Sunday, August 26, 2018

JENIS KHULU

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 
“فصل” 
والخلع جائز على عوض معلوم وتملك به المرأة نفسها ولا رجعة له عليها إلا بنكاح جديد ويجوز الخلع في الطهر وفي الحيض ولا يلحق المختلعة الطلاق.

“Fasal”
dan perceraian diperbolehkan dengan menawarkan sesuatu yang dikenal dan memiliki wanita itu sendiri dan tidak boleh rujuk kecuali dengan pernikahan barudan khuluk diperbolehkan dalam keadaan suci dan pada saat menstruasi. Khuluk tidak disamakan dengan talak


Perceraian adalah perkara halal yang paling dibenci oleh Allah. Perceraian dipilih ketika dibutuhkan saja, yaitu apabila mempertahankan pernikahan akan mengakibatkan mudharat yang lebih besar. Dan jika tidak sangat diperlukan maka perceraian menjadi makruh karena mengakibatkan bahaya yang tidak bisa ditutupi.
Bagi wanita, meminta cerai adalah perbuatan sangat buruk. Dan Islam melarangnya dengan menyertakan ancaman bagi pelakunya, jika tanpa adanya alasan yang dibenarkan.

الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْزَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئاً إِلاّض أَنْ يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, MAKA TIDAK ADA DOSA ATAS KEDUANYA TENTANG BAYARAN YANG DIBERIKAN OLEH ISTRI UNTUK MENEBUS DIRINYA. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Baqarah 2:229)

Syariat Islam memberikan jalan keluar bagi pasangan suami istri ketika mereka tidak lagi merasakan ketenangan dan kebahagiaan dalam keluarganya. Baik dalam bentuk cerai yang itu berada di tangan suami atau gugat cerai (khulu’) sebagai jalan keluar bagi istri yang tidak memungkinkan lagi untuk tinggal bersama suami. Dan semuanya harus dilakukan dengan aturan yang telah ditetapkan syariat.

HUKUM ISTRI MENGGUGAT CERAI SUAMI (KHULU’)

Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan hal ini, diantaranya,
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ

“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud no 2226, At-Turmudzi 1187).

Hadits ini menunjukkan ancaman yang sangat keras bagi seorang wanita yang meminta perceraian tanpa ada sebab yang diizinkan oleh syariat.
Dalam Aunul Ma’bud, Syarh sunan Abu Daud dijelaskan makna ‘tanpa kondisi mendesak’,

أي لغير شدة تلجئها إلى سؤال المفارقة

“Yaitu tanpa ada kondisi mendesak memaksanya untuk meminta cerai…” (Aunul Ma’bud, 6:220)
Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمُنْتَزِعَاتُ وَالْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ

Para wanita yang berusaha melepaskan dirinya dari suaminya, yang suka khulu’ (gugat cerai) dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq.” (HR. Nasa’i 3461)
Al-Munawi menjelaskan hadis di atas,

أي اللاتي يبذلن العوض على فراق الزوج بلا عذر شرعي

“Yaitu para wanita yang mengeluarkan biaya untuk berpisah dari suaminya tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’
Beliau juga menjelaskan makna munafiq dalam hadis ini,

نفاقاً عملياً والمراد الزجر والتهويل فيكره للمرأة طلب الطلاق بلا عذر شرعي

‘Munafiq amali (munafiq kecil). Maksudnya adalah sebagai larangan keras dan ancaman. Karena itu, sangat dibenci bagi wanita meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat.’ (At-Taisiir bi Syarh al-Jaami’ as-Shogiir, 1:607).


HAL-HAL YANG MEMBOLEHKAN GUGAT CERAI SUAMI

Hadits-hadits di atas tidaklah memaksa wanita untuk tetap bertahan dengan suaminya sekalipun dalam keadaan tertindas. Karena yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melakukan gugat cerai tanpa alasan yang dibenarkan. Artinya, jika itu dilakukan karena alasan yang benar, syariat tidak melarangnya, bahkan dalam kondisi tertentu, seorang wanita wajib berpisah dari suaminya.
Apa saja yang membolehkan para istri untuk melakukan gugat cerai? Imam Ibnu Qudamah telah menyebutkan kaidah dalam hal ini. Beliau mengatakan,

وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي  حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها  منه

“Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Allah dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (al-Mughni, 7:323).
Berikut beberapa kasus yang membolehkan sang istri melakukan gugat cerai,
  1. Jika sang suami sangat nampak membenci sang istri, akan tetapi sang suami sengaja tidak ingin menceraikan sang istri agar sang istri menjadi seperti wanita yang tergantung.
  2. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.
  3. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, suka mendengar musik, dll
  4. Jika sang suami tidak menunaikan hak utama sang istri, seperti tidak memberikan nafkah kepadanya, atau tidak membelikan pakaian untuknya, dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lainnya, padahal sang suami mampu.
  5. Jika sang suami ternyata tidak bisa menggauli istrinya dengan baik, misalnya jika sang suami cacat, atau tidak bisa melakukan hubungan biologis, atau tidak adil dalam mabit (jatah menginap), atau tidak mau atau jarang memenuhi kebutuhan biologisnya karena condong kepada istri yang lain.
  6. Jika sang wanita sama sekali tidak membenci sang suami, hanya saja sang wanita khawatir tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai istri sehingga tidak bisa menunaikan hak-hak suaminya dengan baik. Maka boleh baginya meminta agar suaminya meridoinya untuk khulu’, karena ia khawatir terjerumus dalam dosa karena tidak bisa menunaikan hak-hak suami.
  7. Jika sang istri membenci suaminya bukan karena akhlak yang buruk, dan juga bukan karena agama suami yang buruk. Akan tetapi sang istri tidak bisa mencintai sang suami karena kekurangan pada jasadnya, seperti cacat, atau buruknya suami.
GUGAT CERAI OLEH ISTRI

Yaitu perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami. Cerai model ini dilakukan dengan cara mengajukan permintaan perceraian kepada Pengadilan Agama. Dan perceraian tidak dapat terjadi sebelum Pengadilan Agama memutuskan secara resmi.
Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu fasakh dan khulu’:

1. FASAKH

Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana:
Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut;
  1. Suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita (meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya);
  2. Suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya hubungan suamii istri); atau
  3. Adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri.
Jika gugatan tersebut dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim 
berhak memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.

2. KHULU’

Khulu’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta) yang diserahkan kepada suami. Khulu’ disebut dalam QS Al-Baqarah 2:229.
Adapun dalil haditsnya adalah sebuah hadits shahih yang mengisahkan tentang istri Tsabit bin Qais bin Syammas bernama Jamilah binti Ubay bin Salil yang datang pada Rasulullah dan meminta cerai karena tidak mencintai suaminya. Rasulullah lalu menceraikan dia dengan suaminya setelah sang istri mengembalikan mahar.
[Hadits riwayat Bukhari no. 4973; riwayat Baihaqi  dalam Sunan al-Kubro no. 15237; Abu Naim dalam Al-Mustakhroj no. 5275;  Teks asal dari Sahih Bukhari sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ إِلَّا أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا

DEFINISI KHULU’

Definisi khuluk menurut madzhab Syafi’i adalah sebagai berikut:

الخلع شرعا هو اللفظ الدال على الفراق بين الزوجين بعوض متوفرة فيه الشروط الآتي بيانها في شروط العوض فكل لفظ يدل على الطلاق صريحا كان أو كناية يكون خلعا يقع به الطلاق البائن وسيأتي بيان ألفاظ الطلاق في الصيغة وشروطها

(Khulu’ secara syariah adalah kata yang menunjukkan atas putusnya hubungan perkawinan antara suami istri dengan tebusan [dari istri] yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Setiap kata yang menunjukkan pada talak, baik sharih atau kinayah, maka sah khulu-nya dan terjadi talak ba’in.) [Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/185 mengutip definisi khuluk menurut madzhab Syafi’i].
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari mendefinisikan khuluk demikian:

الخلع هو أن تفتدي المرأة نفسها بمال تدفعه لزوجها، أو هو فراق الزوجة على مال

(Khuluk adalah istri yang menebus dirinya sendiri dengan harta yang diberikan pada suami atau pisahnya istri dengan membayar sejumlah harta). [Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, IX/490; Mu’jam Al-Mustalahat al-Fiqhiyah, II/46 – 48)].


HUKUM KHULU’

Adapun hukum asal dari gugat cerai adalah boleh. Imam Nawawi menyatakan:

وأصل الخلع مجمع على جوازه ، وسواء في جوازه خالع على الصداق أو بعضه ، أو مال آخر أقل من الصداق ، أو أكثر ، ويصح في حالتي الشقاق والوفاق ،

(Hukum asal dari khulu’ adalah boleh menurut ijmak ulama. Baik tebusannya berupa seluruh mahar atau sebagian mahar atau harta lain yang lebih sedikit atau lebih banyak. Khulu’ sah dalam keadaan konflik atau damai.) [ Abu Syaraf An-Nawawi dalam Raudah at-Talibin 7/374;  Al-Hashni dalam Kifayatul Akhyar, III/40].
Al-Jaziri membagi hukum khuluk menjadi boleh, wajib, haram, dan makruh:

الخلع نوع من الطلاق لأن الطلاق تارة يكون بدون عوض وتارة يكون بعوض والثاني هو الخلع وقد عرفت أن الطلاق يوصف بالجواز عند الحاجة التي تقضي الفرقة بين الزوجين وقد يوصف بالوجوب عند عجز الرجل عن الإنفاق والاتيان وقد يوصف بالتحريم إذا ترتب عليه ظلم المرأة والأولاد وقد يوصف بغير ذلك من الأحكام المتقدم ذكرها هناك على أن الأصل فيه المنع وهو الكراهة عند بعضهم والحرمة عند بعضهم ما لم تفض الضرورة إلى الفراق

(Khuluk itu setipe dengan talak. Karena, talak itu terkadang tanpa tebusan dan terkadang dengan tebusan. Yang kedua disebut khuluk. Seperti diketahui bahwa talak itu boleh apabila diperlukan. Terkadang wajib apabila suami tidak mampu memberi nafkah. Bisa juga haram apabila menimbulkan kezaliman pada istri dan anak. Hukum asal adalah makruh menurut sebagian ulama dan haram menurut sebagian yang lain selagi tidak ada kedaruratan untuk melakukannya). [Al-Jaziri dalam Al-Fiqh ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/186].
As-Syairazi dalam Al-Muhadzab menyatakan bahwa khuluk itu boleh secara mutlak walaupun tanpa sebab asalkan kedua suami istri sama-sama rela.  Apalagi kalau karena ada sebab, baik sebab yang manusiawi seperti istri sudah tidak lagi mencintai suami; atau sebab yang syar’i seperti suami tidak shalat atau tidak memberi nafkah.

إذا كرهت المرأة زوجها لقبح منظر أو سوء عشرة وخافت أن لا تؤدي حقه جاز أن تخالعه على عوض لقوله عز و جل { فإن خفتم أن لا يقيما حدود الله فلا جناح عليهما فيما افتدت به } [ البقرة : 229 ] وروي أن جميلة بنت سهل كانت تحث ثابت بن قيس بن الشماس وكان يضربها فأتت إلى النبي ( ص ) وقالت : لا أنا ولا ثابت وما أعطاني فقال رسول الله ( ص ) [ خذ منها فأخذ منها فقعدت في بيتها ] وإن لم تكره منه شيئا وتراضيا على الخلع من غير سبب جاز لقوله عز و جل { فإن طبن لكم عن شيء منه نفسا فكلوه هنيئا مريئا } [ النساء : 4 ]

(Apabila istri tidak menyukai suaminya karena buruk fisik atau perilakunya dan dia kuatir tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, maka boleh mengajukan gugat cerai dengan tebusan karena adanya firman Allah dalam QS Al Baqaran 2:229 dan hadits Nabi dalam kisab Jamilah binti Sahl, istri Tsabit bin Qais. … Apabila istri tidak membenci suami akan tetapi keduanya sepakat untuk khuluk tanpa sebab maka itupun dibolehkan karena adanya firman Allah dalam QS An Nisa 4:4). [As-Syairozi, Al-Muhadzab,  II/289].

KHULU’ DI LUAR PENGADILAN

Khuluk, sebagaimana halnya talak, dapat dilakukan secara langsung antara suami istri tanpa melibatkan hakim dan pengadilan agama. Seperti dikatakan Imam Nawawi dalam Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab:

ويجوز الخلع من غير حاكم لأنه قطع عقد بالتراضي جعل لدفع الضرر، فلم يفتقر إلى الحاكم كالإقالة في البيع.

(Khuluk dapat dilakukan tanpa hakim karena khuluk merupakan pemutusan akad dengan saling sukarela yang bertujuan untuk menolak kemudaratan. Oleh karena itu ia tidak membutuhkan adanya hakim sebaagaimana iqalah dalam transaksi jual beli). [Imam Nawawi, Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab, XVII/13].
Walaupun khuluk dapat dilakukan di luar pengadilan, namun secara formal itu tidak diakui negara. Untuk mengesahkannya secara legal formal menurut undang-undang Indonesia, maka pihak yang berperkara tetap harus mengajukannya ke Pengadilan Agama.[KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab XVI Pasal 114]
Harus juga diingat, bahwa proses perceraian di Pengadilan Agama dapat dilakukan apabila memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan. Seperti, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), suami tidak memberi nafkah, ditinggal suami selama 2 tahun berturut-turut, dan lain-lain. [KHI (Kompilasi Hukum Islam) , Bab XVI Pasal 116].

KHULU’ DI PENGADILAN AGAMA

Suatu gugatan perceraian akan diakui negara dan akan memiliki kekuatan legal formal apabila dilakukan di Pengadilan Agama dan diputuskan oleh seorang Hakim. [Pasal 1 Bab I Ketentuan Umum PP No 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan]
Untuk mengajukan gugatan cerai atau khulu’, seorang istri atau wakilnya dapat mendatangi Pengadilan Agama (PA) di wilayah tempat tinggalnya. Bagi yang tinggal di Luar Negeri, gugatan diajukan di PA wilayah tempat tinggal suami. Bila istri dan suami sama-sama tinggal di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat keduanya menikah dulu, atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. [Pasal 73 UU No 7/89 tentang Peradilan Agama].
Berbeda dengan khuluk yang dilakukan di luar Pengadilan, maka gugat cerai yang diajukan melalui lembaga pengadilan harus memenuhi syarat-syarat antara lain:
  1. Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya;
  2. suami meninggalkan anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin atau alasan yang jelas dan benar, artinya: suami dengan sadar dan sengaja meninggalkan anda;
  3. suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan dilangsungkan;
  4. suami bertindak kejam dan suka menganiaya anda;
  5. suami tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan atau penyakit yang dideritanya;
  6. terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk rukun kembali;
  7. suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul;
  8. suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan dalam keluarga. []Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975.
Syarat-syarat di atas tentu saja harus disertai dengan adanya saksi dan bukti-bukti yang menguatkan gugatan.


GUGAT CERAI TANPA KERELAAN SUAMI

Gugat cerai pada dasarnya harus dilakukan atas sepengetahuan dan kerelaan suami. Karena pihak yang memberi kata cerai dalam khuluk adalah suami. Jadi, kalau suami tidak rela atau tidak mau meluluskan gugatan perceraian istri, maka khuluk tidak bisa terjadi.
Namun demikian, dalam situasi tertentu Hakim di Pengadilan Agama dapat meluluskan gugat cerai tanpa persetujuan atau bahkan tanpa kehadiran suami apabila berdasarkan pertimbangan tertentu Hakim menganggap bahwa perceraian itu lebih baik bagi pihak penggugat yaitu istri. Misalnya, karena terjadinya konflik yang tidak bisa didamaikan, atau suami tidak bertenggung jawab, terjadi KDRT yang membahayakan istri dan lain sebagainya. [Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah, II/290].
Dalam konteks ini, maka hakim dapat menceraikan keduanya bukan dalam akad khuluk tapi talak biasa. Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah dinyatakan:

وبضرر زوج لزوجته – نحو: لم نزل نسمع عن الثقات وغيرهم أنه يضارها فيطلقها عليه الحاكم

(Disebabkan perilaku suami yang membahayakan istri, misalnya ada berita dari sejumlah sumber terpercaya bahwa suami melakukan kekerasan pada istri, maka hakim dapat menceraikan keduanya.). [Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, XII/285].
Apabila suami tidak memiliki kesalahan signifikan pada istri, hanya istri kurang menyukai suami dan kuatir tidak dapat memenuhi hak-hak suami dan kewajibannya sebagai istri, maka istri dapat mengajukan khuluk dan sunnah bagi suami untuk meluluskannya.  Apabila suami tidak rela dan tidak mau, maka ada dua pendapat ulama. Pendapat pertama, hakim tidak boleh memaksa suami. Konsekuensinya, hakim tidak dapat menceraikan mereka. Ini pandangan mayoritas ulama, termasuk madzhab Syafi’i.
Pendapat kedua, hakim boleh memaksakan kehendak istri untuk bercerai walaupun suami tidak rela.  Pandangan ini terutama berasal dari madzhab Hanbali.  Al-Mardawi dalam Al-Inshaf: menyatakan:

وإذا كانت المرأة مبغضة للرجل وتخشى أن لا تقيم حدود الله في حقه فلا بأس أن تفتدي نفسها منه، فيباح للزوجة ذلك والحالة هذه على الصحيح من المذهب وعليه أكثر الأصحاب وجزم الحلواني بالاستحباب، وأما الزوج فالصحيح من المذهب أنه يستحب له الإجابة إليه وعليه الأصحاب. واختلف كلام الشيخ تقي الدين رحمه الله في وجوب الإجابة إليه. وألزم به بعض حكام الشام المقادسة الفضلاء

(Apabila istri marah pada suami dan takut tidak dapat menjalankan perintah Allah dalam memenuhi hak-hak suami maka istri boleh melakukan gugat cerai. … Al-Halwani menyatakan gugat cerai dalam konteks ini sunnah. Adapun suami maka menurut pendapat yang sahih adalah sunnah mengabulkan permintaan istri. Syekh Taqiuddin dan sebagian hakim Suriah menyatakan bahwa suami wajib memenuhi permintaan istri.) [Al-Mardawi, Al-Inshaf, VIII/382]

No comments:

Post a Comment