“فصل”
ويجب للمعتدة الرجعية السكني والنفقة ويجب للبائن السكني دون
النفقة إلا أن تكون حاملا ويجب على المتوفى عنها زوجها الإحداد وهو
الامتناع من الزينة والطيب وعلى المتوفى عنها زوجها والمبتوتة ملازمة البيت
إلا لحاجة.
Wajib bagi perempuan yang ditalak Raja i tempat tinggal dan nafkah. Wajib bagi perempuan yang ditalak bain tempat tinggal tidak ada nafkah kecuali dalam kondisi hamil. Wajib bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak berhias dan memakai harum haruman dan harus tetap didalam rumah kecuali ada keperluan
Kesempatan Menalak Istri yang Telah Digauli Hanya Tiga Kali
Seorang lelaki yang merdeka memiliki kesempatan menalak istrinya yang telah digaulinya tiga kali, baik istrinya wanita merdeka maupun berstatus budak1.
Talak pertama dan talak kedua adalah talak raj’i yang artinya dia punya hak merujuk istrinya pada masa ‘iddah kapan saja dia mau, walaupun istrinya tidak rela dirujuk.
Talak yang ketiga adalah talak ba’in dengan derajat bainunah kubra’ (perpisahan besar)2 yang tidak menyisakan ikatan lagi antara keduanya sedikit pun sejak jatuhnya talak, bahkan tidak bisa menikahinya kembali sampai bekas istrinya itu telah digauli oleh suami yang lain.
Tata Cara Jatuhnya Talak Ba’in (Talak Tiga)
Ibnu Taimiyah berkata—sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa—, “Caranya, ia menalaknya, kemudian merujuknya dalam masa ‘iddah atau menikahinya seusai masa ‘iddah. Lantas ia menalaknya lagi, kemudian merujuknya atau menikahinya. Lantas ia menalaknya lagi untuk yang ketiga kalinya. Inilah talak yang menjadikan istrinya haram atasnya sampai menikah dengan suami lain dan menggaulinya menurut kesepakatan ulama.”
Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad menukil kesepakatan ulama bahwa bila ia telah menalak istrinya satu atau dua kali kemudian ia menikahinya kembali setelah dinikahi lelaki lain yang tidak menggaulinya, kesempatannya untuk menalak istrinya itu tetap mengikuti hitungan talak sebelumnya. Artinya, kesempatannya tersisa dua kali talak bila ia telah menalaknya satu kali dan tersisa satu kali talak bila ia telah menalaknya dua kali.
Adapun jika ia menikahinya setelah dinikahi lelaki lain yang menggaulinya, di sinilah terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Yang rajih, hitungan talak yang telah jatuh sebelumnya tidak gugur dan kesempatan untuk menalaknya apa yang tersisa dari talak sebelumnya. Ini mazhab Ahmad, asy-Syafi’i, dan Malik, yang dirajihkan Ibnu ‘Utsaimin.
Al-Imam Ahmad menegaskan, “Ini adalah pendapat sahabat besar yang terkemuka.”
Di antara sahabat yang berpendapat demikian adalah Umar bin al-Khaththab z. Ia berkata:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا تَطْلِيْقَةً أَوْ تَطْلِيْقَتَيْنِ، ثُمَّ تَرَكَهَا حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَيَمُوْتَ عَنْهَا أَوْ يُطَلِّقَهَا، ثُمَّ يَنْكِحُهَا زَوْجُهَا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهَا عِنْدَهُ عَلَى مَا بَقِيَ مِنْ طَلاَقِهَا
“Siapa pun wanita yang ditalak suaminya satu atau dua kali, kemudian suaminya membiarkannya sampai dinikahi suami lain, lantas (suami yang baru tersebut) meninggal atau menalaknya, kemudian suami pertamanya menikahinya kembali, wanita itu pun di sisi suaminya tersebut di atas kesempatan talak yang tersisa sebelumnya.” (Riwayat ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf-nya dengan sanad yang sahih)3
Abdurrazzaq juga meriwayatkan atsar yang semisal dari ‘Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’b, dan ‘Imran bin Hushain g pada bab ini.
Menurut Ibnul Qayyim, alasannya adalah bahwa jima’ suami kedua dengan wanita tersebut tidak ada kaitannya dengan talak tiga dari suami pertama—yang berfungsi membuat halalnya kembali wanita tersebut untuk suami pertama. Juga, jima’ suami kedua bukan merupakan syarat halalnya kembali wanita tersebut untuk suami pertama, andai ia menikahinya lagi setelah diceraikan oleh suami yang kedua. Dengan demikian, terjadinya jima’ antara suami kedua dengan wanita tersebut atau tidak adalah sama saja, tidak ada pengaruh bagi suami pertama. Atas dasar itu, suami pertama tetap memberlakukan talak satu dan duanya, serta tidak memulai dengan penghitungan baru.
Ibnu ‘Utsaimin menerangkan pula dalam asy-Syarh al-Mumti’ bahwa yang tampak dari firman Allah l:
“Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali.” (al-Baqarah: 229)
dan ayat berikutnya:
“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang kedua), perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga menikah dengan suami yang lain.” (al-Baqarah: 230)
Sama saja apakah wanita itu telah sempat menikah dengan suami lain (yang menggaulinya)—antara talak kedua dan talak ketiga—atau tidak.
Telah datang hadits marfu’ (sabda Nabi n) yang semakna dengan ini, tetapi hadits itu sangat lemah (dha’if jiddan) dan didha’ifkan oleh Ibnul Qayyim.4
As-Sa’di berkata dalam al-Mukhtarat al-Jaliyyah, “Asy-Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah merajihkan bahwa talak dengan lafadz apa pun jatuhnya hanya satu talak, walaupun diperjelas dengan lafadz talak tiga, talak ba’in, talak battah (selamanya), ataupun yang lainnya. Demikian pula, talak yang kedua tidak akan jatuh melainkan setelah terjadi rujuk yang benar. Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini dengan tinjauan dari banyak sisi. Siapa pun yang melihat keterangannya, tidak mungkin (ada alasan) baginya untuk menyelisihinya.”
Jadi, tidak ada sama sekali talak tiga ataupun talak dua selain yang dijatuhkan secara bertahap, yang diselingi dengan terjadinya rujuk atau pernikahan baru.
Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnul Qayyim, ash-Shan’ani, asy-Syaukani, al-Albani, al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh Ibnu Baz), Ibnu ‘Utsaimin, dan guru besar kami al-Wadi’i.
Di antara dalil-dalilnya adalah:
1. Allah l tidak mensyariatkan dijatuhkannya talak tiga sekaligus tanpa melalui tahapan, karena Allah l berfirman:
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (al-Baqarah: 229)
Tidak ada makna lain dari ayat ini yang dipahami oleh bangsa Arab selain bahwa dua talak tersebut jatuhnya secara bertahap. Jika dia berkata,
– “Aku menalakmu dua kali atau tiga kali.”
– “Aku menalakmu, aku menalakmu, aku menalakmu”
atau semisalnya, tidaklah ia dianggap menalaknya lebih dari satu kali.
2. Hadits Ibnu ‘Abbas c, ia berkata:
كَانَ الطَّلَاقُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ
وَأَبِي بَكْرٍ وَسَنَتَيْنِ مِنْ خِلاَفَةِ عُمَرَ طَلاَقُ الثَّلاَثِ وَاحِدَةً، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: إِنَّ النَّاسَ قَدْ اسْتَعْجَلُوا فِي أَمْرٍ قَدْ كَانَتْ لَهُمْ فِيهِ أَنَاةٌ، فَلَوْ أَمْضَيْنَاهُ عَلَيْهِمْ؟ فَأَمْضَاهُ عَلَيْهِمْ.
“Dahulu pada zaman Rasulullah n, kekhilafahan Abu Bakr z, dan dua tahun pertama dari kekhilafahan ‘Umar z, talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung satu talak. Lantas ‘Umar menyampaikan, ‘Sesungguhnya orang-orang telah tergesa-gesa pada urusan talak mereka yang mengandung tahapan (ingin menjatuhkan sebagai talak tiga sekaligus), maka bagaimana jika kami berlakukan saja bagi mereka hal itu?’ ‘Umar z pun memberlakukannya bagi mereka.” (HR. Muslim)
Asy-Syaukani dalam as-Sail al-Jarrar berkata, “Kesimpulannya, di sini ada satu hujjah yang melibas habis seluruh hujjah yang dikemukakan mengenai jatuhnya talak tiga sekaligus, dan satu dalil yang tidak dapat ditandingi sedikit pun oleh dalil-dalil yang dikemukakan itu, yaitu hadits Ibnu ‘Abbas c dalam Shahih Muslim dan lainnya. Jika seperti ini talak yang berlaku pada zaman Nabi n dan diamalkan oleh para sahabat g setelahnya lebih dari empat tahun, hujjah apa lagi yang dapat menolak hujjah ini dan dalil apa lagi yang dapat tegak menentangnya?”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah—sebagaimana dalam Majmu’ al-Fatawa—menerangkan alasan Umar z dan selainnya dari kalangan imam-imam mujtahid yang mengharuskan jatuhnya talak tiga bagi orang yang menjatuhkannya sekaligus, bahwa hal itu adalah ijtihad ‘Umar z tatkala menyaksikan kaum muslimin sering melakukan hal yang sesungguhnya diharamkan oleh Allah l itu. Mereka tidak akan berhenti melainkan dengan suatu hukuman, yang menurut ‘Umar z, yaitu memberlakukannya bagi mereka agar mereka tidak melakukannya. Boleh jadi, hal itu sebagai jenis ta’zir (hukuman agar jera darinya) yang dilakukan saat dibutuhkan. Boleh jadi pula, ‘Umar menganggap bahwa syariat talak tiga sekaligus dihitung satu, memiliki suatu persyaratan yang telah sirna (karena kondisi kaum muslimin saat itu, pen.).
Ibnu ‘Abbas c sendiri pada mulanya berfatwa jatuhnya hal itu sebagai talak tiga, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Namun di kemudian hari, ia meralat fatwa tersebut dan berfatwa bahwa hal itu tidak jatuh sebagai talak tiga, sebagaimana yang diriwayatkan pula oleh Abu Dawud.5
Menalak Istri Sebelum Digauli Adalah Talak Ba’in
Menalak istri sebelum digauli adalah talak ba’in, meskipun sudah berkhalwat (berdua-duaan) dan terjadi apa yang terjadi (selain senggama).
Hukum perceraiannya adalah bainunah sughra’ (perpisahan kecil). Artinya, tidak halal baginya untuk merujuknya melainkan dengan akad nikah yang baru. Karena hak rujuk hanya ada pada masa ‘iddah, sedangkan ini tidak ada masa ‘iddahnya.
Dalilnya adalah firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, tidak wajib atas mereka ‘iddah (penantian) bagimu yang kalian minta menyempurnakannya.” (al-Ahzab: 49)6
Talak ini dihitung baginya. Artinya, jika ia menikahinya lalu kembali talak, tersisa baginya kesempatan talak satu kali lagi. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment