang telah
disepakati sebagai alat penukaran seperti uang
d. Jual beli alat penukar dengan alat penukar
Jual beli alat tukar dengan alat penukaran adalah jual beli barang yang
bisa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainya, seperti uang
perak dengan uang emas.
4. Macam-Macam
Jual Beli Berdasarkan Segi Harga
a. Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah).
b. Jual beli yang tidak menguntungkan
(at-tauliyah)
Yaitu jual beli yang tidak menguntungkan yang menjual barang dengan harga
aslinya, sehingga penjual tidak mendapatkan keuntungan.
a. Jual beli rugi(al-khasarah).
b. Jual beli al-musawah..
Jual beli al-musawah adalah penjual menyembunyikan harga aslinya tetapi
kedua orang yang akad saling meridhai,jual beli seperti inilah yang sekarang berkembang.
Khiyar dan Macam-Macamnya
A. Pengertian Khiyar
1. Secara Kata Bahasa
Arab.
Menurut kamus besar bahasa arab
al-munawwir, kata-kata khiyar dapat di jumpai dengan kata-kata “الحيار ولاختيار ‘’ artinya pilihan. Sedangkan ‘’ حر ية ‘’
artinya kebebasan memilih dan ‘’احتيارا
‘’ dengan kemauan sendiri serta ‘’ artinya kebaikan dikiuti kata-kata “ الخيرية ‘’
berdasarkan kemauan sendiri.
Jadi khiyar secara
bahasa dapat diartikan ‘’pilihan,
kebebasan memilih, kemauan sendiri, kebaikan, berdasarkan kemauan sendiri.
2. Secara Terminology
Ulama’
Sedangkan menurut
istilah yang disebutkan didalam kiitab fiqih islam yaitu ‘’khiyar artinya boleh
memilih antara dua, meneruskan aqad jual beli atau di urungkan, (ditarik
kembali tidak jadi jual beli).
Diadakannya khiyar
oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli agar dapat memikirkan
kemaslahatan masing-masing lebih jauh. Supaya tidak terjadi penyesalan di
kemudia hari, lantaran merasa tertipu.
Secara
terminologis para ulama fiqh mendefinisikan al-khiyar dengan:
أَنْ يَكُوْنَ
لِلْمُتَعَاقِدِ الْخِيَارُبَيْنَ إِمْضَاءِ الْعَقْدِ وَعَدَمِ إِمْضَائِهِ
بِفَسْخِهِ رفقا لِلْمُتَعَا قِدَيْنِ.
Artinya
: hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi
untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan
kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
3. Pendapat Ahli
Fiqih
a. Menurut ulama
fiqih pengertian khiyar yaitu
انيكون للمتعاقدالحق في
امضاء العقد او فسخه ان كا ن الخيار شرط اورءسة او عي او ان يختاراحد
البيعين ان كان الخيارخيار ثعيين
Artinya sesuatu
keada yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan aqadnya, yakni
menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib
atau ru’yah, atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta’yin.
a. Menurut dr. H.
Hendi suhendi, m.si.
Yatiu menurut
agama islam di bolehkan memilih atau melanjutkan jual beli atau membatalkannya.
b. Menurut asy-syekh muhammad bin
qosim al-ghozali
Khiyar adalah bagi
penjual dan pembeli ada hak khiyar (memilih) antara meneruskan atau membatalkan
jual belinya.
Maksudnya yaitu
bagi penjual dan pembeli ada hak tetap untuk memilih beberapa macam aqad jual
beli di tempatnya (khiyar majlis) seperti pesanan (salam), selama keuanya belum
terpisah artinya suatu masa tidak terpisah kedua belah pihak menurut kebiasaan.
c. Menurut kompilasi
hukum ekonomi syariah
Sedangkan
pengertian khiyar menurut kompilasi hukum ekonomi syariah (khes) pasal 20 (8)
adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan
akad jual beli yang dilakukannya.
B, Pembagian Khiyar
1. Khiyar Syarat
Menurut ulama
fiqih khiyar syarat yaitu:
اَنْ يَكُوْنَ ِلأَحَدِالْعَاقِدَيْنِ اَوْلِكِيْلَهُمَا
اَوْ لِغَيْرِهُمَاالْحَقِّ فىِ فَسْحِ الْعَقْدِاِوْاِمْضَائِهِ خِلاَلَ مُدَّةٍ
مَعْلُوْمَةٍ
Artinya’’
sesuatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang aqad atau masing-masing
yang aqad atau selain kedua belah pihak yang aqad memiliki hak atas
pembatalan atau penetapan aqad selama waktu yang ditentukan.’’
Contohnya:
‘’seorang pembeli
berkata’’
‘’saya beli dari kamu barang ini, dengan catatan saya ber-khiyar (pilih-pilih)
selama sehari atau tiga hari.’’ Khiyar di syariatkan antara lain untuk menghilangkan
unsur kelalaian atau tipu-menipu bagi pihak yang aqad,
2. Khiyar Majlis
Khiyar majlis
menurut pengertian ulama’ fiqih
اَنْ يَكُوْنَ لِكُلِّ مِنَ الْعَا قِدَيْنِ حَقٌّ
فَسْحُ الْعَقْدِ مَادَامَ فِى مَجْلِسٍ الْعَقْدِ لَمْ يَتَفَرَّقَاَ بِاَبْدَانِهَايُخَيِّرُاَحَدُهُمَااْلا
خَرَ فَيُخْتَارُ لُزُوْمُ اْلعَقْدِ
Artinya: ‘ hak bagi
semua pihak yang melakukan akad atau membatalkan akad selagi masih berada di
tempat akad dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga
muncul kelaziman dalam akad.
Khiyar majlis di
kenal dikalangan ulama syafiiyah dan hanabilah.
Dengan demikian ,
akad akan menjadi lazim jika kedua belah pihak telah berpisah atau memilih.
Khiyar majlis hanya ada pada akad yang sifatnya pertukaran, seperti jual beli,
upah-mengupah dan lain-lain
3. Khiyar ‘Aib
Menurut ulama
fiqih arti khiyar ‘aib(cacat) yaitu:
اَنْ يَكُوْنَ ِلأَحَدِالْعَاقِدَيِنِ الْحَقَّ فِى
فَسْخِ الْعَقْدِاَوْاِمْضَاءِهِ اِذَا وُجِدَ عَيْبٌ فِى اَحَدِ الْبَدْ لَيْنِ
وَلَمْ يَكُنْ صَا حِبُهُ عَالِمًابِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ
artinya:
keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk membatalkan
akad atau menjadikannya.
Penyebab
khiyar aib adalah adanya cacat pada barang yang dijual belikan (ma’qul alaih) atau harga (tsaman), karena kurang nilainya atau tidak
sesuai dengan maksud, atau orang yang dalam akad tidak meneliti kecacatannya
ketika akad.
khiyar aib disyaratkan dalam islam, yang didasarkan pada hadits, salah satunya
ialah:
اَلْمُسْلِمُ اَخُواْلمُسْلِمِ
لَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ اَخِيْهِ بَيْعًا وَفِيْهِ عَيْبٌ
اِلَّابَيّنَةٌ لَهُ.
(رواه
بن ماجه عن عقبة بن عار)
Artinya:
“seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidaklah halal bagi seorang
muslim untuk menjual barang bagi saudaranya yang mengandung kecacatan, kecuali
jika menjelaskanya terlebih dahulu.
4. Khiyar Ru’yah
khiyar
ru’yah ialah hak pembeli untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika
dia melihat obyek akad dengan syarat dia belum melihatnya ketika berlangsung
akad atau sebelumnya dia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan
telah terjadi perubahan atasanya.
konsep
khiyar ini disampaikan oleh fuqoha hanafiyah, malikiyah, hanabilah dan
dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau
benda yang belum pernah diperiksa. Sedangkan menurut imam syafi’i khiyar ru’yah
ini tidak sah dalam proses jual beli karena menurutnya jual beli terhadap
barang yang ghaib (tidak ada ditempat) sejak semula dianggap tidak sah. Adapun
landasan hukum mengenai khiyar ru’yah sebagaimana diterangkan dalam sebuah
hadits:
من اشترى شيئا لم يراه
فهو بالخيار اذاراه (رواهالدارقطنى عن أبي هريرة)
“barang
siapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka baginya hak
khiyar ketika melihatnya.” (hr ad-daruqutni dari abu hurairah).
5. Khiyar
Naqd (Pembayaran)
khiyar naqd
tersebut terjadi apabila dua pihak melakukan jual beli dengan ketentuan jika
pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, atau pihak penjual tidak menyerahkan
barang dalam batas waktu tertentu. Maka pihak yang dirugikan mempunyai hak
untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad.
Bentuk Kerjasama Dalam Perdagangan : Syirkah dan
Mudharabah
Ø Syirkah
I.
Pengertian Syirkah
Kata syirkah dalam
bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il
mâdhi),yasyraku (fi’il
mudhâri’), dan mashdar (kata
dasar)nya ada tiga wazn(timbangan),
boleh dibaca dengan salah satunya, yaitu: syirkatan /syarikatan /syarakatan;
artinya persekutuan atau perserikatan. Dan dapat diartikan pula dengan
percampuran, sebagaimana firman Allah dalam surat Shaad, ayat 24. (Taudhihul
Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601).
Akan tetapi, menurut Abdurrahman
Al-Jaziri, dibaca syirkah lebih
fasih. (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, III/58)
Adapun menurut istilah para ulama
fikih, syirkah adalah
suatu akad kerja sama antara dua orang atau lebih untuk suatu usaha tertentu di
mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan
kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. (Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusydi II/253).
II.
Hukum Syirkah:
Syirkah hukumnya
diperbolehkan atau disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus)
kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
A. Al-Qur’an:
Firman Allah Ta’ala: “Dan
Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka
berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad:
24)
Dan firman-Nya pula: “Maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan
perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan
harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara
otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar
akad (transaksi).
B. Hadits:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga
dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak
lainnya. Kalau
salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan
Al-Hakim no.2322).
C. Ijma’:
Ibnu Qudamah berkata: “Kaum muslimin
telah berkonsensus terhadap legitimasisyirkah secara
global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.” (Al-Mughni V/109).
III.
Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:
Menurut mayoritas ulama fikih, bahwa
rukun syirkah itu ada 3 (tiga), yaitu:
(1) akad (ijab-kabul), disebut
juga shighat;
(2) dua pihak yang berakad (al–‘âqidâni), syaratnya harus
memiliki kecakapan melakukan tasharruf(pengelolaan harta);
(3) obyek akad, disebut juga al–ma’qûd ‘alaihi, yang
mencakup pekerjaan (al–amal) dan atau modal (al–mâl).
(Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibi al-Arba’ah, Abdurrahman al-Jaziri).
Adapun syarat sah akad ada 2 (dua)
yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas
pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2)
obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah
menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra
usaha).
IV. Syarat Syirkah
Syarat-syarat yang
berhubungan dengan syirkah menurut Hanafi dibagi menjadi empat bagian:
Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun
lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat yaitu:
·
Yang
berkenaan dengan benda yang diaqadkan adalah harus dapat diterima sebagai
perwakilan
·
Yang
berkenaan dengan keuntungan yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat
diketahui kedua pihak
Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta) dalam hal ini
terdapat dua perkara yang harus dipenuhi yaitu:
Ø Modal yang dijadikan objek aqad syirkah adalah alat pembayaran seperti
riyal dan rupiah
Ø Yang dijadikan modal ada ketika aqad syirkah dilakukan.
Dalam syarikat mufawadhah disyaratkan:
Ø Modal dalam syirkah mufawadhah harus sama
Ø Bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah
Ø Bagi yang dijadikan objek aqaddisyaratkan syirkah umum, yakni pada semua
macam jual beli/perdagangan.
Syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-syarat
syirkah mufawadah.
Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang
melakukan aqad ialah:
Ø Merdeka
Ø Baligh
Ø Pintar (Rusyd)
V.
Macam-Macam Syirkah:
Syirkah ada dua jenis:
Pertama:
Syirkah Amlaak (Hak Milik)
Yaitu penguasaan harta secara
kolektif, berupa bangunan, barang bergerak atau barang berharga. Yaitu
perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli,
hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkahseperti
ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak
boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya. (Taudhihul Ahkam, Syaikh
Abdullah Al-Bassam IV/601).
Misalnya; si A dan si B diberi wasiat
atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau
membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka
mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut. (Fiqhus Sunnah, Sayyid
Sabiq III/258, dan Al-Fiqhu
Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/794)
Kedua
: Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang
yang bersekutu dalam modal dan keuntungan, misalnya, dalam transaksi jual beli
atau lainnya. Bentuk syirkahseperti
inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkahseperti
ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkahdengan
kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang,
jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang
dipergunakan adalah milik rekannya.
·
Macam-Macam Syirkah Uquud
(Transaksional/kontrak):
Berdasarkan penelitian para ulama
fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima
macam syarikah: yaitu: (1) syirkah al- inân; (2) syirkah
al-abdân; (3) syirkah
al-mudhârabah; (4) syirkah al-wujûh; dan (5)syirkah
al-mufâwadhah.
Menurut ulama Hanabilah, yang sah
hanya empat macam, yaitu: syirkah inân,abdân, mudhârabah,
dan wujûh.
Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah
inân, abdan,
dan mudhârabah.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah, yang sah hanya syirkah
inân dan mudhârabah. Sedangkan
menurut Hanafiyah semua bentuk syirkah boleh/sah bila memenuhi syarat-syaratnya
yang telah ditetapkan. (Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu,Wahbah
Az-Zuhaili, IV/795).
[1].
Syirkah al-‘Inaan, Yaitu kerja sama antara dua orang
atau lebih dengan harta masing-masing untuk dikelola oleh mereka sendiri, dan
keuntungan dibagi di antara mereka, atau salah seorang sebagai pengelola dan
mendapat jatah keuntungan lebih banyak daripada rekannya.
Jenis syirkah ini
yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang, karena tidak disyaratkan adanya
kesamaan modal, usaha dan tanggung jawab.
Dan hukum syirkah ini
diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh
Ibnu al-Mundzir. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah
Az-Zuhaily IV/796).
Contoh syirkah
inân: A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan
bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan
konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja
dalam syirkah tersebut.
Dalam syirkah ini,
disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh),
misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modalsyirkah, kecuali
jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk)
berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka
masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang
berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ
Qadril Mâlain).
Diriwayatkan oleh Abdur
Razaq dalam
kitab Al-Jâmi’,
bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah
berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan
didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”
[2].
Syirkah al-Mudharabah, Yaitu, seseorang sebagai pemodal
(investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudharib)
untuk diperdagangkan, dan dia berhak mendapat prosentase tertentu dari
keuntungan. (masalah mudharabah telah
kami bahas pada Majalah Pengusaha Muslim, edisi 3 volume 1 tgl 15 Maret 2010,
rubrik Fikih Muamalah).
[3].
Syirkah al-Wujuuh, Yaitu kerja sama antara dua orang
atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik serta ahli dalam bisnis. Mereka
membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang
tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar
kesepakatan di antara mereka. (Bada-i’u ash-Shana-i’, karya al-Kasani
VI/77)
Syirkah semacam
ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan hanbaliyah, namun tidak sah
menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah. (Al-Fiqhu Al-Islami
wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/801)
Disebut syirkah
wujûh karena
didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah
masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik,
sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan nama baik tersebut.
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang
dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli
barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat,
masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual
barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya
dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah
wujûh ini,
keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang
dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra
usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan
kesepakatan.
[4].
Syirkah al-Abdaan (syirkah usaha), Yaitu
kerja sama antaradua orang atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh
mereka, yakni masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal),
tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama sesame dokter di
klinik, atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua
orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah.
Kerja sama semacam ini dibolehkan
menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i
melarangnya.
Syirkah ini
kadang-kadang disebut juga dengan Syirkah al-A’maal dan ash-Shanaa-i’.
Dalam syirkah ini
tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi.
Jadi, boleh saja syirkah
‘abdan terdiri
dari beberapa tukang kayu dan tukang besi. (Fiqhus Sunnah, Sayyid
Sabiq III/260). Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan
pekerjaan halal.
Keuntungan yang diperoleh dibagi
berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di
antara mitra-mitra usaha (syarîk).
Contohnya: A dan B. keduanya adalah
nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula,
jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A
mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Syirkah ‘abdan hukumnya
boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah binMas’ud radhiyallahu
anhu, ia
berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi
Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua
orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu
Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Hal itu diketahui Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam dan
beliau membenarkannya dengan taqrîr.
[5].
Syirkah al-Mufawadhah, Yaitu kerja sama antara dua orang
atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan
berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara
sama.
Syirkah Mufawadhah juga
merupakan syirkah komprehensif
yang dalamsyirkah itu semua anggoga sepakat melakukan
aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘inan, abdan dan wujuh.
Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan
segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli,
penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya.
Atau syirkah ini
bisa pula diartikan kerja sama dalam segala hal.
Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda, seperti mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.
Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda, seperti mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.
Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah ini
adalah kesamaan dalam hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja,
tanggung jawab, beban utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama. (Al-Fiqhu
Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/798, dan Fiqhus
Sunnah, Sayyid
Sabiq III/259-260).
Hukum Syirkah ini
dalam pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas ulama seperti Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri
sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. Namun,
imam asy-Syafi’i melarangnya.
Adapun keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini
dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan
jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika
berupa syirkah
inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah
mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase
barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contohnya: A adalah pemodal,
berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya
sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga
sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas
dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada
adalah syirkah
‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan
memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan
C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A
sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat
bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja,
berarti terwujudsyirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C
membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya,
berarti terwujud syirkah
wujûhantara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah
mufâwadhah.
MENGAKHIRI SYIRKAH
Syirkah
akan berakhir apabila terjadi hal-hal:
·
Salah satu pihak membatalkannya
meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya
·
Salah satu pihak kehilangan kecakapan
untuk bertasharruf,
baik karena gila maupun alasan yang lainnya
·
Salah satu pihak meninggal dunia,
tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang
meniggal saja
·
Salah satu pihak jatuh bangkrut
yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah
·
Modal para anggota syirkah lenyap sebelum
dibelanjakan atas nama syirkah
Ø
MUDHARABAH ATAU QIRADH
I.
PENGERTIAN MUDHARABAH
Mudharabah berasal dari kata al-dharb,
yang berarti secara harfiah adalah bepergian atau berjalan sebagaimana firman
Allah:
واخرون يضربون فى الارض يبتعون من فضل الله
“Dan yang lainnya, bepergian di muka bumi mencari karunia Allah. (Al
Muzamil: 20)”.
Selain al-dharb,
disebut juga qiradh yang
berasal dari al-qardhu,
berarti al-qath’u
(potongan). Karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk
diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.
Menurut istilah, mudharabah
atau qiradh adalah aqad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal
tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai
jumlah kesepakatan.
II.
HUKUM MUDHARABAH
Aqad mudharabah dibenarkan
dalam Islam, karena bertujuan selain membantu antara pemilik modal orang yang
memutarkan uang. Sebagai landasannya adalah firman Allah:
ليس عليكم جناح أن تبغوافضلا من ربكم….
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu….” (Al Baqarah: 198).
Melakukan mudharabah atau
qiradh adalah boleh
(mubah). Dasar hukumnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majjah dari Shuhaib r.a. Rasulullah saw bersabda:
ثلاث فيهن البركة البيع إلى اجل والمقارضة وخلط البر باالشعير للبيت ولا للبيع
“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi
modal dari mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga bukan untuk dijual.”
III.
RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH
Menurut ulama Syafi’iyah, rukun-rukun mudharabah
ada 6, yaitu:
1. Pemilik
barang yang menyerahkan barang-barangnya
2. Orang
yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang
3. Aqad
mudharabah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang
4. Harta
pokok/modal
5. Pekerjaan
pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba
6. Keuntungan.
Syarat sah mudharabah berhubungan dengan
rukun mudharabah itu sendiri.
Syarat sah mudharabah antara
lain:
1. Modal/barang
yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk
emas/perak batangan (tabar), emas hiasan/barang dagang lainnya, mudharabah
tersebut batal.
2. Bagi
yang melakukan aqad disyaratkan mampu melakukan tasharuf. Maka dibatalkan aqad anak-anak yang
masih kecil, orang gila
3. Modal
harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan
dengan laba
4. Keuntungan
yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas presentasinya
5. Melafadzkan
ijab dari pemilik modal
6. Mudharabah
bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang
di Negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu pada waktu-waktu
tertentu.
IV.
MENGAKHIRI MUDHARABAH
Aqad mudharabah dinyatakan batal/berakhir
apabila:
1.
Masing-masing
pihak menyatakan bahwa aqad itu batal
2.
Salah
seorang yang berakad gila
3.
Pemilik
modal murtad (keluar dari agama Islam)
4.
Modal
telah habis terlebih dahulu sebelum dikelola pelaksana.
Bentuk-Bentuk Pemberian Kepercayaan dalam
Muamalah
I.
HIWALAH
ü Pengertian
Hiwalah
Menurut bahasa berarti pemindahan, pengalihan atau
pengoperan. Menurut istilah berarti pengalihan hutang dari orang yang
berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah
adalah memidahkan tagihan
dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab
pula. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah
adalah Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban
orang lain.
ü Dasar
Hukum Hiwalah
Pelaksanaan Al Hiwalah dibenarkan dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW, (artinya) : ”Orang yang mampu membayar haram atas melalaikan hutangnya.
Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain,
hendaklah diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu membayar”. (HR. Ahmad
dan Baihaqi)
ü Rukun
Hiwalah
a) Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang
menghiwalahkan (memindahkan) utang
b) Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang
dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang kepada muhil)
c) Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu orang yang
menerima hiwalah
d) Ada piutang muhil kepada muhal
e) Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil
f) Ada sighat
hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya,
“Akuhiwalahkan
utangku yang hak bagi engkau kepada fulan”
dan kabuldari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”.
(Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58)
ü Syarat
Hiwalah
a) Ada kerelaan muhil (orag yang berhutang dan
ingin memindahkan hutang)
b) Ada persetujuan dari muhal (orang
yang member hutang)
c) Hutang yang akan dialihkan keadaannya masih
tetap dalam pengakuan
d) Adanya kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih
(orang yang menerima pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya, waktu
penangguhannya dan waktu pembayarannya.Dengan hiwalah hutang muhil bebas.
ü Berakhirnya
Akad Hiwalah
a) Fasakh. apabila akad hiwalah telah fasakh (
batal) , maka hak muhal untuk menuntut utang kembali kepada muhil, pengertian
fasakh dalam istilah fukaha adalah berhentinya akad sebelum tujuana akad
tercapai.
b) Hak muhal ( utang) sulit untuk dapat kembali
karena muhal alaih meninggal dunia, boros, ( safih) atau lainnya, dalam keadaan
semacam ini dalam urusan penyelesaian utang kembalikepada muhil. Pendapat ini
dikemukakan oleh hanafiah, akan tetapi menurut malikiyah, syafi’iah, hanabilah.
Apabila akad hiwalah sudah sempurnadan hak sudah berpindah serta di setujuioleh
muhal maka hak penagihan tidak kembali kepada muhil, baik hak tersebut bisa
dipenuhi atau tidak karena meninggalnya muhal muhal alaih atau boros. Apabila
dalam pemindahan utang tersebut terjadi gharar (penipuan) menurut malikiyah,
hak penagihan utang kembali kepada muhil.
c) Penyerahan harta oleh muhal alaih kepada muhal.
d) Meninggalnya muhal atau muhal alaih mewarisi
harta hiwalah.
e) Muhal menghibahkan hartanya kepada muhal alaih
dan ia menerimanya.
f) Muhal menyerahkan hartanya kepada muhal alaih
dan dia menerimanaya
g) Muhal membebaskan muhal alai
ü Macam-Macam
Hiwalah
a. Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang
berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak
penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang
kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan
B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka
hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah
sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
b. Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil
mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya
hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan
para ulama.
c. Hawalah al haq adalah pemindahan hak atau
piutang dari seorang pemilik piutang lainnya biasanya itu dilakukan bila pihak
pertama mempunyai hutang kepada pihak kedua ia membayar utangnya tersebut
dengan piutannya pada pihak lain. Jika pembayaran barang/ benda, maka
perbuatantersebut dinamakan sebagai hawalah hak. Pemilik piutang dalam hal ini
adalah muhil, karena dia yang memindahkan kepada orang lain untuk memindahkan
haknya
d. Hawalah al dain yaitu lawan dari lawan al haq.
Hawalah ad dain adalah pengalihan utang dari seorang penghutang kepada
penghutang lainnya. Ini dapat dilakukan karena penghutang pertama masih
mempunyai piutang pada penghutangkedua. Muhil dalam hawalah ini adalah orang
yang berutang, karena dia memindahkan kepada orang lain untuk membayar
hutangnya. Hiwalah ini di syariatkanberdasarkan kesepakatan ulama.
II. IJARAH
ü Pengertian
Ijarah
Menurut bahasa berarti balasan, tebusan atau pahala. Menurut
istilah berarti melakukan aqad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari
orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan
dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak
guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu
sendiri.
ü Dasar
Hukum Ijarah
Al- Qur’an
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS.al-Baqarah:233)
Al-Hadits
“Berikanlah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”.(HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah, at-Thabrani dan
Tirmidzi)
ü Rukun
Ijarah
a) Mu’jar (orang/barang
yang disewa)
b) Musta’jir (orang yang
menyewa)
c) Sighat (ijab dan qabul)
d) Upah dan manfaat
ü Syarat
Ijarah
a) Kedua orang yang berakad harus baligh dan
berakal
b) Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad
ijarah
c) Manfaat yang menjadi objek ijarah harus
diketahui secara sempurna
d) Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara
langsung dan tidak bercacat
e) Objek ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh
syara’ dan merupakan sesuatu yang bisa disewakan
f) Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi
penyewa
g) Upah/sewa dalam akad harus jelas, tertentu dan
sesuatu yang bernilai harta.
ü Akhir
Ijarah
a) Menurut ulama hanafiayah, ijarah dipandang
habis dengan meninggalnya salah seorang yang akad, sedangkan ahli waris tidak
memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak
batal tetapi diwariskan
b) Pembatalan akad
c) Terjadi kerusakan pada barang yang disewa, akan
tetapi menurut ulama lainnya kerusakan pada barang sewaan tidak menyebabkan
habisnya ijarah, tetapi harus diganti selagi masih bisa diganti.
d) Habis waktu, kecuali ada uzur.
ü Macam-Macam
Ijarah
Berdasarkan obyeknya, Ijarah terdiri dari:
a) Ijarah dimana obyeknya manfaat dari barang,
seperti sewa mobil, sewa rumah, dsb
b) Ijarah dimana obyeknya adalah manfaat dari
tenaga seorang seperti jasa konsultan, pengacara, buruh, kru, jasa
guru/dosen,dll. Pendapatan yang diterima dari transaksi Ijarah disebut ujrah.
Al-Ujrah ialah imbalan yang diperjanjikan dan dibayar oleh pengguna manfaat
sebagai imbalan atas manfaat yang diterimanya
I II.
ARIYAH
ü Pengertian
Ariyah
Menurut bahasa berarti saling
menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam. Menurut istilah berarti Kebolehan
memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu imbalan.
Menurut
mazhab Hambali ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil
dari pemiliknya atau pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu
masa tertentu atau secara mutlak dengan tanpa imbalan ongkos.
ü Dasar
Hukum Ariyah
a. Al-Qur’an
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
(Q.S Al-Maidah: 2)
Artinya: “orang-orang yang lalai terhadap sholatnya (5), yang
berbuat ria (6) dan enggan (memberikan) bantuan.(7)”
(Q.S Al-Ma’un 5-7)
b. Al-hadist
“Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai
daripada Shafwan bin Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah
perisai ini diambil terus dari padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab: Tidak,
tetapi hanya pinjaman yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)”.
Rasullah SAW bersabda:
والله فىي عون العبد ما
كا ن العبد في عون أخيه
“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya”
(shahih: Shahibul Jami’us Shaghir no: 6577)
والعا رية مؤداة
“Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib
dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)
من أخذ اموال النّاس يريد اداءها ادّى الله عنه ومن اخذ
ير يد إتلافها اتلفه الله
(رواه
البخاري)
“Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya, maka Allah
akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan kemauan melenyapkannya
maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits riwayat Al-Bukhari).
ü Rukun
Ariyah
a) Mu’ir (peminjam)
b) Musta’ir (yang meminjamkan)
c) Mu’ar (barang yang dipinjam)
d) Shigat (ijab dan qabul)
ü Syarat
Ariyah
1. Mu’ir berakal sehat
Orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan
barang. Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya
menambahakan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat
kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak kecil dan bukan orang bodoh.
2. Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang
barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah
3. Barang (mu’ar) dapat dimanfaatkan tanpa
merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang
yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan
tanah, pakaian,binatang dan lain-lain.
ü Berakhirnya
Akad Ariyah
a. Pemberi pinjaman meminta agar pinjamannya
dikembalikan. Hal ini karena akad peminjaman tidaklah mengikat, sehingga ia
berakhir dengan pembatalan (fasakh).
b. Peminjam mengembalikan barang yang dia pinjam.
c. Salah satu pihak pelaku akad gila atau tidak sadarkan
diri.
d. Kematian salah satu pihak pelaku akad, pemberi
pinjaman atau peminjam.
e. Al- Hajr (pelarangan untuk membelanjakan harta) terhadap salah satu pihak pelaku akad
karenakedunguan (safah).
f. Al- Hajr yang disebabkan kebangkrutan pemberi pinjaman. Hal ini karena dengan
kebangkrutannya, maka dia tidak boleh mengabaikan manfaat dari harta bendanya
dan tidak mengambilnya. Ini adalh untuk kepentingan para pemberi utangnya.
ü Macam-Macam
Ariyah
a) Ariyah muqayyadah,
yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan
tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan jangaka
waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan
tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali
mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang berharta, sehingga
untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat tertentu.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil
manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan
untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk
memanfaatkannya. Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu
meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus
dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil
manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
b) Ariyah mutlaqah, yaitu bentuk pinjam
meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi. Melalui akad ‘ariyah ini,
peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman, meskipun tanpa
ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang
membutuhkan pinjaman, pemilik barang sama sekali tidak memberikan syarat
tertentu terkait obyek yang akan dipinjamkan.
I V.
RAHN
ü Pengertian Rahn
Menurut bahasa berarti tertahan.
Menurut istilah berarti memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang
dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak
sanggup melunasi hutangnya.
ü Dasar Hukum Rahn
Perjanjian gadai dibenarkan oleh
islam, berdasarkan:
a. Al
qur’an surat Al Baqarah ayat: 283
Artinya: jika kamu dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh penggadai). Akan tetapi jikasebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya.
b. Hadits
yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah, dari Anas r.a,
yang artinya:”Rosulullah merungguhkan baju besi kepada seorang yahudi di
madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang yahudi”.
c. Ijma
ulama atas hukum mubah(boleh) dalam perjanjian gadai
Hal ini menjadikan adanya khilafah pada beberapa
ulama, diantaranya madzhab Dhahiri, Mujahid, Al Dhahak, hanya memperbolehkan
gadai pada saat berpergian saja, berujuk pada surat Al Baqoroh ayat 283.
ü Rukun Rahn
a) Orang
yang menggadai/orang yang menyerahkan barang jaminan(rahin)
b) Orang
yang menerima barang gadai (murtahin)
c) Barang
yang dijadikan jaminan(borg/marhun).
d) Akad(ijab dan qobul)
e) Adanya
hutang yang dimiliki oleh penggadai.
II.3.4. Syarat Rahn
a) Sehat fikirannya
b) Dewasa, baligh
c) Barang yang digadaikan telah
ada di waktu gadai
d) Barang gadai bisa
diserahkan/dipegang oleh penggadai.
ü Berakhirnya Akad Rahn
a) Barang
telah diserahkan kembali pada pemiliknya
b) Rahin(penggadai)membayar
hutangnya
c) Dijual
secara pakasa
Maksudnya, yaitu apabila hutang
telah jatuh tempo danrahin tidak mampu melunasi maka atas permintaan
hakim,rahin bisa menjual borg(barang gadaian).apabila rahin tidak mau menjual
hartanya maka hakim yang menjualnya untuk melunasi utangnya(rahin).dengan telah
di lunasinya hutang tersebut,maka akad gadai telah berakhir.
d) Pembatalan hutang dengan cara
apapun sekalipun
dengan pemindahan oleh murtahin
e) Pembatalan
oleh murtahin,meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
f) Rusaknya
barang gadaian oleh tindakan/penggunaan murtahin.
g) Memanfatkan
barang gadai dengan penyewaan,hibah,atau sedekah,baik dari pihak rahin atau
murtahin
h) Meninggalnya
rahin (menurut
Malikiyah) atau murtahin (menurut Hanafiyah). sedangkan
syafi`iyah dan Hambali,menganggap kematian para pihak tidak mengakhiri akad
rahn
ü Macam-Macam Rahn
a) Rahn
‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)
Merupakan bentuk gadai, dimana
barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya
sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai. Maksudnya
bagaimana ya? Jadi begini:
Tenriagi memiliki hutang kepada
Elda sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas pelunasan hutang tersebut, Tenriagi
menyerahkan BPKB Mobilnya kepada Elda secara Rahn ‘Iqar. Walaupun surat-surat
kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan kepada Elda, namun mobil tersebut
tetap berada di tangan Tenriagi dan dipergunakan olehnya untuk keperluannya
sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil dimaksud.
Konsep ini dalam hukum positif
lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan Secara Fidusia atau penyerahan hak
milik secara kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep Fidusia tersebut,
dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda tersebut, sedangkan
fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat dipergunakan
untuk keperluan sehari-hari.
b) Rahn
Hiyazi
Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang
sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum
positif. Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya menyerahkan hak
kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun dikuasai
oleh Kreditur.
Jika dilihat dalam contoh pada
point 1 di atas, jika akad yang digunakan adalah Rahn Hiyazi, maka Mobil milik
Tenriagi tersebut diserahkan kepada Elda sebagai jaminan pelunasan hutangnya.
Dalam hal hutang Tenriagi kepada Elda sudah lunas, maka Tenriagi bisa mengambil
kembali mobil tersebut.
I V. WADI’AH
A. PENGERTIAN WADI’AH
Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu.
Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah,
karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Secara harfiah,
Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendakinya.
Menurut bahasa wadiah artinya
yaitu meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga.
Sedangkan menurut istilah wadiah artinya yaitu memberikan kekuasaan kepada
orang lain untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan
atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.
Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh, yaitu :
1.Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan :
“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan
ungkapan yang jelas maupun isyarat”
Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima
titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka
akad tersebut sah hukumnya.
2.Madzhab Hambali, Syafi’I dan Maliki ( jumhur ulama
) mendefinisikan wadi’ah sebagai berikut :
“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara
tertentu “
B. DASAR HUKUM WADI’AH
– Q.S. An Nisaa’(4) ayat 58:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”
– Q.S. Al Baqarah (2) ayat 283:
“…Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (titipannya) dan hendaklah
ia bertakwa kepada Tuhannya…”
– Hadist Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
Rasulullah Saw bersabda, “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak
menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu”
C. RUKUN DAN SYARAT WADI’AH
1. Orang yang berakad
Orang yang berakad adalah muwaddi sebagai orang yang
menitipkan barangnya (penitip) dan mustauda sebagai orang yang
dititipi barang (penerima titipan).
Orang yang berakad hendaklah orang yang sehat (tidak gila) diantaranya
yaitu:
Baligh
Berakal
Kemauan sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab Hanafi baliqh dan berakal tidak dijadikan syarat dari orang
yang sedang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk
melakukan akad wadi’ah ini.
2. Barang titipan
Barang yang dititipkan harus jelas dan dapat dipegang atau dikuasai,
maksudnya ialah barang itu haruslah jelas identitasnya dan dapat dikuasai untuk
dipelihara.
3. Sighah (akad)
Syarat sighah yaitu kedua belah pihak melafazkan akad yaitu orang yang
menitipkan (muwaddi) dan orang yang diberi titipan (mustauda).
D. PEMBAGIAN DAN PENERAPAN WADI’AH
1. Wadi’ah Yad Amanah
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima (Mustauda) tidak
diperkenankan penggunaan barang/uang dari si penitip (Muwaddi) tersebut dan
tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan
oleh kelalaian si penerima titipan (Mustauda). Dan sebagai gantinya si penitip
(Muwaddi) wajib untuk membayar kepada orang yang dititipi (Mustauda), namun
boleh juga untuk tidak membayar asalkan orang yang dititipi tidak merasa
keberatan dan menganggapnya sedekah.
Contoh penerapannya dalam perbankan syariah adalah safe deposit box.
Layanan Safe Deposit Box (SDB) adalah jasa penyewaan kotak penyimpanan harta
atau surat-surat berharga yang dirancang secara khusus dari bahan baja dan
ditempatkan dalam ruang khasanah yang kokoh dan tahan api untuk menjaga keamanan
barang yang disimpan dan memberikan rasa aman bagi penggunanya.
2. Wadi’ah Yad adh Dhamanah.
Wadi’ah Yad Dhamanah adalah akad penitipan barang atau uang dimana pihak
penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat memanfaatkan
barang atau uang yang dititipkan dan harus bertanggungjawab
terhadap kehilangan atau kerusakan barang tersebut.
Contoh penerapannya dalam perbankan syariah adalah giro dan tabungan
wadi’ah. Giro Wadi’ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadi’ah,
yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki.
Sarana penyimpanan dana dengan pengelolaan berdasarkan prinsip al-Wadi’ah Yad
Dhomanah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan media
cek atau bilyet giro. Dengan prinsip tersebut titipan akan dimanfaatkan dan
diinvestasikan Bank secara produktif dalam bentuk pembiayaan kepada berbagai
jenis usaha dari usaha kecil dan menengah sampai pada tingkat korporat secara
profesional tanpa melupakan prinsip syariah. Bank menjamin keamanan dana secara
utuh dan ketersediaan dana setiap saat guna membantu kelancaran transaksi.
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah,
yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan
kehendak pemiliknya. Nasabah jika hendak mengambil simpanannya dapat datang
langsung ke bank dengan membawa buku tabungan, slip penarikan, atau melalui
fasilitas ATM.
V.
LUQATHAH (Barang Temuan)
1. Pengertian
Luqathah
Barang temuan dalam bahsa arab (bahasa fuqaha) disebut al-Luqathah, menurut
bahasa (etimologi) artinya ialah : sesuatu yang ditemukan atau didapat.
Sedangkan menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri al-Luqathah ialah : nama untuk
sesuatu yang ditemukan. Luqathah ialah harta yang hilang dari tangan
pemilikinya, yang kemudian ditemukan orang lain. Luqathah adalah menemukan
barang yang hilang karena jatuh, terlupa, dan sebagainya
2. Dasar
Hukum Luqathah
Hukum pengambilan barang temuan dapat
berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemuannya. Hukum
pengambilan barang temuan antara lain sebagai berikut.
a. Sunat, bagi orang yang percaya kepada
dirinya,sanggup mengerjakan segala yang bersangkutan dengan pemeliharaan kepada
barang itu sebagaimana mestinya,tetapi bila tidak diambil pun barang-barang
tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia atau tidak akan diambil oleh
orang-orang yang tidak dapat dipercaya.
b. Wajib, yakni wajib mengambil barang temuan bagi
penemunya apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus
benda-benda temuan itu sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila
benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil orang-orang yang
tidak bertanggung jawab.
c. Makruh, bagi seseorang yang menemukan harta,
kemudian masih ragu-ragu apakah dia akan mampu memlihara benda-benda tersebut
atau tidak dan bila tidak diambil benda tersebut tidak dikhawatirkan akan
terbengkalai, maka bagi orang tersebut makruh untuk mengambil benda-benda
tersebut.
d. Haram, bagi orang yang menemukan suatu benda,
kemudian dia mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan yakin
betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara harta tersebut sebagaimana
mestinya, maka dia haram untuk mengambil benda-benda tersebut.
e. Jaiz atau Mubah, Jika luqathah ditemukan dibumi
tak bertuan atau dijalan yang tidak dimiliki seseorang atau di selain tanah
haram Mekkah. Didalam kasus semacam ini, seseorang diperkenankan memilih antara
memungut luqathah untuk dijaga dan dimiliknya setelah luqathah diumumkan, atau
membiarkannya. Namun lebih diutamakan memungut luqathah jika dia percaya mampu
menangani berbagai persoalan yang berkenaan dengan luqatha.
3. Rukun
dan Syarat Luqathah ada dua macam yaitu :
1. Yang mengambil,
sekiranya yang mengambil orang yang tidak adil, hakim berhak mencabut barang
itu dari orang tersebut, dan memberikannya kepada orang yang adil dan ahli.
Begitu juga kalau yang mengambilnya anak kecil hendaklah diurus oleh walinya.
2. Barang-dapat.
4 Macam-macam
barang yang diperoleh
Terdapat macam-macam benda yang dapat ditemukan oleh
manusia, macam-macam benda temuan itu adalah sebagai berikut.
a. Barang
yang dapat disimpan lama (seperti emas dan perak) hendaklah disimpan ditempat
yang layak dengan keadaan barang itu, kemudian diberitahukan kepada umum
ditempat-tempat ramai dalam masa satu tahun pun hendaklah dikenal beberapa
sifat-sifat barang yang didapatnya itu, umpamanya tempatnya, tutupnya, ikatnya,
timbangannya, atau bilangannya. Sewaktu memberitahukannya hendaklah diterangkan
sebagian dari sifat-sifat itu jangan semuanya, agar jangan terambil oleh orang
yang tidak berhak.
b. Barang
yang tidak tahan disimpan lama, seperti makanan.barang serupa ini yang
mengambil boleh memilih antara mempergunakan barang itu asal dia sanggup
menggantinya apabila bertemu dengan yang punya barang, atau ia jual, uangnya
hendaklah ia simpan agar kelak dapat diberikannya kepada yang punya apabila
bertemu.
c. Barang
yang dapat tahan lama dengan usaha, seperti susu, dapat disimpan lama apabila
dibikin keju. Yang mengambil hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah
kepada yang empunya (dijual atau dibikin keju).
d. Suatu
yang berhajat kepada nafakah yaitu binatang atau manusia seperti anak kecil
umpamanya. Tentang binatang ada dua macam :
pertama : binatang yang kuat berarti dapat menjaga dirinya sendiri
dari pada binatang yang buas seperti unta, kerbau, kuda,binatang yang seperti
ini lebih baik dibiarkan saja tidak usah diambil.
Kedua : binatang yang lemah, tidak kuat menjaga dirinya daripada bahaya
binatang yang buas. Binatang seperti ini hendaklah diambil, sesudah diambil ia
harus melakukan salah satu dari tiga cara :
a. Disembelih dan terus dimakan, dengan syarat ia
sanggup membayar harganya apabila bertemu dengan yang empunya
b. Dijual dan uangnya disimpan, agar dapat
diberikannya kepada yang empunya.
c. Dipelihara dan diberi makan dengan secara
menolong semata-mata.
Kalau barang yang didapat itu barang yang besar atau berharga hendaklah
diberitahukan dalam masa satu tahun, tetapi kalau barang yang kecil-kecil
(tidak begitu berharga) cukup diberitahukan dalam masa sekira-kira yang
kehilangan sudah tidak mengharapkannya lagi.
Adapun apabila yang didapat itu manusia,seperti anak kecil atau orang bodoh,
maka wajib kifayah atas muslimin mengambilmya dan menjaganya, begitu juga
mendidiknya, dan wajib ditinggalkan pada orang yang dipercayai serta bersifat
adil. Belanjanya, kalau ia ada membawa harta benda atau diketahui bahwa ia ada
mempunyai harta belanjanya diambilkan dari hartanya sendiri. Tetapi kalau dia
tidak mempunyai harta, belanjanya, diambilkan dari Baitulmal, kalau baitulmal
teratur, kalau tidak atas tanggungan umat islam yang mampu.
Kerjasama Atas Lahan
Pertanian
1. MUZARA’AH
ü Definisi Muzara’ah
Menurut
bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’ahyang
berarti tharh al-zur’ab (melemparkan tanaman), maksudnya
adalah modal (al-badzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna
yang kedua ialah makna hakiki.
Sedangkan
menurut istilah:
·
Menurut
Hanafiyah, muzara’ah ialah:
الٲرضِ مِنَ الْخَارِجِ بِبَعْضِ الَّزرْعِ عَقدٌعَلَى
“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.”
·
Menurut Hanabilah, muzara’ah ialah:
الْحَبُّ لَهُ وَبَدْفَعُ يِزَرْعِهَا يَقُوْمُ الَّذِيْ لِلْعَامِلِ ٲَرْضَهُ رَعَۃِ اْلمُزَا الصَّالِحَۃِ اْلَٲرْضِ صَاحِبُ فَعَيَدْ اَنْ
“Pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang
bekerja diberi bibit.”
·
Menurut
Malikiyah, muzara’ah ialah:
الْعَقْدِالزُّرْعِ فِى الشِّرْكَۃُ
“Bersekutu dalam akad pertanian.”
Lebih
lanjut dijelaskan dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa muzara’ahadalah
menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan.
·
Syaikh
Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa muzara’ah ialah:
الْمَالِكِ وَالْبَذْرُمِنَ مِنْهَا مَايَخْرُجُ بِبَعْضِ فِى الْأَرْضِ الْعَامِلِ عَمَلُ
“Pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan
modal dari pemilik tanah."
Muzara’ah memiliki
kesamaan maksud dengan Mukhabarah. Persamaannya yaitu pemilik tanah
menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Terdapat pula
perbedaanya, yaitu pada mukhabarah modal dari pengelola, sedangkanmuzara’ah modal
dikeluarkan pemilik tanah.
ü Dasar Hukum Muzara’ah
Dasar
hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum muzara’ah adalah sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas RA. Nabi SAW.
menyatakan:
خَهُ ٲَوْلِيَمْنَحْهَااَ فَلْيَزْرَعْهَا أَرْضٌ لَهُ كَانَتْ مَنْ بِقَوْلِهِ بِبَعْضِ بَعْضُهُمْ يَرْفُقَ اَمْرَانَ الْمُزَارَعَۃُ وَلَكِنْ يُحَرِّمِ لَمْ اَرْضَهُفَلْيُمْسِكْ ٲَبَى فَاِنْ
“Tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang
sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya: barang siapa yang
memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada
saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.”
ü Rukun Muzara’ah
Menurut
Hanafiyah, rukun Muzara’ah ialah:
Ø Akad, yaitu ijab dan
qabul antara pemilik dan pekerja.
Ø Tanah
Ø Perbuatan pekerja
Ø Modal
Ø Alat-alat untuk menanam
Menurut Hanabilah, rukun Muzara’ah ada satu, yaitu ijab dan
qabul, boleh dilakukan dengan lafazh apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan
qabul, dan bahkan muzara’ah sah dilafazhkan dengan
lafazh ijarah.
ü Syarat
Muzara’ah
·
Syarat
yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
·
Syarat
yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa
saja yang akan ditanam.
·
Yang
berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu: a) bagian masing-masing
harus disebutkan jumlahnya (prosentasenya ketika akad), b) hasil adalah milik
bersama, c) bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang
sama, d) bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui, e) tidak disyaratkan
bagi salah satunya penambahan yang ma’lum.
·
Yang
berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu: a) tanah tersebut dapat
ditanami, b) tanah tersebut dapat diketahui seperti batas-batasnya.
·
Yang
berkaitan dengan waktu, yaitu: a) waktunya telah ditentukan, b) waktu itu
memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud, c) waktu itu memungkinkan dua
belah pihak hidup menurut kebiasaan.
·
Yang
berkaitan dengan alat-alat muzara’ah, disyaratkan berupa hewan atau
yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.
ü Berakhirnya Akad Muzara’ah
·
Jangka
waktu yang disepakati berakhir.
·
Menurut
ulama Hanafiyah dan Hanabilah, akad tersebut berakhir apabila salah seorang
Aqid wafat.
·
Adanya
Uzur salah satu pihak, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak petani
yang menyebabkan mereka tidak boleh melanjutkan akad muzara’ah itu
2. MUSAQAH
·
Definisi
Musaqah
Musaqah
diambil dari kata al-Saqa, yaitu seorang yang bekerja pada pohon tamar, anggur
(mengurusnya) atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemashlahatan
dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.
Secara
etimologi, Musaqah berarti transaksi dalam pengairan. Secara terminologis fiqh,
musaqah didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:
1. Menurut Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan
Syaikh Umairah, musaqah ialah:
بَيْنَهُمَا ثَمَرٍيَكُوْنُ مِنَ تَعَالَى مَارَزَقَۃُاللہُ اَنَّ عَلَى وَالتَّرُبِيَۃِ شَجَرٍ عَلَى
لِيَتَعَهَّدَهَابِالسَّقِى اِنْسَانَايُعَامِلَ اَنْ
“Mempekerjakan manusia
untuk mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya dan hasil yang
dirizkikan Allah dari pohon itu untuk mereka berdua.”
2. Menurut Hasbi ash-Shiddiqie, musaqah ialah:
اِسْتِثْمَارِالشَّجَرِ عَلَى زِرَاعِيَّۃٌ شِرْكَۃٌ
“Syarikat pertanian
untuk memproleh hasil dari pepohonan.”
·
Dasar
Hukum Musaqah
Asas
hukum musaqah ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Ibnu Amr RA, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:
أَعطَى خَيْبرَ بِشَطْرِ مَايَخْرُجُ مِنْهاَ مِنْ
ثَمَرٍ أَو زَرْعٍ وَ فِى رِوَايَةٍ دَفَعَ إِلَى الْيَهُوْدِيِّ خَيْبَرَ
وَأَرْضَهاَ عَلَى أَنْ يَّعْمَلُوْ هَا مِنْ أَمْوَا لِهِمْ وَ أَنَّ لِرَ سُوْلِ
اللّه صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ شَطْرَهَا
“Memberikan tanah
Khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun
pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah
Khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan
separohnya untuk Nabi.”
·
Rukun
Musaqah
Menurut
ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, rukun Musaqah ada lima, yaitu:
1. Dua orang/pihak yang
melakukan transaksi;
2. Tanah yang dijadikan obyek musaqah;
3. Jenis usaha yang akan
dilakukan petani penggarap;
4. Ketentuan mengenai
pembagian hasil musaqah; dan
5. Shighat (ungkapan) ijab dan qabul.
Ulama
Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad musaqahadalah
ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qabul dari petani penggarap, dan
pekerjaan dari pihak petani penggarap.
·
Syarat
Musaqah
1. Baligh dan Berakal. Cakap hukum.
2. Obyek al-Musaqah itu
harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah.
3. Tanah itu diserahkan
sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarapi,
tanpa campur tangan pemilik tanah.
4. Hasil (buah) yang
dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan
yang mereka buat, baik dibagi dua, dibagi tiga, dan sebagainya.
5. Lamanya perjanjian itu
harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transakasi sewa menyewa,
agar terhindar dari ketidakpastian.
·
Berakhirnya
Akad Musaqah
1. Tenggang waktu yang
telah disepakati dalam akad telah habis;
2. Salah satu pihak
meninggal dunia;
3. Ada uzur yang membuat
salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad;
4. Petani penggarap tidak
mampu bekerja
3. MUGHARASAH
·
Definisi Mugharasah
Secara
etimologi, mugharasah berarti transaksi terhadap pohon.
Menurut terminologis fiqh, mugaharsah didefinisikan para ulama
fiqh dengan:
فِيْهَاشَجَرًا يَغْرُسُ لِمَنْ اَرْضَہُ الرَّجُلُ يَدْفَعَ أَنْ
“Penyerahan tanah
pertanian kepada petani untuk ditanami.”
Atau
sebagaimana yang didefinisikan ulama syafi’i dengan:
“Penyerahan tanah
pertanian kepada petani yang pakar di bidang pertanian, sedangkan pohon yang
ditanam menjadi milik berdua (pemilik tanah dan petani).”
·
Dasar Hukum Mugharasah
1. Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa penyerahan
tanah kosong kepada petani dalam waktu tertentu untuk ditanami pepohonan dengan
ketetntuan tanah dan pepohonan yang tumbuh di atasnya menjadi milik berdua
antara pemilik tanah dengan petani penggarap, hukumnya tidak boleh.
2. Ulama Syafi’iyah juga tidak menganggap sah
akad mugharasah, karena dalam akad ini makna mengupahkan tanah
pertanian kepada seseorang yang upahnya diambilkan dari hasil pertanian itu,
sedangkan pengelolaan mugharasah tidak sama dengan pengelolaan musaqah.
3. Ulama Hanabilah berpendirian bahwa jika pemilik
tanah menyerahkan sebidang tanah kepada petani penggarap dengan ketentuan bahwa
seluruh tanah dan pepohonan yang ada di atasnya menjadi milik berdua, maka akad
seperti ini menjadi fasik (rusak).
4. Ulama Malikiyah berpendirian bahwa kerjasama
untuk mengelola pohon-pohon yang tumbuh diatas sebidang tanah boleh diterima
apabila dilakukan dengan cara al-ijarah (upah-mengupah).
·
Rukun Mugharasah
1. Akad, yaitu kerjasama antara pemilik tanah
dengan petani untuk menanami tanah dengan pepohonan produktif, dengan
ketentuan bahwa petani penggarap diberi bagian
dari pepohonan, buah, dan tanah itu.
2. Dua orang/pihak yang melakukan transaksi;
3. Tanah yang dijadikan obyek mugharasah
4. Jenis usaha yang akan dilakukan petani
penggarap;
5. Ketentuan mengenai pembagian hasil mugharasah
·
Syarat Mugharasah
1. Pohon yang akan ditanam dari jenis yang sama,
yaitu dari segi kapan berbuahnya.
2. Pohon yang ditanam itu adalah sejenis tanaman
keras, bukan dari jenis tanaman palawija.
3. Penentuan waktu berlangsungnya akad mugharasah tidak
dalam waktu yang sangat lama.
4. Petani penggarap mendapat bagian dari tanah
perkebunan dan pohon yang ditanam.
5.
Kerjasama mugharasah ini
bukan tanah wakaf, karena dalam akad mugharasahterkandung makna
jual beli, sedangkan harta wakaf tidak boleh diperjual belikan.
·
Batalnya Akad Mugharasah
Ulama Malikiyah
menyatakan bahwa akad ini batal/berakhir apabila:
1. Salah satu pihak dalam
dalam akad itu menentukan sendiri bagiannya, tanpa menyebutkan bagian yang akan
diterima pihak lain.
2. Dalam akad mugharasah
itu disyaratkan penangguhan pembagian yang harus diterima petani penggarap,
atau disyaratkan bagian petani penggraap dibayarkan lebih dahulu, sebagaimana
yang berlaku dalam akad bai al-salam (jual beli pesanan)
Konsep Riba dan Kaitannya dengan Bank
Konvensional
A. Pengertian Dan Kedudukan Hukum Riba
Ø Definisi
Riba
Riba secara bahasa bermakna:
ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti
tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa
pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi
jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip
muamalat dalam Islam.
Dalam transaksi simpan-pinjam
dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk
bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali
ke-sempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut.
Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh
tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan
tersebut.
Demikian juga dana itu tidak akan
berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor
orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut
mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi. Pengertian senada disampaikan
oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah.
B. Macam- Macam Riba
Ø Jenis-Jenis
Riba
Secara garis besar riba
dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan riba
jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba
jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba
fadhl dan riba nasi’ah.
Riba terbagi menjadi empat macam;
1. Riba Nasii`ah
Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang
untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan
sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru.
Misalnya, si A meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan
perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari
2009; dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah
ditentukan (1 Januari 2009), maka si B wajib membayar tambahan atas
keterlambatannya; misalnya 10% dari total hutang. Tambahan pembayaran di sini
bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi
hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu
baru oleh si A kepada si B tambahan inilah yang disebut dengan riba.
Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa
Rasulullah saw bersabda:
آلاَ
إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
“Ingatlah, sesungguhnya riba
itu dalam nasi’ah”. (HR Muslim).
riba
nasiah atau
tambahannya diberikan karena tarlambat membayar hutang, ini dilarang dengan
ketas dalam islam, kerena dianggap sebagai menimbun kekayaan yang tidak wajar
dan mendapatkan keuntungan keuangan tanpa melakukan tindakan kebijakan. Islam
membenarkan untuk melakukan perdagangan tapi melarang riba
2. Riba Fadlal
Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang
sejenis.
Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim.
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ
سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ
فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Emas dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma,
garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda,
juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”.HR Muslim dari Ubadah
bin Shamit ra).
3. Riba
al-Yadd
Riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran
barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran
uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima.
Larangan riba
yadd ditetapkan
berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ
بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Emas dengan emas riba kecuali
dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan
kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan
kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR
al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
لْوَرِقُ
بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ
وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
وَالتَّمْرُِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Perak dengan emas riba
kecuali dengan dibayarkan kontan; gandum dengan gandum riba kecuali dengan
dibayarkan kontan kismis
dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba
kecuali dengan dibayarkan kontan“. [Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz IV,
hal. 13]
4. Riba Qardl
Riba
qardl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau
keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba
semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata,
“Suatu ketika, aku mengunjungi
Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata
kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba
telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia
memberikan hadiah kepadamu berupa rumput kering, gandum atau makanan ternak,
maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. [HR.
Imam Bukhari]
Hadits di atas menunjukkan bahwa
peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk
apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas
pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.
Praktek-praktek riba yang sering
dilakukan oleh bank adalah riba nasii’ah, dan riba qardl; dan kadang-kadang
dalam transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba yadd maupun riba fadlal.
Seorang Muslim wajib menjauhi sejauh-jauhnya praktek riba, apapun jenis riba
itu, dan berapapun kuantitas riba yang diambilnya. Seluruhnya adalah haram
dilakukan oleh seorang Muslim.
Dalam kaitan apakah riba sama
dengan bunga bank, wahbah az-Zuhaili kemudian mengatakan, “bunga bank adalah
haram hukumnya, karena bunga bank adalah riba nasi’ah. Sama saja apakah bunga
bank itu mengembang atau munumpuk. Kerena perbuatan bank adalah janji dan
janji, sesungguhnya bunga bank merupakan riba yang jelas, bunga bank haram
hukumnya karena seperti riba”
C. Pendapat Ulama
Tentang Riba Dan Dampaknya
Sejak dekade 1960-an,
perbincangan mengenai larangan riba bunga bank semakin memanas saja. Setidaknya
ada dua pendapat mendasar yang membahas masalah tentang riba. Pendapat pertama
berasal dari mayoritas ulama yang mengadopsi dan intrepertasi para fuqaha
tentang riba sebagaimana yang tertuang dalam fiqh. Pendapat lainnya mengatakan,
bahwa larangan riba dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan adanya
upaya eksploitasi, yang secara ekonomis menimbulkan dampak yang sangat
merugikan bagi masyarakat.
Kontroversi bunga bank
konvensional masih mewarnai wacana yang hidup di masyarakat. Dikarenakan bunga
yang diberikan oleh bank konvensional merupakan sesuatu yang diharamkan dan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah jelas mengeluarkan fatwa tentang bunga bank
pada tahun 2003 lalu. Namun, wacana ini masih saja membumi ditelinga kita,
dikarenakan beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga,
bahwa bunga tidak sama dengan riba. Walaupun Al-Quran dan Hadits sudah sangat
jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba hukumnya adalah haram.
Dalam Islam, memungut riba atau
mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas
dalam Al-Qur'an Surah
Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang
mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung
didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank
konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bung bank termasuk ke
dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok
dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di
awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka
kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil
yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya.
Seluruh ‘ulama sepakat mengenai
keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh
menguasai harta riba; dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika
pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.
Di dalam Kitab
I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan
termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya,
Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya.
Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan perang terhadap pelaku
riba. Di dalam Kitab
al-Nihayahdituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa
zina, mencuri, dan minum khamer. Imam Syarbiniy di dalam Kitab
al-Iqna’ juga
menyatakan hal yang sama Mohammad bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy menyatakan;
kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.
Imam Nawawiy di dalam Syarh
Shahih Muslim juga
menyatakan bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai keharaman riba jahiliyyah
secara global. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir
Ayat Ahkaam menyatakan,
telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba
nasii’ah dan riba
fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran;
sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih. Abu
Ishaq di dalam Kitab
al-Mubadda’ menyatakan;
keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah.
Ulama saat ini sesungguhnya telah
ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi, muktamar,
simposium dan seminar, para ahli ekonomi Islam dunia, Chapra menemukan
terwujudnya kesepakatan para ulama tentang bunga bank. Artiya tak satupun para
pakar yang ahli ekonomi yang mengatakan bunga syubhat atau boleh. Ijma’nya
ulama tentang hukum bunga bank dikemukaka Umer Chapra dalam buku The
Future of Islamic Econmic,(2000). Semua mereka mengecam dan mengharamkan
bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bunga
telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai
negara.
Ø Dampak
dari Riba
1. Bagi jiwa
manusia
hal ini akan menimbulkan perasaan
egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri. Riba ini
menghilangkan jiwa kasih sayang, dan rasa kemanusiaan dan sosial. Lebih
mementingkan diri sendiri daripada orang lain.
2. Bagi
masyarakat
Dalam kehidupan masyarakat hal
ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. Sehingga membuat
keadaan tidak aman dan tentram. Bukannya kasih sayang dan cinta persaudaraan
yang timbul akan tetapi permusuhan dan pertengkaran yang akan tercipta
dimasyarakat.
3. Bagi roda
pergerakan ekonomi
Dampak sistem ekonomi ribawi
tersebut sangat membahayakan perekonomian.
· Sistem
ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang
sejarah, sejak tahun 1929, 1930, 1940an, 1950an, 1970an. 1980an, 1990an, 1997
dan sampai saat ini.
· di
bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia
makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin
miskin.
· Suku
bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya
pengangguran.
· Teori
ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan
inflasi.
· Sistem
ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt
trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar
bunga saja mereka kesulitan,
apalagi bersama pokoknya.
D. Bank Konvensional Dan Fiqh Muamalah
Ø Bank
Konvensional
Sebagai
lembaga keuangan yang berorientasi bisnis, bank konvensional juga melakukan
berbagai kegiatan, seperti menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Kegiatan
perbankan yang paling pokok adalah membeli uang dengan cara menghimpun dana
dari masyarakat luas, kemudian menjual uang yang berhasil dihimpun dengan cara
menyalurkan kembali kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman atau kredit.
Dari
kegiatan jual beli uang inilah bank akan memperoleh keuntungan yaitu dari
selisih harga beli (bunga simpanan) dengan harga jual (bunga pinjaman).
Disamping itu kegiatan bank lain nya dalam rangka mendukung kegiatan menghimpun
dan menyalurkan dana adalah member jasa- jasa alinnya.
Dalam
perbankan konvensional bunga bank dapat diartikan sebagai bals jas yang
diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang
membeli dan menjual produknya.
Dalam kegiatan perbankan
konvensional sehari- hari, ada 2 macam bank yang diberikan kepada nasabahnya, yaitu
:
1. Bunga
Simpanan
Merupakan harga beli yang harus
dibayar bank kepada nasabah pemilik simpanan. Bunga ini diberikan sebagai
rangsngan atau balas jasa, kepada nasabah yang menyimpan uangnya dibank.
Sebagai contoh jasa giro, bunga
tabungan dan bunga deposito.
2. Bunga
pinjaman
Merupakan bunga yang dberikan
kepada para peminjam (deditur) atau harga jual yang harus dibayar oleh nasabah
peninjam kepada bank. bagi bank bunga peminjam harga jual dan contoh bunga jual
adalah bunga kredit.
Kedua
macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank
konvensional, untuk melangsungkan kegiatan dalam bertransaksi keuangan nya
sehari- hari.
Ø Fiqh
Muamalah (Bank Syariah)
Permasalahan bagi kebanyakan orang terhadap kegiatan usaha lembaga keuangan
perbankan jika dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam bukanlah dari
fungsi lembaga tersebut, melainkan dari konsep usahanya serta tekhnik
operasional usahanya yang menyangkut jenis-jenis perjanjian yang dipergunakan.
Bank mempunyai peranan sangat penting dalam pembangunan nasional karena fungsi
Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya menghimpun dana dari
masyarakat dan memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan berdasarkan
prinsip-prinsip syariah islam.
Bank
syariah dalam penyaluran dana kepada masyarakat dengan dua jenis, yaitu
pembiayaan dengan sistem bagi hasil dan pembiayaan dengan sistem jual-beli
dengan pembayaran ditangguhkan. Pembiayaan murabahah sangat bermanfaat untuk
nasabah disaat kekurangan dana dan membutuhkan barang, dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan hidupnya atau peningkatan usaha. Maka nasabah dapat
meminta bank untuk memenuhi kebutuhan dengan pembayaran yang dilakukan secara
cicilan dalam kurun waktu yang telah disepakati.
1. Akad dalam
bank syariah
Setiap akad dalam perbankan
syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya,
harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut :
a. Rukun
Seperti, penjualan, pembeli,
barang, harga dan akad/ijab-qabul.
b. Syarat
Seperti syarat berikut.
- Barang dan
jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi
batal demi hukum syariah.
- Harga
barang dan jasa harus jelas
- Tempat
penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya
transportasi.
- Barang yang
ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan tidak boleh menjual sesuatu
yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaski short
sale dalam
pasa modal.
Fiqih muamalat Islam membedakan
antara wa’ad dengan akad.
Wa’ad adalah
janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah
kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya
mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk
melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul
kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad,
terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well
defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka
sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.
Di lain pihak, akad mengikat
kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terkait
untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati
terlebih dahulu.
Dalam akad, terms
and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudahwell-defined).
Bila salah satu atau kedua belah pihak yang terkait dalam kontrak itu tidak
dapat memenuhi kewajibannya, maka
ia/ mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.
Subscribe to:
Posts (Atom)