Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-40. Hadits ke-40 ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).
Karena redaksinya menjelaskan sejarah perpindahan kiblat serta memasukkan amal ke dalam iman, pembahasan hadits ke-40 ini kita beri judul: "Nuansa Iman dalam Sejarah Perpindahan Kiblat"
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-40:
عَنِ الْبَرَاءِ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ أَوَّلَ مَا قَدِمَ الْمَدِينَةَ نَزَلَ عَلَى أَجْدَادِهِ - أَوْ قَالَ أَخْوَالِهِ - مِنَ الأَنْصَارِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا ، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا ، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلاَّهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ ، وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قِبَلَ مَكَّةَ ، فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ ، وَكَانَتِ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ، وَأَهْلُ الْكِتَابِ ، فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ أَنْكَرُوا ذَلِكَ . قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ فِى حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا ، فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
Dari Barra' bahwa Rasulullah SAW pertama kali datang ke Madinah tinggal di rumah kakek atau paman-paman beliau dari kalangan Ansar. Ketika itu Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis (Al Quds atau Yerusalem) antara 16 atau 17 bulan lamanya. Sesungguhnya Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka'bah) sebagai kiblatnya. Rasulullah SAW pertama kali melaksanakan shalat dengan menghadap Ka'bah adalah shalat Asar yang dilaksanakannya secara berjamaah. Kemudian salah seorang yang selesai bermakmum kepada Nabi keluar dan pergi melewati sebuah masjid pada saat jamaahnya sedang ruku' menghadap Baitul Maqdis. Lantas orang itu berkata, "Demi Allah, baru saja saya shalat bersama Rasulullah SAW menghadap ke Baitullah di Makkah." Maka dengan segera mereka mengubah kiblat menghadap ke Baitullah. Orang Yahudi dan ahli kitab mulanya sangat bangga ketika Nabi dan para pengikutnya shalat menghadap Baitul Maqdis. Tetapi setelah umat Islam beralih ke Baitullah mereka mencela perubahan itu. Zuhair berkata, Abu Ishaq mengatakan dari Barra' dalam hadits ini, bahwa banyak orang yang telah meninggal di masa kiblat masih ke Baitul Maqdis dan banyak juga yang terbunuh setelah kiblat menghadap ke Baitullah. Kami tidak mengerti bagaimana hukumnya shalat itu. Lalu turunlah ayat, "Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu."(QS. Al Baqarah : 143)
Penjelasan Hadits
Sebutan kakek atau paman adalah bahasa kiasan (majaz) untuk menunjukkan hubungan kekerabatan Rasulullah dengan kaum Ansar. Di mana ibu dari kakek Rasulullah (Abdul Muthalib) adalah Salma binti Amru yang berasal dari Bani Adi bin Najjar, Yatsrib, yang kini menjadi kaum Ansar. Saat pertama-tama di Madinah, Rasulullah tinggal di Bani Malik bin Najjar.
وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا ، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ
Ketika itu Rasulullah shalat menghadap Baitul
Maqdis (Al Quds atau Yerusalem) antara 16 atau 17 bulan lamanya.
Sesungguhnya Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka'bah) sebagai kiblatnya.
Ketika di Makkah pun sebenarnya kiblat menghadap ke Baitul Maqdis. Hanya saja di sana bisa 'disiasati' dengan mengambil tempat shalat di antara dua sudut Ka'bah sehingga Ka'bah berada di antara diri beliau dan Baitul Maqdis. Dengan demikian beliau shalat sekaligus menghadap Ka'bah dan Baitul Maqdis.
Setelah hijrah ke Madinah, hal itu tidak mungkin dilakukan. Maka selama 16 atau 17 bulan beliau menghadap ke Baitul Maqdis, meski Rasulullah lebih suka menghadap Ka'bah. Tapi inilah ibadah, dan inilah contoh ketundukan Rasulullah kepada perintah Allah. Ibadah harus sesuai dengan perintah Allah, dan ibadah tak bisa dikalahkan oleh perasaan.
Munculnya angka 16 bulan atau 17 bulan ini adalah keraguan riwayat Zuhair dalam Shahih Bukhari ini. Hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dasar perhitungan. Dihitung 16 bulan jika dimulai dari bulan kedatangan Rasulullah hingga perpindahan kiblat. Sedangkan 17 bulan jika memasukkan seluruh bulan dalam rentang itu, sebab keduanya terjadi pada pertengahan bulan. Rasulullah tiba di Madinah pada 12 Rabiul Awal, sedangkan perpindahan kiblat ini terjadi pada pertengahan Rajab tahun kedua hijrah.
وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلاَّهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ ، وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قِبَلَ مَكَّةَ ، فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ
Rasulullah SAW pertama kali melaksanakan shalat
dengan menghadap Ka'bah adalah shalat Asar yang dilaksanakannya secara
berjamaah. Kemudian salah seorang yang selesai bermakmum kepada Nabi
keluar dan pergi melewati sebuah masjid pada saat jamaahnya sedang ruku'
menghadap Baitul Maqdis. Lantas orang itu berkata, "Demi Allah, baru
saja saya shalat bersama Rasulullah SAW menghadap ke Baitullah di
Makkah." Maka dengan segera mereka mengubah kiblat menghadap ke
Baitullah.
Inilah sejarah perpindahan kiblat. Ia dimulai pada shalat Asar di hari itu, pertengahan Rajab tahun 2 H. Itulah untuk pertama kalinya di Masjid Nabawi, shalat berjamaah menghadap Ka'bah. Dan seperti turunnya perintah lain melalui wahyu, para sahabat segera menyebarkannya agar bisa diketahui dan dilaksanakan kaum muslimin dengan segera.
Seseorang yang disebutkan dalam hadits ini, yang segera mengumumkan kepada jama'ah shalat di tempat lain adalah Abbad bin Bisyr. Jama'ah shalat Asar yang ditemui Abbad dalam hadits ini adalah Bani Salamah. Dan subhaanallah, mereka pun langsung mengubah arah kiblatnya, meskipun saat itu dalam kondisi ruku'. Masjid inilah yang kini disebut dengan Masjid Qiblatain (Masjid dengan dua kiblat), karena saat itu para sahabat shalat Asar menghadap baitul maqdis kemudian mengubah arah kiblatnya menghadap ke Ka'bah.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa sahabat Nabi itu memiliki sifat adil, sehingga hadits yang dibawanya harus dipercayai, apalagi ketika ia menguatkan ucapannya dengan sumpah. Ini yang membedakan ahlus sunnah dengan syi'ah. Ahlus sunnah meyakini semua sahabat itu adil (haditsnya bisa diterima).
Hadits ini sekaligus menunjukkan karakter sahabat yang bersegera dalam beramal. Mereka memiliki ruhul istijabah yang luar biasa. Menyambut Al-Qur'an sebagaimana prajurit menyambut instruksi komandan; dinantikan, begitu datang perintah langsung dilaksanakan. Sahabat bukan generasi yang banyak bicara. Sahabat bukan generasi yang banyak berwacana. Mereka adalah generasi beramal (qaumun 'amaliyun). Dalam terminologi Sayyid Qutb, mereka adalah generasi Qur'ani yang unik (jailul Qur'anil farid).
َكَانَتِ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ، وَأَهْلُ الْكِتَابِ ، فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ أَنْكَرُوا ذَلِكَ
Orang Yahudi dan ahli kitab mulanya sangat bangga
ketika Nabi dan para pengikutnya shalat menghadap Baitul Maqdis. Tetapi
setelah umat Islam beralih ke Baitullah mereka mencela perubahan itu.
Inilah kondisi ahlul kitab, terutama Yahudi. Mulanya mereka membanggakan diri karena kaum Muslimin satu kiblat dengan mereka. Mereka merasa bangga, merasa besar, merasa dicontoh. Namun begitu Allah mengubah kiblat kaum Muslimin, perasaan itu dengan serta merta berganti dongkol dan benci. Perasaan itu pun meluap ke lisan berbentuk celaan dan caci maki.
قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ فِى حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا ، فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
Zuhair berkata, Abu Ishaq mengatakan dari Barra'
dalam hadits ini, bahwa banyak orang yang telah meninggal di masa kiblat
masih ke Baitul Maqdis dan banyak juga yang terbunuh setelah kiblat
menghadap ke Baitullah. Kami tidak mengerti bagaimana hukumnya shalat
itu. Lalu turunlah ayat, "Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu."(QS.
Al Baqarah : 143)
Di sinilah kandungan bab Iman dalam hadits ini. Para sahabat bertanya-tanya tentang shalat mereka yang meninggal sebelum perpindahan kiblat. Bagaimana hukumnya? Yang mereka maksud terutama adalah sepuluh Muslim yang meninggal sebelum perpindahan kiblat. Yakni Abdullah bin Syihab, Muthalib bin Azhar, Sakran bin Amru yang ketiganya dari kalangan Quraisy. Yang meninggal di Habasyah adalah Huthab bin Harits, Amru bin Umayyah, Abdullah bin Harits, Urwah bin Abdul Izzi, dan Adi bin Nadhlah. Sedangkan dari kalangan Ansar adalah Barra' bin Ma'rur dan As'ad bin Zurarah.
Menjawab pertanyaan itu, Allah SWT menurunkan firmanNya dalam QS. Al Baqarah ayat 143: وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ (Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu). Di sini Allah menggunakan kata "iman" untuk menjawab pertanyaan "shalat." Ini menjadi dalil bahwa amal (termasuk shalat) adalah bagian dari iman. Ini berbeda dengan pandangan kelompok Murji'ah yang mengingkari bahwa amal dalam agama adalah iman.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Rasulullah memiliki hubungan kekerabatan dengan kaum Ansar, yakni dari ibu kakek beliau;
2. Selama di Madinah, Rasulullah menghadap kiblat Baitul Maqdis selama 16-17 bulan lamanya, sebelum Allah memindahkan kiblat ke Baitullah Makkah;
3. Hadits ini menunjukkan keutamaan Rasulullah, di mana Allah kemudian memindahkan kiblat ke arah Ka'bah, sejalan dengan keinginan Rasulullah;
4. Para sahabat adalah generasi yang bersegera dalam beramal dan seperti itulah seharusnya kaum muslimin;
5. Para sahabat adalah orang yang adil, haditsnya diterima walaupun ia seorang diri (ahad);
6. Hadits ini menunjukkan bahwa amal adalah termasuk iman, ini sekaligus menjadi bantahan bagi kelompok murji'ah yang berpandangan sebaliknya;
7. Kaum Yahudi memiliki kebencian terhadap Islam, terutama ketika umat Islam teguh memegang agamanya.
Demikian hadits ke-40 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga bersegera dalam beramal sebagaimana karakteristik sahabat yang tercermin dalam hadits ini. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Karena redaksinya menjelaskan sejarah perpindahan kiblat serta memasukkan amal ke dalam iman, pembahasan hadits ke-40 ini kita beri judul: "Nuansa Iman dalam Sejarah Perpindahan Kiblat"
Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-40:
عَنِ الْبَرَاءِ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ أَوَّلَ مَا قَدِمَ الْمَدِينَةَ نَزَلَ عَلَى أَجْدَادِهِ - أَوْ قَالَ أَخْوَالِهِ - مِنَ الأَنْصَارِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا ، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا ، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلاَّهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ ، وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قِبَلَ مَكَّةَ ، فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ ، وَكَانَتِ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ، وَأَهْلُ الْكِتَابِ ، فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ أَنْكَرُوا ذَلِكَ . قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ فِى حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا ، فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
Dari Barra' bahwa Rasulullah SAW pertama kali datang ke Madinah tinggal di rumah kakek atau paman-paman beliau dari kalangan Ansar. Ketika itu Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis (Al Quds atau Yerusalem) antara 16 atau 17 bulan lamanya. Sesungguhnya Rasulullah lebih suka Baitullah (Ka'bah) sebagai kiblatnya. Rasulullah SAW pertama kali melaksanakan shalat dengan menghadap Ka'bah adalah shalat Asar yang dilaksanakannya secara berjamaah. Kemudian salah seorang yang selesai bermakmum kepada Nabi keluar dan pergi melewati sebuah masjid pada saat jamaahnya sedang ruku' menghadap Baitul Maqdis. Lantas orang itu berkata, "Demi Allah, baru saja saya shalat bersama Rasulullah SAW menghadap ke Baitullah di Makkah." Maka dengan segera mereka mengubah kiblat menghadap ke Baitullah. Orang Yahudi dan ahli kitab mulanya sangat bangga ketika Nabi dan para pengikutnya shalat menghadap Baitul Maqdis. Tetapi setelah umat Islam beralih ke Baitullah mereka mencela perubahan itu. Zuhair berkata, Abu Ishaq mengatakan dari Barra' dalam hadits ini, bahwa banyak orang yang telah meninggal di masa kiblat masih ke Baitul Maqdis dan banyak juga yang terbunuh setelah kiblat menghadap ke Baitullah. Kami tidak mengerti bagaimana hukumnya shalat itu. Lalu turunlah ayat, "Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu."(QS. Al Baqarah : 143)
Penjelasan Hadits
Sebutan kakek atau paman adalah bahasa kiasan (majaz) untuk menunjukkan hubungan kekerabatan Rasulullah dengan kaum Ansar. Di mana ibu dari kakek Rasulullah (Abdul Muthalib) adalah Salma binti Amru yang berasal dari Bani Adi bin Najjar, Yatsrib, yang kini menjadi kaum Ansar. Saat pertama-tama di Madinah, Rasulullah tinggal di Bani Malik bin Najjar.
وَأَنَّهُ صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا ، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ الْبَيْتِ
Ketika di Makkah pun sebenarnya kiblat menghadap ke Baitul Maqdis. Hanya saja di sana bisa 'disiasati' dengan mengambil tempat shalat di antara dua sudut Ka'bah sehingga Ka'bah berada di antara diri beliau dan Baitul Maqdis. Dengan demikian beliau shalat sekaligus menghadap Ka'bah dan Baitul Maqdis.
Setelah hijrah ke Madinah, hal itu tidak mungkin dilakukan. Maka selama 16 atau 17 bulan beliau menghadap ke Baitul Maqdis, meski Rasulullah lebih suka menghadap Ka'bah. Tapi inilah ibadah, dan inilah contoh ketundukan Rasulullah kepada perintah Allah. Ibadah harus sesuai dengan perintah Allah, dan ibadah tak bisa dikalahkan oleh perasaan.
Munculnya angka 16 bulan atau 17 bulan ini adalah keraguan riwayat Zuhair dalam Shahih Bukhari ini. Hal itu disebabkan karena adanya perbedaan dasar perhitungan. Dihitung 16 bulan jika dimulai dari bulan kedatangan Rasulullah hingga perpindahan kiblat. Sedangkan 17 bulan jika memasukkan seluruh bulan dalam rentang itu, sebab keduanya terjadi pada pertengahan bulan. Rasulullah tiba di Madinah pada 12 Rabiul Awal, sedangkan perpindahan kiblat ini terjadi pada pertengahan Rajab tahun kedua hijrah.
وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلاَّهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ ، فَخَرَجَ رَجُلٌ مِمَّنْ صَلَّى مَعَهُ ، فَمَرَّ عَلَى أَهْلِ مَسْجِدٍ ، وَهُمْ رَاكِعُونَ فَقَالَ أَشْهَدُ بِاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قِبَلَ مَكَّةَ ، فَدَارُوا كَمَا هُمْ قِبَلَ الْبَيْتِ
Inilah sejarah perpindahan kiblat. Ia dimulai pada shalat Asar di hari itu, pertengahan Rajab tahun 2 H. Itulah untuk pertama kalinya di Masjid Nabawi, shalat berjamaah menghadap Ka'bah. Dan seperti turunnya perintah lain melalui wahyu, para sahabat segera menyebarkannya agar bisa diketahui dan dilaksanakan kaum muslimin dengan segera.
Seseorang yang disebutkan dalam hadits ini, yang segera mengumumkan kepada jama'ah shalat di tempat lain adalah Abbad bin Bisyr. Jama'ah shalat Asar yang ditemui Abbad dalam hadits ini adalah Bani Salamah. Dan subhaanallah, mereka pun langsung mengubah arah kiblatnya, meskipun saat itu dalam kondisi ruku'. Masjid inilah yang kini disebut dengan Masjid Qiblatain (Masjid dengan dua kiblat), karena saat itu para sahabat shalat Asar menghadap baitul maqdis kemudian mengubah arah kiblatnya menghadap ke Ka'bah.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa sahabat Nabi itu memiliki sifat adil, sehingga hadits yang dibawanya harus dipercayai, apalagi ketika ia menguatkan ucapannya dengan sumpah. Ini yang membedakan ahlus sunnah dengan syi'ah. Ahlus sunnah meyakini semua sahabat itu adil (haditsnya bisa diterima).
Hadits ini sekaligus menunjukkan karakter sahabat yang bersegera dalam beramal. Mereka memiliki ruhul istijabah yang luar biasa. Menyambut Al-Qur'an sebagaimana prajurit menyambut instruksi komandan; dinantikan, begitu datang perintah langsung dilaksanakan. Sahabat bukan generasi yang banyak bicara. Sahabat bukan generasi yang banyak berwacana. Mereka adalah generasi beramal (qaumun 'amaliyun). Dalam terminologi Sayyid Qutb, mereka adalah generasi Qur'ani yang unik (jailul Qur'anil farid).
َكَانَتِ الْيَهُودُ قَدْ أَعْجَبَهُمْ إِذْ كَانَ يُصَلِّى قِبَلَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ ، وَأَهْلُ الْكِتَابِ ، فَلَمَّا وَلَّى وَجْهَهُ قِبَلَ الْبَيْتِ أَنْكَرُوا ذَلِكَ
Inilah kondisi ahlul kitab, terutama Yahudi. Mulanya mereka membanggakan diri karena kaum Muslimin satu kiblat dengan mereka. Mereka merasa bangga, merasa besar, merasa dicontoh. Namun begitu Allah mengubah kiblat kaum Muslimin, perasaan itu dengan serta merta berganti dongkol dan benci. Perasaan itu pun meluap ke lisan berbentuk celaan dan caci maki.
قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ فِى حَدِيثِهِ هَذَا أَنَّهُ مَاتَ عَلَى الْقِبْلَةِ قَبْلَ أَنْ تُحَوَّلَ رِجَالٌ وَقُتِلُوا ، فَلَمْ نَدْرِ مَا نَقُولُ فِيهِمْ ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ
Di sinilah kandungan bab Iman dalam hadits ini. Para sahabat bertanya-tanya tentang shalat mereka yang meninggal sebelum perpindahan kiblat. Bagaimana hukumnya? Yang mereka maksud terutama adalah sepuluh Muslim yang meninggal sebelum perpindahan kiblat. Yakni Abdullah bin Syihab, Muthalib bin Azhar, Sakran bin Amru yang ketiganya dari kalangan Quraisy. Yang meninggal di Habasyah adalah Huthab bin Harits, Amru bin Umayyah, Abdullah bin Harits, Urwah bin Abdul Izzi, dan Adi bin Nadhlah. Sedangkan dari kalangan Ansar adalah Barra' bin Ma'rur dan As'ad bin Zurarah.
Menjawab pertanyaan itu, Allah SWT menurunkan firmanNya dalam QS. Al Baqarah ayat 143: وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ (Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu). Di sini Allah menggunakan kata "iman" untuk menjawab pertanyaan "shalat." Ini menjadi dalil bahwa amal (termasuk shalat) adalah bagian dari iman. Ini berbeda dengan pandangan kelompok Murji'ah yang mengingkari bahwa amal dalam agama adalah iman.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Rasulullah memiliki hubungan kekerabatan dengan kaum Ansar, yakni dari ibu kakek beliau;
2. Selama di Madinah, Rasulullah menghadap kiblat Baitul Maqdis selama 16-17 bulan lamanya, sebelum Allah memindahkan kiblat ke Baitullah Makkah;
3. Hadits ini menunjukkan keutamaan Rasulullah, di mana Allah kemudian memindahkan kiblat ke arah Ka'bah, sejalan dengan keinginan Rasulullah;
4. Para sahabat adalah generasi yang bersegera dalam beramal dan seperti itulah seharusnya kaum muslimin;
5. Para sahabat adalah orang yang adil, haditsnya diterima walaupun ia seorang diri (ahad);
6. Hadits ini menunjukkan bahwa amal adalah termasuk iman, ini sekaligus menjadi bantahan bagi kelompok murji'ah yang berpandangan sebaliknya;
7. Kaum Yahudi memiliki kebencian terhadap Islam, terutama ketika umat Islam teguh memegang agamanya.
Demikian hadits ke-40 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga bersegera dalam beramal sebagaimana karakteristik sahabat yang tercermin dalam hadits ini. Wallaahu a'lam bish shawab.[]
No comments:
Post a Comment