Saturday, February 10, 2018
JENIS TALAK
“فصل”
والطلاق ضربان صريح وكناية فالصريح ثلاثة ألفاظ الطلاق والفراق والسراح ولا يفتقر صريح الطلاق إلى النية والكناية كل لفظ احتمل الطلاق وغيره ويفتقر إلى النية والنساء فيه ضربان ضرب في طلاقهن سنة وبدعة وهن ذوات الحيض فالسنة أن يوقع الطلاق في طهر غير مجامع فيه والبدعة أن يوقع الطلاق في الحيض أو في طهر جامعها فيه وضرب ليس في طلاقهن سنة ولا بدعة وهن أربع الصغيرة والآيسة والحامل والمختلعة التي لم يدخل بها.
“Fasal”
Dan perceraian itu ada dua jenis: Jelas dan Sindiran. Talak Jelas itu ada tiga kata: cerai dan pemisah dan bebas. Talak Yang Jelas tidak membutuhkan niat, sedang talak kinayah yaitu semua lafat yang memuat talak dan kinayah itu membutuhkn niyat. Dan dalam urusa talak, perempuan itu ada macam : 1. Tidak haram: 2. Haram yaitu perempuan yang dalam keadaan haid. Sedang perempuan yang dicerai mendapat hokum tidak haram yaitu menjatuhkan talak dalam keadaan suci dan belum kikumpuli. Sedangkan talak yang mendapat hokum haram yaitu menjatuhkan talak dalamwaktu haid atau dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri, perempuan yang telah luas, hamil, perempuan yang dikhuluk tidak dicampurinya.
والطلاق ضربان صريح وكناية فالصريح ثلاثة ألفاظ الطلاق والفراق والسراح ولا يفتقر صريح الطلاق إلى النية والكناية كل لفظ احتمل الطلاق وغيره ويفتقر إلى النية والنساء فيه ضربان ضرب في طلاقهن سنة وبدعة وهن ذوات الحيض فالسنة أن يوقع الطلاق في طهر غير مجامع فيه والبدعة أن يوقع الطلاق في الحيض أو في طهر جامعها فيه وضرب ليس في طلاقهن سنة ولا بدعة وهن أربع الصغيرة والآيسة والحامل والمختلعة التي لم يدخل بها.
“Fasal”
Dan perceraian itu ada dua jenis: Jelas dan Sindiran. Talak Jelas itu ada tiga kata: cerai dan pemisah dan bebas. Talak Yang Jelas tidak membutuhkan niat, sedang talak kinayah yaitu semua lafat yang memuat talak dan kinayah itu membutuhkn niyat. Dan dalam urusa talak, perempuan itu ada macam : 1. Tidak haram: 2. Haram yaitu perempuan yang dalam keadaan haid. Sedang perempuan yang dicerai mendapat hokum tidak haram yaitu menjatuhkan talak dalam keadaan suci dan belum kikumpuli. Sedangkan talak yang mendapat hokum haram yaitu menjatuhkan talak dalamwaktu haid atau dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri, perempuan yang telah luas, hamil, perempuan yang dikhuluk tidak dicampurinya.
Sebagaimana telah kita pahami dari keterangan yang telah lalu, bahwasanya Islam sangat menginginkan terwujudnya keluarga muslim yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan dan kita juga telah mengerti beberapa tindakan solusi yang telah diajarkan Islam dalam rangka menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara suami dan isteri.
Akan tetapi bisa jadi usaha untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak berhasil dikarenakan persengketaan dan permusuhan antara keduanya sudah terlampau panas. Dalam keadaan seperti ini seseorang dituntut untuk menggunakan tindakan lain yang lebih kuat, yaitu talak.
Orang yang memperhatikan hukum-hukum yang berhubungan dengan talak, ia akan paham bahwa sebenarnya Islam sangatlah menginginkan terjaganya keutuhan rumah tangga dan keabadian jalinan kasih antara suami isteri. Sebagai bukti akan hal itu, bahwa Islam tidak menjadikan talak hanya satu kali, di mana tatkala perceraian telah dilakukan, maka tidak ada lagi hubungan antara suami isteri serta tidak boleh bagi keduanya untuk menyambung kembali. Akan tetapi dalam syari’at dibolehkannya talak, Islam telah menjadikannya lebih dari satu kali. Allah berfirman:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Al-Baqarah: 229]
Jika seorang suami telah menceraikan isterinya dengan talak pertama atau kedua, maka ia tidak berhak mengeluarkan isterinya dari rumah hingga masa ‘iddahnya selesai. Bahkan sang isteri pun tidak berhak untuk keluar rumah. Alasan dari semua itu adalah harapan sirnanya kemarahan yang menyebabkan perceraian dan harapan akan kembalinya keadaan rumah tangga seperti sedia kala.
Hal ini seperti apa yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” [Ath-Thalaaq: 1]
Yaitu, supaya suami merasa menyesal karena telah menceraikan isterinya dan kemudian Allah meluluhkan hatinya agar rujuk kembali. Sesungguhnya yang demikian itu akan mudah.
Pembagian Talak
Pertama: Dari segi bahasa.
Dari segi bahasa talak dibagi menjadi dua, yaitu: Sharih dan Kinayah (kiasan)
Sharih yaitu suatu kalimat yang langsung dapat difahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain, seperti, Anti Thaaliq atau Muthallaqah (engkau adalah wanita yang tertalak). Demikian juga setiap pecahan kata dari lafazh ath-Thalaq.
Seorang suami yang mengatakan kalimat tersebut kepada isterinya, maka jatuhlah talak atasnya meskipun dalam keadaan bercanda atau tanpa niat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ، وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ، وَالرَّجْعَةُ.
“Tiga hal yang bila dikatakan dengan sungguh-sungguh akan jadi dan bila dikatakan dengan main-main akan jadi pula, yaitu nikah, talak dan rujuk.” [1]
Sedangkan Kinayah, yaitu kata yang mengandung makna talak dan selainnya, seperti perkataan: Alhiqi bi ahliki (kembalilah kepada keluargamu), dan yang semisalnya.
Jika suami mengatakan kalimat tersebut tidaklah jatuh talak kecuali jika disertai dengan niat, artinya jika ia berniat talak, maka jatuhlah talak tersebut dan jika tidak, maka tidak jatuh talak.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhu:
أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَنَا مِنْهَا قَالَتْ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ، فَقَالَ لَهَا: لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ اِلْحَقِي بِأَهْلِكِ.
“Bahwa tatkala puteri al-Jaun dimasukkan ke kamar (pengantin) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mendekatinya, ia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Maka beliau bersabda, ‘Sungguh engkau telah berlindung kepada Yang Mahaagung, kembalilah kepada keluargamu.’” [2]
Dari riwayat Ka’ab bin Malik tatkala ia bersama dua Sahabat yang lain diboikot oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak mengikuti perang Tabuk bersama beliau, bahwa Rasulullah mengutus seseorang untuk mengabarkan:
أََنِ اعْتَزِلِ امْرَأَتَكَ. فَقَالَ: أُطَلِّقُهَا أَمْ مَاذَا أَفْعَلُ؟ قَالَ: بَلِ اعْتَزِلْهَا فَلاَ تَقَرَّبَنَّهَا فَقَالَ: ِلإِمْرَأَتِهِ: اِلْحَقِيْ بِأَهْلِكِ.
“Bahwasanya beliau menyuruhmu untuk menjauhi isterimu.” Ka’ab bertanya, “Aku ceraikan atau apa yang aku lakukan?” Orang itu menjawab, “Jauhi saja dan jangan sekali-kali kau dekati.” Maka kemudian Ka’ab bin Malik berkata kepada isterinya, “Kembalilah kepada keluarga-mu.” [3]
Kedua: Dari segi Ta’liq dan Tanjiz :
Bentuk kata talak ada dua yaitu: Munjazah (langsung) dan Mu’allaqah (menggantung)
Munjazah, yaitu suatu kalimat diniatkan jatuhnya talak oleh orang yang mengatakannya saat itu juga, seperti jika seorang suami berkata kepada isterinya: Anti Thaaliq (engkau adalah perempuan yang di talak) talak ini jatuh saat itu juga.
Adapun Mu’allaq yaitu suatu kalimat talak yang dilontarkan oleh suami kepada isterinya yang diiringi dengan sya-rat, seperti jika ia berkata kepada isterinya, “Apabila engkau pergi ke tempat itu, maka engkau tertalak.”
Hukum perkataan yang demikian, jika ia benar-benar menginginkan talak tatkala syarat tersebut dilakukan, maka hukumnya seperti apa yang ia inginkan. Adapun jika ia hanya bermaksud untuk memperingatkan isteri agar tidak berbuat demikian, maka hukumnya adalah hukum sumpah, yang artinya jika syarat yang disebutkan tidak dilakukan, ia tidak dibebani apa-apa, namun jika sebaliknya, maka ia harus mem-bayar kafarat karena sumpahnya (ini adalah madzhab Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- sebagaimana disebutkan dalam Majmuu’ al-Fataawaa (XXXIII/44-46, 58-60, 64-66)
Ketiga: Dari segi Sunnah dan Bid’ah
Dari segi ini talak dibagi menjadi dua, yaitu: Talak yang Sunnah dan talak yang bid’ah.
Talak Sunnah yaitu seorang suami mentalak isterinya yang telah dicampuri dengan satu talak, dalam keadaan suci dan pada masa itu ia tidak mencampurinya.
Allah Ta’ala berfirman :
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Al-Baqarah: 229]
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” [Ath-Thalaaq: 1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mentalak isterinya yang sedang dalam keadaan haidh, kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ.
“Perintahkan agar ia kembali kepadanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh menahannya terus menjadi isterinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa ‘iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan isteri.” Adapun Talak yang bid’ah, yaitu talak yang menyelisihi syari’at, seperti seorang suami mentalak isterinya dalam keadaan haidh atau dalam masa suci setelah ia mencampurinya, atau seorang suami melontarkan tiga talak sekaligus dengan satu lafazh atau dalam satu majelis, seperti perkataan suami, “Engkau saya talak dengan talak tiga”, atau ucapannya, “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak.”
Hukum talak semacam ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa.
Apabila suami mentalak isterinya dalam keadaan haidh, maka jatuh hukum talak, jika talak raj’i, maka ia disuruh untuk merujuknya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh menahannya terus menjadi isterinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya, sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Umar.
Adapun dalil jatuhnya hukum talak dalam kasus seperti ini adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Dihukumi atasku satu talak.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata dalam kitab Fathul Baari, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang menyuruh Ibnu ‘Umar agar rujuk dan beliaulah yang menuntun Ibnu ‘Umar apa yang harus ia lakukan jika ingin menceraikannya setelah itu. Dan jika Ibnu ‘Umar mengatakan bahwasanya pada saat itu ia telah dihukumi satu talak, maka kemungkinan yang telah menentukan hukum itu adalah selain Rasulullah sangatlah jauh sekali, karena adanya indikasi yang mendukung dalam kisah ini. Bagaimana mungkin kita akan beranggapan bahwasanya Ibnu ‘Umar mengatakan hal itu dari pendapatnya belaka, sedangkan ia juga telah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah kepadanya karena apa yang telah diperbuatnya? Bagaimana mungkin ia tidak bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang akan ia lakukan?”
Al-Hafizh berkata lagi, “Ibnu Wahb dalam musnadnya telah meriwayatkan dari Ibnu Abi Dzi’b bahwa Nafi’ telah mengabarkan kepadanya bahwasanya Ibnu ‘Umar menceraikan isterinya dalam keadaan haidh, lalu ‘Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ.
‘Perintahkan agar ia kembali kepadanya, kemudian menahannya hingga masa suci.’
Tentang hadits ini Ibnu Abi Dzi’b berkata, Yaitu satu talak. Ibnu Abi Dzi’b berkata, Handzalah bin Abi Sufyan berkata kepadaku bahwa ia telah mendengar Salim menceritakan cerita tersebut dari ayahnya.
Al-Hafizh berkata lagi, ad-Daruqutni telah mengeluarkan dari jalan Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Ishaq yang keduanya telah mendengar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
وَهِيَ وَاحِدَةٌ.
“Yaitu satu talak.”
Talak Tiga
Adapun jika seorang suami mentalak isterinya dengan talak tiga dengan satu lafazh atau satu majelis, maka dihukumi sebagai talak satu, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan beberapa tahun dari khilafah-nya ‘Umar, bahwa hukum talak tiga yang diucapkan dengan satu talak adalah dihukumi satu talak. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya sebagian orang telah terburu-buru dalam melaksanakan suatu perkara yang sebenarnya mereka harus berhati-hati dalam urusan ini, maka sekiranya kita berlakukan bagi mereka (bahwa talak tiga dengan satu lafazh dihukumi sebagai talak tiga)?, maka talak tersebut menetapkan hukum tersebut bagi mereka.
Pendapat tersebut adalah ijtihad dari ‘Umar Radhiyallahu anhu yang tujuannya adalah untuk tercapainya suatu kemashlahatan dan tidak boleh meninggalkan apa yang telah difatwakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dilakukan pada zaman para Sahabat hingga zaman kekhilafahannya.
Keempat : Dari segi rujuk dan tidaknya.
Talak ada dua macam yaitu: Raj’i dan Ba-in. Sedangkan talak ba’in juga dibagi menjadi dua pula, yaitu: sughra dan kubra.
Talak raj’i adalah mentalak isteri yang sudah dicampuri tanpa adanya tebusan harta (dari pihak isteri) dan belum didahului dengan talak sebelumnya sama sekali atau baru didahului dengan talak satu kali.
Allah Ta’ala berfirman:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Al-Baqarah: 229]
Seorang wanita yang ditalak raj’i, maka statusnya masih sebagai isteri selama masih dalam ‘iddahnya dan suami berhak untuk rujuk kapan saja ia berkehendak selama masih dalam masa ‘iddah, dan tidak disyaratkan keridhaan isteri atau izin dari walinya. Allah Ta’ala berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” [Al-Baqarah: 228]
HAK TALAK ORANG MERDEKA
“فصل”
ويملك الحر ثلاث تطليقات والعبد تطليقتين ويصح الاستثناء في الطلاق إذا وصله به ويصح تعليقه بالصفة
والشرط ولا يقع الطلاق قبل النكاح وأربع لا يقع طلاقهم الصبي والمجنون والنائم والمكره.
Faslوالشرط ولا يقع الطلاق قبل النكاح وأربع لا يقع طلاقهم الصبي والمجنون والنائم والمكره.
Orang yang merdeka memiliki kesempatanmencerai istrinya tiga kali, sedang hamba memiliki kesempatan cerai dua kali. Dan sah mengecualikan dalam cerai ketika disambungkan dengan cerai. Dan sah pula menggantungkan cerai dengan sifat dan sarat.. cerai tidak sah sebelum menikah.
Ada empat orang yang tidak sah cerainya:
1. Anak Kecil.
2. Orang gila.
3. Orang yang sedang tidur.
4. Orang yang dipaksa.
JUMLAH TALAK
“فصل”
وإذا طلق امرأته واحدة أو اثنتين فله مراجعتها ما لم تنقض عدتها
فإن انقضت عدتها حل له نكاحها بعقد جديد وتكون معه على ما بقي من الطلاق
فإن طلقها ثلاثا لم تحل له إلا بعد وجود خمس شرائط انقضاء عدتها منه
وتزويجها بغيره ودخوله بها وإصابتها وبينونتها منه وانقضاء عدتها منه.
Fasl
Ketika seorang suami menceraikan istrinya satu atau dua kali maka masih ada kesempatan untuk rujuk selama belum habis masa iddahnya. Dan ketika sudah habis masa iddahnya maka boleh untuk menikah kembali dengan pernikahan baru serta mendapatkan sisa talak.
Apabila dia menceraikan tiga kali maka tidak diperbolehkan baginya kecuali dengan adanya lima syarat:
1. Habisny iddah darinya
2. Sudah dinikahi laki laki lain
3. Sudah di setubuhi oleh laki laki lain tersebut
4. Sudah ditalak bain oleh laki laki lain tersebut
5. Habisnya iddah dari laki laki lain tersebut
SUPAH ILA
“فصل”
وإذا حلف أن لا يطأ زوجته مطلقا أو مدة تزيد على أربعة أشهر فهو
مول ويؤجل له إن سألت ذلك أربعة أشهر ثم يخير بين الفئة والتكفير أو الطلاق
فإن امتنع طلق عليه الحاكم.
Fasl
Apabila seorang suami bersumpah tidak akan mencampuri istrinya mutlak atau dalam waktu lebih dari empat bulan, itu adala sumpah ila’. Dan tidak berguan bila seorang istri meminta dalam waktu empat bulan tersebut. Kemudian suami disuruh memilih antara bersetubuh dan bayar kiffarat atau cerai. Bila suami menolak maka diceraikan hakim.
Pengertian Ila’
Secara etimologi ila’ berasal dari masdar ‘ala-ya’li-laan yang artinya
berarti melarang diri dengan menggunakan kata sumpah. Sedangkan secara
istilah ila’ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya lagi
dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.
Atha’ mengatakan ilaa’ berarti bersumpah dengan nama Allah untuk tidak
mencampuri isterinya selama empat bulan atau lebih. Jika tidak di iringi
dengan sumpah maka tidak dikatakan dengan ila’’. Menurut An-Nakhai jika
suami memurkai, mencelakai dan mengharamkan isterinya atau tidak lagi
hidup bersama maka yang demikian itu telah termasuk ila’’
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu,
sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan
menyetubuhi istri.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam ( 2000 : 180 ) ila
adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan
istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk
menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini
tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak
jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ilaartinya
sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat
bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah
ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya,
sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah (
kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan
istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar
kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya.
Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara
tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.
Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak
kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itujatuh
talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
Firman allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227
.لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (
lamanya ) kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ), maka
sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika
mereka berazam ( bertetap hari untuk ) talak, maka sesungguhnya Allah
SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.
Allah SWT bwrmaksud menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan
orang-orang jahiliyah, dimana seorang suami bersumpah untuk tidak
mencampuri istrinya selama satu atau dua tahun, bahkan lebih Kemudian
Allah SWT menjadikannya empat bulan saja. Waktu empat bulan telah
ditetapkan Allah SWT dijadikan sebagai masa penangguhan bagi suami untuk
merenungkan diri dan memikirkan, mungkin ia akan membatalkan sumpahnya
dan kembali kepada istrinya atau menthalaqnya.
Ayat yang kemudian mempunyai keterkaitan dengan pembahasan ila’, dalam
hal ini yang berkaitan yaitu mengenai esensi dari sumpah yang dilakukan,
yakni terdapat dalam surat al-Baqaarah 224-225 :
وَلاَ تَجْعَلُواْ اللّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ أَن تَبَرُّواْ
وَتَتَّقُواْ وَتُصْلِحُواْ بَيْنَ النَّاسِ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ لاَّ
يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن
يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang
untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara
manusia . Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha MengetahuiAllah tidak
menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang
disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun” (QS. al-Baqarah : 224-225)
Selain itu terdapat pula dalam surat al-Maidah ayat 89 tentang kafarat atas sumpah yang dilanggar tersebut :
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن
يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ
عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ
كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu,
ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa
kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang
demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu
adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).
Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. al-Maidah : 89)
Sedangkan hadits yang berkaitan masih keterkaitan terhadap sumpah itu sendiri secara umum, yaitu :
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang bersumpah, maka hendaklah dia bersumpah dengan (nama) Allah atau hendaklah dia diam” (HR. Mutafaqqun ‘alaih)
أَلاَ إنَّ الله يَنْهَا كُمْ أَنْ تَحْلِفُوْا بِاَبَائِكُمْ , فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أوْلِيَصْمُتْ
“Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan
nama bapak-bapak kalian. Barangsiapa bersumpah, maka hendaklah ia
bersumpah dengan nama Allah atau hendaknya diam”
Disebutkan hadits shahih pula bahwa orang yang bersumpah dengan selain
Allah, berarti ia tidak bersumpah sesuai perintah Allah SWT, sehingga ia
tidak bisa disebut orang yang bersumpah, sesuai sabda Nabi SAW :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dalam perkara (perintah) kami, maka ia tertolak”
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ , فَرَأَى غَيْرَها خَيْرًا مِنْهَا فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا
“Barangsiapa yang bersumpah terhadap suatu hal, kemudian ia melihat
sesuatu yang lebih baik daripada sumpahnya, maka lakukan apa yang lebih
baik itu kemudian bayarlah kafarat sumpahnya” (HR. Muslim, an-Nasa’i dan
Ibnu Majah)
Menurut Ibnu Abbas,Ila' berarti bersumpah untuk tidak mencampuri istri
selamanya. sedangkan Atha' mengatakan Ila' berarti bersumpah dengan nama
Allah untuk tidak mencampuri istri selama empat bulan atau lebih. Jika
tidak diiringi dengan bersumpah, maka bukan di sebut dengan Ila'.
Menurut Ibrahim An-Nakha'i "Jika seorang suami bersumpah untuk memurkai,
mencelakai, mengharamkan istrinya atau tidak lagi hidup bersama, maka
yang demikian itu telah termasuk Ila'." Al-Sya'abi mengatakan: "Segala
macam sumpah yang memisahkan antara suami dengan istrinya, maka itu
termasuk Ila'.
Abu Sya'sya' mengatakan: Jika seorang suami berkata kepada istrinya
"Kamu haram bagiku, atau Kamu seperti ibuku sendiri atau Telah aku
Thalak jika aku mendekatimu. Maka kesemuanya itu trmasuk Ila'.Jika
seseorang bersumpah untuk Thalak, memerdekakan budak, menunaikan haji
atau umrah atau puasa, maka kesemuanya itu telah di sebut dengan Ila'.
Sedang apabila bersumpah nazar mengerjakan sholat atau Tawaf selama satu
minggu atau bertasbih sebanyak seratus kali, maka yang demikian itu
bukan termasuk Ila'."
Atha' pernah di tanya mengenai seseorang yang bersumpah untuk tidak
mendekati istrinya selama satu bulan dan ternyata ia tidak mendekatinya
selama lima bulan, maka ia pun menjawab yang demikian itu sudah termasuk
Ila'. dan jika lebih dari empat bulan sebagaimana yang di firmankan
Allah maka berarti ia bermaksud menthalaknya.
Menurut Qathadah seorang suami yang bersumpah tidak akan mendekati
istrinya selama sepuluh hari, lalu ia meninggalkannya selama empat
bulan, maka yang demikian itu termasuk Ila'. Adapun Hasan Basri
mengatakan Jika seorang suami berkata " Demi Allah, aku tidak akan
mendekati istriku selama satu malam, kemudian ia meninggalkannya selama
empat bulan dan itu dimaksudkan sebagai sumpahnya, maka hal itu termasuk
sebagai Ila'."
Imam Malik dan Imam Syafi'i, Abu Tsaur, Imam Ahmad dan sahabat-sahabat
mereka berpendapat Sumpah yang menyatakan tidak akan mendekati istri
selama empat bulan atau kurang dari itu bukan di sebut sebagai Ila'
karena Ila' itu berlaku sebagai sumpah yang menyatakan tidaka akan
mendekati istri selama lebih dari empat bulan.
Syarat Ila’
Menurut madzhab Hambali dan madzhab-madzhab yang lain menyebutkan empat syarat bagi ila’ yakni:
a) Si suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu
sifatnya, seperti yang maha kasih, dan tuhan sekalian alam, bahwa dia
tidak menyetubuhi isterinya lebih dari empat bulan.
b) Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan selama
lebih dari empat bulan karena Allah SWT menjadikan orang yang
mengucapkan sumpah menunggu selama empat bulan.
c) Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan di bagian vagina.
d) Yang dijadikan sebagai obyek sumpah adalah isteri, karena orang
yang selain isteri tidak memiliki hak untuk disetubuhi oleh si suami,
maka si suami tidak dapat melakukan ilaa’ kepada perempuan yang selain
isteri.
SUAMI YANG BERILA' BOLEH KEMBALI ATAU MENCERAIKAN ISTRINYA
Ali Bin Abi Thalib mengatakan jika seorang suami mengila' istrinya tepat
selama empat bulan, maka ia harus berhenti dari ila'nya dan selanjutnya
ia harus memilih untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya.
dalam hal ini ia harus di paksa. Sedangkan menurut Ibnu Umar seorang
suami yang mengila' istrinya lalu diberhentikan setelah empat bulan maka
selanjutnya ia boleh kembali kepada istrinya atau menceraikannya.
Sulaiman Bin Yasar mengatakan "aku pernah mendengar beberapa laki-laki
dari sahabat Rasulullah mengatakan bahwa Ila' itu dapat diberhentikan.
Demikian ini juga menjadi pendapat Said Bin Musayyab, Thawus, Mujahid,
Qasim Bin Muhammad Bin Abi Bakar, dimana mereka semua menyatakan bahwa
Ila' seseorang itu diberhentikan dan selanjutnya diberi pilihan mau
kembali atau menthalak istrinya.
Dari Umar Bin Abdul Aziz, Urwah Bin Zubair, Abu Mujalas, dan Muhammad
Bin ka'ab mereka mengatakan: "Ila' seseorang itu dapat diberhentikan."
Sulaiman Bin Yasar mengatakan Aku pernah melihat sekumpulan orang
menhentikan orang yang mengila' istrinya setelah lebih dari empat bulan.
Selanjutnya ia boleh kembali kepadanya atau menceraikannya. Ini juga
merupakan pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i Abu Tsaur, Abu Ubaid,Ahmad,
Ishak, Abu Sulaiman dan sahabat-sahabat mereka. Namun demikian Imam
Malik dan Syafi'i dalam salah satu pernyataannya mengatakan Jika suami
tersebut menolaknya, maka Hakim yang akan menceraikannya.
Keduanya memang berbeda pendapat, dimana Imam Syafi'i mengatakan Suami
tersebut boleh kembali kepada istrinya selama masih dalam masa iddahnya.
Jika ia mencampurinya , maka yang demikian itu telah menggugurkan
Ila'nya. Sedang apabila ia tidak mencampurinya maka Ila'nya harus
dihentikan dan selanjutnya ia boleh memilih kembali kepadanya atau
diceraikan oleh hakim, kemudian ia boleh rujuk lagi kepadanya, jika ia
mencampurinya maka ila'nya tersebut gugur dan jika tidak mencampurinya
maka ila'nya itu harus dihentikan setelah empat bulan, dan selanjutnya
diceraikan oleh hakim. Setelah itu diharamkan bagi suaminya kembali
kepada istrinya tersebut kecuali setelah istrinya menikah dengan
laki-laki lain.
Apabila suami bersumpah tidak akan menyetubuhi istri dalam jangka waktu
di bawah empat bulan, yang lebih baik bagi suami adalah (1) membatalkan
sumpahnya, (2) membayar kaffarah (denda) sumpah, kemudian (3) kembali
menyetubuhi istrinya. Saran ini datang dari Nabi shallallahu ‘alahi wa
sallam sendiri,
من حلف على يمين فرأى غيرها خيرا منها فليأت الذي هو خير وليكفر عن يمينه
Barangsiapa bersumpah atas suatu hal, lalu ia melihat yang selain sumpah
tersebut lebih baik, datangilah yang dia lebih baik tersebut, dan
hendaknya ia batalkan sumpahnya. (H.R Muslim)
Apabila suami tidak membatalkan sumpahnya, hendaknya istri bersabar hingga batas waktu ila’ yang dulu diucapkan suami berakhir.
empat bulan ke atas.
Adapun jika suami bersumpah tidak akan menyetubuhi istrinya
selama-lamanya, atau dengan mengucapkan waktu tertentu yang lebih dari
empat bulan, sang suami bisa membatalkan sumpahnya, memnayar kaffarah,
setelah itu boleh kembali menyetubuhi istrinya. Namun, jika ia tidak
membatalkan sumpahnya, istri menunggu sampai waktu ila’ habis hingga
empat bulan. Setelah itu, istri meminta atau memberikan dua pilihan
kepada suami untuk (1) menyetubuhinya atau (2) menceraikan dirinya saja.
Jika suami memilihi opsi (1), tentu saja berarti rumah tangga pasangan suami istri tersebut berlanjut kembali.
Jika suami memilih opsi (2), jatuhlah talak/cerai dari pihak suami.
Namun, bagaimana jika suami tidak memilih opsi (1) maupun (2). Artinya,
ia tidak mau menyetubuhinya, tetapi tidak juga menceraikan istrinya
tersebut?
Jawabannya adalah JATUH TALAK secara OTOMATIS, meskipun suami tidak mengucapkan lafal talak
Perhatikan dalil di bawah ini:
Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah 226-227:
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ
فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (226) وَإِنْ عَزَمُوا
الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (227)
“Para Laki-laki yang meng-ila istrinya, harus menunggu selama empat
bulan. Kemudian, jika mereka kembali (kepada istrinya), sungguh Allah
itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dan jika mereka berketetapan hati
untuk menjatuhkan cerai, sungguh Allah Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui.”
.
Dalam kitab Al-Muwatha’ (1021), Imam Malik menyebutkan riwayat dari Nafi’ dari Ibnu Umar:
أَيُّمَا رَجُلٍ آلَى مِنْ امْرَأَتِهِ فَإِنَّهُ إِذَا مَضَتْ
الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ وُقِفَ حَتَّى يُطَلِّقَ أَوْ يَفِيءَ وَلَا
يَقَعُ عَلَيْهِ طَلَاقٌ إِذَا مَضَتْ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ حَتَّى
يُوقَفَ
Siapa saja laki-laki yang meng-ila’ istrinya, sesungguhnya jika sudah
sampai genap empat bulan, ia diminta ketegasan dari perkataannya, sampai
ia menjatuhkan talak atau tidak.
Tidaklah terjadi talak ketika sudah genap 4 bulan tersebut, sampai ia mempertegas perkataannya.
Bagaimana Membayar Kafarah (Denda) Ila’?
Setelah membaca keterangan di atas, barangkali akan muncul pertanyaan,
“Lalu bagaimana cara membayar kaffarah ila’ agar suami dapat menyetubuhinya lagi?”
Pada hakikatnya, ila’ adalah sumpah. Oleh karena itu, kaffarah ila’
adalah sebagaimana kaffarah sumpah yang disebutkan Allah ta’ala dalam
surat Al-Maidah, ayat 59:
لا يؤاخذكم الله باللغو في أيمانكم ولكن يؤاخذكم بما عقدتم الأيمان فكفارته
إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم أو كسوتهم أو تحرير رقبة فمن
لم يجد فصيام ثلاثة أيام ذلك كفارة أيمانكم إذا حلفتم واحفظوا أيمانكم كذلك
يبين الله لكم آياته لعلكم تشكرون
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kaffarahnya (denda pelanggaran
sumpah) adalah memberikan makanan kepada sepuluh orang miskin, yaitu
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
mereka pakaian, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak mampu
melakukannya, berpuasalah tiga hari. Itulah kafarah sumpah-sumpahmu
apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah
menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kemu bersyukur (kepada-Nya).
Dari ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kaffarah yang harus dibayar untuk menebus ila’ adalah:
1- Memberikan makan kepada sepuluh orang miskin, atau
2- Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
3- Memerdekakan seorang budak,
4- Kemudian, apabila tidak mampu melaksanakan salah satu dari ketiga
alternatif di atas, kaffarahnya adalah berpuasa selama tiga hari.
Catatan Penting: Orang yang ingin menebus kaffarah ila’ atau sumpah,
TIDAK BOLEH langsung memilih alternatif keempat ini, apabila ia secara
finansial atau fisik MASIH MAMPU melakukan salah satu dari tiga
alternatif kaffarah di atas.
THALAK YANG JATUH KARENA ILA'
Menurut Abu Hanifah thalak yang terjadi karena Ila' merupakan thalak
Ba'in. Karena jika Thalak itu Raj'i maka dimungkinkan bagi suami untuk
untuk memaksanya ruju', sebab hal itu merupakan haknya. Dan demikian itu
menghilangkan kepentingan istri dan dimana sang istri tidak dapat
menghindarkan dari dari bahaya. Imam Malik, Imam Syafi'i , Said Bin
Musayyab dan abu Bakar Bin Abdirrahman mengatakan bahwa ila'itu
merupakan thalak Raj'i karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa
ila' itu thalak Ba'in.
Ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 226-227 yang sebagai dasar dari
perkara ila’ bermunasabah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 225
لاَّ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن
يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu)
yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun” (QS. al-Baqarah : 225)
Yang mana hadits sebelumnya ini, masih membahas mengenai sumpah yang
hanya dilakukan dalam hati. Dan hal ini masih merupakan kelanjutan dari
ayat sebelumnya mengenai penggunaan nama Allah dalam sumpah.
Sedangkan mengenai ayat setelahnya, al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 228
pun masih memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya, ayat 227 yang
merupakan penyelesaian perkaraila’ setelah empat bulan dengan memilih
jalan talaq, sehingga kemudian dilanjutkan dengan pembahasan perihal
talaq, mulai dari ayat 228 sampai ayat 232.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ
يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن
كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحاً وَلَهُنَّ مِثْلُ
الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’ . Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya . Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Baqarah : 228)
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً
إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا
افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ
حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami
isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya . Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang
yang zalim.”(QS. al-Baqarah : 229)
Takhtimah
Firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 226-227 ini bermaksud untuk
menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan orang – orang jahiliyah,
dimana seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya selama
satu atau dua tahun, bahkan lebih. Kemudian Allah Swt menjadikan empat
bulan saja untuk waktu maksimalnya, dalam waktu tersebut adalah waktu
dijadikanya sebagai masa penangguhan bagi suami untuk merenungkan diri
dan memikirkan, mungkin ia akan membatalkan sumpahnya dan kembali kepada
istrinya atau mentalaknya.
Adanya ila’ sesungguhnya mempersulit seorang wanita, dengan membiarkan
ia terkatung katung dalam kehidupan rumah tangganya yang posisinya
adalah menjadi istri atau sebagai ibu rumah tangga, dalam kondisi ila’
akan mencekam pula kedudukan istri tersebut dimana wanita tersebut
adalah sebagai istri namun juga tidak seperti wanita yang diceraikan dan
bebas untuk menikah kembali dengan orang lain.
Dari penjelasan diatas kiranya dapat diambil sebuah kesimpulan mendasar,
bahwa hukum asal ila’ itu dilarang atau haram dalam kategori pada masa
jahiliyah dulu, karena ila’nya adalah sampai bertahun – tahun yang hal
tersebut adalah membuat diri seorang isteri tersiksa dan terkatung
nasibnya.
Kemudian setelah adanya islam datang, hal ini diperbolehkan asal sebelum
empat bulan berlalu, sang suami berhak mersetubuh kembali atau istilah
mengatakan adalah rujuk kepada sang istri, dan ketika suami bersih keras
untuk meneruskan ila’nya, maka sang istripun juga harus bersabar demi
kemaslakhatan bersama. Namun jika empat bulan telah berlalu, maka
hendaknya sang suami membuat keputusan yaitu tetap atau kembali ruju’
pada sang istri atau menceraikanya.
Adapun kesimpulan dari penjelasan diatas, adalah sebagai berikut :
ila’ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya lagi dalam waktu
empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.
Ila’ ini disyaratkan untuk menyebut nama Allah, tidak mencampuri
isterinya selama empat bulan, bersumpah tidak melakukan hubungan badan
dan yang menjadi objek sumpah itu adalah si isteri. Dan juga mempunyai
rukun yakni almauli, yang dijadikan sumpah adalah nama Allah, almaf’ul
‘alaih dan masa.
Pada masa ila’ isteri tidak boleh meminta untuk berjima’ dan mesti
bersabar sampai waktu yang dietntukan. Dan apabila waktu ila’ itu telah
tiba dalam artian ila’ masa ila’ sudah habis maka isteri boleh untuk
meminta kembali kepada suaminya dan apabila suami menolak hal demikian
maka si isteri boleh mengajukan kepada qadhi dan qadhi berhak untuk
menjatuhkan talak.
Kemudian jika suami menyetubuhi isterinya maka ia diwajibkan membayar
kifarat sebagai penembus sumpahnya.yakni memberikan makan 10 orang
miskin, memberikan pakaian bagi mereka dan memardekakan budak akan
tetapi biaya tidak mencukupi ma ia diwajibkan berpuasa.
Ila ini belaku kepada suami yang mukallaf meskipun ada pendapat ulama
yang mengatakan bahwa berlaku ila kepada suami non muslim karena mereka
dianggap mampu untuk melakukan persetubuhan. Ila tidak berlaku kepada
orang yang sakit, mempunyai penyakit berbahaya, pati jompo.
Ila’ adalah sumpah yang dialakukan seorang suami untuk tidak mencampuri
istrinya, yang oleh pendapat jumhur ulama, sumpah itu adalah sumpah
untuk tidak menyetubuhinya selama-lamanya, sehingga berdasarkan ayat ini
maka seorang isteri berhak menyanyakan keputusan suaminya setelah
menunggu selama empat bulan untuk merujuknya kembali atau memilih untuk
men-talaqisterinya tersebut.
Masa selama 4 bulan ini disebut dengan masa menunggunya seorang isteri terhadap suaminya.
Keputusan seorang suami untuk kembali kepada isterinya oleh pendapat jumhur dilakukan dengan cara menyetubuhi kembali isterinya.
Seorang suami oleh pendapat jumhur juga, apabila memutuskan untuk untuk
kembali kepada isterinya, dan membatalkan sumpah yang telah diucapkannya
maka wajib membayar denda kafarat atas sumpah yang diucapkannya.
Ayat yang berkaitan dengan ini yaitu surat al-Maidah ayat 89 tentang
kafarat sumpah, dan hadits yang membahas mengenai batasan-batasan dalam
bersumpah.
Surat al-Baqarah ayat 226-227 ini bermunasabah dengan ayat 225, yang
membahas mengenai sumpah, maupun ayat setelahnya, ayat 228-232, yang
berkaitan dengan pembahasan talaq
Hukum yang terkandung yaitu wajib hukumnya seorang suami yang bersumaph
untuk tidak lagu menyetubuhi isterinya untuk menentukan pilihannya
untuk meneruskan perkawinan mereka dengan jalan kembali kepada isterinya
kembali atau menceraikannya
DHIHAR
“فصل”
والظهار أن يقول الرجل لزوجته أنت علي كظهر أمي فإذا قال ذلك ولم
يتبعه بالطلاق صار عائدا ولزمته الكفارة والكفارة عتق رقبة مؤمنة سليمة من
العيوب المضرة بالعمل والكسب فإن لم يجد فصيام شهرين متتابعين فإن لم يستطع
فإطعام ستين مسكينا لكل مسكين مد ولا يحل للمظاهر وطؤها حتى يكفر.
FaslDhihar adalah seorang suami mengucapkan kepada istrinya : “ kamu atasa saya seperti punggung ibuku. Maka ketika seorang suami mengataka seperti itu dan tidak diikuti deng talak maka dia boleh kembali kepada istrinya dan wajib membayar kiffarat. Adapun kiffarat dhihar adalah:
1. Mmerdekakan budak perempuan mukmin yang selamat dari cacat melakukan pekerjaan.
2. Apabila tidak menemukan maka harus puasa dua bulan berturut turut.
3. Apabila tidak mampu maka member makan 60 miskin, setiap miskin satu mud.
Tidak diperbolehkan mencampuri istrinya sampai ia membayar kiffarat
Zihar adalah perkataan suami yang menyamakan tubuh isteri dengan tubuh ibunya. Baik bagian tubuhnya atau seluruhnya. Awal mulanya zihar ini adalah kebiasaan cara kaum jahiliyah dalam menalak isterinya. Mereka menyebutkan kata-kata, “Bagiku, engkau bagaikan punggung ibuku,” saat akan menalak isterinya. Namun, ketika Islam datang dengan ajarannya yang indah, Allah Subhanahu wa Ta‘ala memerintahkan kepada suami yang men-zihar isterinya untuk membayar kafarat (denda) sehingga zhihar-nya tersebut tidak sampai menjadi thalak.
Engkau bagiku seperti punggung ibuku. Kalimat ini pernah diucapkan Aus bin Shamit, suami dari Khaulah bin Tsa’labah. Ungkapan tersebut sebagai bentuk ketidaksukaan Aus bin Shamit terhadap istrinya tersebut. Namun kemudian, Aus menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada istrinya.
Khaulah pun menyampaikan masalah ini kepada Rasulullah SAW, dan turunlah ayat 1-4 surah al-Mujadalah [58]
1. قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتي تُجادِلُكَ في زَوْجِها وَ تَشْتَكي إِلَى اللَّهِ وَ اللَّهُ يَسْمَعُ تَحاوُرَكُما إِنَّ اللَّهَ سَميعٌ بَصيرٌ
"Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengemukakan bantahan kepada engkau dalam hal suaminya itu dan dia mengadu kepada Allah; Dan Allah mendengar soal jawab di antara kamu berdua; Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar. lagi Maha Melihat."
2. الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسائِهِمْ ما هُنَّ أُمَّهاتِهِمْ إِنْ أُمَّهاتُهُمْ إِلاَّ اللاَّئي وَلَدْنَهُمْ وَ إِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَراً مِنَ الْقَوْلِ وَ زُوراً وَ إِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
"Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, tidaklah isteri-isterinya itu jadi ibu-ibu mereka. Tidaklah ibu-ibu mereka melainkan yang menganakkan mereka. Dan sesungguhnya mereka telah benar-benar mengucapkan kata-kata yang munkar dan dosa. Dan sesungguhnya Allah adalah Maha Pemberi maaf lagi Pemberi ampun."
3. وَ الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْ نِسائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِما قالُوا فَتَحْريرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَ اللَّهُ بِما تَعْمَلُونَ خَبيرٌ
"Dan orang-orang yang menzhihaar terhadap setengah dari isteri isteri mereka , kemudian mereka itu hendak menarik bagi apa yang pernah mereka ucapkan itu, maka hendaklah merdekakan seorang budak sebelum keduanya bersentuh-sentuhan. Demikianlah kamu diberi pengajaran dengan dia. Dan Allah terhadap apa-apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Tahu."
4. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيامُ شَهْرَيْنِ مُتَتابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعامُ سِتِّينَ مِسْكيناً ذلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَ رَسُولِهِ وَ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَ لِلْكافِرينَ عَذابٌ أَليمٌ
“Maka barang siapa yang tidak mendapatnya, maka hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut. Maka barang siapa yang tidak kuat, maka hendaklah memberi makan enampuluh orang miskin. Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dengan Rasul-Nya. Dan itulah dia batas-batas yang ditentukan Allah. Dan bagi orang-orang yang kafir adalah azab siksaan yang pedih.”
Ayat di atas menegaskan, bahwa zihar tersebut (menuduh istri sama dengan ibunya), dilarang dalam Islam. Namun, bila suaminya menyesali perbuatannya dan bermaksud kembali kepada istrinya, maka dia wajib memerdekakan seorang budak (hamba sahaya), atau berpuasa, atau memberi makan fakir miskin. Itulah hukum Allah bagi orang-orang yang beriman.
Peristiwa yang terjadi 14 abad silam itu, hingga kini masih sering terdengar. Tentu saja, dalam konteks yang berbeda pula. Ada yang dimaksudkan sebagai ungkapan ketidaksenangannya terhadap istrinya dan dia menginginkan perceraian. Namun ada pula yang bermaksud sebagai pujian atas kecantikan istrinya, yang kecantikannya itu mirip dengan ibunya.
Misalnya, Wahai istriku, kecantikan sangat menawan. Rambutmu hitam dan panjang, bagaikan bidadari dari kahyangan. Kecantikanmu mengingatkanku pada kecantikan ibuku.
Bagaimanakah ungkapan seperti ini? Apakah ia sama dengan kasus yang dialami Khaulah bin Tsa’labah dan suaminya, yakni Aus bin Shamit, yang menyamakan istrinya dengan ibu kandungnya sehingga itu termasuk perkataan Zhihar?
Para ulama berbeda pendapat mengenai ungkapan tersebut. Ibnu Qayyim berkata; Pada masa jahiliyah, zihar dianggap sebagai talak, lalu dihapus dengan kedatangan Islam. Karenanya, hukum yang telah dihapuskan tidak boleh dilaksanakan. Aus bin Shamit pernah melakukan zhihar dengan niat talak, akan tetapi yang diberlakukan adalah zihar, dan bukan talak. Di samping itu, zhihar memiliki hukum yang jelas. Oleh sebab, itu, zihar juga tidak dijadikan sindiran talak karena hukum zhihar untuk talak telah dibatalkan oleh syariat Allah.
Namun ada ulama yang berpendapat, kasus seperti Aus bin Shamit, hukumnya telah menyebabkan jatuh talak. Karena maksudnya untuk menceraikan sang istri. Kendati tidak ada pernyataan talak atau cerai, seperti ‘Kamu aku talak. Kamu aku ceraikan. Dan ini merujuk pada hadis Rasulullah SAW yang memerintahkan Aus bin Shamit untuk membayar tebusan, yakni berpuasa, atau memerdekakan budak, atau memberi makan fakir miskin. (HR Abu Dawud). Hadis serupa juga diriwayatkan dari Aisyah.
Dalam kitab as-Sunan juga disebutkan, kisah yang dialami oleh Salamah bin Shakhr al-Bayadhi yang melakukan zihar kepada istrinya selama bulan Ramadhan. Dan sebelum Ramadhan berakhir, ia menggauli istrinya. Rasul pun memerintahkan Salamah supaya memerdekakan budak, atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan fakir miskin.
Pada intinya, ulama mazhab yang empat (Syafii, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) sepakat bahwa perbuatan zhihar adalah haram hukumnya. Karena perbuatan tersebut menyamakan istrinya dengan ibu kandungnya, maka dia haram menggauli istrinya itu, sebagaimana keharaman menggauli ibu kandung. Karena itu, dia wajib berpuasa selama dua bulan berturut-turut, atau memerdekakan budak, atau memberi makan 60 orang fakir miskin.
Mayoritas ulama menyatakan, bahwa kasus zihar hanya pada kasus ibu. Bila ungkapan serupa diungkapkan pada saudara perempuannya, maka hal itu tidak termasuk zhihar. Misalnya, Engkau seperti punggung saudara perempuanku.
Syekh Muhammad al-Utsaimin dalam kitabnya Shahih Fiqh an-Nisaa’ menyatakan, zhihar maknanya tidak hanya terbatas pada pengertian punggung ibu kandung, tetapi apa saja yang menyerupakan istri dengan ibu kandung.
Mazhab Hanafi, ats-Tsauri, Syafii dalam salah satu pendapatnya, dan Zaid bin Ali menyatakan, bahwa ibu mesti dikiaskan kepada semua perempuan yang menjadi muhrimnya (haram untuk dinikahi). Dalam pandangan mereka, zhihar adalah pernyataan seorang suami kepada istrinya. Dan tidak berlaku bila ungkapan itu dilakukan oleh seorang istri. Misalnya istrinya berkata; Engkau (suamiku), bagiku bagaikan punggung ibuku. Dalam kasus seperti ini tidak berlaku.
Bagaimana dengan kasus lain, misalnya memuji istrinya karena kecantikannya, atau kealimannya. Dalam kasus ini, tiga Imam Mazhab seperti Hanafi, Syafii, dan Maliki, dalam riwayat Ahmad, ungkapan tersebut tidak bisa disamakan dengan zhihar. Sebab, tujuannya adalah untuk menghormati, memuliakan dan memuji istrinya. Misalnya, seorang suami berkata; Kamu seperti saudara perempuanku atau seperti ibuku.
Sementara itu, panggilan seorang suami kepada istrinya dengan sebutan ‘Ibu’, ‘ummi’, ‘mama’ atau sejenisnya, tidak bisa disamakan dengan zhihar. Sebab, mayoritas panggilan itu digunakan untuk mengajarkan anak-anaknya memanggil orang tuanya.
MENUDUH ISTRI BERJINA
Semoga kita semua, anda dan saya, dihindarkan dari fitnah dan tuduhan yang tak berdasar.
Yang pertama harus disadari adalah, menuduh selingkuh atau berzina adalah termasuk dalam dosa-dosa besar yang membinasakan , terlebih jika tuduhan itu kepada wanita sholihah.
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“ ‘Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang membinasakan.’ Para sahabatpun bertanya: ‘Apakah tujuh hal itu wahai Rosululloh?’
Beliau menjawab : ‘Menyekutukan Alloh, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Alloh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh zina terhadap wanita suci yang sudah menikah’.” [Muttafaqun ‘Alaihi]
Dalam kajian fiqh ini disebut li’an atau saling melaknat antara yang menuduh dan yang tertuduh.
Lihat? Dari segi pengertiannya saja sudah mengerikan, saling melaknat, wal’iyyadzubillah, semoga kita semua terhindar dari hal tersebut.
Bagaimana supaya suami percaya persaksian kita bahwa itu tidak benar? Sebelumnya mari kita pahami runtutannya dengan benar.
Tuduhan itu akan dianggap, apabila suami bisa _mendatangkan 4 orang saksi (semuanya laki-laki)_ yang melihat perbuatan tersebut, jika tidak bisa, maka status sang suami tadi akan menjadi pelaku dosa besar, yakni Qoodzif alias penuduh zina sebagaimana disebutkan pada hadits di atas.
Alloh menerangkan dalam surat An-Nur,
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya). Maka Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS An-Nur 4-5)
Bagaimana jika tidak memiliki saksi dan tidak mau didera?
Maka naik ke tahapan berikutnya, yaitu bersaksi 4x disertai sumpah atas nama Alloh bahwa dirinya benar dengan tuduhannya, dan ditutup dengan ucapan ke-5 berupa li’an atau melaknat dirinya jika ia berdusta.
Demikian juga pihak istri, bersaksi 4x dengan disertai sumpah bahwa suaminyalah yang berdusta, dan ucapan atau sumpah yang ke-5 berupa laknat yang siap ia terima jika suaminya orang yang benar tuduhannya.
Landasan hukum ini adalah firman Alloh Jalla wa ‘Alaa dalam kelanjutan ayat di atas:
Ini adalah runtutan dari kejadian menuduh berzina, dan apa yang harus dilakukan dari kedua belah pihak.
Bagaimana caranya agar suami percaya pada istri bahwa tuduhannya tidak benar?
» Jika suami tidak berhasil menghadirkan saksi dan tidak mau bersumpah, ya jangan khawatir dengan tuduhan itu, justru nasihatilah suami agar bertaubat taubatan nasuha.
Mungkin masalahnya adalah ranah intern keluarga, maka silahkan dimusyawarahkan baik-baik. Tapi jika suami bisa menghadirkan 4 orang saksi, atau mau bersumpah 4 kali atas tuduhannya, dan sumpah akan menanggung resiko laknat dari Alloh, maka balaslah dengan cara yang sama sebagaimana dijelaskan diatas.
Namun semoga masalah yang ada tidak sepelik yang ditanyakan dan yang saya bayangkan, sebab konsekuensi dari qodzaf (menuduh berzina) dan li’an bukanlah perkara yang remeh, _tidak bolehnya lagi berkumpul suami antara istri_ tersebut sebagaimana hadits Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhu,
Tidak hanya itu, selain sang anak tidak bisa bernasab kepada ayahnya (jika itu adalah anak yang dituduhkan suami hasil zina istrinya), konsekuensi lainnya yang dijelaskan dalam Syarhul Mumti’ adalah _perpisahan selamanya_ , alias pasangan suami istri tersebut tidak boleh berkumpul lagi baik dengan ruju’ atau pernikahan baru. (Syarhu al-Mumti’ 13/304).
Lihat betapa dosa ini tidaklah membuahkan sesuatu kecuali petaka.
Semoga kita senantiasa dijaga oleh Alloh dalam setiap langkah, agar terhindar dari fitnah dan tidak dijauhkan dari berkah.
Wallohu A’lam
Yang pertama harus disadari adalah, menuduh selingkuh atau berzina adalah termasuk dalam dosa-dosa besar yang membinasakan , terlebih jika tuduhan itu kepada wanita sholihah.
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ الهِl وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِالهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ الهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ
“ ‘Jauhilah oleh kalian tujuh hal yang membinasakan.’ Para sahabatpun bertanya: ‘Apakah tujuh hal itu wahai Rosululloh?’
Beliau menjawab : ‘Menyekutukan Alloh, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Alloh kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, kabur dari medan perang, menuduh zina terhadap wanita suci yang sudah menikah’.” [Muttafaqun ‘Alaihi]
Dalam kajian fiqh ini disebut li’an atau saling melaknat antara yang menuduh dan yang tertuduh.
Lihat? Dari segi pengertiannya saja sudah mengerikan, saling melaknat, wal’iyyadzubillah, semoga kita semua terhindar dari hal tersebut.
Bagaimana supaya suami percaya persaksian kita bahwa itu tidak benar? Sebelumnya mari kita pahami runtutannya dengan benar.
Tuduhan itu akan dianggap, apabila suami bisa _mendatangkan 4 orang saksi (semuanya laki-laki)_ yang melihat perbuatan tersebut, jika tidak bisa, maka status sang suami tadi akan menjadi pelaku dosa besar, yakni Qoodzif alias penuduh zina sebagaimana disebutkan pada hadits di atas.
Alloh menerangkan dalam surat An-Nur,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَٰلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya). Maka Sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS An-Nur 4-5)
Bagaimana jika tidak memiliki saksi dan tidak mau didera?
Maka naik ke tahapan berikutnya, yaitu bersaksi 4x disertai sumpah atas nama Alloh bahwa dirinya benar dengan tuduhannya, dan ditutup dengan ucapan ke-5 berupa li’an atau melaknat dirinya jika ia berdusta.
Demikian juga pihak istri, bersaksi 4x dengan disertai sumpah bahwa suaminyalah yang berdusta, dan ucapan atau sumpah yang ke-5 berupa laknat yang siap ia terima jika suaminya orang yang benar tuduhannya.
Landasan hukum ini adalah firman Alloh Jalla wa ‘Alaa dalam kelanjutan ayat di atas:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ ۙ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ ۙ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Dan orang-orang yang menuduh isterinya berzina, padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Alloh, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan sumpah yang kelima: bahwa la’nat Alloh atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Alloh, bahwa sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan sumpah yang kelima: bahwa laknat Alloh atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (QS An-Nur 6-9)Ini adalah runtutan dari kejadian menuduh berzina, dan apa yang harus dilakukan dari kedua belah pihak.
Bagaimana caranya agar suami percaya pada istri bahwa tuduhannya tidak benar?
» Jika suami tidak berhasil menghadirkan saksi dan tidak mau bersumpah, ya jangan khawatir dengan tuduhan itu, justru nasihatilah suami agar bertaubat taubatan nasuha.
Mungkin masalahnya adalah ranah intern keluarga, maka silahkan dimusyawarahkan baik-baik. Tapi jika suami bisa menghadirkan 4 orang saksi, atau mau bersumpah 4 kali atas tuduhannya, dan sumpah akan menanggung resiko laknat dari Alloh, maka balaslah dengan cara yang sama sebagaimana dijelaskan diatas.
Namun semoga masalah yang ada tidak sepelik yang ditanyakan dan yang saya bayangkan, sebab konsekuensi dari qodzaf (menuduh berzina) dan li’an bukanlah perkara yang remeh, _tidak bolehnya lagi berkumpul suami antara istri_ tersebut sebagaimana hadits Ibnu Umar rodhiallohu ‘anhu,
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لاَ عَنَ بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَتِهِ فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَاَلْحَقَ الْوَلَدَ باِلْمَرْأَةِ
Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengadakan mula’anah atau li’an antara seseorang dengan istrinya. Lalu lelaki tersebut mengingkari anaknya tersebut dan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam memisahkan keduanya (lelaki dan istrinya) dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya. [HR Bukhori 4903]Tidak hanya itu, selain sang anak tidak bisa bernasab kepada ayahnya (jika itu adalah anak yang dituduhkan suami hasil zina istrinya), konsekuensi lainnya yang dijelaskan dalam Syarhul Mumti’ adalah _perpisahan selamanya_ , alias pasangan suami istri tersebut tidak boleh berkumpul lagi baik dengan ruju’ atau pernikahan baru. (Syarhu al-Mumti’ 13/304).
Lihat betapa dosa ini tidaklah membuahkan sesuatu kecuali petaka.
Semoga kita senantiasa dijaga oleh Alloh dalam setiap langkah, agar terhindar dari fitnah dan tidak dijauhkan dari berkah.
Wallohu A’lam
IDAH PEREMPUAN
“فصل”
والمعتدة على ضربين متوفى عنها وغير متوفى عنها فالمتوفى عنها إن
كانت حاملا فعدتها بوضع الحمل وإن كانت حائلا فعدتها أربعة أشهر وعشر وغير
المتوفى عنها إن كانت حاملا فعدتها بوضع الحمل وإن كانت حائلا وهي من ذوات
الحيض فعدتها ثلاثة قروء وهي الأطهار وإن كانت صغيرة أو آيسة فعدتها ثلاثة
أشهر والمطلقة قبل الدخول بها لا عدة عليها وعدة الأمة بالحمل كعدة الحرة
وبالإقراء أن تعتد بقرأين وبالشهور عن الوفاة أن تعتد بشهرين وخمس ليال وعن
الطلاق أن تعتد بشهر ونصف فإن اعتدت بشهرين كان أولى.
FaslPerempuan iddah itu ada dua macam: ditinggal mati dan tidak ditinggal mati.
Iddah akibat ditinggal mati maka apabila hamil iddahnya adalah melahirkan. Dal bila tidak hamil maka iddahnya empat bulan sepuluh hari.
Iddah akibat cerai bukan ditinggal mati apabila hami mak iddahnya melahirkan, dan jika tidak hamil dan masih subur ( haid ) maka iddahnya tiga kali suci.
Iddah bagi perempuan yang dicerai yang msih kecil atau perempuan yang sudah luas ( tidak haid lagi ) maka iddahnya tiga bulan.
Perempuan yang dicerai sebelum dikumpuli tidak punya iddah.
Iddahnya amat yang hamil seperti iddahnya perempuan yang merdeka, dan yang iddahnya perempuan budak yang dengan ukuran suci adal dua kali suci. Budak perempuan yang ditinggal mati dan tidak hamil maka iddahnya dua bulan lima malam. Iddah budak perempuan yang dicerai bukan ditinggal mati adalah satu bulan lima belas hari, bila iddah dengan dua bulan itu lebih utama.
1. Pengertian Iddah:
Iddah menurut bahasa yaitu: Isim dari kata masdar adda yauddu addan iddatan di ambil juga dari kata bilangan atau hitungan karena mencakup jumlah masa bersih/masa haid dan bulan.
Sedangkan menurut syar’i: Sebuah nama yang di pakai untuk menentukan masa tertentu di mana wanita menunggu, jadi masa menunggu, ini semua karena ibadah kepada Allah Ta’ala.
Kaum muslimin Rohimakumullah.. Ini bukti bahwa umat ini berislamnya banyak yang tidak terikat dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, berislamnya dengan kebiasaan, contoh “Kita shalatnya lebih baik di rumah katanya, padahal kita ingin dapat 27 derajat di masjid” jadi aturan Allah itu dibuat susah sama dia, jadi seakan-akan apa? Mereka menganggap Allah tidak bagus membuat aturan, mereka mengatakan “kenapa laki-laki shalat fardhunya di masjid dan mendapat 27 derajat. kenapa kami di rumah?” “Ya karena Rasulullah mengatakan shalat yang terbaik bagimu di rumah, kalau beliau mengatakan yang terbaik, maka lebih dari 27 dong.”
Jadi apapun ketentuan Allah Ta’ala kepada manusia, apakah sama atau tidak sama dengan perempuan, maka hal itu tidak ada masalah, jangan sampai ribut-ribut . Orang-orang yang menghasung kesetaraan gender itu mengatakan ”mana keadilanya ketika wanita dikasih haid tidak boleh ke masjid, itukan diskriminatif”. Kalau dia sadar dia makhluk Allah , ciptaan Allah, apa kata Allah, maka ikuti aja
Ini lah sebenarnya hakikat ati’uAllah wa ati’urrasul. Ketaatan ini lah yang belum terbangun dalam masyarakat kita, sehingga banyak protes, kenapa? Berati ma’rifatullahnya yang kurang, ngajinya salah, kalau orang bangun rumah kan harus mulai dari pondasi dan tiangnya, tiba-tiba bangun atap bangun dinding bingung melayang-layang di atas, ketika tanpa diawali dengan pondasi dan tiang past sebentar lagi roboh.
Jadi ada 3 alasanya pertama: kita memang ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, kalau Allah kasih iddah bagi yang bercerai, maka ikuti aj, karena hal itu ibadah namanya. Yang kedua: sebagai kesempatan atau pelajaran bagi laki-laki, agar jangan terburu-buru bercerai, kemudian: menguatkan atau membuktikan bukti kuat bahwa rahimnya kosong, tidak mengandung anak si suami. Iddah sebagai akibat talak atau wafat, jadi tidak terjadi iddah kecuali kalau terjadi talak atau wafat.
2. Dalil Disyariatkanya Iddah
Dari mana kita tahu dalilnya iddah?, Dari al-quran dari sunnah dari ijma’ para ulama, arti ijma’ di sini maksunya tidak ada ulama yang berbeda pendapat. Kalau di sebut ijma’ artinya apa? Tidak ada ulama perbeda pendapat, tapi kalau soal wali ada selisih pendapat karena memahami kata itu. Iddah itu di tentukan oleh suci atau haidnya itu, ulama berselisih pendapat, begitu juga dengan kata quru’ mengandung dua pendapat yaitu haid atau suci, akan tetapi iddah itu sendiri adalah ijma’ para ulama, dari Al-quran bisa kita baca ayat :
{وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ } [البقرة: 228]
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga quru’.” (al-baqoroh : 228)
Masa menunggu ini yang di namakan dengan masa iddah, Allah juga berfirman dalam surat at-Talaq:
{ وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ
إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ
يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا} [الطلاق: 4]
“dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (at-Thalaq : 4)Makanya ulama menkiaskan kasus ini dengan orang yang hamil tanpa nikah, tidak boleh menikah sebelum melahirkan, karena yang dikandungnya itu bukan anak dia dan nasabnya putus, anaknya nggak masalah tapi nasabnya putus, hal ini nanti bisa kacau balau yang bener anak siapa ini?
Kemudian istri yang di tinggal mati suaminya maka ia menunggu selama 4 bulan sepuluh hari, sedangkan dalil dari sunnah Hadits dari Miswar bin Makhromah:
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ أَنَّ سُبَيْعَةَ
الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتِ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ
لَهَا فَنَكَحَتْ.
“Bahwasanya Subai’ah Bin Aslamiyah dia melahirkan setelah wafat suaminya beberapa malam setelah itu datang kepada Nabi Salallahu Alaihi Wa Sallam meminta izin kepada Nabi untuk menikah kemudian Nabi mengizinkan,”
Pokoknya kalau orang yang hamil dicerai atau ditinggal suaminya mati, maka tetap menunggu sampai melahirkan.
3. Hikmah Di Syariatakanya Iddah :
- Agar ada pembuktian lepasnya rahim wanita itu dari hamil (maksudnya dari janin yang ada di dalam rahimnya agar tidak konvesius keturunanya) agar tidak kacau balau keturunan.
- Agar memberi kesempatan untuk suami yang mencerai itu agar dia kembali atau menyesal, jika talaknya talak roj’i (talak yang masih bisa ruju’ kembali yaitu talak satu dan dua) tapi kalu sudah talak yang ketiga jangan kasih kesempatan mikir-mikir lagi sudah selesai perkara.
- Menjaga hak hamil ketika dia berpisah dari kehamilanya.
Macam-macam iddah terbagi menjadi dua yaitu iddah wafat dan iddah bercerai.
1. Iddah wafat: yaitu apa bila meninggal suaminya maka hal ini tidak terlepas dari dua kemungkinan bisa jadi ia hamil dan yang kedua dia tidak hamil, kalau wanita tersebut hamil maka masa iddahnya berakhir dengan melahirkan itu sendiri walaupun hanya semenit atau berepa jam setelah wafat, jadi patokannya adalah melahirkan sebagai mana firman Allah :
{وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ} [الطلاق: 4]
Wanita-wanita yang hamil yang ditinggalkan suami-suaminya meninggal batas iddahnya adalah dia melahirkan kandungannya,
dan dalil dari sunnah yaitu hadits di atas tadi, wanita yang mengadu kepada Nabi dia ditinggal suaminya mati dan kemudian dia melahirkan kemudian dia mengadu kepada Nabi untuk menikah kemudian Nabi mengijinkan maka kemudian dia menikah.
Kemudian kemungkinan yang kedua apabila wanita itu tidak hamil maka masa iddahnya empat bulan sepuluh hari, ini sama dengan wanita yang ditalak apakah ia sampai digauli ataupun belum sama saja iddahnya empat bulan sepuluh hari, karena keumuman firman Allah Ta’ala ini menurut pendapat imam Ahmad kalau pendapat imam Syafi’i maka ada bedanya. Allah berfirman :
{وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا } [البقرة:
234]
“Dan orang-orang yang di wafatkan dari kamu dan dia meninggalkan istri-istri maka istri itu menunggu untuk diri mereka empat bulan sepuluh hari.” (al-Baqarah : 234)
Jelaskan tidak usah ditafsirkan lagi empat bulan sepuluh hari, jadi apakah dia dukhul ataukah belum, tidak masalah kemudian setelah habis masa itu tidak masalah kalau kalian hendak melaksanakan yang ma’ruf, apa maksudnya ma’ruf? Yaitu menikah lagi, jadi menikah itu ma’ruf, makanya al amru bil ma’ruf perintahkan menikah itu, makanya Allah berfirman: “dan nikahkanlah yang bujangan itu”, ini perintah Allah sunnah Rosulullah. Di dalam ayat di atas tidak membeda bedakan yang sudah dukhul ataupun yang belum jadi imam Ahmad mengambil pendapat ini.
2. Iddah firok (iddah karena cerai).
Yaitu iddah yang terjadi di sebabkan perceraian, perceraian itu bisa karena faskh, tolak, ataupun khulu’ setelah suami istri bercampur hal ini tidak lepas dari 3 kemungkinan pertama: perampuan itu hamil dan yang kedua perempuan tersebut tidak hamil dan yang ketiga dia belum haid karena umurnya kecil atau karena sudah tidak haid lagi,
- Kalau dia hamil iddahnya berahir dengan kelahiran hamilnya.
- Kalau dia tidak hamil yang masih haid maka iddahnya 3x suci setelah bercerai itu, jadi cerai itu harus dalam keadaan suci, maka bagi siapa yang hendak cerai maka hendaknya dia melihat kondisi istri kalau kondisi istri ii belum haid maka jangan di cerai dulu kalau kita dah campuri tunggu dulu ia haid kemudian besih setelah haid baru dia boleh cerai, jadi jangan asal ngamuk-ngamuk kemudian cerai… padahal nikah tidak semudah itu kan? Jadi cerai itu sah kalau dalam kondisi suci dan belum di setubuhi lagi, ini bagai wanita yang haid, jadi kit hitung suci pertama waktu di cerai suci kemudian haid kemudian suci kedua kemudian haid kemudia suci ketiga selesai masa ruju’ dan habis masa iddah. Luar biasa toleransi Allah pada kita kita aja yang kurang mau toleransi pada Allah , dalilnya adalah firman Allah :
{ وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ
قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي
أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا
إِصْلَاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ } [البقرة:
228]
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.
tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya. jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Baqarah : 228)(1)Quru’ dapat diartikan suci atau haidh.
(2)Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan Kesejahteraan rumah tangga (Lihat surat An Nisaa’ ayat 34).
Kalau hamil maka dia harus mengakui kalau dia hamil, karena iddahnya akan berbeda, ternyata hamil baru sebulan… delapan bulan lagi nunggu dia ternyata punya pilihan juga maka dia harus sabar menunggu.
Kalau dilihat sudah tidak haid karena kecil umurnya atau karena ia sudah tua maka sehingga tidak haid lagi maka maka iddahnya cukup tiga bulan iddahnya, singkatnya yang haid empan bulan sepuluh hari, dan yang tidak maka tiga bulan saja
Hukum Talak Sebelum Dukhul (Berhubungan)
Kalau suami menceraikan istrinya karena faskh, atau karena talak sebelum dia dukhul maka tidak ada iddahnya karena ada firman Allah :
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ
الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ
فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ
وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا } [الأحزاب: 49]
(3)Yang dimaksud dengan mut’ah di sini pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampuri.
Ayat dia atas tidak ada bedanya antara istri-istri kita mukmin ataupun dari ahli kitab, bisa jadi suatu masa kita menyerang amerika dan kemudia dapat istri orang-orang amerika atau orang eropa dan dianya masih kitabiyah siapa taukan? (para jamaah tertawa) kita kan bicara hukum jadi nggak bisa di sembunyi-sembunyikan bisa saja kejadian) dan hukum di atas adalah kesepakatan ahli ilmi di sebutkan mukminat di sini tidak ada kitabiyahnya karena mayoritasnya istri orang mukmin adalh orang Islam.
Subscribe to:
Posts (Atom)