“فصل”
والخلع جائز على عوض معلوم وتملك به المرأة نفسها ولا رجعة له
عليها إلا بنكاح جديد ويجوز الخلع في الطهر وفي الحيض ولا يلحق المختلعة
الطلاق.
“Fasal”
dan perceraian diperbolehkan dengan menawarkan sesuatu yang dikenal dan
memiliki wanita itu sendiri dan tidak boleh rujuk kecuali dengan
pernikahan barudan khuluk diperbolehkan dalam keadaan suci dan pada saat
menstruasi. Khuluk tidak disamakan dengan talak
Perceraian adalah perkara halal yang paling
dibenci oleh Allah. Perceraian dipilih ketika dibutuhkan saja, yaitu
apabila mempertahankan pernikahan akan mengakibatkan mudharat yang lebih
besar. Dan jika tidak sangat diperlukan maka perceraian menjadi makruh
karena mengakibatkan bahaya yang tidak bisa ditutupi.
Bagi wanita, meminta cerai adalah perbuatan
sangat buruk. Dan Islam melarangnya dengan menyertakan ancaman bagi
pelakunya, jika tanpa adanya alasan yang dibenarkan.
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ
أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا
آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ
اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا
تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu
dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu
khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, MAKA TIDAK ADA DOSA ATAS KEDUANYA TENTANG BAYARAN YANG DIBERIKAN OLEH ISTRI UNTUK MENEBUS DIRINYA.
Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang
zalim.” (QS Al-Baqarah 2:229)
Syariat Islam memberikan jalan keluar bagi
pasangan suami istri ketika mereka tidak lagi merasakan ketenangan dan
kebahagiaan dalam keluarganya. Baik dalam bentuk cerai yang itu berada
di tangan suami atau gugat cerai (khulu’) sebagai jalan keluar
bagi istri yang tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami. Dan
semuanya harus dilakukan dengan aturan yang telah ditetapkan syariat.
HUKUM ISTRI MENGGUGAT CERAI SUAMI (KHULU’)
Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan hal ini, diantaranya,
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ
“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud no 2226, At-Turmudzi 1187).
Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat
keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang
diizinkan oleh syariat.
Dalam Aunul Ma’bud, Syarh sunan Abu Daud dijelaskan makna ‘tanpa kondisi mendesak’,
أي لغير شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة
“Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…” (Aunul Ma’bud, 6:220)
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Para wanita yang berusaha melepaskan
dirinya dari suaminya, yang suka khulu’ (gugat cerai) dari suaminya,
mereka itulah para wanita munafiq.” (HR. Nasa’i 3461)
Al-Munawi menjelaskan hadis di atas,
أي اللاتي يبذلن العوض على فراق الزوج بلا عذر شرعي
“Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk berpisah dari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’
Beliau juga menjelaskan makna munafiq dalam hadis ini,
نفاقاً عملياً والمراد الزجر والتهويل فيكره للمرأة طلب الطلاق بلا عذر شرعي
‘Munafiq amali (munafiq kecil). Maksudnya
adalah sebagai larangan keras dan ancaman. Karena itu, sangat dibenci
bagi wanita meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’ (At-Taisiir bi Syarh al-Jaami’ as-Shogiir, 1:607).
HAL-HAL YANG MEMBOLEHKAN GUGAT CERAI SUAMI
Hadits-hadits di atas tidaklah memaksa
wanita untuk tetap bertahan dengan suaminya sekalipun dalam keadaan
tertindas. Karena yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
melakukan gugat cerai tanpa alasan yang dibenarkan. Artinya, jika itu
dilakukan karena alasan yang benar, syariat tidak melarangnya, bahkan
dalam kondisi tertentu, seorang wanita wajib berpisah dari suaminya.
Apa saja yang membolehkan para istri untuk
melakukan gugat cerai? Imam Ibnu Qudamah telah menyebutkan kaidah dalam
hal ini. Beliau mengatakan,
وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه
أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في
طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها منه
“Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang
wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya
atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena
dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak
bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya
untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan
biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (al-Mughni, 7:323).
Berikut beberapa kasus yang membolehkan sang istri melakukan gugat cerai,
- Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang
suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi
seperti wanita yang tergantung.
- Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.
- Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering
melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering
meninggalkan sholat, suka mendengar musik, dll
- Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak
memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya,
dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.
- Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik,
misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan
biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau
atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri
yang lain.
- Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja
sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri
sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh
baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu’, karena ia
khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak
suami.
- Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk,
dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri
tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti
cacat, atau buruknya suami.
GUGAT CERAI OLEH ISTRI
Yaitu perceraian yang dilakukan oleh istri
kepada suami. Cerai model ini dilakukan dengan cara mengajukan
permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama. Dan perceraian tidak
dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi.
Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu fasakh dan khulu’:
1. FASAKH
Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:
Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
- Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa
ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);
- Suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam
akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya
hubungan suamii istri); atau
- Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan,
dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan
istri.
Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim
berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim
berhak memutuskan
(tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.
2. KHULU’
Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara
suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta)
yang diserahkan kepada suami. Khulu’ disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229.
Adapun dalil haditsnya adalah sebuah hadits
shahih yang mengisahkan tentang istri Tsabit bin Qais bin Syammas
bernama Jamilah binti Ubay bin Salil yang datang pada Rasulullah dan
meminta cerai karena tidak mencintai suaminya. Rasulullah lalu
menceraikan dia dengan suaminya setelah sang istri mengembalikan mahar.
[Hadits riwayat Bukhari no. 4973; riwayat
Baihaqi dalam Sunan al-Kubro no. 15237; Abu Naim dalam Al-Mustakhroj
no. 5275; Teks asal dari Sahih Bukhari sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا
قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ
مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ إِلَّا أَنِّي أَخَافُ
الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ
وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا
DEFINISI KHULU’
Definisi khuluk menurut madzhab Syafi’i adalah sebagai berikut:
الخلع شرعا هو اللفظ الدال على الفراق بين
الزوجين بعوض متوفرة فيه الشروط الآتي بيانها في شروط العوض فكل لفظ يدل
على الطلاق صريحا كان أو كناية يكون خلعا يقع به الطلاق البائن وسيأتي بيان
ألفاظ الطلاق في الصيغة وشروطها
(Khulu’ secara syariah adalah kata yang
menunjukkan atas putusnya hubungan perkawinan antara suami istri dengan
tebusan [dari istri] yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Setiap kata
yang menunjukkan pada talak, baik sharih atau kinayah, maka sah
khulu-nya dan terjadi talak ba’in.) [Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ala
Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/185 mengutip definisi khuluk menurut madzhab
Syafi’i].
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari mendefinisikan khuluk demikian:
الخلع هو أن تفتدي المرأة نفسها بمال تدفعه لزوجها، أو هو فراق الزوجة على مال
(Khuluk adalah istri yang menebus dirinya
sendiri dengan harta yang diberikan pada suami atau pisahnya istri
dengan membayar sejumlah harta). [Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari,
IX/490; Mu’jam Al-Mustalahat al-Fiqhiyah, II/46 – 48)].
HUKUM KHULU’
Adapun hukum asal dari gugat cerai adalah boleh. Imam Nawawi menyatakan:
وأصل الخلع مجمع على جوازه ، وسواء في جوازه
خالع على الصداق أو بعضه ، أو مال آخر أقل من الصداق ، أو أكثر ، ويصح في
حالتي الشقاق والوفاق ،
(Hukum asal dari khulu’ adalah boleh menurut
ijmak ulama. Baik tebusannya berupa seluruh mahar atau sebagian mahar
atau harta lain yang lebih sedikit atau lebih banyak. Khulu’ sah dalam
keadaan konflik atau damai.) [ Abu Syaraf An-Nawawi dalam Raudah
at-Talibin 7/374; Al-Hashni dalam Kifayatul Akhyar, III/40].
Al-Jaziri membagi hukum khuluk menjadi boleh, wajib, haram, dan makruh:
الخلع نوع من الطلاق لأن الطلاق تارة يكون
بدون عوض وتارة يكون بعوض والثاني هو الخلع وقد عرفت أن الطلاق يوصف
بالجواز عند الحاجة التي تقضي الفرقة بين الزوجين وقد يوصف بالوجوب عند عجز
الرجل عن الإنفاق والاتيان وقد يوصف بالتحريم إذا ترتب عليه ظلم المرأة
والأولاد وقد يوصف بغير ذلك من الأحكام المتقدم ذكرها هناك على أن الأصل
فيه المنع وهو الكراهة عند بعضهم والحرمة عند بعضهم ما لم تفض الضرورة إلى
الفراق
(Khuluk itu setipe dengan talak. Karena,
talak itu terkadang tanpa tebusan dan terkadang dengan tebusan. Yang
kedua disebut khuluk. Seperti diketahui bahwa talak itu boleh apabila
diperlukan. Terkadang wajib apabila suami tidak mampu memberi nafkah.
Bisa juga haram apabila menimbulkan kezaliman pada istri dan anak. Hukum
asal adalah makruh menurut sebagian ulama dan haram menurut sebagian
yang lain selagi tidak ada kedaruratan untuk melakukannya). [Al-Jaziri
dalam Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/186].
As-Syairazi dalam Al-Muhadzab menyatakan
bahwa khuluk itu boleh secara mutlak walaupun tanpa sebab asalkan kedua
suami istri sama-sama rela. Apalagi kalau karena ada sebab, baik sebab
yang manusiawi seperti istri sudah tidak lagi mencintai suami; atau
sebab yang syar’i seperti suami tidak shalat atau tidak memberi nafkah.
إذا كرهت المرأة زوجها لقبح منظر أو سوء عشرة
وخافت أن لا تؤدي حقه جاز أن تخالعه على عوض لقوله عز و جل { فإن خفتم أن
لا يقيما حدود الله فلا جناح عليهما فيما افتدت به } [ البقرة : 229 ] وروي
أن جميلة بنت سهل كانت تحث ثابت بن قيس بن الشماس وكان يضربها فأتت إلى
النبي ( ص ) وقالت : لا أنا ولا ثابت وما أعطاني فقال رسول الله ( ص ) [ خذ
منها فأخذ منها فقعدت في بيتها ] وإن لم تكره منه شيئا وتراضيا على الخلع
من غير سبب جاز لقوله عز و جل { فإن طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا
مريئا } [ النساء : 4 ]
(Apabila istri tidak menyukai suaminya
karena buruk fisik atau perilakunya dan dia kuatir tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai istri, maka boleh mengajukan gugat
cerai dengan tebusan karena adanya firman Allah dalam QS Al Baqaran
2:229 dan hadits Nabi dalam kisab Jamilah binti Sahl, istri Tsabit bin
Qais. … Apabila istri tidak membenci suami akan tetapi keduanya sepakat
untuk khuluk tanpa sebab maka itupun dibolehkan karena adanya firman
Allah dalam QS An Nisa 4:4). [As-Syairozi, Al-Muhadzab, II/289].
KHULU’ DI LUAR PENGADILAN
Khuluk, sebagaimana halnya talak, dapat
dilakukan secara langsung antara suami istri tanpa melibatkan hakim dan
pengadilan agama. Seperti dikatakan Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarh
al-Muhadzab:
ويجوز الخلع من غير حاكم لأنه قطع عقد بالتراضي جعل لدفع الضرر، فلم يفتقر إلى الحاكم كالإقالة في البيع.
(Khuluk dapat dilakukan tanpa hakim karena
khuluk merupakan pemutusan akad dengan saling sukarela yang bertujuan
untuk menolak kemudaratan. Oleh karena itu ia tidak membutuhkan adanya
hakim sebaagaimana iqalah dalam transaksi jual beli). [Imam Nawawi,
Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab, XVII/13].
Walaupun khuluk dapat dilakukan di luar
pengadilan, namun secara formal itu tidak diakui negara. Untuk
mengesahkannya secara legal formal menurut undang-undang Indonesia, maka
pihak yang berperkara tetap harus mengajukannya ke Pengadilan
Agama.[KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab XVI Pasal 114]
Harus juga diingat, bahwa proses perceraian
di Pengadilan Agama dapat dilakukan apabila memenuhi sejumlah
persyaratan yang ditentukan. Seperti, terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT), suami tidak memberi nafkah, ditinggal suami selama 2
tahun berturut-turut, dan lain-lain. [KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab
XVI Pasal 116].
KHULU’ DI PENGADILAN AGAMA
Suatu gugatan perceraian akan diakui negara
dan akan memiliki kekuatan legal formal apabila dilakukan di Pengadilan
Agama dan diputuskan oleh seorang Hakim. [Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum
PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan]
Untuk mengajukan gugatan cerai atau khulu’,
seorang istri atau wakilnya dapat mendatangi Pengadilan Agama (PA) di
wilayah tempat tinggalnya. Bagi yang tinggal di Luar Negeri,
gugatan diajukan di PA wilayah tempat tinggal suami. Bila istri dan
suami sama-sama tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada
Pengadilan Agama di wilayah tempat keduanya menikah dulu, atau kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat. [Pasal 73 UU No 7/89 tentang Peradilan
Agama].
Berbeda dengan khuluk yang dilakukan di luar
Pengadilan, maka gugat cerai yang diajukan melalui lembaga pengadilan
harus memenuhi syarat-syarat antara lain:
- Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;
- suami meninggalkan anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
ada ijin atau alasan yang jelas dan benar, artinya: suami dengan sadar
dan sengaja meninggalkan anda;
- suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan;
- suami bertindak kejam dan suka menganiaya anda;
- suami tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau penyakit yang dideritanya;
- terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun kembali;
- suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul;
- suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan dalam keluarga. []Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975.
Syarat-syarat di atas tentu saja harus disertai dengan adanya saksi dan bukti-bukti yang menguatkan gugatan.
GUGAT CERAI TANPA KERELAAN SUAMI
Gugat cerai pada dasarnya harus dilakukan
atas sepengetahuan dan kerelaan suami. Karena pihak yang memberi kata
cerai dalam khuluk adalah suami. Jadi, kalau suami tidak rela atau tidak
mau meluluskan gugatan perceraian istri, maka khuluk tidak bisa
terjadi.
Namun demikian, dalam situasi tertentu Hakim
di Pengadilan Agama dapat meluluskan gugat cerai tanpa persetujuan atau
bahkan tanpa kehadiran suami apabila berdasarkan pertimbangan tertentu
Hakim menganggap bahwa perceraian itu lebih baik bagi pihak penggugat
yaitu istri. Misalnya, karena terjadinya konflik yang tidak bisa
didamaikan, atau suami tidak bertenggung jawab, terjadi KDRT yang
membahayakan istri dan lain sebagainya. [Sayyid Sabiq dalam Fiqhus
Sunnah, II/290].
Dalam konteks ini, maka hakim dapat
menceraikan keduanya bukan dalam akad khuluk tapi talak biasa. Dalam
Al-Mausuah Al-Fiqhiyah dinyatakan:
وبضرر زوج لزوجته – نحو: لم نزل نسمع عن الثقات وغيرهم أنه يضارها فيطلقها عليه الحاكم
(Disebabkan perilaku suami yang membahayakan
istri, misalnya ada berita dari sejumlah sumber terpercaya bahwa suami
melakukan kekerasan pada istri, maka hakim dapat menceraikan keduanya.).
[Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, XII/285].
Apabila suami tidak memiliki kesalahan
signifikan pada istri, hanya istri kurang menyukai suami dan kuatir
tidak dapat memenuhi hak-hak suami dan kewajibannya sebagai istri, maka
istri dapat mengajukan khuluk dan sunnah bagi suami untuk
meluluskannya. Apabila suami tidak rela dan tidak mau, maka ada dua
pendapat ulama. Pendapat pertama, hakim tidak boleh memaksa suami.
Konsekuensinya, hakim tidak dapat menceraikan mereka. Ini pandangan
mayoritas ulama, termasuk madzhab Syafi’i.
Pendapat kedua, hakim boleh memaksakan
kehendak istri untuk bercerai walaupun suami tidak rela. Pandangan ini
terutama berasal dari madzhab Hanbali. Al-Mardawi dalam Al-Inshaf:
menyatakan:
وإذا كانت المرأة مبغضة للرجل وتخشى أن لا
تقيم حدود الله في حقه فلا بأس أن تفتدي نفسها منه، فيباح للزوجة ذلك
والحالة هذه على الصحيح من المذهب وعليه أكثر الأصحاب وجزم الحلواني
بالاستحباب، وأما الزوج فالصحيح من المذهب أنه يستحب له الإجابة إليه وعليه
الأصحاب. واختلف كلام الشيخ تقي الدين رحمه الله في وجوب الإجابة إليه.
وألزم به بعض حكام الشام المقادسة الفضلاء
(Apabila istri marah pada suami dan takut
tidak dapat menjalankan perintah Allah dalam memenuhi hak-hak suami maka
istri boleh melakukan gugat cerai. … Al-Halwani menyatakan gugat cerai
dalam konteks ini sunnah. Adapun suami maka menurut pendapat yang sahih
adalah sunnah mengabulkan permintaan istri. Syekh Taqiuddin dan sebagian
hakim Suriah menyatakan bahwa suami wajib memenuhi permintaan istri.)
[Al-Mardawi, Al-Inshaf, VIII/382]