Thursday, February 8, 2018

HUKUM AKAD NIKAH WALI DAN SAKSI

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


( فصل ) 
ولا يصح عقد النكاح إلا بولي وشاهدي عدل 

Tidak Sah Nikah Kecuali Dengan Kehadiran Seorang Wali Dan Kehadiran Dua Saksi Yang Adil


ويفتقر الولي والشاهدان إلى ستة شرائط الإسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورة والعدالة إلا أنه لا يفتقر نكاح
الذمية إلى إسلام الولي ولا نكاح الأمة إلى عدالة السيد 


Seorang Wali dan Dua Saksi Membutuhkan enam Syara. 

1. Islam   
2. Balig   
3. Berakal   
4. Merdeka 
5. Laki Laki 
6. Adil 
Kecuali Pernikahan Seorang Amat Dimmi, Maka Tidak Membutuhkan Islamnya Seorang wali dan nikahnya Seorang Amat tidak Membutuhkan Adilnya Tuan. 

وأولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم 
العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات فالمولى المعتق ثم عصابته ثم الحاكم


Wali yang utam adalah:  
1. Ayah.   
2. Nenek ( Bapaknya ayah )   
3. Saudara laki laki seayah seibu   
4. Saudara laki laki se ibu saja   
5. Anak laki laki saudara laki laki se ayah se ibu   
6. Anak laki laki saudara laki laki se ayah saja   
7. Paman ( saudara ayah ) 
8. Anak paman ( saudara ayah )  Bila urutan wali diatasa tidak ada semua maka 
9. tuan yang memerdekannya.  Kemudian bila tidak ada semua mulai nomor 1 sampai 9 maka ahli awaris asobahnya nomor 9 

10. Hakim.


(فَصْلٌ) 
 فِيْمَا لَا يَصِحُّ النِّكَاحُ إِلَّا بِهِ 
(Fasal) 
menjelaskan hal-hal yang mana akad nikah tidak bisa sah kecuali dengan hal-hal tersebut.

(وَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إِلَّا بِوَلِيٍّ) عَدْلٍ

Akad nikah hukumnya tidak sah kecuali disertai dengan wali yang adil.
وَفِيْ بَعْضِ النُّسَخِ بِوَلِيٍّ ذَكَرٍ

 Dalam sebagian redaksi dengan bahasa, “dengan seorang wali laki-laki.”

وَهُوَ احْتِرَازٌ عَنِ الْأُنْثَى فَإِنَّهَا لَا تُزَوِّجُ نَفْسَهَا وَلَا غَيْرَهَا

Hal ini mengecualikan seorang wanita. Karena sesungguhnya seorang wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri atau orang lain

(وَ) لَايَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ أَيْضًا إِلَّا بِحُضُوْرِ (شَاهِدَيْ عَدْلٍ)


Akad nikah juga tidak bisa sah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang adil.

Syarat Wali dan Saksi


وَذَكَرَ الْمُصَنِّفُ شَرْطَ كُلٍّ مِنَ الْوَلِيِّ وَشَاهِدَيْنِ فِيْ قَوْلِهِ:
Mushannif menjelaskan syarat masing-masing dari wali dan dua saksi di dalam perkataan beliau,


(وَيَفْتَقِرُ الْوَلِيُّ وَشَاهِدَانِ إِلَى سِتَّةِ شَرَائِطَ)
Seorang wali dan dua orang saksi membutuhkan enam syarat :

الْأَوَّلُ (الْإِسْلَامُ) فَلَا يَكُوْنُ وَلِيُّ الْمَرْأَةِ كَافِرًا إِلَّا فِيْمَا يَسْتَثْنِيْهِ الْمُصَنِّفُ بَعْدُ
Yang pertama adalah islam. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh orang kafir, kecuali permasalahan yang dikecualikan oleh mushannif setelah ini.

(وَ) الثَّانِيْ (الْبُلُوْغُ) فَلَا يَكُوْنُ وَلِيُّ الْمَرْأَةِ صَغِيْرًا
Yang kedua adalah baligh. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh anak kecil.

(وَ) الثَّالِثُ (الْعَقْلُ) فَلَا يَكُوْنُ وَلِيُّ الْمَرْأَةِ مَجْنُوْنًا سَوَاءٌ أَطْبَقَ جُنُوْنُهُ أَوْ تَقَطَّعَ

Yang ketiga adalah berakal. Sehingga wali seorang wanita tidak boleh orang gila, baik gilanya terus menerus atau terputus-putus.

(وَ) الرَّابِعُ (الْحُرِّيَةُ) فَلَا يَكُوْنُ الْوَلِيُّ عَبْدًا فِيْ إِيْجَابِ النِّكَاحِ
Yang ke empat adalah merdeka. Sehingga seorang wali tidak boleh berupa budak di dalam ijab (serah) nikah.


وَيَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ قَابِلًا فِيْ النِّكَاحِ
Seorang budak diperkenankan menjadi orang yang qabul (terima) di dalam akad nikah.


(وَ) الْخَامِسُ (الذُّكُوْرَةُ) فَلَا تَكُوْنَ الْمَرْأَةُ وَالْخُنْثَى وَلِيَّيْنِ.
Yang ke lima adalah laki-laki. Sehingga seorang wanita dan khuntsa tidak bisa menjadi wali nikah.


(وَ) السَّادِسُ (الْعَدَالَةُ) فَلَا يَكُوْنُ الْوَلِيُّ فَاسِقًا

Yang ke enam adalah adil. Sehingga seorang wali tidak boleh fasiq.


وَاسْتَثْنَى الْمُصَنِّفُ مِنْ ذَلِكَ مَا تَضَمَّنَهُ قَوْلُهُ
Dari keterangan di atas, mushannif mengecualikan permasalahan yang tercakup di dalam ungkapan beliau


(إِلَّا أَنَّهُ لَا يَفْتَقِرُ نِكَاحُ الذِّمِّيَّةِ إِلَى إِسْلَامِ الْوَلِيِّ

Hanya saja, sesungguhnya pernikahan wanita kafir dzimmi tidak mengharuskan walinya beragama islam


وَلَا(يَفْتَقِرُ (نِكَاحُ الْأَمَّةِ إِلَى عَدَالَةِ السَّيِّدِ) فَيَجُوْزُ كَوْنُهُ فَاسِقًا

Pernikahan seorang budak wanita tidak mengharuskan majikkannya adil, sehingga hukumnya sah walaupun majikan yang menikahkannya adalah orang fasiq.

وَجَمِيْعُ مَا سَبَقَ فِيْ الْوَلِيِّ يُعْتَبَرُ فِيْ شَاهِدَيِ النِّكَاحِ

Semua syarat yang telah disebutkan di dalam wali juga disyaratkan di dalam dua saksi nikah.


وَأَمَّا الْعَمَى فَلَا يَقْدَحُ فِيْ الْوِلَايَةِ فِيْ الْأَصَحِّ
Adapun buta tidak sampai mencacatkan hak menjadi wali menurut pendapat al ashah.

Urutan Wali Nikah


(وَأَوْلَى الْوُلَّاةِ) أَيْ أَحَقُّ الْأَوْلِيَاءِ بِالتَّزْوِيْجِ (الْأَبُّ ثُمَّ الْجَدُّ أَبُوْ الْأَبِّ) ثُمَّ أَبُوْهُ وَهَكَذَا

Wali-wali yang paling berhak menikahkan adalah ayah, lalu kakek yang menjadi ayahnya ayah, kemudian ayahnya kakek dan seterusnya.


وَيُقَدَّمُ الْأَقْرَبُ مِنَ الْأَجْدَادِ عَلَى الْأَبْعَدِ

Kakek yang lebih dekat dengan wanita yang hendak dinikahkan harus didahulukan daripada kakek yang lebih jauh.


(ثُمَّ الْأَخُّ لِلْأَبِّ وَالْأُمِّ) وَلَوْ عَبَّرَ بِالشَّقِيْقِ لَكَانَ أَخْصَرَ

Kemudian saudara lelaki seayah seibu (kandung). Seandainya mushannif mengungkapkan, “asy syaqiq (kandung)”, niscaya lebih ringkas.


(ثُمَّ الْأَخُّ لِلْأَبِّ ثُمَّ ابْنُ الْأَخِّ لِلْأَبِّ وَالْأُمِّ) وَإِنْ سَفُلَ

Kemudian saudara lelaki seayah. Lalu anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu walaupun hingga ke bawah.


(ثُمَّ ابْنُ الْأَخِّ لِلْأَبِّ) وَإِنْ سَفُلَ 

Kemudian anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah walaupun hingga ke bawah.


(ثُمَّ الْعَمُّ) الشَّقِيْقُ ثُمَّ الْعَمُّ لِلْأَبِّ

Kemudian paman dari jalur ayah yang seayah seibu (dengan ayah). Lalu paman dari jalur ayah yang seayah (dengan ayah).

.
(ثُمَّ ابْنُهُ) أَيِ ابْنُ كُلٍّ مِنْهُمَا وَإِنْ سَفُلَ (عَلَى هَذَا التَّرْتِيْبِ) 


Kemudian anak laki-lakinya, maksudnya anak laki-laki masing-masing dari keduanya walaupun hingga ke bawah sesuai dengan urutan di atas


فَيُقَدَّمُ ابْنُ الْعَمِّ الشَّقِيْقِ عَلَى ابْنِ الْعَمِّ لِلْأَبِّ .

Sehingga anak laki-laki paman yang seayah seibu lebih didahulukan dari pada anak laki-laki paman yang seayah.
(فَإِذَا عُدِمَتِ الْعَصَبَاتُ) مِنَ النَّسَبِ (فَالْمَوْلَى الْمُعْتِقُ) الذَّكَرُ


Jika ahli ashabah dari jalur nasab sudah tidak ada, maka yang berhak menikahkan adalah majikan laki-laki yang telah memerdekakannya.


(ثُمَّ عَصَبَاتُهُ) عَلَى تَرْتِيْبِ الْإِرْثِ

Kemudian ahli ashabah majikan tersebut sesuai dengan urutan di dalam masalah warisan.


أَمَّا الْمَوْلَاةُ الْمُعْتِقَةُ إِذَا كَانَتْ حَيَّةً فَيُزَوِّجُ عَتِيْقَتَهَا مَنْ يُزَوِّجُ الْمُعْتِقَةَ بِالتَّرْتِيْبِ السَّابِقِ فِيْ أَوْلِيَاءِ النَّسَبِ


Adapun majikan wanita yang telah memerdekakan ketika ia masih hidup, maka yang berhak menikahkan wanita yang telah ia merdekakan adalah orang yang berhak menikahkan majikan tersebut sesuai dengan urutan yang telah dijelaskan di dalam urutan wali dari jalur nasab.

فَإِذَا مَاتَتِ الْمُعْتِقَةُ زَوَّجَ عَتِيْقَتَهَا مَنْ لَهُ الْوَلَاءُ عَلَى الْمُعْتِقَةِ ثُمَّ ابْنُهُ ثُمَّ ابْنُ ابْنِهِ


Jika majikan wanita yang telah memerdekakan tersebut telah meninggal dunia, maka yang menikahkan wanita yang telah dimerdekakan olehnya adalah orang yang mendapat waris wala’ dari majikan wanita tersebut, kemudian anak laki-lakinya, lalu cucu laki-laki dari anak laki-lakinya.

(ثُمَّ الْحَاكِمُ) يُزَوِّجُ عِنْدَ فَقْدِ الْأَوْلِيَاءِ مِنَ النَّسَبِ وَالْوَلَاءِ

Kemudian seorang hakim berhak menikahkan ketika wali dari jalur nasab dan wala’ sudah tidak ada

No comments:

Post a Comment