“فصل”
وإذا حلف أن لا يطأ زوجته مطلقا أو مدة تزيد على أربعة أشهر فهو
مول ويؤجل له إن سألت ذلك أربعة أشهر ثم يخير بين الفئة والتكفير أو الطلاق
فإن امتنع طلق عليه الحاكم.
Fasl
Apabila seorang suami bersumpah tidak akan mencampuri istrinya mutlak atau dalam waktu lebih dari empat bulan, itu adala sumpah ila’. Dan tidak berguan bila seorang istri meminta dalam waktu empat bulan tersebut. Kemudian suami disuruh memilih antara bersetubuh dan bayar kiffarat atau cerai. Bila suami menolak maka diceraikan hakim.
Pengertian Ila’
Secara etimologi ila’ berasal dari masdar ‘ala-ya’li-laan yang artinya
berarti melarang diri dengan menggunakan kata sumpah. Sedangkan secara
istilah ila’ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya lagi
dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.
Atha’ mengatakan ilaa’ berarti bersumpah dengan nama Allah untuk tidak
mencampuri isterinya selama empat bulan atau lebih. Jika tidak di iringi
dengan sumpah maka tidak dikatakan dengan ila’’. Menurut An-Nakhai jika
suami memurkai, mencelakai dan mengharamkan isterinya atau tidak lagi
hidup bersama maka yang demikian itu telah termasuk ila’’
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu,
sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan
menyetubuhi istri.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam ( 2000 : 180 ) ila
adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan
istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk
menyusahkan istrinya selama satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini
tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak
jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ilaartinya
sumpah suami tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat
bulan atau tidak menyebutkan jangka waktunya.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah
ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya,
sebelum sampai empat bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah (
kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan dia tidak kembali baik dengan
istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara, yaitu membayar
kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya.
Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara
tersebut, hakim berhak menceraikan mereka secara terpaksa.
Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak
kembali ( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itujatuh
talak bain, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
Firman allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227
.لِّلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِن نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَآءُو فَإِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمُُ
وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاَقَ فَإِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (
lamanya ) kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ), maka
sesungguhnya Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika
mereka berazam ( bertetap hari untuk ) talak, maka sesungguhnya Allah
SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.
Allah SWT bwrmaksud menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan
orang-orang jahiliyah, dimana seorang suami bersumpah untuk tidak
mencampuri istrinya selama satu atau dua tahun, bahkan lebih Kemudian
Allah SWT menjadikannya empat bulan saja. Waktu empat bulan telah
ditetapkan Allah SWT dijadikan sebagai masa penangguhan bagi suami untuk
merenungkan diri dan memikirkan, mungkin ia akan membatalkan sumpahnya
dan kembali kepada istrinya atau menthalaqnya.
Ayat yang kemudian mempunyai keterkaitan dengan pembahasan ila’, dalam
hal ini yang berkaitan yaitu mengenai esensi dari sumpah yang dilakukan,
yakni terdapat dalam surat al-Baqaarah 224-225 :
وَلاَ تَجْعَلُواْ اللّهَ عُرْضَةً لِّأَيْمَانِكُمْ أَن تَبَرُّواْ
وَتَتَّقُواْ وَتُصْلِحُواْ بَيْنَ النَّاسِ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ لاَّ
يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن
يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang
untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara
manusia . Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha MengetahuiAllah tidak
menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang
disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun” (QS. al-Baqarah : 224-225)
Selain itu terdapat pula dalam surat al-Maidah ayat 89 tentang kafarat atas sumpah yang dilanggar tersebut :
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن
يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ
عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ
كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu,
ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa
kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang
demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu
adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).
Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. al-Maidah : 89)
Sedangkan hadits yang berkaitan masih keterkaitan terhadap sumpah itu sendiri secara umum, yaitu :
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللّهِ أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang bersumpah, maka hendaklah dia bersumpah dengan (nama) Allah atau hendaklah dia diam” (HR. Mutafaqqun ‘alaih)
أَلاَ إنَّ الله يَنْهَا كُمْ أَنْ تَحْلِفُوْا بِاَبَائِكُمْ , فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أوْلِيَصْمُتْ
“Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan
nama bapak-bapak kalian. Barangsiapa bersumpah, maka hendaklah ia
bersumpah dengan nama Allah atau hendaknya diam”
Disebutkan hadits shahih pula bahwa orang yang bersumpah dengan selain
Allah, berarti ia tidak bersumpah sesuai perintah Allah SWT, sehingga ia
tidak bisa disebut orang yang bersumpah, sesuai sabda Nabi SAW :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dalam perkara (perintah) kami, maka ia tertolak”
مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ , فَرَأَى غَيْرَها خَيْرًا مِنْهَا فَتَرْكُهَا كَفَّارَتُهَا
“Barangsiapa yang bersumpah terhadap suatu hal, kemudian ia melihat
sesuatu yang lebih baik daripada sumpahnya, maka lakukan apa yang lebih
baik itu kemudian bayarlah kafarat sumpahnya” (HR. Muslim, an-Nasa’i dan
Ibnu Majah)
Menurut Ibnu Abbas,Ila' berarti bersumpah untuk tidak mencampuri istri
selamanya. sedangkan Atha' mengatakan Ila' berarti bersumpah dengan nama
Allah untuk tidak mencampuri istri selama empat bulan atau lebih. Jika
tidak diiringi dengan bersumpah, maka bukan di sebut dengan Ila'.
Menurut Ibrahim An-Nakha'i "Jika seorang suami bersumpah untuk memurkai,
mencelakai, mengharamkan istrinya atau tidak lagi hidup bersama, maka
yang demikian itu telah termasuk Ila'." Al-Sya'abi mengatakan: "Segala
macam sumpah yang memisahkan antara suami dengan istrinya, maka itu
termasuk Ila'.
Abu Sya'sya' mengatakan: Jika seorang suami berkata kepada istrinya
"Kamu haram bagiku, atau Kamu seperti ibuku sendiri atau Telah aku
Thalak jika aku mendekatimu. Maka kesemuanya itu trmasuk Ila'.Jika
seseorang bersumpah untuk Thalak, memerdekakan budak, menunaikan haji
atau umrah atau puasa, maka kesemuanya itu telah di sebut dengan Ila'.
Sedang apabila bersumpah nazar mengerjakan sholat atau Tawaf selama satu
minggu atau bertasbih sebanyak seratus kali, maka yang demikian itu
bukan termasuk Ila'."
Atha' pernah di tanya mengenai seseorang yang bersumpah untuk tidak
mendekati istrinya selama satu bulan dan ternyata ia tidak mendekatinya
selama lima bulan, maka ia pun menjawab yang demikian itu sudah termasuk
Ila'. dan jika lebih dari empat bulan sebagaimana yang di firmankan
Allah maka berarti ia bermaksud menthalaknya.
Menurut Qathadah seorang suami yang bersumpah tidak akan mendekati
istrinya selama sepuluh hari, lalu ia meninggalkannya selama empat
bulan, maka yang demikian itu termasuk Ila'. Adapun Hasan Basri
mengatakan Jika seorang suami berkata " Demi Allah, aku tidak akan
mendekati istriku selama satu malam, kemudian ia meninggalkannya selama
empat bulan dan itu dimaksudkan sebagai sumpahnya, maka hal itu termasuk
sebagai Ila'."
Imam Malik dan Imam Syafi'i, Abu Tsaur, Imam Ahmad dan sahabat-sahabat
mereka berpendapat Sumpah yang menyatakan tidak akan mendekati istri
selama empat bulan atau kurang dari itu bukan di sebut sebagai Ila'
karena Ila' itu berlaku sebagai sumpah yang menyatakan tidaka akan
mendekati istri selama lebih dari empat bulan.
Syarat Ila’
Menurut madzhab Hambali dan madzhab-madzhab yang lain menyebutkan empat syarat bagi ila’ yakni:
a) Si suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau dengan salah satu
sifatnya, seperti yang maha kasih, dan tuhan sekalian alam, bahwa dia
tidak menyetubuhi isterinya lebih dari empat bulan.
b) Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan selama
lebih dari empat bulan karena Allah SWT menjadikan orang yang
mengucapkan sumpah menunggu selama empat bulan.
c) Si suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan di bagian vagina.
d) Yang dijadikan sebagai obyek sumpah adalah isteri, karena orang
yang selain isteri tidak memiliki hak untuk disetubuhi oleh si suami,
maka si suami tidak dapat melakukan ilaa’ kepada perempuan yang selain
isteri.
SUAMI YANG BERILA' BOLEH KEMBALI ATAU MENCERAIKAN ISTRINYA
Ali Bin Abi Thalib mengatakan jika seorang suami mengila' istrinya tepat
selama empat bulan, maka ia harus berhenti dari ila'nya dan selanjutnya
ia harus memilih untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya.
dalam hal ini ia harus di paksa. Sedangkan menurut Ibnu Umar seorang
suami yang mengila' istrinya lalu diberhentikan setelah empat bulan maka
selanjutnya ia boleh kembali kepada istrinya atau menceraikannya.
Sulaiman Bin Yasar mengatakan "aku pernah mendengar beberapa laki-laki
dari sahabat Rasulullah mengatakan bahwa Ila' itu dapat diberhentikan.
Demikian ini juga menjadi pendapat Said Bin Musayyab, Thawus, Mujahid,
Qasim Bin Muhammad Bin Abi Bakar, dimana mereka semua menyatakan bahwa
Ila' seseorang itu diberhentikan dan selanjutnya diberi pilihan mau
kembali atau menthalak istrinya.
Dari Umar Bin Abdul Aziz, Urwah Bin Zubair, Abu Mujalas, dan Muhammad
Bin ka'ab mereka mengatakan: "Ila' seseorang itu dapat diberhentikan."
Sulaiman Bin Yasar mengatakan Aku pernah melihat sekumpulan orang
menhentikan orang yang mengila' istrinya setelah lebih dari empat bulan.
Selanjutnya ia boleh kembali kepadanya atau menceraikannya. Ini juga
merupakan pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i Abu Tsaur, Abu Ubaid,Ahmad,
Ishak, Abu Sulaiman dan sahabat-sahabat mereka. Namun demikian Imam
Malik dan Syafi'i dalam salah satu pernyataannya mengatakan Jika suami
tersebut menolaknya, maka Hakim yang akan menceraikannya.
Keduanya memang berbeda pendapat, dimana Imam Syafi'i mengatakan Suami
tersebut boleh kembali kepada istrinya selama masih dalam masa iddahnya.
Jika ia mencampurinya , maka yang demikian itu telah menggugurkan
Ila'nya. Sedang apabila ia tidak mencampurinya maka Ila'nya harus
dihentikan dan selanjutnya ia boleh memilih kembali kepadanya atau
diceraikan oleh hakim, kemudian ia boleh rujuk lagi kepadanya, jika ia
mencampurinya maka ila'nya tersebut gugur dan jika tidak mencampurinya
maka ila'nya itu harus dihentikan setelah empat bulan, dan selanjutnya
diceraikan oleh hakim. Setelah itu diharamkan bagi suaminya kembali
kepada istrinya tersebut kecuali setelah istrinya menikah dengan
laki-laki lain.
Apabila suami bersumpah tidak akan menyetubuhi istri dalam jangka waktu
di bawah empat bulan, yang lebih baik bagi suami adalah (1) membatalkan
sumpahnya, (2) membayar kaffarah (denda) sumpah, kemudian (3) kembali
menyetubuhi istrinya. Saran ini datang dari Nabi shallallahu ‘alahi wa
sallam sendiri,
من حلف على يمين فرأى غيرها خيرا منها فليأت الذي هو خير وليكفر عن يمينه
Barangsiapa bersumpah atas suatu hal, lalu ia melihat yang selain sumpah
tersebut lebih baik, datangilah yang dia lebih baik tersebut, dan
hendaknya ia batalkan sumpahnya. (H.R Muslim)
Apabila suami tidak membatalkan sumpahnya, hendaknya istri bersabar hingga batas waktu ila’ yang dulu diucapkan suami berakhir.
empat bulan ke atas.
Adapun jika suami bersumpah tidak akan menyetubuhi istrinya
selama-lamanya, atau dengan mengucapkan waktu tertentu yang lebih dari
empat bulan, sang suami bisa membatalkan sumpahnya, memnayar kaffarah,
setelah itu boleh kembali menyetubuhi istrinya. Namun, jika ia tidak
membatalkan sumpahnya, istri menunggu sampai waktu ila’ habis hingga
empat bulan. Setelah itu, istri meminta atau memberikan dua pilihan
kepada suami untuk (1) menyetubuhinya atau (2) menceraikan dirinya saja.
Jika suami memilihi opsi (1), tentu saja berarti rumah tangga pasangan suami istri tersebut berlanjut kembali.
Jika suami memilih opsi (2), jatuhlah talak/cerai dari pihak suami.
Namun, bagaimana jika suami tidak memilih opsi (1) maupun (2). Artinya,
ia tidak mau menyetubuhinya, tetapi tidak juga menceraikan istrinya
tersebut?
Jawabannya adalah JATUH TALAK secara OTOMATIS, meskipun suami tidak mengucapkan lafal talak
Perhatikan dalil di bawah ini:
Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah 226-227:
لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ
فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (226) وَإِنْ عَزَمُوا
الطَّلَاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (227)
“Para Laki-laki yang meng-ila istrinya, harus menunggu selama empat
bulan. Kemudian, jika mereka kembali (kepada istrinya), sungguh Allah
itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dan jika mereka berketetapan hati
untuk menjatuhkan cerai, sungguh Allah Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui.”
.
Dalam kitab Al-Muwatha’ (1021), Imam Malik menyebutkan riwayat dari Nafi’ dari Ibnu Umar:
أَيُّمَا رَجُلٍ آلَى مِنْ امْرَأَتِهِ فَإِنَّهُ إِذَا مَضَتْ
الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ وُقِفَ حَتَّى يُطَلِّقَ أَوْ يَفِيءَ وَلَا
يَقَعُ عَلَيْهِ طَلَاقٌ إِذَا مَضَتْ الْأَرْبَعَةُ الْأَشْهُرِ حَتَّى
يُوقَفَ
Siapa saja laki-laki yang meng-ila’ istrinya, sesungguhnya jika sudah
sampai genap empat bulan, ia diminta ketegasan dari perkataannya, sampai
ia menjatuhkan talak atau tidak.
Tidaklah terjadi talak ketika sudah genap 4 bulan tersebut, sampai ia mempertegas perkataannya.
Bagaimana Membayar Kafarah (Denda) Ila’?
Setelah membaca keterangan di atas, barangkali akan muncul pertanyaan,
“Lalu bagaimana cara membayar kaffarah ila’ agar suami dapat menyetubuhinya lagi?”
Pada hakikatnya, ila’ adalah sumpah. Oleh karena itu, kaffarah ila’
adalah sebagaimana kaffarah sumpah yang disebutkan Allah ta’ala dalam
surat Al-Maidah, ayat 59:
لا يؤاخذكم الله باللغو في أيمانكم ولكن يؤاخذكم بما عقدتم الأيمان فكفارته
إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم أو كسوتهم أو تحرير رقبة فمن
لم يجد فصيام ثلاثة أيام ذلك كفارة أيمانكم إذا حلفتم واحفظوا أيمانكم كذلك
يبين الله لكم آياته لعلكم تشكرون
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kaffarahnya (denda pelanggaran
sumpah) adalah memberikan makanan kepada sepuluh orang miskin, yaitu
dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
mereka pakaian, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak mampu
melakukannya, berpuasalah tiga hari. Itulah kafarah sumpah-sumpahmu
apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah
menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kemu bersyukur (kepada-Nya).
Dari ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kaffarah yang harus dibayar untuk menebus ila’ adalah:
1- Memberikan makan kepada sepuluh orang miskin, atau
2- Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
3- Memerdekakan seorang budak,
4- Kemudian, apabila tidak mampu melaksanakan salah satu dari ketiga
alternatif di atas, kaffarahnya adalah berpuasa selama tiga hari.
Catatan Penting: Orang yang ingin menebus kaffarah ila’ atau sumpah,
TIDAK BOLEH langsung memilih alternatif keempat ini, apabila ia secara
finansial atau fisik MASIH MAMPU melakukan salah satu dari tiga
alternatif kaffarah di atas.
THALAK YANG JATUH KARENA ILA'
Menurut Abu Hanifah thalak yang terjadi karena Ila' merupakan thalak
Ba'in. Karena jika Thalak itu Raj'i maka dimungkinkan bagi suami untuk
untuk memaksanya ruju', sebab hal itu merupakan haknya. Dan demikian itu
menghilangkan kepentingan istri dan dimana sang istri tidak dapat
menghindarkan dari dari bahaya. Imam Malik, Imam Syafi'i , Said Bin
Musayyab dan abu Bakar Bin Abdirrahman mengatakan bahwa ila'itu
merupakan thalak Raj'i karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa
ila' itu thalak Ba'in.
Ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 226-227 yang sebagai dasar dari
perkara ila’ bermunasabah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 225
لاَّ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن
يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu)
yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun” (QS. al-Baqarah : 225)
Yang mana hadits sebelumnya ini, masih membahas mengenai sumpah yang
hanya dilakukan dalam hati. Dan hal ini masih merupakan kelanjutan dari
ayat sebelumnya mengenai penggunaan nama Allah dalam sumpah.
Sedangkan mengenai ayat setelahnya, al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 228
pun masih memiliki keterkaitan dengan ayat sebelumnya, ayat 227 yang
merupakan penyelesaian perkaraila’ setelah empat bulan dengan memilih
jalan talaq, sehingga kemudian dilanjutkan dengan pembahasan perihal
talaq, mulai dari ayat 228 sampai ayat 232.
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ
يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن
كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحاً وَلَهُنَّ مِثْلُ
الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’ . Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para
suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya . Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. al-Baqarah : 228)
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً
إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا
افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ
حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak
halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami
isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya . Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang
yang zalim.”(QS. al-Baqarah : 229)
Takhtimah
Firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 226-227 ini bermaksud untuk
menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan orang – orang jahiliyah,
dimana seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya selama
satu atau dua tahun, bahkan lebih. Kemudian Allah Swt menjadikan empat
bulan saja untuk waktu maksimalnya, dalam waktu tersebut adalah waktu
dijadikanya sebagai masa penangguhan bagi suami untuk merenungkan diri
dan memikirkan, mungkin ia akan membatalkan sumpahnya dan kembali kepada
istrinya atau mentalaknya.
Adanya ila’ sesungguhnya mempersulit seorang wanita, dengan membiarkan
ia terkatung katung dalam kehidupan rumah tangganya yang posisinya
adalah menjadi istri atau sebagai ibu rumah tangga, dalam kondisi ila’
akan mencekam pula kedudukan istri tersebut dimana wanita tersebut
adalah sebagai istri namun juga tidak seperti wanita yang diceraikan dan
bebas untuk menikah kembali dengan orang lain.
Dari penjelasan diatas kiranya dapat diambil sebuah kesimpulan mendasar,
bahwa hukum asal ila’ itu dilarang atau haram dalam kategori pada masa
jahiliyah dulu, karena ila’nya adalah sampai bertahun – tahun yang hal
tersebut adalah membuat diri seorang isteri tersiksa dan terkatung
nasibnya.
Kemudian setelah adanya islam datang, hal ini diperbolehkan asal sebelum
empat bulan berlalu, sang suami berhak mersetubuh kembali atau istilah
mengatakan adalah rujuk kepada sang istri, dan ketika suami bersih keras
untuk meneruskan ila’nya, maka sang istripun juga harus bersabar demi
kemaslakhatan bersama. Namun jika empat bulan telah berlalu, maka
hendaknya sang suami membuat keputusan yaitu tetap atau kembali ruju’
pada sang istri atau menceraikanya.
Adapun kesimpulan dari penjelasan diatas, adalah sebagai berikut :
ila’ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya lagi dalam waktu
empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.
Ila’ ini disyaratkan untuk menyebut nama Allah, tidak mencampuri
isterinya selama empat bulan, bersumpah tidak melakukan hubungan badan
dan yang menjadi objek sumpah itu adalah si isteri. Dan juga mempunyai
rukun yakni almauli, yang dijadikan sumpah adalah nama Allah, almaf’ul
‘alaih dan masa.
Pada masa ila’ isteri tidak boleh meminta untuk berjima’ dan mesti
bersabar sampai waktu yang dietntukan. Dan apabila waktu ila’ itu telah
tiba dalam artian ila’ masa ila’ sudah habis maka isteri boleh untuk
meminta kembali kepada suaminya dan apabila suami menolak hal demikian
maka si isteri boleh mengajukan kepada qadhi dan qadhi berhak untuk
menjatuhkan talak.
Kemudian jika suami menyetubuhi isterinya maka ia diwajibkan membayar
kifarat sebagai penembus sumpahnya.yakni memberikan makan 10 orang
miskin, memberikan pakaian bagi mereka dan memardekakan budak akan
tetapi biaya tidak mencukupi ma ia diwajibkan berpuasa.
Ila ini belaku kepada suami yang mukallaf meskipun ada pendapat ulama
yang mengatakan bahwa berlaku ila kepada suami non muslim karena mereka
dianggap mampu untuk melakukan persetubuhan. Ila tidak berlaku kepada
orang yang sakit, mempunyai penyakit berbahaya, pati jompo.
Ila’ adalah sumpah yang dialakukan seorang suami untuk tidak mencampuri
istrinya, yang oleh pendapat jumhur ulama, sumpah itu adalah sumpah
untuk tidak menyetubuhinya selama-lamanya, sehingga berdasarkan ayat ini
maka seorang isteri berhak menyanyakan keputusan suaminya setelah
menunggu selama empat bulan untuk merujuknya kembali atau memilih untuk
men-talaqisterinya tersebut.
Masa selama 4 bulan ini disebut dengan masa menunggunya seorang isteri terhadap suaminya.
Keputusan seorang suami untuk kembali kepada isterinya oleh pendapat jumhur dilakukan dengan cara menyetubuhi kembali isterinya.
Seorang suami oleh pendapat jumhur juga, apabila memutuskan untuk untuk
kembali kepada isterinya, dan membatalkan sumpah yang telah diucapkannya
maka wajib membayar denda kafarat atas sumpah yang diucapkannya.
Ayat yang berkaitan dengan ini yaitu surat al-Maidah ayat 89 tentang
kafarat sumpah, dan hadits yang membahas mengenai batasan-batasan dalam
bersumpah.
Surat al-Baqarah ayat 226-227 ini bermunasabah dengan ayat 225, yang
membahas mengenai sumpah, maupun ayat setelahnya, ayat 228-232, yang
berkaitan dengan pembahasan talaq
Hukum yang terkandung yaitu wajib hukumnya seorang suami yang bersumaph
untuk tidak lagu menyetubuhi isterinya untuk menentukan pilihannya
untuk meneruskan perkawinan mereka dengan jalan kembali kepada isterinya
kembali atau menceraikannya
No comments:
Post a Comment