حدثنا مسدد قال حدثنا يحيى عن شعبة عن قتادة عن أنس رضى الله تعالى عنه عن
النبي صلى الله عليه وسلم وعن حسين المعلم قال حدثنا قتادة عن أنس عن النبي
صلى الله عليه وسلم قال لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>...
Hadits 13: Cinta dalam Kesempurnaan Iman
Mungkin judulnya terasa romantis. Tapi itulah yang akan kita bahas dalam Shahih Bukhari hadits ke-13. Hadits ini masih termasuk dalam Kitab Iman (كتاب الايمان).
Berikut ini matan haditsnya :
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Dari Anas r.a. bahwa Nabi SAW bersabda, "Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri"
Imam Bukhari memberikan judul bab untuk hadits ini مِنَ الإِيمَانِ أَنْ يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (Termasuk kesempurnaan iman adalah mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri).
Penjelasan Hadits
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian
Maksud dari kalimat ini adalah kesempurnaan iman. Artinya, apa yang disebutkan setelah kalimat ini merupakan syarat kesempurnaan iman seseorang. Jika sifat itu tidak ada pada diri seseorang, maka imannya tidak sempurna. Bukan berarti ia tidak beriman alias kafir. Kita perlu berhati-hati dengan hal-hal seperti ini karena kesalahan dalam memahami hakikat kesempurnaan iman bisa mengakibatkan seseorang terperosok dalam pemikiran takfir (mengkafirkan orang lain).
Dalam hadits riwayat Ibnu Hibban dijelaskan لا يبلغ عبد حقيقة الايمان (seseorang tidak akan mencapai hakikat derajat keimanan). Ibnu Hajar Al Asqalani juga menjelaskan: "maksudnya adalah kesempurnaan iman".
حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri
Subhaanallah… betapa indahnya iman yang sempurna. Dan betapa beratnya ia bagi kebanyakan manusia. Salah satu tanda kesempurnaan itu adalah mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Saudara (أخيه) di sini bukanlah saudara kandung, sedarah, atau senasab, melainkan saudara seaqidah. Maka siapapun dia, dari suku dan bangsa manapun, warna kulit apapun, dengan status keduniaan yang betapapun, selama ia memiliki aqidah yang sama maka ia adalah saudara. Dan mencintainya seperti mencintai diri sendiri adalah tanda sekaligus syarat kesempurnaan iman!
"Cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu yang diingini", kata Imam Nawawi, "Sesuatu yang dicintai tersebut dapat berupa sesuatu yang diindera, seperti bentuk atau dapat juga berupa perbuatan seperti kesempurnaan, keutamaan, mengambil manfaat atau menolak bahaya."
Maka mencintai dalam kesempurnaan iman berarti mencintai apa yang terjadi pada dirinya, terjadi pula pada saudaranya. Mencintai jika saudaranya mendapatkan kebahagiaan sebagaimana ia mencintai kebahagiaan itu. Sekali lagi ini berat. Bahkan Umar bin Khatab pernah menyatakan bahwa ia mencintai Rasulullah melebihi siapapun selain dirinya. Setelah dikoreksi Rasulullah, barulah ia mencintai Rasulullah di atas mencintai dirinya.
Itu antara Umar dan Rasulullah. Lalu bagaimana kita mencintai saudara kita sesama muslim seperti mencintai diri kita sendiri? Bukankah ini pekerjaan yang berat. Namun, seperti kata Imam Nawawi: ia adalah pilihan (ikhtiyari). Bukan berarti Umar belum sampai pada kesempurnaan iman di saat itu, sebab yang dituntut Rasulullah adalah kecintaan yang lebih tinggi, bukan cinta yang sama kadarnya.
Maka sejarah umat ini juga memberi teladan terbaik bagi kita. Lihatlah peristiwa hijrah. Sesampainya di Madinah, para sahabat muhajirin dipersaudarakan dengan anshar. Diantara mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Namun dalam kesempurnaan iman, cinta antara mereka tumbuh dengan cepat, kokoh batangnya, lebat daunnya, dan ranumlah buahnya. Diantara buah yang manisnya dicatat umat hingga kini adalah cinta antara Abdurrahman bin Auf dan saudaranya, Sa'ad bin Rabi. Cinta dalam kesempurnaan iman membawa Sa'ad bin Rabi membagi dua segala miliknya. Namun cinta dalam kesempurnaan iman juga yang membuat Abdurrahman bin Auf menolaknya.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Iman bisa bertambah dan berkurang. Iman juga bisa sempurna dan bisa tidak sempurna.
2. Iman bukan semata-mata keyakinan kepada Allah dan bagaimana membangun hubungan dengan-Nya (hablun minallah), tetapi juga berkaitan langsung dengan hubungan sesama (hablun minannas). Iman yang sempurna mensyaratkan ini.
3. Mencintai sesama muslim sebagaimana mencintai dirinya sendiri adalah tanda kesempurnaan iman sekaligus syaratnya. Jika hal ini belum ada pada diri seseorang maka keimanannya belum sempurna.
Demikian penjelasan hadits ke-13 Shahih Bukhari ini, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita. Dan semoga kita dimudahkan Allah SWT untuk mencintai saudara kita sebagaimana mencintai diri kita sendiri lalu kita dijadikan-Nya memiliki iman yang sempurna. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>...
Hadits 13: Cinta dalam Kesempurnaan Iman
Mungkin judulnya terasa romantis. Tapi itulah yang akan kita bahas dalam Shahih Bukhari hadits ke-13. Hadits ini masih termasuk dalam Kitab Iman (كتاب الايمان).
Berikut ini matan haditsnya :
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Dari Anas r.a. bahwa Nabi SAW bersabda, "Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri"
Imam Bukhari memberikan judul bab untuk hadits ini مِنَ الإِيمَانِ أَنْ يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (Termasuk kesempurnaan iman adalah mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri).
Penjelasan Hadits
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
Maksud dari kalimat ini adalah kesempurnaan iman. Artinya, apa yang disebutkan setelah kalimat ini merupakan syarat kesempurnaan iman seseorang. Jika sifat itu tidak ada pada diri seseorang, maka imannya tidak sempurna. Bukan berarti ia tidak beriman alias kafir. Kita perlu berhati-hati dengan hal-hal seperti ini karena kesalahan dalam memahami hakikat kesempurnaan iman bisa mengakibatkan seseorang terperosok dalam pemikiran takfir (mengkafirkan orang lain).
Dalam hadits riwayat Ibnu Hibban dijelaskan لا يبلغ عبد حقيقة الايمان (seseorang tidak akan mencapai hakikat derajat keimanan). Ibnu Hajar Al Asqalani juga menjelaskan: "maksudnya adalah kesempurnaan iman".
حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Subhaanallah… betapa indahnya iman yang sempurna. Dan betapa beratnya ia bagi kebanyakan manusia. Salah satu tanda kesempurnaan itu adalah mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Saudara (أخيه) di sini bukanlah saudara kandung, sedarah, atau senasab, melainkan saudara seaqidah. Maka siapapun dia, dari suku dan bangsa manapun, warna kulit apapun, dengan status keduniaan yang betapapun, selama ia memiliki aqidah yang sama maka ia adalah saudara. Dan mencintainya seperti mencintai diri sendiri adalah tanda sekaligus syarat kesempurnaan iman!
"Cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu yang diingini", kata Imam Nawawi, "Sesuatu yang dicintai tersebut dapat berupa sesuatu yang diindera, seperti bentuk atau dapat juga berupa perbuatan seperti kesempurnaan, keutamaan, mengambil manfaat atau menolak bahaya."
Maka mencintai dalam kesempurnaan iman berarti mencintai apa yang terjadi pada dirinya, terjadi pula pada saudaranya. Mencintai jika saudaranya mendapatkan kebahagiaan sebagaimana ia mencintai kebahagiaan itu. Sekali lagi ini berat. Bahkan Umar bin Khatab pernah menyatakan bahwa ia mencintai Rasulullah melebihi siapapun selain dirinya. Setelah dikoreksi Rasulullah, barulah ia mencintai Rasulullah di atas mencintai dirinya.
Itu antara Umar dan Rasulullah. Lalu bagaimana kita mencintai saudara kita sesama muslim seperti mencintai diri kita sendiri? Bukankah ini pekerjaan yang berat. Namun, seperti kata Imam Nawawi: ia adalah pilihan (ikhtiyari). Bukan berarti Umar belum sampai pada kesempurnaan iman di saat itu, sebab yang dituntut Rasulullah adalah kecintaan yang lebih tinggi, bukan cinta yang sama kadarnya.
Maka sejarah umat ini juga memberi teladan terbaik bagi kita. Lihatlah peristiwa hijrah. Sesampainya di Madinah, para sahabat muhajirin dipersaudarakan dengan anshar. Diantara mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Namun dalam kesempurnaan iman, cinta antara mereka tumbuh dengan cepat, kokoh batangnya, lebat daunnya, dan ranumlah buahnya. Diantara buah yang manisnya dicatat umat hingga kini adalah cinta antara Abdurrahman bin Auf dan saudaranya, Sa'ad bin Rabi. Cinta dalam kesempurnaan iman membawa Sa'ad bin Rabi membagi dua segala miliknya. Namun cinta dalam kesempurnaan iman juga yang membuat Abdurrahman bin Auf menolaknya.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Iman bisa bertambah dan berkurang. Iman juga bisa sempurna dan bisa tidak sempurna.
2. Iman bukan semata-mata keyakinan kepada Allah dan bagaimana membangun hubungan dengan-Nya (hablun minallah), tetapi juga berkaitan langsung dengan hubungan sesama (hablun minannas). Iman yang sempurna mensyaratkan ini.
3. Mencintai sesama muslim sebagaimana mencintai dirinya sendiri adalah tanda kesempurnaan iman sekaligus syaratnya. Jika hal ini belum ada pada diri seseorang maka keimanannya belum sempurna.
Demikian penjelasan hadits ke-13 Shahih Bukhari ini, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita. Dan semoga kita dimudahkan Allah SWT untuk mencintai saudara kita sebagaimana mencintai diri kita sendiri lalu kita dijadikan-Nya memiliki iman yang sempurna. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
No comments:
Post a Comment