Showing posts sorted by relevance for query Hukum-hukum. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query Hukum-hukum. Sort by date Show all posts

Wednesday, December 6, 2017

BEDA PERMPUAN DAN LAKI LAKI

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html
(فصل)
 والمرأة تخالف الرجل في خمسة أشياء: فالرجل يجافي مرفقيه عن جنبيه ويقل بطنه عن فخذيه في الركوع والسجود ويجهر
 في موضع الجهر وإذا نابه شيء في الصلاة سبح وعورة الرجل ما بين سرته وركبته.
والمرأة تضم بعضها إلى بعض وتخفض صوتها بحضرة الرجال الأجانب وإذا نابها شيء في الصلاة صفقت وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها والأمة كالرجل.
Shalat perempuan berbeda dengan laki-laki dalam 5 (lima) perkara:
– Laki-laki menjauhkan kedua sikutnya dari lambungnya.
– Laki-laki menjauhkan perut dari kedua pahanya dalam ruku’ dan sujud
– Laki-laki mengeraskan suara di tempat yang dianjurkan mengeraskan suara
– Apabila imam melakukan kesalahan, laki-laki mengucapkan tasbih (subhanallah).
– Aurat laki-laki antara pusar dan lutut.
– Perempuan mendekatkan sikunya satu sama lain.
– Perempuan memelankan suaranya di dekat laki-laki bukan mahram
– Apabila imam melakukan kesalahan, makmum perempuan bertepuk tangan.
– Seluruh badan perempuan itu aurat kecual wajah dan telapak tangan.
Sedang budak perempuan auratnya seperti laki-laki.

Laki-laki dan perempuan, menurut kodrat, syari’at, indra dan akal, jelas-jelas berbeda. Baik secara fisik, nilai-nilai maupun ketetapan syari’at untuk masing-masingnya.
Mengapa? Sebab Allah Azza wa Jalla telah menciptakan jenis manusia menjadi dua jenis, laki-laki dan perempuan.

وَأَنَّهُ خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَاْلأُنثَى

Dan bahwasanya Dialah (Allah) yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. [An Najm : 45].
Keduanya sama-sama berhak menghuni dunia, tetapi menurut kekhususan masing-masing.
Keduanya sama-sama berhak meramaikan bumi dengan peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hal ini, secara umum tidak ada perbedaan antara laki-laki dan wanita. Tentang tauhid, aqidah, iman, Islam, pahala dan siksa. Begitu pula tentang hak dan kewajiban syari’at secara umum.

وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. [Adz Dzariyat : 56].

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً

Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. [An Nahl : 97].
Akan tetapi, Allah Azza wa Jalla juga telah menetapkan takdir bahwa laki-laki tidak sama dengan perempuan. Mulai dari bentuk fisik, gerak-gerik sampai sifat-sifatnya.
Dalam diri laki-laki ada pembawaan kekuatan fisik yang lebih sempurna. Sementara pada diri perempuan tidak sekuat laki-laki. Sebab perempuan harus mengalami haid, hamil, melahirkan, menyusui, mengurusi anak yang disusuinya dan melakukan pendidikan bagi lahirnya generasi masa depan.
Itulah, mengapa wanita dicipta dari tulang rusuk Adam Alaihissallam. Jadi wanita adalah bagian dari laki-laki, pengikut laki-laki dan merupakan nikmat bagi laki-laki.
Sementara laki-laki mendapat kepercayaan mengurus kebutuhan wanita, menjaga dan memberikan nafkah kepadanya dan kepada keturunannya.
Perbedaan secara fisik ini berakibat pada perbedaan kemampuan, baik fisik, akal, pemikiran, perasaan, kemauan, pekerjaan maupun daya kerjanya.
Dari perbedaan dalam banyak hal di atas, melahirkan sejumlah besar konsekuensi hukum syari’at bagi keduanya. Dengan hikmah Allah Yang Maha Mengetahui, ada beberapa perbedaan hukum berkaitan dengan tugas dan kewajiban bagi laki-laki dan wanita. Masing-masing disesuaikan dengan keadaannya. Sehingga hidup menjadi sempurna, utuh dan masing-masing dapat melaksanakan tugasnya.
Secara khusus Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan tugas kepada laki-laki dengan beberapa hukum yang sesuai dengan fisiknya, ototnya, kemampuannya, daya kerjanya, kesabarannya, keuletannya dan kekuatan kerjanya di luar rumah untuk mencari nafkah bagi orang yang ada di dalam rumah.
Sedangkan kepada wanita, Allah Azza wa Jalla memberikan tugas-tugas khusus yang sesuai dengan fisik, kemampuan, keahlian, daya kerja dan daya tahan tubuhnya yang lebih lemah. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberikan sejumlah pekerjaan kepada wanita untuk menyelesaikan urusan-urusan di dalam rumah serta mendidik generasi masa depan yang ada di rumahnya.
Itulah kehendak kauniyah (ketetapan takdir) Allah dalam hal penciptaan dan pemberian anugerah terhadap laki-laki dan perempuan. Dari sana, kemudian Allah menetapkan kehendak syar’iyah (ketetapan syari’at)-Nya bagi masing-masing. Maka, bertemulah dua kehendak Allah tersebut bagi kemaslahatan hamba, keramaian dunia, dan teraturnya kehidupan individu manusia, rumah, jama’ah serta masyarakat.
Berikut ini adalah beberapa contoh hukum yang dikhususkan bagi masing-masing.
Contoh, hukum yang dikhususkan bagi laki-laki, di antaranya: laki-laki adalah pemimpin bagi rumahnya. Dia bertanggung jawab memelihara, menjaga dan mengontrol kehormatan rumah tangganya. Dia harus mencegah dan memberikan perlindungan agar tidak terjadi kehinaan serta kerusakan dalam rumah tangganya. Disamping bertanggung jawab mencari mata pencaharian untuk menafkahi semua penghuni rumahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). [An Nisa’ : 34].
Bisa diperhatikan bagaimana al Qur’an al Karim menggunakan bahasa “tahta (dibawah)” ketika mengukuhkan kepemimpinan laki-laki. FirmanNya.

ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ

Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah (kendali) dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami.[At Tahrim : 10].
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Tahta (berada di bawah kendali)” merupakan maklumat, bahwa kedua orang perempuan (isteri Nuh dan Luth) itu tidak memiliki kekuasaan apa-apa terhadap suami masing-masing. Kekuasaan justeru hanya ada di tangan suami terhadap isteri masing-masing. Maka, selamanya wanita tidak bisa disetarakan dengan laki-laki, apalagi berada di atasnya.
Contoh lain. Bahwa kenabian atau kerasulan tidak pernah ada, kecuali pada laki-laki. Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَمَآأَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلاَّرِجَالاً نُّوحِي إِلَيْهِم مِّنْ أَهْلِ الْقُرَى

Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. [Yusuf : 109].
Para Ahli tafsir menerangkan ayat di atas : Allah tidak pernah mengutus seorangpun nabi perempuan, malaikat, jin atau orang badui.
Contoh lain lagi. Bahwa perwalian umum atau kuasa perwalian umum, seperti dalam pengadilan, surat-surat kuasa dan semua perwalian lainnya seperti wali nikah, tidak boleh terjadi kecuali bagi laki-laki.
Laki-laki juga diberi kekhususan dalam banyak persoalan ibadah yang tidak diberikan kepada wanita. Misalnya, kewajiban berjihad, shalat jum’at, shalat jama’ah, adzan, iqamah dan lain-lain. Urusan thalak juga berada di tangan laki-laki, bukan di tangan perempuan. Demikian pula, anak-anakpun dinasabkan kepada bapaknya, bukan kepada ibunya.
Laki-laki memiliki kelipatan ganda dibanding wanita dalam hal waris, diyat (pidana ganti rugi), persaksian, pemerdekaan budak dan aqiqah.
Hukum-hukum khusus bagi laki-laki yang disebutkan di atas maupun hukum-hukum khusus lainnya, sebagaimana dimaksudkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [Al Baqarah : 228].
Sedangkan hukum-hukum yang khusus dikenakan kepada wanita cukup banyak. Tersusun dalam bab-bab ibadah, mu’amalah, pernikahan beserta kaitan-kaitannya, peradilan dan lain-lain. Itu semua sudah diketahui jelas dalam Al Qur’an, Sunnah serta kitab-kitab fiqh. Bahkan banyak yang dibukukan secara tersendiri, semenjak dahulu hingga kini. Di antaranya berkaitan dengan hukum hijab (tutup aurat) dan dengan pemeliharaan terhadap kehormatannya.
Hukum-hukum yang dikhususkan oleh Allah bagi masing-masing laki-laki dan perempuan ini memberikan beberapa kesimpulan. Di antaranya tiga hal berikut :
Pertama : Wajib mengimani dan menerima perbedaan-perbedaan yang ada antara laki-laki dan perempuan, baik secara fisik, nilai-nilai maupun ketetapan-ketetapan syari’at bagi masing-masing. Semua pihak harus rela menerima ketetapan takdir dan ketetapan syari’at yang ditentukan untuk masing-masing. Dan harus meyakini, bahwa perbedaan-perbedaan ini merupakan inti keadilan itu sendiri. Di dalamnya terdapat keteraturan hidup masyarakat manusia.
Kedua : Seorang muslim atau muslimah tidak boleh mengangan-angankan (irihati terhadap) kekhususan yang ada pada pihak lain. Karena bila demikian berarti ia murka terhadap takdir Allah, dan tidak rela terhadap ketentuan hukum serta syari’atNya.
Mestinya ia justeru memohon karunia Allah. Sebab, hal ini merupakan adab syari’at yang dapat menghilangkan hasad dan membersihkan jiwa wanita mukminah. Juga untuk menghiasi pribadinya dengan sikap ridha menerima takdir dan ketentuan Allah Azza wa Jalla. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَافَضَّلَ اللهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ وَسْئَلُوا اللهَ مِن فَضْلِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [An Nisa’ : 32].
Sebab turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Mujahid. Dia mengatakan, bahwa Ummu Salamah berkata, ”Wahai Rasulullah, apakah kaum laki-laki berperang, sedangkan kami tidak berperang? Kamipun hanya memperoleh warisan separuh dari kaum laki-laki?” Maka turunlah ayat di atas.

وَلاَ تَتَمَنَّوْا مَافَضَّلَ اللهُ

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah…[Diriwayatkan oleh Ath Thabari, Imam Ahmad, Hakim dan lain-lain].
Abu Ja’far Ath Thabari rahimahullah mengatakan,“Maksud Allah Azza wa Jalla dalam ayat di atas, “‘janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain”. Disebutkan, bahwa ayat itu turun berkaitan dengan wanita yang menginginkan kedudukan laki-laki, dan menginginkan apa yang diperoleh laki-laki. Maka, Allah melarang hamba-hambaNya agar jangan berangan-angan dengan hal-hal yang batil. Sebab angan-angan semacam itu akan mengakibatkan pelakunya dengki dan melampaui batas, tanpa alasan yang benar.”
Ketiga : Jika angan-angan (iri hati) ini saja dilarang -berdasarkan nash AlQur’an- apalagi mengingkari adanya perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kemudian menyerukan agar perbedaan-perbedaan itu dibuang, menuntut persamaan dan mendakwahkannya atas nama persamaan hak antara laki-laki dan wanita.
Tentu, ini merupakan pandangan atheisme. Sebab, di dalamnya terdapat penentangan terhadap kehendak Allah, baik kehendak kauniyah (ketetapan takdir) maupun kehendak syar’iyah (ketetapan syari’atNya), berkaitan dengan perbedaan-perbedaan antara keduanya, secara fisik maupun nilai-nilai. Berarti juga membuang ajaran Islam perihal nash-nash syari’atnya yang qath’i tentang perbedaan-perbedaan itu.
Bila saja persamaan ini terjadi dalam semua sisi hukum, padahal secara fisik maupun kemampuan berbeda, berarti terjadi keterbalikan fitrah. Tentu hal tersebut merupakan kedhaliman itu sendiri, baik bagi yang memiliki kelebihan maupun yang lemah. Bahkan, merupakan kedhaliman bagi kehidupan masyarakat secara umum. Sebab, berarti menghambat perolehan hasil lebih bagi yang memiliki kemampuan lebih. Sebaliknya, akan sangat memberatkan bagi yang lemah, di luar batas kemampuannya.
Kedhaliman semacam itu tidak pernah akan terjadi walaupun hanya seberat biji sawi, dalam syari’at Allah Yang Maha Bijaksana.
Dengan demikian wanita dalam naungan hukum-hukum Allah yang luar biasa indah ini, sesungguhnya terjamin keibuannya, wewenangnya mengatur urusan rumah tangganya dan keleluasaannya membangun generasi umat mendatang di dalam rumahnya.
Mengapa akal para emansipator itu demikian dangkal pemikirannya. Seperti katak dalam tempurung saja. Tidak mengerti luas dan indahnya seluk-beluk syari’at Islam. Allahu al musta’an.

Monday, February 12, 2018

HUKUMAN PENCURI

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


فصل
"وتقطع يد السارق بثلاثة شرائط أن يكون بالغا عاقلا وأن يسرق نصابا قيمته ربع دينار من حرز مثله لا ملك له فيه ولا شبهة في مال المسروق منه وتقطع يده اليمنى من مفصل الكوع فإن سرق ثانيا قطعت رجله اليسرى فإن سرق ثالثا قطعت يده اليسرى فإن سرق رابعا قطعت رجله اليمنى فإن سرق بعد ذلك عزر وقيل يقتل صبرا 

Fasal 
Tangan Pencuri dipotong dengan tiga sarat: 1. Dia Baligh 2. Bearakal 3. Dia mencuru mencapai satu nisob yaitu seharga ¼ dinar dari umumnya simpanan dan tidak ada milik baginya atau serupa milik. Dan dipotong tangan yang kanan pencuri daru ruas pergelangan tangan. Dan bila mencuri kedua maka dipotong kaki kiri dan bila mencuri ketiga maka dipotng tangan kanan dan bial mencuri lagi maka dipotong kaki kanan dan biala mencuri lagi yang kelima maka di ta’zir. Menurut kil dibunuh dengan sabar.


Syaikh Abdurrahman al Maliki dalam kitab Nizhomul ‘Uqubat fil Islam (Sistem Sanksi dalam Islam) menjelaskan bahwa hukum potong tangan hanya diberlakukan jika memenuhi tujuh syarat. Jika satu saja dari tujuh syarat ini tidak terpenuhi maka hukum potong tangan tidak diberlakukan. Tujuh syarat tersbut adalah:
1.    Memenuhi definisi pencurian dalam Islam.
Pengertian pencurian adalah:
 
السرقة هو أخذ المال على وجه الاختفاء والاستتار
Mengambil barang dengan cara sembunyi-sembunyi atau rahasia (Nizhomul ‘Uqubat fil Islam hlm. 51)
 
Ulama sepakat bahwa merampas, menjambret, merampok, berkhianat  tidak disebut pencurian. (fiqhul Islam wa adillatuhu li syaikh Wahbah Zuhaili 7/360). Maka tidak dikenai had (hukum) potong tangan tetapi dikenai hukum yang  lain. Dari Jabir, dari Nabi saw, Beliau bersabda:
 
لاَ يُقْطَعُ الْخَائِنُ وَلاَ الْمُنْتَهِبُ وَلاَ الْمُخْتَلِسُ
Tidak dipotong tangan bagi penipu, perampok, dan penjambret (Redaksi HR Ibnu Majjah no. 2689 hadist semisal diriwayatjab Imam Abu Dawud no. 4394)
 
Berdasarkan dalil di atas juga, seseorang yang mengingkari (mengkhianati) barang titipan (wadi’ah) tidak dikenai potong tangan. Karena tidak termasuk dalam pengertian pencurian.  Sedangkan pencopet disamakan dengan pencurian karena mengambil barang dari tempat yang tersembunyi. Sedangkan orang yang meminjam barang kemudian mengingkarinya maka dihukum potong tangan berdasarkan dalil yang menjelaskannya.
2.    Harta yang dicuri mencapai nishab yaitu ¼ dinar. Tidak dijatuhkan hukum potong tangan kecuali barang yang dicuri minimal senilai ¼ dinar. Satu dinar syar’ie adalah 4, 25 gram emas, sehingga ¼ dinar adalah 1, 0625 gram emas. Atau jika harga 1 gram emas adalah Rp 500.000,00 maka nishab pencurian adalah senilai Rp 531.250,00. Dalinya adalah riwayat dari Bunda ‘Aisyah rah, Nabi bersabda:

تُقْطَعُ الْيَدُ فِى رُبُعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا
Tangan dipotong (karena pencurian) ¼ dinar atau lebih (HR. Bukhari no. 6789)

3.    Harta/barang yang dicuri adalah barang yang boleh dimiliki secara syar’ie.  Jika barang yang dicuri adalah barang yang tidak dibolehkan untuk dimiliki maka tidak dijatuhkan had potong tangan. Sebagai contoh mencuri khamar dari pemilik muslim maka tidak dijatuhkan hukum ptong tangan. Akan tetapi jika milik non muslim maka dikenai hukum potong tangan.

4.    Barang yang dicuri tersimpan dalam tempat penyimpanan. Maka tidak dijatuhkan hukum potong tangan jika pencuri mengambil barang dari rumah atau gudang yang terbuka pintunya. ‘Amru bin Syu’aib dari Bapaknya dari kakeknya meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki dari suku Mazinnah bertanya kepada Nabi saw tentang pencurian kurma yang masih ada di pohon. Nabi bersabda:
 
مَا أُخِذَ فِي أَكْمَامِهِ فَاحْتُمِلَ فَثَمَنُهُ وَمِثْلُهُ مَعَهُ وَمَا كَانَ مِنْ الْجَرِينِ فَفِيهِ الْقَطْعُ إِذَا بَلَغَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ وَإِنْ أَكَلَ وَلَمْ يَأْخُذْ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَالَ الشَّاةُ الْحَرِيسَةُ مِنْهُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ثَمَنُهَا وَمِثْلُهُ مَعَهُ وَالنَّكَالُ وَمَا كَانَ فِي الْمُرَاحِ فَفِيهِ الْقَطْعُ إِذَا كَانَ مَا يَأْخُذُ مِنْ ذَلِكَ ثَمَنَ الْمِجَنِّ
"Apa yang diambil dari mayangnya, maka dia menanggung harganya dan yang serupa dengannya. Sementara buah-buahan yang berada pada tempat penebahan biji, maka si pencuri harus dipotong tangannya apabila mencapai harga sebuah perisai. Dan apabila ia hanya memakannya saja dan tidak mengambilnya, maka ia tidak terkena potong tangan. "Lalu ia bertanya, "Bagaimana dengan kambing yang berkeliaran di gunung-gunung yang ada penjaganya, wahai Rasulullah?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Dihitung nilainya dan yang sejenisnya, dan orang yang mengambilnya dihukum. Sementara kambing yang dikurung dan yang berada di dalam kandang, maka seseorang dipotong tangannya apabila kambing yang diambil sama nilainya dengan sebuah perisai. (HR. Ibnu Majah no. 2586)
 
Pengertian tempat penyimpanan (al hirz) dikembalikan kepada pengertian yang dipahami masyarakat, yakni istiah yang berlaku di masyarakat karena al hirz berkaitan dengan fakta tertentu dan syariat juga tidak membatasinya dengan makna khusus.
5.    Harta yang dicuri bukan harta yang syubhat ditinjau dari sisi bahwa seseorang memiliki hak terhadap barang tersebut; atau ia berhak mengambil barang tersebut. Alasannya adalah seseorang pencuri tidak dijatuhi hukum potong tangan jika harta yang dicuri milik orang tuanya atau harta anaknya, atau harta yang ia memiliki hak atasnya. Nabi bersabda:
 
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ
Sesungguhnya yang paling baik adalah apa yang dimakan seorang laki-laki dari usahanya dan anaknya  termasuk usahanya. (HR. an-Nasaai no. 4464)
 
Demikian juga pencuri tidak dikenai potong tangan, bila yang diambilnya berasal dari baitul mal. Ibnu Majjah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ada seorang budak mencuri harta dari al-khumus (1/5 dari harta rampasan perang) yang disimpan di baitul mal. Peristiwa tersebut dilaporkan kepada Nabi dan Beliau tidak memotong tangannya. Kemudian beliau bersabda, “ Harta Allah dicuri satu dengan yang lain”. Dalam riwayat lain beliau menyatakan: 
 
لَيْسَ عَلَى مَنْ سَرَقَ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ قَطْعٌ
Tidak dipotong tangan orang yang mencuri dari baitul mal (HR. al Baihaki no. 17.766 dari ‘Ali bin abi Thalib)
 
Harta yang kedudukannya seperti baitul mal merupakan harta milik umum seperti air bersih, minyak tanah, bensin, listrik. Pencuri yang mencuri milik umum tidak dipotong tangannya akan tetapi tetap dijatuhi ta’zir (hukum yang ditetapkan khalifah). Walhasil, setiap harta yang masil mengandung syubhat kepemilikan,jika dicuri maka pencurinya tidak dikenai potong tangan. Sebab hudud tertolak dengan adanya syubhat.
6.    Pencurinya telah baligh,berakal, dan terikat dengan hukum-hukum islam –baik muslim maupun ahlu dzimmy-. Pencurinya masih kanak-kanak atau gila, maka tidak dikenai had potong tangan.
Pengertian anak-anak adalah usia pra balig. Ukuran balig bagi anak laki-laki adalah setelah ihtilam (mimpi) sedang untuk anak perempuan setelah haid pertama. Jika pada usia 15 tahun anak laki-laki beum ihtilam maka statusnya dianggap balig pada usia tersebut sedang anak perempuan dianggap balig pada usia 12 tahun.
7.    Telah melalui proses pembuktian berdasarkan pengakuan pencuri atau saksi yang adil.
Selain tujuh syarat di atas pencuri juga tidak dipotong tangannya jika ia mencuri buah yang masih dipohonnya (sekedar untuk dimakan), mencuri makanan yang sudah siap disantap (dihidangkan), atau mencuri dalam kondisi paceklik/kelaparan. Berdasarkan hadist-hadist Nabi saw berikut:
Dai Rafi’ bin Khudaij ra. ia berkata Nabi saw bersabda:
 
لأَقَطْعَ في ثَمَرٍ ولاَ كَثَرٍ
Tidak dipotong tangan dalam pencurian tsamr dan katsar (HR.Abu Dawud, An Nasaai, Ibnu Majjah)
 
At-tsamr adalah sebutan untuk buah kurma yang masih dipohonnya. Sedang al katsar kurma muda atau mayang kurma dan tandannya
Dari hasan ra.ia berkata Nabi saw bersabda:
 
لاقطع في الطعام المهيأ للأكل
Tidak dipotong tangan dalam pencurian makanan yang siap untuk disantap

Dari Makhul ra ia berkata Nabi saw bersabda:
 
لاقطع في مجاعة مضطر
Tidak ada potong tangan pada masa kelaparan yang sangat

Demikianlah syarat dan kondisi dijatuhkannya hukum potong tangan dalam kasus pencurian. Dengan mencermati syarat dan kondisi di atas maka jelas pencuri kakau atau semangka dari pohonnya tidaklah dijatuhi hukum potong tangan, demikian pula pencuri sandal

Tuesday, February 27, 2018

WASIAT

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 





Kata wasiat berasal dari bahasa Arab yakni wahshaitu asy-syaia, uushiihi, artinya aushaltuhu ( aku menyampaikan sesuatu). Yang artinya orang yang berwasiat adalah orang yang menyampaikan pesan diwaktu dia hidup untuk dilaksanakan sesudah dia mati.

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ

Artinya: 

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”(Q.S. Al Baqarah:180)

Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim, dari Ibnu Umar r.a., dia berkata:  Telah bersabda Rasulullah saw: “ Hak bagi seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan, sesudah bermalam dua malam tiada lain wasiatnya itu tertulis pada amal kebajikannya.” Ibnu Umar berkata : Tidak berlalu bagiku satu malampun sejak aku mendengar Rasulullah saw. Mengucapkan hadist itu kecuali wasiatku berada di sisiku.

Dari ayat dan hadist di atas jelas menunjukkan bahwa pelaksanaan wasiat sesorang yang telah meninggal adalah wajib hukumnya. Namun hukum wasiat ini juga tergantung pada isi wasiat itu sendiri. Jika wasiat yang dibuat adalah wasiat yang sesuai syar’I, maka diwajibkan untuk dilaksanakan. Misalnya saja berwasiat jika ia meninggal, maka anaknya harus menghafal Al Quran.
Wasiat seperti ini harus dilaksanakan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud dari Hanasy berkata bahwa dirinya melihat Ali menyembelih dua ekor gibas. “Lalu aku mengatakan kepadanya, “Apa ini?” Ali menjawab,” Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah berwasiat kepadaku agar aku berkurban atasnya maka aku pun berkurban atasnya.”

Namun jika wasiatnya bertentangan dengan syar’i, maka haram dilaksanakan, Misalnya, jika ia meninggal, ia berwasiat agar anaknya memutuskan silaturahmi dengan kerabatnya, maka wasiat ini haram dilaksanakan. Sebagaimana sabda Rasul :

“Tidak ada ketaatan didalam sebuah kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan adalah didalam perkara-perkara yang baik.” (HR. Bukhori) Begitu pula dalam riwayat Abu Daud disebutkan, “Tidak ada ketaatan didalam maksiat kepada Allah.”

Lalu bagaimana dengan wasiat harta? Dalam hukum Islam, kita mengenal hukum waris dan hukum wasiat. Hukum waris turun setelah hukum wasiat diturunkan Allah terlebih dahulu. Jika wasiat yang ditinggalkan tidak bertentangan dengan hukum waris, maka wasiat itu harus tetap dilaksanakan. Namun lain halnya jika wasiat yang ditinggalkan justru melanggar hukum waris yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُۥ يُدْخِلْهُ نَارًا خَٰلِدًا فِيهَا وَلَهُۥ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Artinya: “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S. An Nisa:14)

Allah juga telah mengharamkan para ahli waris yang menerima harta peninggalan dengan jalan wasiat yang bertentangan dengan hukum waris. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap orang masing-masing haknya. Maka tidak boleh harta itu diwasiatkan kepada ahli waris. (HR. At-Tirmizy)

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ مِّمَّا تَرَكَ ٱلْوَٰلِدَانِ وَٱلْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ نَصِيبًا مَّفْرُوضًا

Artinya: 

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”( Q.S. An Nisa:7)

Maka dari itu, sebaiknya pewaris tidak mewasiatkan hartanya lagi kepada ahli waris karena ahli waris sudah mendapatkan hartanya lewat hukum waris yang  telah ditentukan oleh Allah SWT. Jadi jika ingin berwasiat harta, maka berwasiatlah pada yang bukan ahli waris. Namun Islam juga membatasi wasiat harta kepada mereka yang bukan ahli waris. Sebagaimana sabda Rasul :
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahuanhu dia berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku”. Beliau SAW bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau setengahnya?” Beliau bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau sepertiganya?” Beliau bersabda: “Ya sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia dengan menengadahkan tangan-tangan mereka.” (HR. Al-Bukhari Muslim)

Dari riwayat di atas, dapat kita simpulkan  bahwa harta yang boleh diwasiatkan hanya 1/3 saja karena yang 2/3 harus dibagikan kepada para ahli waris. Inilah kebesaran Allah yang mengetahui dan mengatur yang terbaik bagi hamba-Nya. Wasiat juga tidak boleh diubah isinya karena merupakan salah satu dosa besar. Sebagaimana firman Allah SWT:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ شَهَٰدَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ حِينَ ٱلْوَصِيَّةِ ٱثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ أَوْ ءَاخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنتُمْ ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَأَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةُ ٱلْمَوْتِ ۚ تَحْبِسُونَهُمَا مِنۢ بَعْدِ ٱلصَّلَوٰةِ فَيُقْسِمَانِ بِٱللَّهِ إِنِ ٱرْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِى بِهِۦ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۙ وَلَا نَكْتُمُ شَهَٰدَةَ ٱللَّهِ إِنَّآ إِذًا لَّمِنَ ٱلْءَاثِمِينَ

Artinya: 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: “(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa”.( Q.S. Al Maidah:106)

فَإِنْ عُثِرَ عَلَىٰٓ أَنَّهُمَا ٱسْتَحَقَّآ إِثْمًا فَـَٔاخَرَانِ يَقُومَانِ مَقَامَهُمَا مِنَ ٱلَّذِينَ ٱسْتَحَقَّ عَلَيْهِمُ ٱلْأَوْلَيَٰنِ فَيُقْسِمَانِ بِٱللَّهِ لَشَهَٰدَتُنَآ أَحَقُّ مِن شَهَٰدَتِهِمَا وَمَا ٱعْتَدَيْنَآ إِنَّآ إِذًا لَّمِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Artinya: 

“Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) membuat dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah: “Sesungguhnya persaksian kami labih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang yang menganiaya diri sendiri” ( Q.S. Al Maidah:107)

ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يَأْتُوا۟ بِٱلشَّهَٰدَةِ عَلَىٰ وَجْهِهَآ أَوْ يَخَافُوٓا۟ أَن تُرَدَّ أَيْمَٰنٌۢ بَعْدَ أَيْمَٰنِهِمْ ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱسْمَعُوا۟ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ

Artinya: 

“Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah. Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” ( Q.S. Al Maidah:108)

Allah menurunkan hukum waris untuk menyempurnakan hukum wasiat yang turun sebelumnya. Hukum wasiat memiliki banyak kelemahan, diantaranya adalah seorang yang bukan ahli waris bisa mendapat harta yang justru ahli waris tidak bisa dapatkan, atau karena dasar suka tidak suka oleh pewaris. Hal ini tentu akan menjadi bibit konflik dalam keluarga. Maka dari itu, Allah menurunkan hukum waris untuk keadilan dalam pembagian harta warisan.

Saturday, January 14, 2012

Makanan Dan Minuman

Minuman
Minuman yang diharamkan
Hukum minum arak
Diharamkannya arak dan tahap-tahap pengharamannya: 2:219, 4:43, 5:90, 5:91, 16:67
Makanan
Macam-macam makanan
Makanan yang halal
Semua yang baik asalnya halal: 2:57, 2:168, 2:172, 5:1, 5:4, 5:5, 5:88, 6:141, 6:142, 6:143, 6:144, 6:145, 7:157, 7:160, 16:72, 16:114, 17:70, 22:30, 23:51
Pengharaman yang dihalalkan Allah: 3:93, 5:87, 5:103, 6:138, 6:139, 6:140, 6:143, 6:144, 7:32, 10:59, 16:35, 16:116, 66:1
Hukum makan kuda: 16:8
Hukum makan bangkai binatang laut: 5:96, 16:14, 35:12
Hukum makan ikan: 5:96, 16:14, 35:12
Hukum makan makanan Ahli Kitab: 5:5
Makanan yang diharamkan
Pengharaman memakan darah: 2:173, 5:3, 6:145, 7:133, 16:115
Pengharaman segala yang kotor: 2:173, 2:219, 7:157
Hukum bangkai
Hukum makan bangkai: 2:173, 5:3, 6:145, 16:115
Hukum makan daging babi: 2:173, 5:3, 6:145, 16:115
Rukhshah (dispensasi) makan barang haram karena terpaksa: 2:173, 5:3, 6:119, 6:145, 16:115
Etika pada makanan
Larangan berlebih-lebihan: 6:141, 7:31, 90:6
Undangan makan
Berkumpul untuk makan: 24:61
Hak orang lain pada makanan
Hak orang lapar pada makanan: 68:24, 90:14
Hak orang miskin pada makanan: 74:44, 76:8, 89:18, 90:16
Mengutamakan sebagian makanan dari makanan lain: 13:4, 18:19
Berjalan setelah makan: 33:53
Bercakap-cakap dengan tamu: 33:53
Penyembelihan
Cara-cara menyembelih
Membaca bismillah sebelum menyembelih: 16:115, 22:34, 22:36
Cara meletakkan binatang ketika disembelih: 22:36
Cara menyembelih binatang yang jatuh dan yang lari: 5:3
Syarat makan binatang sembelihan
Menyebut nama Allah ketika menyembelih: 5:3, 6:118, 6:119, 6:121, 22:34, 22:36
Menyembelih dan menyebut nama selain Allah: 2:173, 5:3, 6:121, 6:138, 6:145, 16:115
Pengharaman sembelihan karena selain Allah: 2:173, 5:3, 6:145, 16:115
Berburu
Disyariatkannya berburu: 5:4, 5:96
Perlengkapan berburu
Berburu dengan cara melempar: 5:3
Berburu dengan panah: 5:94
Berburu dengan anjing
Hukum hewan buruan yang dimakan anjing: 5:3
Anjing pemburu: 5:4
Hukum yang bersangkutan dengan berburu
Yang dimakan binatang buas haram kecuali setelah disembelih: 5:3
Membaca bismillah ketika berburu: 5:4
Hukum berburu pada saat ihram: 5:1, 5:2, 5:94, 5:95, 5:96
Kafarat berburu pada saat ihram: 5:95





Thursday, February 8, 2018

HUKUM NIKAH

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


Secara kebahasaan, nikah bermakna “berkumpul”. Sedangkan menurut istilah syariat, definisi nikah dapat kita simak dalam penjelasan Syekh Zakariya Al-Anshari dalam kitab Fathul Wahab berikut ini:

كتاب النكاح. هُوَ لُغَةً الضَّمُّ وَالْوَطْءُ وَشَرْعًا عَقْدٌ يَتَضَمَّنُ إبَاحَةَ وَطْءٍ بِلَفْظِ إنْكَاحٍ أَوْ نَحْوِهِ

Artinya, “Kitab Nikah. Nikah secara bahasa bermakna ‘berkumpul’ atau ‘bersetubuh’, dan secara syara’ bermakna akad yang menyimpan makna diperbolehkannya bersetubuh dengan menggunakan lafadz nikah atau sejenisnya,” (Lihat Syekh Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Beirut, Darul Fikr, 1994, juz II, halaman 38).

Dari sudut pandang hukum, Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i menjelaskan:

حُكم النِكَاحِ شَرْعُا للنكاح أحكام متعددة، وليس حكماً واحداً، وذلك تبعاً للحالة التي يكون عليها الشخص

Artinya, “Hukum nikah secara syara’. Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik),” (Lihat Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha, Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i, Surabaya, Al-Fithrah, 2000, juz IV, halaman 17).

Dari keterangan tersebut, bisa dipahami bahwa hukum nikah akan berbeda disesuaikan dengan kondisi seseorang dan bersifat khusus sehingga hukumnya tidak bisa digeneralisasi. Lebih lanjut, Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dalam kitab itu memerinci hukum-hukum tersebut sebagai berikut:

1. Sunah
Hukum nikah adalah sunah karena nikah sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Hukum asal nikah adalah sunah bagi seseorang yang memang sudah mampu untuk melaksanakannya sebagaimana hadits Nabi riwayat Al-Bukhari nomor 4779 berikut ini:

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج، فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج، ومن لم يستطع فعليه بالصوم، فإنه له وجاءٌ

Artinya, “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya.”

2. Sunah Ditinggalkan
Nikah dianjurkan atau disunahkan baiknya tidak dilakukan. Ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya menginginkan nikah, namun tidak memiliki kelebihan harta untuk ongkos menikah dan menafkahi istri.

Dalam kondisi ini sebaiknya orang tersebut menyibukkan dirinya untuk mencari nafkah, beribadah dan berpuasa sambil berharap semoga Allah mecukupinya hingga memiliki kemampuan. Hal ini senada dengan firman Allah SWT Surat An-Nur ayat 33:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحاً حَتَّى يُغْنِيَهُمْ اللَّهُ مِن فَضْلِه ِ

Artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”

Dalam konteks ini, jika orang tersebut tetap memaksakan diri menikah, maka ia dianggap melakukan tindakan yang dihukumi khilaful aula, yakni kondisi hukum ketika seseorang meninggalkan apa yang lebih baik untuk dirinya.

3. MakruhNikah adalah makruh. Ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak menginginkan nikah, entah karena perwatakannya demikian, ataupun karena penyakit. Ia pun tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jika dipaksakan menikah, dikhawatirkan bahwa hak dan kewajiban dalam pernikahan tidak dapat tertunaikan.

4. Lebih Utama Jika Tidak Menikah
Hal ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, namun sedang dalam kondisi tidak membutuhkan nikah dengan alasan sibuk menuntut ilmu atau sebagainya.

5. Lebih Utama jika Menikah
Hal ini berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, serta sedang tidak disibukkan menuntut ilmu atau beribadah. Maka orang tersebut sebaiknya melaksanakan nikah.

Sunday, April 15, 2018

Muqaddimah QS.Al-Maidah

INDEX AL-QURA                  TOPIK DALAM AL_QUR"AN

Surat Al Maa'idah terdiri dari 120 ayat; termasuk golongan surat Madaniyyah. Sekalipun ada ayatnya yang turun di Mekah, namun ayat ini diturunkan sesudah Nabi Muhammad s.a.w. hijrah ke Medinah, yaitu di waktu haji wadaa'. Surat ini dinamakan Al Maa'idah (hidangan) karena memuat kisah pengikut-pengikut setia Nabi Isa a.s. meminta kepada Nabi Isa a.s. agar Allah menurunkan untuk mereka Al Maa'idah (hidangan makanan) dari langit (ayat 112). Dan dinamakan Al Uqud (perjanjian), karena kata itu terdapat pada ayat pertama surat ini, dimana Allah menyuruh agar hamba-hamba-Nya memenuhi janji prasetia terhadap Allah dan perjanjian-perjanjian yang mereka buat sesamanya. Dinamakan juga Al Munqidz (yang menyelamatkan), karena akhir surat ini mengandung kisah tentang Nabi Isa a.s. penyelamat pengikut-pengikut setianya dari azab Allah.

Pokok-pokok isinya.

1. Keimanan:
Bantahan terhadap orang-orang yang mempertuhankan Nabi Isa a.s.

2. Hukum-hukum:
Keharusan memenuhi perjanjian; hukum melanggar syi'ar Allah; makanan yang dihalalkan dan diharamkan; hukum mengawini ahli kitab; wudhu'; tayammum; mandi; hukum membunuh orang; hukum mengacau dan mengganggu keamanan; hukum qishaas; hukum melanggar sumpah dan kafaaratnya; hukum binatang waktu ihram; hukum persaksian dalam berwasiat.

3. Kisah-kisah:
Kisah-kisah Nabi Musa a.s. menyuruh kaumnya memasuki Palestina; kisah Habil dan Qabil, kisah-kisah tentang Nabi Isa a.s.

4. Dan lain-lain:
Keharusan bersifat lemah lembut terhadap sesama mukmin bersikap keras terhadap orang-orang kafir; penyempurnaan Agama Islam di zaman Nabi Muhammad s.a.w.; keharusan jujur dan berlaku adil; sikap dalam menghadapi berita-berita bohong; akibat berteman akrab dengan orang yang bukan muslim; kutukan Allah terhadap orang-orang Yahudi, kewajiban rasul hanya menyampaikan agama; sikap Yahudi dan Nasrani terhadap orang Islam; Ka'bah sokoguru kehidupan manusia; peringatan Allah supaya meninggalkan kebiasaan Arab jahiliyah; larangan-larangan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengakibatkan kesempitan dalam agama. 

Tuesday, February 13, 2018

SARAT WAJIB UPETI

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 



“فصل”
 وشرائط وجوب الجزية خمس خصال البلوغ والعقل والحرية والذكورة وأن يكون من أهل الكتاب أو ممن له شبهة كتاب وأقل الجزية دينار في كل حول ويؤخذ من المتوسط ديناران ومن الموسر أربعة دنانير ويجوز أن يشترط عليهم الضيافة فضلا عن مقدار الجزية ويتضمن عقد الجزية أربعة أشياء أن يؤدوا الجزية عن يَدصغار وأن تجري عليهم أحكام الإسلام وأن لا يذكروا دين الإسلام إلا بخير وأن لا يفعلوا ما فيه ضرر على المسلمين ويعرفون بلبس الغيار وشد الزنار ويمنعون من ركوب الخيل.

Fasal
Sarat wajib upeti ada lima: baligh, berakal, merdeka, laki laki, dari ahli kitab atau serupa kitab. Upeti paling sedikit adalah satu dinarsetiap tahun. Di ambil dari orang sedang dua dinar. Dari yang kaya empat dinar. Dan diperbolehkan mensaratkan sederhana dari perkiraan upeti. 
Kontrak upeti tersebut berlaku 4 hal:
1. Mereka membayar upeti dari ringan tangan
2. Berlaku dilingkungan mereka hokum islam
3. Mereka tidak boleh menyebut islam kecuali dengan sebutan yang baik
4. Mereka tidak melakukan sesuatu yang membahayakan muslimdalm islam
Mereka diberi tahu dimana hrus menjahid pakaian dengan jahitan yang kasar dan mereka dilarang mengendarai kuda 

Allah Ta'alaa berfirman:

(قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ)
 
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk."
[Surat At-Tawbah 29]

Dalam ayat ini menerangkan bahwa orang-orang kafir yang tidak diperangi karena (صاغرون) tunduk dengan islam menjadi ahli dzimmah/kafir dzimmi (kafir yang dijamin atau dilindungi),
Maka para ulama mendifinisikan makna TUNDUK(صاغرون).

 Ibnu Hazm al-andalusi رحمه الله تعالى  berkata tentang maksud "tunduk {صاغرون}:

 «الصَّغار هو أن يجري حكم الإسلام عليهم، وأن لا يُظهروا شيئاً من كفرهم، ولا مما يحرم في دين الإسلام. قال عز وجل: {وقاتلوهم حتى لا تكون فتنة ويكون الدين كله لله}».
 

"Maksud Shighor(tunduk) adalah berlaku hukum islam kepada mereka (kafir dzimmi) dan agar mereka tidak menampakkan terang-terangan sedikitpun kekufuran mereka dan juga tidak (menampakan ) apa-apa yang diharamkan dalam dienul islam, Allah Ta'ala berfirman:
" Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu seluruhnya hanya milik Allah".
(Al-Anfaal:  39)
(Al Muhallaa/ibnu hazm)

Berkata Imam As-Syafii رحمه الله تعالى
  "فكان الصغار والله تعالى أعلم أن يجرى عليهم حكم الاسلام".
 
"Maka Shigor "Tunduk" maksudnya -wallahu 'alam- adalah berlaku atas mereka (ahli dzimmah) hukum islam"
(Al Umm, 4/233)

Dan Imam AsSyafi'i رحمه الله تعالى juga berkata:
  «وإن قالوا نعطيكموها ولا يجرى علينا حكمكم، لم لم يلزمنا أن نقبلها منهم، لأن الله عز وجل قال {حتى يعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون} فلم أسمع مخالفا في أن الصغار أن يعلو حكم الاسلام على حكم الشرك ويجري عليهم».
 
"..seandainya mereka mengatakan, kami akan berikan kalian Jizyah, akan tetapi jangan berlakukan kepada kami hukum kalian maka tidaklah lazim bagi kita menerima itu dari mereka, karena Allah azza wa jalla berfirman:
"sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk". (At-Taubah: 29)
 

Dan Aku tidak pernah mendengar satupun(ulama salaf) yang menyelisihi bahwa makna Shigor(Tunduk) adalah hukum islam berada diatas hukum syirik dan berlaku (hukum islam) atas mereka (ahli dzimmah)".
(Al Umm, 4/297)

Muhammad bin Hasan al hanafi رحمه الله تعالىberkata:


  "ولأن المقصود من عقد الذمة مع أهل الحرب ليس هو المال، بل التزام الحربي أحكام الإسلام فيما يرجع إلى المعاملات".
 

"Bahwa maksud dari aqad dzimmah(jaminan) bagi kafir harbi bukanlah harta (jizyah) akan tetapi kafir harbi(yang memiliki aqad dzimmah/menjadi dzimmi) dia harus taat dengan hukum-hukum islam yang berlaku pada perkara-perkara muamalah".
(Syarh siyar kabir, 5/152)

Berkata imam As- Syafii رحمه الله تعالى dalam kitabnya tentang syarat ahli dzimmah :


 "على أن ليس لكم أن تظهروا في شيء من أمصار المسلمين الصليب، ولا تعلنوا بالشرك، ولا تبنوا كنيسة، ولا موضع مجتمع لصلاتكم، ولا تضربوا بناقوس، ولا تظهروا قولكم بالشرك في عيسى ابن مريم، ولا في غيره لأحد من المسلمين".
 

"Wajib atas kalian untuk tidak menampakan sedikitpun bentuk SALIB diwilayah-wilayah kaum muslimin dan kalian tidak boleh menampakkan terang-terangan kesyirikan dan jangan membangun gereja ataupun tempat (khusus) berkumpul untuk ibadah kalian dan jangan memukul lonceng kecuali jika terdapat maslahat bagi mereka dan janganlah menampakkan khomer seluruh wilayah kaum muslimin".
( Al Umm, 4/210).

Berkata Abu bakar al kasani رحمه الله تعالى ulama hanafiah:


 "لا يُمكّنون من إظهار صليبهم في عيدهم، لأنه إظهار شعائر الكفر، فلا يمكنون من ذلك في أمصار المسلمين...".
 

"Tidak diperbolehkan bagi mereka untuk menampakkan salib mereka pada hari raya mereka karena hal tersebut adalah bentuk menampakkan syiar-syiar kufur maka tidak boleh bagi mereka diseluruh wilayah kaum muslimin".
(Badaa'iyu As Snonaayi', 1/144)

Ibnu Qudamah didalam.kitab Syarah Kabir, 10/587 berkata:


"ولا يجوز عقدُ الذمة المؤبَّدة إلا بشرطين: أحدهما: أن يلتزموا إعطاءَ الجزية في كلِّ حول، والثاني: التزام أحكام الإسلام، وهو قَبول ما يُحكَم به عليهم من أداء حقٍّ أو ترْك محرَّم؛ لقول الله - تعالى -: ﴿ حَتَّى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ ﴾ [التوبة: 29]
 

"Tidak boleh ada aqad ahli dzimmah yang kekal kecuali dengan 2 syarat, yang pertama : dia(kafir dzimmi)  wajib untuk membayar jizyah setiap tahunnya.
yang kedua : dia harus tunduk dengan hukum-hukum islam yaitu menerima akan apa-apa yang mereka dihukumi dengannya dari penunaian haq atau meninggalkan yang dilarang berdasarkan firman Allah Ta'alaa:
"sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka shogir(tunduk)".
(As Syarh Alkabiir,10/587)

Imam AsSyaukaani رحمه الله تعالى :

"ثُبوت الذِّمَّة لهم مشروطٌ بتسليم الجزية، والتزام ما ألزمهم به المسلمون مِن الشروط، فإذا لم يحصُلِ الوفاءُ بما شرط عليهم عادوا إلى ما كانوا عليه من إباحةِ الدماء والأموال، وهذا معلومٌ ليس فيه خلاف، وفي آخر العهد العمري: فإنْ خالفوا شيئًا مما شَرَطوه فلا ذِمَّة لهم، وقد حلَّ للمسلمين منهم ما يحل مِن أهل العِناد والشِّقاق"

 

"Tetapnya dzimmah(jaminan kafir dzimmi) bagi mereka disyaratkan untuk membayar jizyah dan wajib bagi mereka sebagaimana yang wajib bagi kaum muslimin(hukum islam), maka apabila tidak ada pelaksanaan dari syarat-syarat yang diwajibkan atas mereka, maka mereka kembali menjadigoogle  keadaan sebelumnya dari dihalalkannya darah dan harta mereka,dan ini perkara yang telah diketahui dan tidak ada khilafiyah padanya".
(Sailul Jaraar, 1/975, cetakan Ad Daar Ibnu Hazm)

Saturday, February 10, 2018

JENIS TALAK

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 
“فصل”
والطلاق ضربان صريح وكناية فالصريح ثلاثة ألفاظ الطلاق والفراق والسراح ولا يفتقر صريح الطلاق إلى النية والكناية كل لفظ احتمل الطلاق وغيره ويفتقر إلى النية والنساء فيه ضربان ضرب في طلاقهن سنة وبدعة وهن ذوات الحيض فالسنة أن يوقع الطلاق في طهر غير مجامع فيه والبدعة أن يوقع الطلاق في الحيض أو في طهر جامعها فيه وضرب ليس في طلاقهن سنة ولا بدعة وهن أربع الصغيرة والآيسة والحامل والمختلعة التي لم يدخل بها.

“Fasal”
Dan perceraian itu ada dua jenis: Jelas dan Sindiran. Talak Jelas itu ada tiga kata: cerai dan pemisah dan bebas. Talak Yang Jelas tidak membutuhkan niat, sedang talak kinayah yaitu semua lafat yang memuat talak dan kinayah itu membutuhkn niyat. Dan dalam urusa talak, perempuan itu ada macam : 1. Tidak haram: 2. Haram yaitu perempuan yang dalam keadaan haid. Sedang perempuan yang dicerai mendapat hokum tidak haram yaitu menjatuhkan talak dalam keadaan suci dan belum kikumpuli. Sedangkan talak yang mendapat hokum haram yaitu menjatuhkan talak dalamwaktu haid atau dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri, perempuan yang telah luas, hamil, perempuan yang dikhuluk tidak dicampurinya.


Talak (Perceraian)
Sebagaimana telah kita pahami dari keterangan yang telah lalu, bahwasanya Islam sangat menginginkan terwujudnya keluarga muslim yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan dan kita juga telah mengerti beberapa tindakan solusi yang telah diajarkan Islam dalam rangka menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara suami dan isteri.
Akan tetapi bisa jadi usaha untuk menyelesaikan perselisihan tersebut tidak berhasil dikarenakan persengketaan dan permusuhan antara keduanya sudah terlampau panas. Dalam keadaan seperti ini seseorang dituntut untuk menggunakan tindakan lain yang lebih kuat, yaitu talak.
Orang yang memperhatikan hukum-hukum yang berhubungan dengan talak, ia akan paham bahwa sebenarnya Islam sangatlah menginginkan terjaganya keutuhan rumah tangga dan keabadian jalinan kasih antara suami isteri. Sebagai bukti akan hal itu, bahwa Islam tidak menjadikan talak hanya satu kali, di mana tatkala perceraian telah dilakukan, maka tidak ada lagi hubungan antara suami isteri serta tidak boleh bagi keduanya untuk menyambung kembali. Akan tetapi dalam syari’at dibolehkannya talak, Islam telah menjadikannya lebih dari satu kali. Allah berfirman:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Al-Baqarah: 229]
Jika seorang suami telah menceraikan isterinya dengan talak pertama atau kedua, maka ia tidak berhak mengeluarkan isterinya dari rumah hingga masa ‘iddahnya selesai. Bahkan sang isteri pun tidak berhak untuk keluar rumah. Alasan dari semua itu adalah harapan sirnanya kemarahan yang menyebabkan perceraian dan harapan akan kembalinya keadaan rumah tangga seperti sedia kala.
Hal ini seperti apa yang telah disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” [Ath-Thalaaq: 1]
Yaitu, supaya suami merasa menyesal karena telah menceraikan isterinya dan kemudian Allah meluluhkan hatinya agar rujuk kembali. Sesungguhnya yang demikian itu akan mudah.
Pembagian Talak
Pertama: Dari segi bahasa.
Dari segi bahasa talak dibagi menjadi dua, yaitu: Sharih dan Kinayah (kiasan)
Sharih yaitu suatu kalimat yang langsung dapat difahami tatkala diucapkan dan tidak mengandung makna lain, seperti, Anti Thaaliq atau Muthallaqah (engkau adalah wanita yang tertalak). Demikian juga setiap pecahan kata dari lafazh ath-Thalaq.
Seorang suami yang mengatakan kalimat tersebut kepada isterinya, maka jatuhlah talak atasnya meskipun dalam keadaan bercanda atau tanpa niat. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ، وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ، وَالرَّجْعَةُ.

“Tiga hal yang bila dikatakan dengan sungguh-sungguh akan jadi dan bila dikatakan dengan main-main akan jadi pula, yaitu nikah, talak dan rujuk.” [1]
Sedangkan Kinayah, yaitu kata yang mengandung makna talak dan selainnya, seperti perkataan: Alhiqi bi ahliki (kembalilah kepada keluargamu), dan yang semisalnya.
Jika suami mengatakan kalimat tersebut tidaklah jatuh talak kecuali jika disertai dengan niat, artinya jika ia berniat talak, maka jatuhlah talak tersebut dan jika tidak, maka tidak jatuh talak.
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhu:
أَنَّ ابْنَةَ الْجَوْنِ لَمَّا أُدْخِلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَنَا مِنْهَا قَالَتْ: أَعُوذُ بِاللهِ مِنْكَ، فَقَالَ لَهَا: لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيمٍ اِلْحَقِي بِأَهْلِكِ.
“Bahwa tatkala puteri al-Jaun dimasukkan ke kamar (pengantin) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mendekatinya, ia berkata, ‘Aku berlindung kepada Allah darimu.’ Maka beliau bersabda, ‘Sungguh engkau telah berlindung kepada Yang Mahaagung, kembalilah kepada keluargamu.’” [2]
Dari riwayat Ka’ab bin Malik tatkala ia bersama dua Sahabat yang lain diboikot oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak mengikuti perang Tabuk bersama beliau, bahwa Rasulullah mengutus seseorang untuk mengabarkan:

أََنِ اعْتَزِلِ امْرَأَتَكَ. فَقَالَ: أُطَلِّقُهَا أَمْ مَاذَا أَفْعَلُ؟ قَالَ: بَلِ اعْتَزِلْهَا فَلاَ تَقَرَّبَنَّهَا فَقَالَ: ِلإِمْرَأَتِهِ: اِلْحَقِيْ بِأَهْلِكِ.

“Bahwasanya beliau menyuruhmu untuk menjauhi isterimu.” Ka’ab bertanya, “Aku ceraikan atau apa yang aku lakukan?” Orang itu menjawab, “Jauhi saja dan jangan sekali-kali kau dekati.” Maka kemudian Ka’ab bin Malik berkata kepada isterinya, “Kembalilah kepada keluarga-mu.” [3]
Kedua: Dari segi Ta’liq dan Tanjiz :
Bentuk kata talak ada dua yaitu: Munjazah (langsung) dan Mu’allaqah (menggantung)
Munjazah, yaitu suatu kalimat diniatkan jatuhnya talak oleh orang yang mengatakannya saat itu juga, seperti jika seorang suami berkata kepada isterinya: Anti Thaaliq (engkau adalah perempuan yang di talak) talak ini jatuh saat itu juga.
Adapun Mu’allaq yaitu suatu kalimat talak yang dilontarkan oleh suami kepada isterinya yang diiringi dengan sya-rat, seperti jika ia berkata kepada isterinya, “Apabila engkau pergi ke tempat itu, maka engkau tertalak.”
Hukum perkataan yang demikian, jika ia benar-benar menginginkan talak tatkala syarat tersebut dilakukan, maka hukumnya seperti apa yang ia inginkan. Adapun jika ia hanya bermaksud untuk memperingatkan isteri agar tidak berbuat demikian, maka hukumnya adalah hukum sumpah, yang artinya jika syarat yang disebutkan tidak dilakukan, ia tidak dibebani apa-apa, namun jika sebaliknya, maka ia harus mem-bayar kafarat karena sumpahnya (ini adalah madzhab Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- sebagaimana disebutkan dalam Majmuu’ al-Fataawaa (XXXIII/44-46, 58-60, 64-66)
Ketiga: Dari segi Sunnah dan Bid’ah
Dari segi ini talak dibagi menjadi dua, yaitu: Talak yang Sunnah dan talak yang bid’ah.
Talak Sunnah yaitu seorang suami mentalak isterinya yang telah dicampuri dengan satu talak, dalam keadaan suci dan pada masa itu ia tidak mencampurinya.
Allah Ta’ala berfirman :

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Al-Baqarah: 229]

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” [Ath-Thalaaq: 1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma mentalak isterinya yang sedang dalam keadaan haidh, kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menanyakan tentang hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ.
“Perintahkan agar ia kembali kepadanya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh menahannya terus menjadi isterinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa ‘iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan isteri.”
Adapun Talak yang bid’ah, yaitu talak yang menyelisihi syari’at, seperti seorang suami mentalak isterinya dalam keadaan haidh atau dalam masa suci setelah ia mencampurinya, atau seorang suami melontarkan tiga talak sekaligus dengan satu lafazh atau dalam satu majelis, seperti perkataan suami, “Engkau saya talak dengan talak tiga”, atau ucapannya, “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak.”
Hukum talak semacam ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa.
Apabila suami mentalak isterinya dalam keadaan haidh, maka jatuh hukum talak, jika talak raj’i, maka ia disuruh untuk merujuknya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh menahannya terus menjadi isterinya atau menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya, sebagaimana perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ibnu ‘Umar.
Adapun dalil jatuhnya hukum talak dalam kasus seperti ini adalah hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Dihukumi atasku satu talak.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata dalam kitab Fathul Baari, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah yang menyuruh Ibnu ‘Umar agar rujuk dan beliaulah yang menuntun Ibnu ‘Umar apa yang harus ia lakukan jika ingin menceraikannya setelah itu. Dan jika Ibnu ‘Umar mengatakan bahwasanya pada saat itu ia telah dihukumi satu talak, maka kemungkinan yang telah menentukan hukum itu adalah selain Rasulullah sangatlah jauh sekali, karena adanya indikasi yang mendukung dalam kisah ini. Bagaimana mungkin kita akan beranggapan bahwasanya Ibnu ‘Umar mengatakan hal itu dari pendapatnya belaka, sedangkan ia juga telah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah kepadanya karena apa yang telah diperbuatnya? Bagaimana mungkin ia tidak bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang akan ia lakukan?”
Al-Hafizh berkata lagi, “Ibnu Wahb dalam musnadnya telah meriwayatkan dari Ibnu Abi Dzi’b bahwa Nafi’ telah mengabarkan kepadanya bahwasanya Ibnu ‘Umar menceraikan isterinya dalam keadaan haidh, lalu ‘Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ.

‘Perintahkan agar ia kembali kepadanya, kemudian menahannya hingga masa suci.’
Tentang hadits ini Ibnu Abi Dzi’b berkata, Yaitu satu talak. Ibnu Abi Dzi’b berkata, Handzalah bin Abi Sufyan berkata kepadaku bahwa ia telah mendengar Salim menceritakan cerita tersebut dari ayahnya.
Al-Hafizh berkata lagi, ad-Daruqutni telah mengeluarkan dari jalan Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Ishaq yang keduanya telah mendengar dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

وَهِيَ وَاحِدَةٌ.

“Yaitu satu talak.”
Talak Tiga
Adapun jika seorang suami mentalak isterinya dengan talak tiga dengan satu lafazh atau satu majelis, maka dihukumi sebagai talak satu, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan beberapa tahun dari khilafah-nya ‘Umar, bahwa hukum talak tiga yang diucapkan dengan satu talak adalah dihukumi satu talak. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya sebagian orang telah terburu-buru dalam melaksanakan suatu perkara yang sebenarnya mereka harus berhati-hati dalam urusan ini, maka sekiranya kita berlakukan bagi mereka (bahwa talak tiga dengan satu lafazh dihukumi sebagai talak tiga)?, maka talak tersebut menetapkan hukum tersebut bagi mereka.
Pendapat tersebut adalah ijtihad dari ‘Umar Radhiyallahu anhu yang tujuannya adalah untuk tercapainya suatu kemashlahatan dan tidak boleh meninggalkan apa yang telah difatwakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dilakukan pada zaman para Sahabat hingga zaman kekhilafahannya.
Keempat : Dari segi rujuk dan tidaknya.
Talak ada dua macam yaitu: Raj’i dan Ba-in. Sedangkan talak ba’in juga dibagi menjadi dua pula, yaitu: sughra dan kubra.
Talak raj’i adalah mentalak isteri yang sudah dicampuri tanpa adanya tebusan harta (dari pihak isteri) dan belum didahului dengan talak sebelumnya sama sekali atau baru didahului dengan talak satu kali.
Allah Ta’ala berfirman:

الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” [Al-Baqarah: 229]
Seorang wanita yang ditalak raj’i, maka statusnya masih sebagai isteri selama masih dalam ‘iddahnya dan suami berhak untuk rujuk kapan saja ia berkehendak selama masih dalam masa ‘iddah, dan tidak disyaratkan keridhaan isteri atau izin dari walinya. Allah Ta’ala berfirman:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” [Al-Baqarah: 228]