Sewa-menyewa
Barang sewaan
Menyewa buruh untuk suatu pekerjaan yang akan datang: 28:27
Masa sewa
Pembatasan masa sewa: 28:27
Dibolehkannya sewa menyewa: 18:94, 28:27
Hutang-pinjaman
Memberi tempo untuk orang yang susah: 2:280
Penghapusan hutang: 2:280
Hilangnya orang yang belum mebayar hutang: 42:41
Hutang si mayit: 4:11, 4:12
Berhutang untuk jangka waktu terbatas: 2:282
Pencatatan hutang: 2:282, 2:283
Akuntansi: 24:33
Ø MUDHARABAH ATAU QIRADH
Barang sewaan
Menyewa buruh untuk suatu pekerjaan yang akan datang: 28:27
Masa sewa
Pembatasan masa sewa: 28:27
Dibolehkannya sewa menyewa: 18:94, 28:27
Hutang-pinjaman
Memberi tempo untuk orang yang susah: 2:280
Penghapusan hutang: 2:280
Hilangnya orang yang belum mebayar hutang: 42:41
Hutang si mayit: 4:11, 4:12
Berhutang untuk jangka waktu terbatas: 2:282
Pencatatan hutang: 2:282, 2:283
Akuntansi: 24:33
Ø MUDHARABAH ATAU QIRADH
I.
PENGERTIAN MUDHARABAH
Mudharabah berasal dari kata al-dharb,
yang berarti secara harfiah adalah bepergian atau berjalan sebagaimana firman
Allah:
واخرون يضربون فى الارض يبتعون من فضل الله
“Dan yang lainnya, bepergian di muka bumi mencari karunia Allah. (Al
Muzamil: 20)”.
Selain al-dharb,
disebut juga qiradh yang
berasal dari al-qardhu,
berarti al-qath’u
(potongan). Karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk
diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.
Menurut istilah, mudharabah
atau qiradh adalah aqad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal
tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai
jumlah kesepakatan.
II.
HUKUM MUDHARABAH
Aqad mudharabah dibenarkan
dalam Islam, karena bertujuan selain membantu antara pemilik modal orang yang
memutarkan uang. Sebagai landasannya adalah firman Allah:
ليس عليكم جناح أن تبغوافضلا من ربكم….
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu….” (Al Baqarah: 198).
Melakukan mudharabah atau
qiradh adalah boleh
(mubah). Dasar hukumnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majjah dari Shuhaib r.a. Rasulullah saw bersabda:
ثلاث فيهن البركة البيع إلى اجل والمقارضة وخلط البر باالشعير للبيت ولا للبيع
“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi
modal dari mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga bukan untuk dijual.”
III.
RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH
Menurut ulama Syafi’iyah, rukun-rukun mudharabah
ada 6, yaitu:
1. Pemilik
barang yang menyerahkan barang-barangnya
2. Orang
yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang
3. Aqad
mudharabah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang
4. Harta
pokok/modal
5. Pekerjaan
pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba
6. Keuntungan.
Syarat sah mudharabah berhubungan dengan
rukun mudharabah itu sendiri.
Syarat sah mudharabah antara
lain:
1. Modal/barang
yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk
emas/perak batangan (tabar), emas hiasan/barang dagang lainnya, mudharabah
tersebut batal.
2. Bagi
yang melakukan aqad disyaratkan mampu melakukan tasharuf. Maka dibatalkan aqad anak-anak yang
masih kecil, orang gila
3. Modal
harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan
dengan laba
4. Keuntungan
yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas presentasinya
5. Melafadzkan
ijab dari pemilik modal
6. Mudharabah
bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang
di Negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu pada waktu-waktu
tertentu.
IV.
MENGAKHIRI MUDHARABAH
Aqad mudharabah dinyatakan batal/berakhir
apabila:
1.
Masing-masing
pihak menyatakan bahwa aqad itu batal
2.
Salah
seorang yang berakad gila
3.
Pemilik
modal murtad (keluar dari agama Islam)
4.
Modal
telah habis terlebih dahulu sebelum dikelola pelaksana.
Bentuk-Bentuk Pemberian Kepercayaan dalam
Muamalah
I.
HIWALAH
ü Pengertian
Hiwalah
Menurut bahasa berarti pemindahan, pengalihan atau
pengoperan. Menurut istilah berarti pengalihan hutang dari orang yang
berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.
Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah
adalah memidahkan tagihan
dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab
pula. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah
adalah Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban
orang lain.
ü Dasar
Hukum Hiwalah
Pelaksanaan Al Hiwalah dibenarkan dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah
SAW, (artinya) : ”Orang yang mampu membayar haram atas melalaikan hutangnya.
Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain,
hendaklah diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu membayar”. (HR. Ahmad
dan Baihaqi)
ü Rukun
Hiwalah
a) Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang
menghiwalahkan (memindahkan) utang
b) Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang
dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang kepada muhil)
c) Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu orang yang
menerima hiwalah
d) Ada piutang muhil kepada muhal
e) Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil
f) Ada sighat
hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya,
“Akuhiwalahkan
utangku yang hak bagi engkau kepada fulan”
dan kabuldari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”.
(Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58)
ü Syarat
Hiwalah
a) Ada kerelaan muhil (orag yang berhutang dan
ingin memindahkan hutang)
b) Ada persetujuan dari muhal (orang
yang member hutang)
c) Hutang yang akan dialihkan keadaannya masih
tetap dalam pengakuan
d) Adanya kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih
(orang yang menerima pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya, waktu
penangguhannya dan waktu pembayarannya.Dengan hiwalah hutang muhil bebas.
ü Berakhirnya
Akad Hiwalah
a) Fasakh. apabila akad hiwalah telah fasakh (
batal) , maka hak muhal untuk menuntut utang kembali kepada muhil, pengertian
fasakh dalam istilah fukaha adalah berhentinya akad sebelum tujuana akad
tercapai.
b) Hak muhal ( utang) sulit untuk dapat kembali
karena muhal alaih meninggal dunia, boros, ( safih) atau lainnya, dalam keadaan
semacam ini dalam urusan penyelesaian utang kembalikepada muhil. Pendapat ini
dikemukakan oleh hanafiah, akan tetapi menurut malikiyah, syafi’iah, hanabilah.
Apabila akad hiwalah sudah sempurnadan hak sudah berpindah serta di setujuioleh
muhal maka hak penagihan tidak kembali kepada muhil, baik hak tersebut bisa
dipenuhi atau tidak karena meninggalnya muhal muhal alaih atau boros. Apabila
dalam pemindahan utang tersebut terjadi gharar (penipuan) menurut malikiyah,
hak penagihan utang kembali kepada muhil.
c) Penyerahan harta oleh muhal alaih kepada muhal.
d) Meninggalnya muhal atau muhal alaih mewarisi
harta hiwalah.
e) Muhal menghibahkan hartanya kepada muhal alaih
dan ia menerimanya.
f) Muhal menyerahkan hartanya kepada muhal alaih
dan dia menerimanaya
g) Muhal membebaskan muhal alai
ü Macam-Macam
Hiwalah
a. Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang
berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak
penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang
kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan
B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka
hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah
sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
b. Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil
mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya
hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan
para ulama.
c. Hawalah al haq adalah pemindahan hak atau
piutang dari seorang pemilik piutang lainnya biasanya itu dilakukan bila pihak
pertama mempunyai hutang kepada pihak kedua ia membayar utangnya tersebut
dengan piutannya pada pihak lain. Jika pembayaran barang/ benda, maka
perbuatantersebut dinamakan sebagai hawalah hak. Pemilik piutang dalam hal ini
adalah muhil, karena dia yang memindahkan kepada orang lain untuk memindahkan
haknya
d. Hawalah al dain yaitu lawan dari lawan al haq.
Hawalah ad dain adalah pengalihan utang dari seorang penghutang kepada
penghutang lainnya. Ini dapat dilakukan karena penghutang pertama masih
mempunyai piutang pada penghutangkedua. Muhil dalam hawalah ini adalah orang
yang berutang, karena dia memindahkan kepada orang lain untuk membayar
hutangnya. Hiwalah ini di syariatkanberdasarkan kesepakatan ulama.
II. IJARAH
ü Pengertian
Ijarah
Menurut bahasa berarti balasan, tebusan atau pahala. Menurut
istilah berarti melakukan aqad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari
orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan
dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak
guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu
sendiri.
ü Dasar
Hukum Ijarah
Al- Qur’an
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS.al-Baqarah:233)
Al-Hadits
“Berikanlah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”.(HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah, at-Thabrani dan
Tirmidzi)
ü Rukun
Ijarah
a) Mu’jar (orang/barang
yang disewa)
b) Musta’jir (orang yang
menyewa)
c) Sighat (ijab dan qabul)
d) Upah dan manfaat
ü Syarat
Ijarah
a) Kedua orang yang berakad harus baligh dan
berakal
b) Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad
ijarah
c) Manfaat yang menjadi objek ijarah harus
diketahui secara sempurna
d) Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara
langsung dan tidak bercacat
e) Objek ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh
syara’ dan merupakan sesuatu yang bisa disewakan
f) Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi
penyewa
g) Upah/sewa dalam akad harus jelas, tertentu dan
sesuatu yang bernilai harta.
ü Akhir
Ijarah
a) Menurut ulama hanafiayah, ijarah dipandang
habis dengan meninggalnya salah seorang yang akad, sedangkan ahli waris tidak
memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak
batal tetapi diwariskan
b) Pembatalan akad
c) Terjadi kerusakan pada barang yang disewa, akan
tetapi menurut ulama lainnya kerusakan pada barang sewaan tidak menyebabkan
habisnya ijarah, tetapi harus diganti selagi masih bisa diganti.
d) Habis waktu, kecuali ada uzur.
ü Macam-Macam
Ijarah
Berdasarkan obyeknya, Ijarah terdiri dari:
a) Ijarah dimana obyeknya manfaat dari barang,
seperti sewa mobil, sewa rumah, dsb
b) Ijarah dimana obyeknya adalah manfaat dari
tenaga seorang seperti jasa konsultan, pengacara, buruh, kru, jasa
guru/dosen,dll. Pendapatan yang diterima dari transaksi Ijarah disebut ujrah.
Al-Ujrah ialah imbalan yang diperjanjikan dan dibayar oleh pengguna manfaat
sebagai imbalan atas manfaat yang diterimanya
I II.
ARIYAH
ü Pengertian
Ariyah
Menurut bahasa berarti saling
menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam. Menurut istilah berarti Kebolehan
memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu imbalan.
Menurut
mazhab Hambali ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil
dari pemiliknya atau pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu
masa tertentu atau secara mutlak dengan tanpa imbalan ongkos.
ü Dasar
Hukum Ariyah
a. Al-Qur’an
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah
menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali
kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari
Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
(Q.S Al-Maidah: 2)
Artinya: “orang-orang yang lalai terhadap sholatnya (5), yang
berbuat ria (6) dan enggan (memberikan) bantuan.(7)”
(Q.S Al-Ma’un 5-7)
b. Al-hadist
“Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai
daripada Shafwan bin Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah
perisai ini diambil terus dari padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab: Tidak,
tetapi hanya pinjaman yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)”.
Rasullah SAW bersabda:
والله فىي عون العبد ما
كا ن العبد في عون أخيه
“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya”
(shahih: Shahibul Jami’us Shaghir no: 6577)
والعا رية مؤداة
“Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib
dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)
من أخذ اموال النّاس يريد اداءها ادّى الله عنه ومن اخذ
ير يد إتلافها اتلفه الله
(رواه
البخاري)
“Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya, maka Allah
akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan kemauan melenyapkannya
maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits riwayat Al-Bukhari).
ü Rukun
Ariyah
a) Mu’ir (peminjam)
b) Musta’ir (yang meminjamkan)
c) Mu’ar (barang yang dipinjam)
d) Shigat (ijab dan qabul)
ü Syarat
Ariyah
1. Mu’ir berakal sehat
Orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan
barang. Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya
menambahakan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat
kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak kecil dan bukan orang bodoh.
2. Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang
barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah
3. Barang (mu’ar) dapat dimanfaatkan tanpa
merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.
Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang
yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan
tanah, pakaian,binatang dan lain-lain.
ü Berakhirnya
Akad Ariyah
a. Pemberi pinjaman meminta agar pinjamannya
dikembalikan. Hal ini karena akad peminjaman tidaklah mengikat, sehingga ia
berakhir dengan pembatalan (fasakh).
b. Peminjam mengembalikan barang yang dia pinjam.
c. Salah satu pihak pelaku akad gila atau tidak sadarkan
diri.
d. Kematian salah satu pihak pelaku akad, pemberi
pinjaman atau peminjam.
e. Al- Hajr (pelarangan untuk membelanjakan harta) terhadap salah satu pihak pelaku akad
karenakedunguan (safah).
f. Al- Hajr yang disebabkan kebangkrutan pemberi pinjaman. Hal ini karena dengan
kebangkrutannya, maka dia tidak boleh mengabaikan manfaat dari harta bendanya
dan tidak mengambilnya. Ini adalh untuk kepentingan para pemberi utangnya.
ü Macam-Macam
Ariyah
a) Ariyah muqayyadah,
yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan
tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan jangaka
waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan
tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali
mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang berharta, sehingga
untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat tertentu.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil
manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan
untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk
memanfaatkannya. Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu
meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus
dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil
manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
b) Ariyah mutlaqah, yaitu bentuk pinjam
meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi. Melalui akad ‘ariyah ini,
peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman, meskipun tanpa
ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang
membutuhkan pinjaman, pemilik barang sama sekali tidak memberikan syarat
tertentu terkait obyek yang akan dipinjamkan.
I V.
RAHN
ü Pengertian Rahn
Menurut bahasa berarti tertahan.
Menurut istilah berarti memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang
dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak
sanggup melunasi hutangnya.
ü Dasar Hukum Rahn
Perjanjian gadai dibenarkan oleh
islam, berdasarkan:
a. Al
qur’an surat Al Baqarah ayat: 283
Artinya: jika kamu dalam
perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh penggadai). Akan tetapi jikasebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
maka hendaklah yang dipercayai itu menunaaikan amanatnya (utangnya) dan
hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya.
b. Hadits
yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah, dari Anas r.a,
yang artinya:”Rosulullah merungguhkan baju besi kepada seorang yahudi di
madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang yahudi”.
c. Ijma
ulama atas hukum mubah(boleh) dalam perjanjian gadai
Hal ini menjadikan adanya khilafah pada beberapa
ulama, diantaranya madzhab Dhahiri, Mujahid, Al Dhahak, hanya memperbolehkan
gadai pada saat berpergian saja, berujuk pada surat Al Baqoroh ayat 283.
ü Rukun Rahn
a) Orang
yang menggadai/orang yang menyerahkan barang jaminan(rahin)
b) Orang
yang menerima barang gadai (murtahin)
c) Barang
yang dijadikan jaminan(borg/marhun).
d) Akad(ijab dan qobul)
e) Adanya
hutang yang dimiliki oleh penggadai.
II.3.4. Syarat Rahn
a) Sehat fikirannya
b) Dewasa, baligh
c) Barang yang digadaikan telah
ada di waktu gadai
d) Barang gadai bisa
diserahkan/dipegang oleh penggadai.
ü Berakhirnya Akad Rahn
a) Barang
telah diserahkan kembali pada pemiliknya
b) Rahin(penggadai)membayar
hutangnya
c) Dijual
secara pakasa
Maksudnya, yaitu apabila hutang
telah jatuh tempo danrahin tidak mampu melunasi maka atas permintaan
hakim,rahin bisa menjual borg(barang gadaian).apabila rahin tidak mau menjual
hartanya maka hakim yang menjualnya untuk melunasi utangnya(rahin).dengan telah
di lunasinya hutang tersebut,maka akad gadai telah berakhir.
d) Pembatalan hutang dengan cara
apapun sekalipun
dengan pemindahan oleh murtahin
e) Pembatalan
oleh murtahin,meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
f) Rusaknya
barang gadaian oleh tindakan/penggunaan murtahin.
g) Memanfatkan
barang gadai dengan penyewaan,hibah,atau sedekah,baik dari pihak rahin atau
murtahin
h) Meninggalnya
rahin (menurut
Malikiyah) atau murtahin (menurut Hanafiyah). sedangkan
syafi`iyah dan Hambali,menganggap kematian para pihak tidak mengakhiri akad
rahn
ü Macam-Macam Rahn
a) Rahn
‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)
Merupakan bentuk gadai, dimana
barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya
sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai. Maksudnya
bagaimana ya? Jadi begini:
Tenriagi memiliki hutang kepada
Elda sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas pelunasan hutang tersebut, Tenriagi
menyerahkan BPKB Mobilnya kepada Elda secara Rahn ‘Iqar. Walaupun surat-surat
kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan kepada Elda, namun mobil tersebut
tetap berada di tangan Tenriagi dan dipergunakan olehnya untuk keperluannya
sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil dimaksud.
Konsep ini dalam hukum positif
lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan Secara Fidusia atau penyerahan hak
milik secara kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep Fidusia tersebut,
dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda tersebut, sedangkan
fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat dipergunakan
untuk keperluan sehari-hari.
b) Rahn
Hiyazi
Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang
sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum
positif. Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya menyerahkan hak
kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun dikuasai
oleh Kreditur.
Jika dilihat dalam contoh pada
point 1 di atas, jika akad yang digunakan adalah Rahn Hiyazi, maka Mobil milik
Tenriagi tersebut diserahkan kepada Elda sebagai jaminan pelunasan hutangnya.
Dalam hal hutang Tenriagi kepada Elda sudah lunas, maka Tenriagi bisa mengambil
kembali mobil tersebut.
I V. WADI’AH
A. PENGERTIAN WADI’AH
Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu.
Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah,
karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Secara harfiah,
Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja si penitip menghendakinya.
Menurut bahasa wadiah artinya
yaitu meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga.
Sedangkan menurut istilah wadiah artinya yaitu memberikan kekuasaan kepada
orang lain untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan
atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.
Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh, yaitu :
1.Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan :
“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan
ungkapan yang jelas maupun isyarat”
Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima
titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka
akad tersebut sah hukumnya.
2.Madzhab Hambali, Syafi’I dan Maliki ( jumhur ulama
) mendefinisikan wadi’ah sebagai berikut :
“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara
tertentu “
B. DASAR HUKUM WADI’AH
– Q.S. An Nisaa’(4) ayat 58:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”
– Q.S. Al Baqarah (2) ayat 283:
“…Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (titipannya) dan hendaklah
ia bertakwa kepada Tuhannya…”
– Hadist Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
Rasulullah Saw bersabda, “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak
menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu”
C. RUKUN DAN SYARAT WADI’AH
1. Orang yang berakad
Orang yang berakad adalah muwaddi sebagai orang yang
menitipkan barangnya (penitip) dan mustauda sebagai orang yang
dititipi barang (penerima titipan).
Orang yang berakad hendaklah orang yang sehat (tidak gila) diantaranya
yaitu:
Baligh
Berakal
Kemauan sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab Hanafi baliqh dan berakal tidak dijadikan syarat dari orang
yang sedang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk
melakukan akad wadi’ah ini.
2. Barang titipan
Barang yang dititipkan harus jelas dan dapat dipegang atau dikuasai,
maksudnya ialah barang itu haruslah jelas identitasnya dan dapat dikuasai untuk
dipelihara.
3. Sighah (akad)
Syarat sighah yaitu kedua belah pihak melafazkan akad yaitu orang yang
menitipkan (muwaddi) dan orang yang diberi titipan (mustauda).
D. PEMBAGIAN DAN PENERAPAN WADI’AH
1. Wadi’ah Yad Amanah
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima (Mustauda) tidak
diperkenankan penggunaan barang/uang dari si penitip (Muwaddi) tersebut dan
tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan
oleh kelalaian si penerima titipan (Mustauda). Dan sebagai gantinya si penitip
(Muwaddi) wajib untuk membayar kepada orang yang dititipi (Mustauda), namun
boleh juga untuk tidak membayar asalkan orang yang dititipi tidak merasa
keberatan dan menganggapnya sedekah.
Contoh penerapannya dalam perbankan syariah adalah safe deposit box.
Layanan Safe Deposit Box (SDB) adalah jasa penyewaan kotak penyimpanan harta
atau surat-surat berharga yang dirancang secara khusus dari bahan baja dan
ditempatkan dalam ruang khasanah yang kokoh dan tahan api untuk menjaga keamanan
barang yang disimpan dan memberikan rasa aman bagi penggunanya.
2. Wadi’ah Yad adh Dhamanah.
Wadi’ah Yad Dhamanah adalah akad penitipan barang atau uang dimana pihak
penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat memanfaatkan
barang atau uang yang dititipkan dan harus bertanggungjawab
terhadap kehilangan atau kerusakan barang tersebut.
Contoh penerapannya dalam perbankan syariah adalah giro dan tabungan
wadi’ah. Giro Wadi’ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadi’ah,
yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki.
Sarana penyimpanan dana dengan pengelolaan berdasarkan prinsip al-Wadi’ah Yad
Dhomanah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan media
cek atau bilyet giro. Dengan prinsip tersebut titipan akan dimanfaatkan dan
diinvestasikan Bank secara produktif dalam bentuk pembiayaan kepada berbagai
jenis usaha dari usaha kecil dan menengah sampai pada tingkat korporat secara
profesional tanpa melupakan prinsip syariah. Bank menjamin keamanan dana secara
utuh dan ketersediaan dana setiap saat guna membantu kelancaran transaksi.
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah,
yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan
kehendak pemiliknya. Nasabah jika hendak mengambil simpanannya dapat datang
langsung ke bank dengan membawa buku tabungan, slip penarikan, atau melalui
fasilitas ATM.