Wednesday, June 5, 2013

Hadits 31: Dua Muslim yang Saling Membunuh, Keduanya Masuk Neraka

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-31, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Imam Bukhari memberi judul hadits ini باب ( وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ) فَسَمَّاهُمُ الْمُؤْمِنِينَ (Bab "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!" Allah menyebut tetap mereka mukmin). Untuk memudahkan, pembahasan hadits ke-31 Shahih Bukhari ini kita beri judul: Dua Muslim yang Saling Membunuh, Keduanya Masuk Neraka.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-31:


عَنِ الأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ ذَهَبْتُ لأَنْصُرَ هَذَا الرَّجُلَ ، فَلَقِيَنِى أَبُو بَكْرَةَ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قُلْتُ أَنْصُرُ هَذَا الرَّجُلَ . قَالَ ارْجِعْ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِى النَّارِ . فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

Dari Al-Ahnaf bin Qais bahwa ia berkata, "Pada suatu ketika saya hendak pergi menolong seseorang yang sedang berkelahi. Secara kebetulan saya bertemu Abu Bakar, ia pun berkata, "Mau ke mana kau?" Kujawab, "Aku akan menolong orang itu." Ia berkata lagi, "Kembalilah! Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Apabila dua orang muslim berkelahi dan masing-masing mempergunakan pedang maka si pembunuh dan yang terbunuh, keduanya masuk neraka." Aku bertanya, "Hal itu bagi pembunuh, bagaimana dengan yang terbunuh?" Beliau menjawab, "Karena orang yang terbunuh itu juga berusaha untuk membunuh saudaranya."

Penjelasan Hadits

عَنِ الأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ ذَهَبْتُ لأَنْصُرَ هَذَا الرَّجُلَ ، فَلَقِيَنِى أَبُو بَكْرَةَ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قُلْتُ أَنْصُرُ هَذَا الرَّجُلَ
Dari Al-Ahnaf bin Qais bahwa ia berkata, "Pada suatu ketika saya hendak pergi menolong seseorang yang sedang berkelahi. Secara kebetulan saya bertemu Abu Bakar, ia pun berkata, "Mau ke mana kau?" Kujawab, "Aku akan menolong orang itu."

Dalam hadits ini tidak disebutkan dialog awal antara Al-Ahnaf dan Abu Bakar. Kita tidak mendapatkan ucapan salam ketika keduanya bertemu karena tidak ada keharusan untuk menceritakan kisah secara lengkap dalam periwayatan. Yang penting adalah dialog yang relevan dengan pembahasan hadits yang hendak disampaikan.

Pada hadits ke-29 yang telah dibahas sebelumnya, bahkan diperbolehkan bagi perawi untuk menyampaikan hadits secara tidak lengkap (mencuplik sebagian), asalkan tidak merusak maknanya.

قَالَ ارْجِعْ
Ia berkata lagi, "Kembalilah!"

Riwayat Al-Ahnaf ini menunjukkan potret kehidupan sahabat Nabi yang peduli dengan sesamanya. Baik Al-Ahnaf maupun Abu Bakar. Bedanya, Al-Ahnaf belum mengetahui bagaimana hukum perkelahian yang dilakukan oleh dua orang tersebut. Kepedulian Abu Bakar tidak kalah besar. Setelah tahu tujuan Al-Ahnaf, Abu Bakar mencegahnya agar tidak menolong salah satunya. Larangan Abu Bakar ini dimungkinkan ia mengetahui lebih detail bahwa kedua orang tersebut tak bisa lagi dilerai.

قَالَ ارْجِعْ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِى النَّارِ
Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Apabila dua orang muslim berkelahi dan masing-masing mempergunakan pedang maka si pembunuh dan yang terbunuh, keduanya masuk neraka."

Di sinilah poin penting yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin. Bahwa kepedulian terbesar seorang muslim kepada muslim lainnya adalah mengupayakannya agar berada di atas petunjuk; mengajaknya agar menetapi Al-Qur'an dan sunnah. Dan itulah yang dilakukan Abu Bakar kepada Al-Ahnaf. Ia menunjukkan sabda Rasulullah SAW terkait kasus kedua orang yang berkelahi itu.

Korelasi sabda Rasulullah SAW ini dengan masalah iman adalah bahwa ada perbuatan-perbuatan maksiat atau dosa yang bisa menjerumuskan seorang muslim ke neraka. Misalnya adalah perbuatan dua orang yang berkelahi dan saling membunuh. Namun demikian, selama kedua orang tersebut tidak melakukan kesyirikan, keduanya masih dikategorikan sebagai muslim. Bahkan, dalam QS. Al-Hujurat ayat 9 disebutkan bahwa dua pihak yang berperang masih disebut mukmin; dan itulah yang dijadikan judul oleh Imam Bukhari dalam hadits ini.

Jika perkelahian itu benar-benar saling membunuh, lalu salah satunya terbunuh, maka kedua-duanya masuk neraka. Inilah yang harus diwaspadai oleh kaum muslimin agar tidak sampai terbawa emosi dan tersulut amarah kemudian terlibat persengketaan dan perkelahian dengan sesama muslim.

فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ
Aku bertanya, "Hal itu bagi pembunuh, bagaimana dengan yang terbunuh?"

Abu Bakar bertanya mengapa yang terbunuh juga masuk neraka. Kalau yang membunuh, ia pantas masuk neraka karena perbuatan buruknya itu; menghilangkan nyawa seorang muslim. Tapi yang terbunuh? Bagaimana penjelasannya?

Sikap Abu Bakar ini –sebagaimana sikap sahabat yang lain dalam hadits sebelumnya- juga merupakan potret karakter para sahabat yang mengamalkan wahyu; فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ "bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui" (QS. Al-Anbiya' : 7). Dan lihatlah, pertanyaat mereka adalah pertanyaan emas. Pertanyaan yang begitu jawabannya diketahui membawa efek/perubahan bagi amal mereka.

قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
Beliau menjawab, "Karena orang yang terbunuh itu juga berusaha untuk membunuh saudaranya."

Inilah jawabannya. Karena ia (yang tebunuh), juga berusaha membunuh. Jika ada yang bertanya, bukankah ada hadits lain yang menjelaskan bahwa seorang yang berniat jelek tidak dihitung dosa sebelum melakukannya? Jawabannya adalah, orang ini bukan hanya niat, tetapi juga telah berbuat. Yaitu ia juga berusaha membunuh. Kalau saja bukan karena kedahuluan ia terbunuh, tentu dialah yang membunuh.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Diantara karakteristik para sahabat adalah peduli dengan sesama muslim, selalu berusaha membantu dan menolong mereka. Dan kepedulian terbesar adalah membuat seorang muslim berada di atas petunjuk Al-Qur'an dan sunnah;
2. Wajib menyampaikan ilmu yang telah diketahui, khususnya jika kebutuhannya mendesak dan jika tidak disampaikan akan menimbulkan kemudharatan;
3. Tidak boleh bagi seorang muslim berkelahi dengan muslim yang lainnya, apalagi sampai pada tingkat saling berusaha membunuh;
4. Dua orang muslim yang berkelahi dan saling membunuh, maka keduanya diancam masuk neraka, baik yang membunuh maupun terbunuh;
5. Ada perbuatan-perbuatan maksiat, seperti berkelahi ini, yang menyebabkan seorang muslim masuk neraka tetapi tidak otomatis mengeluarkannya dari agama.

Demikian hadits ke-31 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dihindarkan dari permusuhan sesama muslim, apalagi sampai pada taraf saling membunuh. Semoga Allah senantiasa menjaga kita berada dalam ukhuwah Islamiyah; saling mencintai, saling menyayangi. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 30: Maksiat adalah Perbuatan Jahiliyah, Islam itu Indah

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-30, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Hadits yang berisi pengalaman Abu Dzar ditegur keras oleh Rasulullah SAW ini mengajarkan kepada kita bahwa kemaksiatan, seperti mencaci seseorang dengan menghina ibunya adalah perbuatan jahiliyah yang harus ditinggalkan. Sebaliknya, Islam mengajarkan interaksi yang sangat indah kepada sesama, termasuk hamba sahaya. Karenanya, pembahasan hadits ke-30 Shahih Bukhari ini kita beri judul: Maksiat adalah Perbuatan Jahiliyah, Islam itu Indah.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-30:


عَنِ الْمَعْرُورِ قَالَ لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ ، وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ ، وَعَلَى غُلاَمِهِ حُلَّةٌ ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ إِنِّى سَابَبْتُ رَجُلاً ، فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ ، فَقَالَ لِىَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ ، إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ ، وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

Dari Al-Ma'rur bahwa ia berkata, "Saya bertemu dengan Abu Dzar di Rabadzah. Beliau dan hamba sahayanya mengenakan pakaian (mantel) yang serupa. Kemudian saya bertanya apa sebabnya mereka mengenakan pakaian yang serupa. Abu Dzar menjawab, 'Aku pernah memaki seseorang dengan menghina ibunya. Lalu Nabi SAW berkata kepadaku, "Wahai Abu Dzar, apakah kau memaki dia dengan menghina ibunya? Rupanya masih ada dalam dirimu karakteristik jahiliyah. Para hambamu adalah saudara-saudaramu yang Allah titipkan di bawah tanggungjawabmu. Oleh karena itu, barangsiapa memiliki hamba sahaya, hendaklah hamba sahaya itu diberikan makanan yang dimakan dan diberi pakaian yang dipakai serta janganlah mereka dibebani dengan pekerjaan yang berada di luar kemampuan mereka. Jika mereka terpaksa mengerjakannya maka bantulah mereka."

Penjelasan Hadits

لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ ، وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ ، وَعَلَى غُلاَمِهِ حُلَّةٌ ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ
Saya bertemu dengan Abu Dzar di Rabadzah. Beliau dan hamba sahayanya mengenakan pakaian (mantel) yang serupa. Kemudian saya bertanya apa sebabnya mereka mengenakan pakaian yang serupa.

Abu Dzar yang dimaksud di sini adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Sedangkan Rabadzah adalah sebuah perkampungan yang berjarak 3 mil dari Madinah.

Lihatlah Abu Dzar Al Ghifari ini! Demikianlah para sahabat. Mereka mengamalkan apa yang telah diajarkan Sang Nabi meskipun berlawanan dengan tradisi dan dinilai banyak orang sebagai sesuatu yang merendahkan diri. Namun bagi orang yang mulia karena keimanan, tidak masalah jika pakaiannya sama dengan pakaian budak, apalagi sekadar anak buah atau bawahan. Justru dengan kerelaan memakai dan memberikan pakaian yang sama, nyatalah Islam mempersamakan derajat setiap manusia. Bahkan antara budak dan tuannya. Di kemudian hari, melalui berbagai upaya termasuk kaffarat, Islam secara besar-besaran menghapus perbudakan.

Lihatlah Al-Ma'rur. Demikianlah semestinya para pecinta ilmu dan kebenaran. Ia menanyakan hal yang tak diketahuinya, yang besar sekali kemungkinannya ia mendapatkan manfaat dari sana: ilmu agama, juga pengamalannya.

فَقَالَ إِنِّى سَابَبْتُ رَجُلاً ، فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ
Abu Dzar menjawab, 'Aku pernah memaki seseorang dengan menghina ibunya.

Lihatlah Abu Dzar Al Ghifari sekali lagi! Ia tidak malu untuk menceritakan kesalahannya asalkan orang lain dapat belajar dari dirinya. Ia tidak menyembunyikan ilmu agar terhadap hadits Rasulullah SAW ini semua umat tahu. Meski dalam cerita itu ada kesalahan Abu Dzar. Sebab sahabat seperti Abu Dzar sadar bahwa orang yang baik bukanlah orang yang suci sama sekali dari kesalahan, namun orang yang menyadari kesalahannya, lalu memperbaiki diri dan tidak mengulangi.

Dan itulah yang pernah dilakukan oleh Abu Dzar Al-Ghifari. Ia memaki seseorang. Dalam sebuah riwayat, orang itu adalah Bilal bin Rabah, ketika Abu Dzar berselisih dengannya. Maka Abu Dzar yang kala itu marah memaki Bilal; يا بن السوداء (wahai anak orang Negro).

Makian seperti itu mungkin dianggap wajar oleh manusia di zaan sekarang. Namun Islam menegaskan bahwa segala makian bisa menyakiti perasaan, apalagi ketika nadanya menghina ibu yang seharusnya dimuliakan.

فَقَالَ لِىَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ
Lalu Nabi SAW berkata kepadaku, "Wahai Abu Dzar, apakah kau memaki dia dengan menghina ibunya? Rupanya masih ada dalam dirimu karakteristik jahiliyah.

Kini lihatlah Rasulullah! Rasulullah demikian marah dengan hinaan seperti itu keluar dari lisan orang beriman seperti Abu Dzar. Maka beliau menegaskan bahwa menghina ibu seseorang adalah perbuatan jahiliyah. Betapa tegasnya Rasulullah dan betapa tegasnya Islam itu. Ia tak pandang bulu. Siapa yang salah harus dibetulkan. Siapa yang bengkok harus diluruskan. Dan hakikat sesuatu harus diungkapkan. Bahwa hinaan seperti itu adalah perbuatan jahiliyah yang harus dihindari dan ditiadakan.

Mengapa? Sebab Islam –sekali lagi- sejak pertama kali didakwahkan telah membuat aturan istimewa bahwa semua manusia berderajat sama. Baik orang Arab maupun non Arab. Baik yang berkulit putih maupun hitam. Islam datang dalam rangka menghapuskan penghambaan dan penyembahan manusia kepada manusia lainnya. Dan penghambaan itu biasanya bermula dari pemuliaan satu kelompok manusia dan penghinaan kelompok lainnya. Islam tidak memperbolehkan perbuatan jahiliyah semacam itu.

Namun demikian, meskipun menghina yang merupakan kemaksiatan dan segala kemaksiatan merupakan perbuatan jahiliyah, ia tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam; sepanjang bukan kesyirikan. Inilah aqidah Islam. Inilah yang diajarkan Rasulullah yang tetap memperlakukan dan menyayangi Abu Dzar setelah mengingatkannya. Dan inilah yang ingin disampaikan Imam Bukhari dalam hadits ini. Bahwa klaim khawarij tidak benar dan tidak dapat dibenarkan. Khawarij menyatakan bahwa segala kemaksiatan, segala perbuatan jahiliyah, mengeluarkan manusia dari Islam dan membuatnya kekal di neraka.

إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ ، وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
Para hambamu adalah saudara-saudaramu yang Allah titipkan di bawah tanggungjawabmu. Oleh karena itu, barangsiapa memiliki hamba sahaya, hendaklah hamba sahaya itu diberikan makanan yang dimakan dan diberi pakaian yang dipakai serta janganlah mereka dibebani dengan pekerjaan yang berada di luar kemampuan mereka. Jika mereka terpaksa mengerjakannya maka bantulah mereka.

Subhaanallah! Lihatlah ajaran Islam ini! Ajaran mana yang lebih indah daripada ajaran ini. Ideologi mana yang lebih humanis daripada ideologi ini. Petunjuk mana yang lebih mulia daripada petunjuk ini.

Bahkan budak dipersamakan derajatnya dengan saudara dan harus diperlakukan dengan mulia. Lalu bagaimana halnya dengan pembantu, anak buah, bawahan, pegawai, dan karyawan? Bukankah mereka lebih berhak untuk diperlakukan secara manusiawi dan didekati dengan interaksi yang memuliakan?

Oh, di manakah kebaikan paham komunis yang menghendaki kemenangan kaum proletar di atas puing-puing kehancuran kelompok lainnya. Dan dimanakah kebaikan paham kapitalis yang demi keuntungan korporasi membiarkan rakyat kecil terampas hak-haknya. Kalau demikian, mengapa kita tidak bergerak untuk memperjuangkan kembali Islam yang indah ini. Apakah kita menunggu orang lain yang kita sebut pahlawan untuk datang dan membantu? Percayalah, mereka takkan pernah datang. Bahkan, mereka telah hadir di sini. Sebagiannya sedang membaca hadits ini.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Diantara karakteristik para sahabat adalah mengamalkan dengan sungguh-sungguh hadits Rasulullah SAW yang telah didengarnya serta memperbaiki diri dari kesalahan yang pernah dilakukannya;
2. Tidak boleh memaki seseorang dengan menghina ibunya;
3. Menghina ibu adalah perbuatan jahiliyah. Demikian pula kemaksiatan dalam arti yang luas, baik mendurhakai perintah maupun melanggar larangan Allah;
4. Kemaksiatan atau perbuatan jahiliyah tidaklah mengeluarkan pelakunya dari agama, kecuali kemaksiatan atau perbuatan yang tergolong kesyirikan;
5. Derajat manusia dalam Islam adalah setara. Tidak ada manusia yang boleh dihina oleh manusia lainnya baik dengan alasan warna kulit maupun suku bangsa;
6. Islam mengajarkan agar memperlakukan budak secara manusiawi dan terhormat, apalagi kepada orang-orang merdeka;
7. Tidak boleh membebani budak dengan pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakannya, apalagi terhadap pegawai atau karyawan yang bukan budak. Kalaupun terpaksa melakukan pekerjaan yang memberatkan, hendaklah pimpinan/majikan juga turut membantunya sehingga pekerjaan itu menjadi ringan karena ditanggung bersama.

Demikian hadits ke-30 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dihindarkan dari perbuatan jahiliyah, dimudahkan untuk menjalankan Islam yang begitu indah, serta ikut berkontribusi dalam memperjuangkannya melalui dakwah. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 29: Durhaka Kepada Suami = Kufur?

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-29, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Imam Bukhari memberi judul bab untuk hadits ini dengan باب كُفْرَانِ الْعَشِيرِ وَكُفْرٍ دُونَ كُفْرٍ (Kufur Kepada Suami dan Kufur Duna Kufrin). Jika kemudian pembahasan hadits ini diberi judul "Durhaka Kepada Suami = Kufur?" ini semata-mata untuk memudahkan saja. Selamat membaca.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-29:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ . قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Diperlihatkan neraka kepadaku. Ketika itu aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita." Seseorang bertanya, "Apakah mereka kufur kepada Allah?" Rasulullah menjawab, "Mereka kufur kepada suami dan tidak berterima kasih atas kebaikan yang diterimanya. Walaupun sepanjang masa engkau telah berbuat baik kepada mereka, begitu mereka melihat sedikit kesalahan darimu, maka mereka berkata, 'Aku tak pernah melihat kebaikan darimu'"

Penjelasan Hadits

Hadits ke-29 ini sebenarnya adalah potongan dari hadits panjang yang secara lengkap bisa dicantumkan pada hadits ke-1052 pada bab Shalat Gerhana Berjama'ah dan hadits ke-5197 pada bab Kufur kepada suami. Dari sinilah Ibnu Hajar Al-Asqalani menyimpulkan bahwa Imam Bukhari membolehkan memotong hadits ketika menyampaikan, baik yang di depannya maupun di belakangnya, asalkan tidak merusak makna hadits itu.

أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ
Diperlihatkan neraka kepadaku. Ketika itu aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita

Jamak diketahui bahwa Rasulullah SAW diperlihatkan surga dan neraka ketika Mi'raj. Pada saat itu diantara pemandangan yang beliau lihat ialah banyaknya wanita yang masuk neraka. Ada sebagian orientalis yang menjadikan hadits-hadits seperti ini sebagai alat untuk menuduh Islam tidak memuliakan wanita. Padahal jika dihubungkan dengan populasi umat manusia, sebenarnya hadits ini sangat wajar. Bukankah populasi wanita lebih banyak dari laki-laki? Andai pun prosentase laki-laki dan wanita yang masuk neraka sama, secara kuantitas jumlah perempuan tampak lebih besar. Namun demikian, tentu ada sebab mengapa banyak wanita yang masuk neraka. Dan di sinilah kecerdasan para sahabat terlihat. Kecerdasan spiritual yang membuat mereka mengajukan pertanyaan agar mengetahui sebabnya lalu mengkondisikan istri dan putri mereka agar terhindar dari sebab itu.

قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ
Seseorang bertanya, "Apakah mereka kufur kepada Allah?"

Inilah pertanyaan sahabat. Karena mereka memahami bahwa faktor penyebab utama masuk ke dalam neraka adalah kekufuran; kufur kepada Allah. Sebagaimana faktor utama masuk surga adalah tauhid.

قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ
Rasulullah menjawab, "Mereka kufur kepada suami dan tidak berterima kasih atas kebaikan yang diterimanya.

Inilah jawaban Rasulullah SAW. Mereka bukan kufur kepada Allah alias kafir sebagai lawan dari iman. Namun mereka durhaka kepada suami. Durhaka kepada suami disebut kufur karena ia termasuk kemaksiatan, sebagaimana ketaatan juga bisa disebut iman. Abu Bakar bin Al Arabi menjelaskan dalam syarah-nya bahwa Imam Bukhari memberi judul bab ini dengan kata "kufur" maksudnya bukanlah kufur yang menyebabkan seseorang keluar dari agama. Karenanya pula, pada judul bab ada istilah "Kufr duuna kufrin" (kufur yang bukan kekafiran) sebuah istilah yang dipopulerkan Ibnu Abbas khususnya saat mengingkari fitnah kaum khawarij.

Hadits ini semestinya menjadi peringatan bagi kaum wanita agar tidak durhaka kepada suami, dalam hal-hal yang yang tidak bertentangan dengan syariat. Demikian pula agar para istri membiasakan mengucapkan terima kasih kepada suami atas kebaikan-kebaikannya.

Bukan berarti para suami lantas menuntut terima kasih dan ketaatan dari istrinya setelah mengetahui hadits ini tanpa berbuat hal yang sama. Sungguh Islam telah mengatur kehidupan berumah tangga dengan cara yang sangat indah dan mulia. Bagi seorang suami ada kewajiban yang harus dipenuhi, ada pula hak baginya. Pun bagi istri, ada kewajiban yang harus dijalankannya, ada pula hak baginya. Jika masing-masing mampu menunaikan kewajibannya, maka hak keduanya akan tercapai dengan sendirinya. Jika masing-masing saling berterima kasih atas kebaikan, bahkan saat selesai berhubungan seksual, tentu keduanya akan hidup dalam keharmonisan; sakinah mawaddah wa rahmah.

لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Walaupun sepanjang masa engkau telah berbuat baik kepada mereka, begitu mereka melihat sedikit kesalahan darimu, maka mereka berkata, 'Aku tak pernah melihat kebaikan darimu'

Inilah diantara bentuk kedurhakaan istri kepada suami. Mungkin karena menuruti perasaan/emosi, seorang istri begitu saja melupakan kebaikan-kebaikan suaminya hanya karena satu kesalahan, lantas menyebutnya tak pernah berbuat baik. Ibarat peribahasa, akibat setitik nila rusak susu sebelanga atau panas setahun dihapus hujan sehari. Dan betapa banyak kasus yang telah terjadi, karena hal seperti ini kemudian timbul masalah dalam kehidupan berumah tangga, bahkan sampai terjadi cerai. Na'udzubillah.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Rasulullah SAW diberi keistimewaan oleh Allah SWT untuk melihat neraka, khususnya pada saat Mi'raj;
2. Kebanyakan penduduk neraka adalah wanita. Ini sejalan pula dengan populasi wanita di dunia yang lebih banyak dari laki-laki;
3. Kecerdasan spiritual para sahabat yang bertanya mengenai sebab masuk neraka sehingga dengan mengetahui sebab itu bisa berhati-hati dan berusaha menghindarinya;
4. Diantara sebab wanita masuk neraka adalah durhaka kepada suami dan tidak pandai berterima kasih atas kebaikannya;
5. Durhaka kepada suami termasuk perbuatan kufur, namun bukan kufur yang mengeluarkan seseorang dari agamanya;
6. Boleh menyampaikan hadits secara tidak lengkap, asalkan tidak merusak maknanya;
7. Ketika mendapati kesalahan suami, hendaknya seorang istri tidak bersikap seolah-olah suaminya tidak pernah berbuat kebaikan kepadanya.

Demikian hadits ke-29 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dihindarkan dari durhaka kepada suami, serta mampu menjaga istri dan anak kita dari hal itu. Demikian pula sebagai suami semoga mampu saling memenuhi kewajiban kepada istri sehingga terwujudlah keluarga sakinah mawaddah wa rahmah di dunia, serta dikumpulkan kembali di surga.

Friday, May 10, 2013

SERI ARBA’IN NAWAWI: PENJELASAN HADITS PERTAMA (INNAMAL A’MALU BIN NIYYAT)



pdf_icon
PENJELASAN HADITS PERTAMA
SYARAH ARBA’IN NAWAWI

1- عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِيءٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الله وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٌ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )). رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثَيْنِ : أَبُوْ عَبْدِ الله مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَةِ الْبُخَارِيْ ، وَأَبُوْ الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمِ الْقُشَيْرِيُّ اَلنَّيْسَابُوْرِيُّ فِيْ صَحِيْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ .
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khattab berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya amal perbuatan membutuhkan niat. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih dunia atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits yaitu, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, dan Abul Husein Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi dalam Shahih keduanya, yang mana keduanya adalah kitab karangan yang paling shahih.

l   Biografi Periwayat Hadits
Shahabat Umar bin Khattab
Beliau adalah Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riyah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu-ai, Al-Qurasyi Al-‘Adawi. Nasab beliau bersambung dengan nasab rasulullah pada kakekny yang ketujuh yaitu Ka’ab bin Luai.
Umar bin Khattab memeluk islam pada tahun keenam setelah kenabian. Beliau turut serta dalam semua pertempuran bersama rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau meninggal pada awal bulan Muharram tahun 24 Hijriyyah, karena ditikam oleh Abu Lu’lu’ah, budak majusi milik Mughirah bin Syu’bah. Kepemimpinan Umar berlangsung selama sepuluh tahun enam bulan.
Al-Imam Al-Bukhari
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi Al-Bukhari. Penulis kitab Ash-Shahih, lahir di bulan Syawwal tahun 194 hijriyah.
Al-Imam Muslim
Beliau adalah Abul Husein Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, lahir pada tahun 204 hijriyah dan meninggal di bulan Rajab tahun 261 hijriyah.
l   Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari pada tujuh tempat dalam kitab Shahih-nya[1] dengan redaksi yang berbeda-beda. Sedangkan Imam Muslim meriwayatkannya di  akhir kitab Al-Jihad no.1907[2].
Hadits ini juga diriwayatkan dari tujuh belas shahabat lainnya sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Abdurrahman bin Mandah[3]. Mereka adalah Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Ubadah bin Shamith, ‘Utbah bin ‘Abd Al-Aslami, Hazzal bin Suwaid, ‘Utbah bin ‘Amir, Jabir bin Abdillah, Abu Dzar Al-Ghifari, ‘Utbah bin Mundzir, dan ‘Uqbah bin Muslim radhiallahu ‘anhum.[4] Semuanya diriwayatkan Ibnu Mandah sebagaimana disebutkan Badrud Din Al-‘Aini dalam ‘Umdatul Qari 1/51, Al-Hafizh Al-‘Iraqi dalam At-Taqyid wal Idhah hal.102-103 dan Tharhut Tatsrib 1/357 .
Akan tetapi riwayat dari tujuh belas shahabat di atas semuanya dha’if/lemah, sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafizh Al-‘Iraqi.
Al-Bazzar berkata dalam musnad-nya (no.260): “Dan kami tidak mengetahui hadits ini diriwayatkan (dengan sanad yang shahih) kecuali dari ‘Umar bin Khattab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” Seperti ini pula yang disebutkan Al-Imam Ali bin Al-Madini, At-Tirmidzi, Hamzah Al-Kinani, dan Muhammad bin ‘Attab.[5]
Al-Imam An-Nawawi juga berkata: “Para huffazh berkata, ‘Hadits ini tidak ada yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kecuali dari riwayat Umar bin Khattab.”[6]
* * *
l   Makna Hadits secara Global
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi poros Islam. Al-Imam Ahmad dan Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini mengandung sepertiga ilmu dan masuk ke dalam tujuh puluh bab pembahasan fikih.”[7] Disebut sepertiga ilmu karena perbuatan seorang hamba tidak lepas dari tiga bagian: hati, lisan, dan anggota tubuh. Sedangkan niat yang bermukim di dalam hati  adalah salah satunya.
Al-Imam Ahmad berkata: “Pokok islam ada pada tiga hadits; kemudian beliau menyebutkan salah satunya adalah hadits Umar di atas.”
Al-Imam Abu Sa’id Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Seandainya aku menyusun sebuah buku, akan kumulai pada setiap babnya dengan hadits ini.” Beliau juga berkata, “Siapa saja yang ingin menyusun sebuah kitab hendaklah ia mulai dengan hadits ini.”
Al-Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin Khattab Al-Khattabi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Ma’alim, “Dahulu para masyayikh kami menyukai mendahulukan hadits ini pada segala sesuatu.”
Sebagian salaf juga berkata, “Sepatutnya hadits ini dijadikan pembuka setiap kitab dari kitab-kitab ilmu.”
Demi menjalankan wasiat para Imam tersebut, banyak ulama’ yang menjadikan hadits ini sebagai pembuka tulisan mereka, sebagai contoh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam ‘Umdatul Ahkam, Al-Baghawi dalam dua kitabnya; Mashabihus Sunnah dan Syarhus Sunnah, demikian pula As-Suyuthi dalam Al-Jami’ush Shaghir , serta Al-Imam Nawawi dalam dua kitabnya; Al-Majmu’ dan Al-Arba’in yang sedang kita bahas ini.[8]
l   Makna Hadits
[ hanyalah ] lafazh Innama (hanyalah) dalam ilmu ma’ani bahasa arab berfungsi sebagai hashr (pembatasan).
[ amal perbuatan dengan niat ] Maknanya adalah: hanyalah amal perbuatan akan diterima atau akan menjadi benar dengan niat. Amal perbuatan di sini mencakup ucapan dan perbuatan; ucapan hati dan perbuatan hati, dan ucapan lisan juga perbuatan lisan, demikian pula ucapan dan perbuatan jawarih (anggota tubuh).
Akan tetapi niat hanya berlaku untuk amalan yang bersifat perintah, adapun untuk amalan yang bersifat larangan maka tidak disyari’atkan untuk berniat, seperti membersihkan najis, meninggalkan khamar, atau menjauhi ghibah. Seseorang yang meninggalkan perbuatan tersebut atau yang semisalnya akan tetap sah walaupun tidak didahului dengan niat. Berbeda dengan amalan yang bersifat perintah, seperti shalat, puasa, dan wudhu’. Seseorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak akan diterima dan tidak akan mendapatkan pahala kecuali apabila disertai dengan niat yang benar. Wallahu a’lam.

[ dan seseorang akan dibalas sesuai dengan niatnya ] yakni amal perbuatan hamba disesuaikan dengan niatnya; keabsahan atau kerusakannya, kesempurnaan atau kekurangannya. Maka siapa saja yang melakukan perbuatan ketaatan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah maka ia akan mendapatkan pahala yang besar. Dan siapa saja meniatkan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka yang dia dapatkan hanya kenikmatan dunia, baik berupa kedudukan, pujian atau yang lainnya.
Terkadang sebuah amalan yang asalnya mubah bisa bernilai ibadah disebabkan niat. Sebagai contoh adalah makan dan minum yang asalnya mubah, tetapi jika diniatkan untuk melakukan ketaatan seperti makan sahur maka ia bernilai ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Makan sahurlah kalian, karena pada makan sahur terdapat barakah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

[ Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya ] asal kata hijrah maknanya ialah meninggalkan. Adapun makna hijrah karena Allah ialah meninggalkan sesuatu karena mengharap keridhaan Allah. Dan makna hijrah karena Rasul-Nya ialah meningalkan sesuatu karena mengikuti Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Dan yang dimaksud hijrah pada hadits ini adalah meninggalkan negeri syirik menuju negeri Islam. Termasuk juga seseorang yang meninggalkan negeri bid’ah menuju negeri sunnah, atau negeri yang dipenuhi kemaksiatan menuju negeri yang sedikit maksiatnya.

[ maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya ] hijrah yang diniatkan karena mencari keridhaan Allah dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah ibadah, dan pelakunya akan mendapatkan pahala yang besar. Ini adalah perumpamaan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang seorang yang melakukan amalan ibadah ikhlas karena Allah .
[ dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan dia raih atau wanita yang akan dia nikahi maka hijrahnya sesuai dengan niatnya ]  Ini adalah perumpamaan bagi seorang yang melakukan ibadah karena mencari kenikmatan dunia berupa harta atau wanita. Maka pelakunya hanya mendapatkan apa yang dia niatkan. Demikian pula seluruh amalan akan dinilai sesuai dengan niatnya.
Sebagian ulama’, seperti Ibnu Daqiqil ‘Ied dan An-Nawawi menyebutkan bahwa hadits ini berkenaan dengan seorang shahabat yang melakukan hijrah dari Mekkah menuju Madinah karena ingin menikahi wanita yang dia cintai bernama Ummu Qais. Sehingga orang tersebut dijuluki Muhajir Ummu Qais (orang yang pindah karena mencari Ummu Qais). Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Dahulu ada seseorang berhijrah untuk menikahi seorang wanita yang disebut Ummu Qais, sehingga ia dijuluki Muhajir Ummu Qais.” Dalam riwayat lain, “Dahulu ada di antara kami seorang yang melamar wanita dikenal dengan Ummu Qais, ia enggan untuk dinikahi sampai lelaki tersebut melakukan hijrah, maka lekaki itupun berhijrah kemudian menikahinya. Orang itu kami juluki Muhajir Ummu Qais.”
Menanggapi cerita di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, sanadnya shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim. Namun, tidak ada keterangan pada kisah di atas bahwa hadits innamal a’malu bin niyat (diucapkan oleh Nabi) bertepatan dengan kejadian itu. Aku juga tidak menemukan satupun dalam banyak sanad hadits ini yang menegaskan hal tersebut.” (Fathul Bari 1/10)
Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/74-75) juga menjelaskan: “Sangat masyhur bahwa kisah Muhajir Ummu Qais adalah sebab diucapkannya hadits “Barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia atau wanita yang akan dia nikahi” banyak orang (ulama) sekarang yang menyebutkan hal itu di kitab-kitab mereka. Namun, kami tidak menemukan keterangan tersebut dalam sanad yang shahih, wallahu a’lam.”
Dari penjelasan Ibnu Hajar dan Ibnu Rajab di atas menjadi jelas bahwa kisah Muhajir Ummu Qais tidak ada kaitannya dengan hadits innamal a’malu bin niyyat ini. Wallahu a’lam.
  
Faedah hadits
1)            Hadits ini adalah hadits pertama yang disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.
2)            Anjuran untuk ikhlas (dalam beramal), karena Allah tidak akan menerima sebuah amalan kecuali jika dibangun di atas dasar muta’ba’ah dan ikhlas. Oleh karena itu, banyak ulama yang memulai karya tulis mereka dengan hadits ini sebagai bentuk teguran bagi pembaca tentang pentingnya meluruskan niat.
Al-Imam Abu Sa’id Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Seandainya aku menyusun sebuah kitab, akan kumulai pada setiap babnya dengan hadits ini.” Beliau juga berkata, “Siapa saja yang ingin menyusun sebuah kitab hendaklah ia mulai dengan hadits ini.”
3)            Bahwa perbuatan apapun yang dapat mendekatkan diri kepada Allah jika dilakukan oleh seorang mukallaf sebagai suatu kebiasaan[9] tidak akan membuahkan pahala, sampai ia benar-benar meniatkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4)            Keutamaan hijrah kepada Allah dan rasul-Nya[10]. Dalam sejarah Islam telah terjadi dua macam hijrah, pertama: berpindah dari negeri yang penuh dengan ketakutan menuju negeri yang penuh keamanan, seperti hijrah ke negeri Habasyah dan hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Kedua: hijrah dari negeri kufur menuju negeri Islam, jenis ini berlaku setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tinggal di Madinah. Pada masa rasul, istilah hijrah hanya dikhususkan ke negeri Madinah sampai peristiwa Fathu Makkah. Sehingga yang berlaku adalah hijrah dari negeri kufur ke negeri islam, bagi yang mampu hukumnya wajib.
5)            Dianjurkan bagi seorang ‘Alim memberikan contoh ketika menjelaskan sesuatu agar permasalahan yang ia terangkan mudah dipahami.
 ABU QOTADAH AL-MAIDANY
Admin Warisan Salaf

[1] Yaitu pada no.1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953.
[2] Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Daud no.2201, Tirmidzi no.1647, Nasa’i 1/58, 7/13, dan Ibnu Majah no.4227 .
[3] Al-Hafizh Al-‘Iraqi berkata: telah sampai kepadaku berita bahwa Al-Hafizh Abul Hajjaj Al-Mizzi ditanya tentang ucapan Ibnu Mandah ini, maka beliau menganggapnya mustahil. Sungguh, aku (Al-Hafizh Al-‘Iraqi) telah meneliti ucapan Ibnu Mandah ini, ternyata aku menemukan bahwa kebanyakan shahabat yang ia sebutkan haditsnya tentang hal ini, adalah berbicara tentang niat secara umum bukan hadits ini secara khusus. (Tharhu At-Tatsrib 1/357)
[4] ‘Umadatul Qari Syarhu Shahih Al-Bukhari 1/51
[5] Tharhut Tatsrib 1/ 355 dan Jami’ul ‘Ulum wal Hikam dengan Ta’liq Mahir Yasin Fahl
[6] Syarhu Muslim lin Nawawi 6/387
[7] Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra 2/14. Lihat Al-Majmu’ lin Nawawi 1/169, Syarhu Muslim lin Nawawi 7/48, Tharhu At Tatsrib lil ‘Iraqi 2/5, dan Fathul Bari 1/14 .
[8] Lihat Fathu Qawiyil Matin fi Syarhil Arba’in hal.8 , Karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad .
[9] Maksudnya: seseorang melakukan suatu perbuatan ibadah karena kebiasaan, bukan karena ingin mendapatkan pahala dari Allah. Masuk juga dalam hal ini seorang yang melakukan sebuah ibadah dengan tujuan kesehatan atau semisalnya, seperti seorang yang berpuasa karena ingin diet.
[10] Keutamaan hijrah juga dijelaskan oleh nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits Amr bin Al-‘Ash. “Tidakkah kamu tahu bahwa islam menghapus dosa sebelumnya, dan hijrah menghapus dosa sebelumnya…” (HR. Muslim, no.192)

Tuesday, April 16, 2013

Shahih Bukhary Hadits Nomor 28

نا يعقوب بن إبراهيم قال حدثنا بن علية عن عبد العزيز بن صهيب عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم ح وحدثنا آدم قال حدثنا شعبة عن قتادة عن أنس قال قال النبي صلى الله عليه وسلم لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
 Hadits 28: Menyebarkan Salam Bagian Dari Islam

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-28, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Pembahasan hadits ke-28 ini diberi judul "Menyebarkan Salam Bagian Dari Islam", sesuai dengan judul asli yang diberikan oleh Imam Bukhari (باب إِفْشَاءُ السَّلاَمِ مِنَ الإِسْلاَمِ).

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-28:


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

Dari Abdullah bin Amr, bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Islam bagaimanakah yang lebih baik?" Maka beliau menjawab, "Memberi makan dan mengucap salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak engkau kenal."

Penjelasan Hadits

Matan hadits ini persis dengan hadits kita bahas sebelumnya yakni Hadits 12: Humanisme Islam. Kedua hadits tersebut diriwayatkan Abdullah bin Amr. Baik pertanyaannya maupun jawaban Rasulullah SAW, keduanya sama persis.

Namun demikian, seperti dijelaskan pada hadits sebelumnya, ketika Imam Bukhari mencantumkan dua hadits yang matan (redaksi) nya sama, beliau memiliki maksud tersendiri ketika menempatkan hadits dengan matan serupa di tempat yang berbeda. Pertama, karena hadits tersebut mengandung pelajaran yang tidak cukup hanya dipaparkan pada satu bab saja. Kenyataannya, memang banyak hadits Nabi yang memuat sejumlah kandungan berbeda. Ia berbicara tentang aqidah, sekaligus juga menerangkan tentang ibadah dan akhlak, misalnya.

Kedua, Imam Bukhari berkeinginan agar umat Islam yang mempelajari kitab shahihnya mendapatkan penekanan kembali mengenai hal yang sangat penting, yang dirasa kemanfaatannya sangat banyak jika hadits dengan matan yang mirip itu ditampilkan. Kemungkinan hal kedua ini yang menjadi alasan hadits ke-12 yang matannya sama dengan hadits ke-28 ini sama-sama dimuat dalam Kitabul Iman. Karenanya Imam Bukhari memberikan judul yang berbeda. Hadits ke-12 diberinya judul (باب إِطْعَامُ الطَّعَامِ مِنَ الإِسْلاَمِ), penekanannya pada memberi makan. Sedangkan hadits ke-28 ini diberinya judul (باب إِفْشَاءُ السَّلاَمِ مِنَ الإِسْلاَمِ), penekanannya pada mengucap/menyebarkan salam.

Ketiga, Sesungguhnya Imam Bukhari tidak pernah mengulang hadits dengan matan dan sanad yang sama persis. Kalaupun matannya sama, sanadnya pasti berbeda. Demikian pula dengan hadits ini. Meskipun hadits ke-12 dan hadits ke-28 diriwayatkan dari dari Laits, dari Yazid, dari Abul Khair, dari Abdullah bin Amr, namun Imam Bukhari menerima hadits ke-12 dari Amru bin Khalid, sedangkan hadits ke-28 diterimanya dari Qutaibah.


Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Islam memiliki nilai humanisme yang sangat tinggi. Sebab Islam bukan hanya mengatur hubungan kepada Allah, melainkan juga pada sesama.
2. Memberikan makan kepada fakir miskin dan upaya meningkatkan kesejahteraan mereka merupakan salah satu ajaran Islam yang sekaligus menunjukkan betapa tingginya humanisme Islam;
3. Muslim hendaknya menciptakan kedamaian di manapun ia berada. Menyebarkan salam kepada siapapun, baik yang dikenal maupun tidak adalah bagian dari upaya ini, sepanjang tidak dikhawatirkan mereka itu orang kafir;
4. Rasulullah adalah teladan terbaik yang sangat luar biasa. Beliau menjawab pertanyaan dengan jawaban yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan penanya.

Demikian hadits ke-28 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita, memotivasi kita untuk memperbaiki kualitas keislaman kita, hingga menjadikan kita termasuk muslim yang baik yang diantara indikatornya adalah gemar memberi makan orang lain dan menyebarkan salam. Wallaahu a'lam bish shawab.

Shahih Bukhary Hadits Nomor 27

دثنا أبو اليمان قال أخبرنا شعيب عن الزهري قال أخبرني عامر بن سعد بن أبي وقاص عن سعد رضى الله تعالى عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطى رهطا وسعد جالس فترك رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا هو أعجبهم إلي فقلت يا رسول الله مالك عن فلان فوالله إني لأراه مؤمنا فقال أو مسلما فسكت قليلا ثم غلبني ما أعلم منه فعدت لمقالتي فقلت مالك عن فلان فوالله إني لأراه مؤمنا فقال أو مسلما ثم غلبني ما أعلم منه فعدت لمقالتي وعاد رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم قال يا سعد إني لأعطي الرجل وغيره أحب إلي منه خشية أن يكبه الله في النار ورواه يونس وصالح ومعمر وابن أخي الزهري عن الزهري
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

 Hadits 27: Mukmin atau Muslim? Memberi itu Perlu Prioritas

Tertarik dengan judul di atas? Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya dapat hadir kembali. Kali ini kita akan membahas hadits ke-27, yang masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Pembahasan hadits ke-27 ini diberi judul "Mukmin atau Muslim? Memberi itu Perlu Prioritas", karena pada hadits ini nanti kita akan mendapatkan dua pelajaran utama yaitu tentang hakikat seseorang apakah mukmin atau muslim, dan bagaimana Rasulullah SAW mempertimbangkan sesuatu dalam menyusun skala prioritas pemberian/hadiah.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-27:

عَنْ سَعْدٍ رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَعْطَى رَهْطًا وَسَعْدٌ جَالِسٌ ، فَتَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَجُلاً هُوَ أَعْجَبُهُمْ إِلَىَّ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ عَنْ فُلاَنٍ فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَرَاهُ مُؤْمِنًا . فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا . فَسَكَتُّ قَلِيلاً ، ثُمَّ غَلَبَنِى مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِى فَقُلْتُ مَا لَكَ عَنْ فُلاَنٍ فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَرَاهُ مُؤْمِنًا فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا . ثُمَّ غَلَبَنِى مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِى وَعَادَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - ثُمَّ قَالَ يَا سَعْدُ ، إِنِّى لأُعْطِى الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْهُ ، خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللَّهُ فِى النَّارِ

Dari Sa'ad r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah membagi-bagikan hadiah kepada beberapa orang. Pada saat itu Sa'ad sedang duduk di dekat mereka. Akan tetapi Rasulullah tidak memberikannya kepada seorang laki-laki, dan hal tersebut sangat menarik perhatianku. Aku bertanya kepada Rasulullah, "Apa sebabnya engkau tidak memberikan hadiah tersebut kepada si fulan? Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin." Maka Rasulullah bersabda, "atau seorang Muslim?"Aku terdiam sebentar. Kemudian pengetahuan tentang orang itu mendesakku untuk bertanya lagi. "Apa sebabnya engkau tidak memberikan hadiah tersebut kepada si fulan? Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin." Maka Rasulullah bersabda, "atau seorang Muslim?" Kemudian pengetahuan tentang orang itu mendesakku untuk bertanya lagi dan Rasulullah memberikan jawaban yang sama. Lalu beliau bersabda, "Hai Sa'ad, sesungguhnya aku akan memberi orang itu, akan tetapi aku lebih suka memberikannya kepada orang lain untuk menjaga orang yang diberi itu jangan sampai ditelungkupkan di neraka."

Penjelasan Hadits

عَنْ سَعْدٍ رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَعْطَى رَهْطًا وَسَعْدٌ جَالِسٌ
Dari Sa'ad r.a. bahwa Rasulullah SAW pernah membagi-bagikan hadiah kepada beberapa orang. Pada saat itu Sa'ad sedang duduk di dekat mereka.

Yang dimaksud dengan Sa'ad paa hadits ini adalah Sa'ad bin Abi Waqash.

Kata رَهْطًا artinya adalah sekelompok orang yang terdiri dari dari 3 sampai 10 orang. Bisa juga berarti sekelompok orang dari Bani atau Kabilah yang sama.

Jadi saat itu Rasulullah membagi-bagikan hadiah kepada sekelompok orang. Dan demikianlah kedermawanan Rasulullah. Beliau adalah orang yang paling dermawan, suka memberi, dan tidak menolak permintaan selagi beliau bisa memenuhi permintaan itu. Namun kali ini, ada pemandangan ganjil yang ditangkap oleh Sa'ad bi Abi Waqash.

فَتَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - رَجُلاً هُوَ أَعْجَبُهُمْ إِلَىَّ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ عَنْ فُلاَنٍ فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَرَاهُ مُؤْمِنًا
Akan tetapi Rasulullah tidak memberikannya kepada seorang laki-laki, dan hal tersebut sangat menarik perhatianku. Aku bertanya kepada Rasulullah, "Apa sebabnya engkau tidak memberikan hadiah tersebut kepada si fulan? Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin."

Itulah pemandangan ganjil yang ditangkap Sa'ad. Tersisa satu orang dari kelompok itu yang tidak diberi oleh Rasulullah SAW. Di sini, perhatian Sa'ad terusik. Keheranannya muncul. Di samping, ia juga terdorong untuk menanyakan kepada Rasulullah SAW barangkali beliau terlupa atau ada alasan tertentu.

Sa'ad yang memiliki asumsi kuat (zhannul ghalib) terhadap orang itu kemudian bertanya kepada Rasulullah sekaligus mempersaksikan asumsinya dengan bersumpah (فَوَاللَّهِ). Atas dasar ini muncullah pendapat bahwa sumpah diperbolehkan meskipun hanya didasari asumsi yang kuat, karena Rasulullah SAW tidak melarang Sa'ad untuk bersumpah. "Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin." Inilah persaksian Sa'ad sekaligus alasannya agar orang tersebut semestinya juga diberi karena ia mukmin.

Namun, mendengar pertanyaan dan pernyataan tersebut, Rasulullah SAW justru balik bertanya.

أَوْ مُسْلِمًا
Atau ia seorang Muslim?

Inilah pertanyaan Rasulullah. Beliau ingin agar Sa'ad mengevaluasi persaksiannya yang seakan-akan memastikan kalau seseorang itu mukmin. Benarkah ia mukmin atau baru muslim?

فَسَكَتُّ قَلِيلاً ، ثُمَّ غَلَبَنِى مَا أَعْلَمُ مِنْهُ فَعُدْتُ لِمَقَالَتِى فَقُلْتُ مَا لَكَ عَنْ فُلاَنٍ فَوَاللَّهِ إِنِّى لأَرَاهُ مُؤْمِنًا فَقَالَ أَوْ مُسْلِمًا
"Aku terdiam sebentar. Kemudian pengetahuan tentang orang itu mendesakku untuk bertanya lagi. "Apa sebabnya engkau tidak memberikan hadiah tersebut kepada si fulan? Demi Allah! Menurutku ia adalah seorang Mukmin."

Sa'ad berfikir sebentar. Namun asumsinya yang kuat terhadap orang itu mendorongnya untuk bertanya dengan pertanyaan yang sama. Memberikan persaksian dengan sumpah yang sama. Bahwa orang itu adalah mukmin.

أَوْ مُسْلِمًا
Atau ia seorang Muslim?

Rasulullah SAW juga menjawab dengan bertanya balik. Pertanyaan yang sama.

Tanya jawab ini kemudian terulang sekali lagi. Hingga akhirnya Rasulullah menjelaskan alasannya mengapa satu orang itu tidak diberi oleh Rasulullah SAW.

يَا سَعْدُ ، إِنِّى لأُعْطِى الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَىَّ مِنْهُ ، خَشْيَةَ أَنْ يَكُبَّهُ اللَّهُ فِى النَّارِ
"Hai Sa'ad, sesungguhnya aku akan memberi orang itu, akan tetapi aku lebih suka memberikannya kepada orang lain untuk menjaga orang yang diberi itu jangan sampai ditelungkupkan di neraka."

Itulah alasannya. Rasulullah SAW juga berkeinginan memberi orang itu. Namun beliau memiliki pertimbangan lain untuk memprioritaskan siapa yang diberi dan siapa yang tidak. Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa sekelompok orang yang ada si situ bersama orang ini adalah mualaf. Mereka baru masuk Islam. Dan untuk menguatkan keislaman mereka, Rasulullah memperbesar perhatian kepada mereka dalam bentuk pemberian itu. Maka jadilah keislaman mereka makin kuat. Mereka merasa diapresiasi oleh Rasulullah. Mereka merasa mendapatkan kepastian jaminan hidup dalam Islam. Persis seperti apa yang telah dilakukan Rasulullah SAW pasca perang Hunain yang saat itu beliau memberikan bagian ghanimah yang sangat besar kepada para mualaf, namun tidak memberikan bagian kepada kaum Anshar yang telah kuat keimanannya. Dan kondisi orang yang satu ini, yang tidak diberi oleh Rasulullah saat ini, juga seperti itu. Ia bukan mualaf. Ia muslim yang kuat. Kalaupun tidak diberi, tidak mengapa bagi dia yang telah memiliki keimanan.

Namun demikian, seseorang seperti Sa'ad tidak boleh memastikan orang itu mukmin hanya dari pandangan zhahir saja. Karenanya ketika Sa'ad bersumpah bahwa orang itu mukmin, Rasulullah bertanya apakah ia mukmin atau muslim. Dalam riwayat Ibnu Arabi ada lafadz tambahan bahwa Rasulullah bersabda kepada Sa'ad: لا تقل مؤمن بل مسلم ("Jangan katakan mukmin, tapi katakanlah muslim").

Dari sana tahulah Sa'ad, dan juga kita, bahwa jawaban Rasulullah SAW mengandung hikmah yang dalam. Bahwa tidak seyogyanya seseorang memuji dan mempersaksikan keimanan orang lain dari zhahirnya, karena iman adalah perkara batin. Kedua, bahwa Rasulullah SAW memberikan kepada mereka (orang-orang mualaf) pemberian itu untuk menguatkan keislaman mereka. Dikhawatirkan, jika mereka tidak diberi seperti itu mereka akan murtad dan murtad itu menyebabkan mereka ditelungkupkan ke neraka. Inilah makna sabda Nabi "akan tetapi aku lebih suka memberikannya kepada orang lain untuk menjaga orang yang diberi itu jangan sampai ditelungkupkan di neraka".

Dalam riwayat-riwayat yang lain dijelaskan bahwa orang yang tidak diberi oleh Rasulullah itu bernama Ja'il. Ia seorang muhajirin. Kedudukannya mulia dalam pandangan Rasulullah SAW. Suatu saat Rasulullah bertanya kepada Abu Dzar, "Bagaimana pendapatmu tentang Ja'il?". Abu Dzar menjawab, "Seperti muhajirin lainnya." Kemudian Rasulullah bertanya, "Bagaimana pendapatmu tentang si fulan?". Abu Dzar menjawab, "Ia adalah pemimpin kaum". Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Jika demikian, Ja'il lebih baik dari dirinya."

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Rasulullah adalah orang yang dermawan, beliau biasa membagi-bagikan hadiah/pemberian;
2. Diperbolehkan bertanya kepada qiyadah/pemimpin terkait hal-hal yang tidak dipahami dan diperbolehkan pula untuk menyampaikan usul atau pendapat demi memperoleh maslahat (kebaikan bersama);
3. Diperbolehkan untuk menegaskan satetemen/pernyataan dengan sumpah. Sebagian ulama berpendapat bahwa sumpah diperbolehkan meskipun hanya didasari asumsi yang kuat;
4. Tidak diperbolehkan memastikan seseorang telah mukmin hanya berdasarkan zahirnya saja, karena iman adalah masalah hati yang tidak dapat diketahui orang lain secara pasti;
5. Boleh memastikan seseorang dengan menyebutnya sebagai muslim, bahkan dianjurkan, karena keislaman seseorang bisa dipastikan dari syahadat yang telah ia ikrarkan atau amal jasadiyah yang ia kerjakan;
6. Secara terminologi, iman tidak sama dengan islam. Seorang muslim (yang telah bersyahadat) belum tentu mukmin (hatinya benar-benar beriman), namun seorang mukmin sudah pasti muslim;
7. Diantara bentuk pengajaran adalah dialog, diantaranya dengan bertanya kembali kepada murid agar ia merenung dan berfikir tentang pertanyaan itu;
8. Dalam memberikan sesuatu, hendaklah memiliki prioritas berdasarkan kemanfaatan yang lebih besar. Sehingga diperbolehkan memberi sesuatu kepada sebagian orang dan tidak memberikannya kepada sebagian yang lain. Dalam hadits ini Rasulullah membagikan pemberian kepada sekelompok orang yang masih mualaf dan tidak kepada Ja'il yang telah mukmin agar mereka semakin kuat keislamannya. Sementara Ja'il yang termasuk muhajirin, tidak diberi hadiah itu pun tidak masalah. Hal yang sama juga dilakukan Rasulullah pasca perang Hunain. Rasulullah membagikan ghanimah yang banyak kepada Mualaf Mekah agar keislamannya semakin kuat, sementara kaum Anshar tidak diberi sejumlah ghanimah.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-27. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga bisa menjadi seorang mukmin, serta mampu mengambil ibrah dan hikmah dari segala ilmu dan pengalaman.

Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 26

حدثنا أحمد بن يونس وموسى بن إسماعيل قالا حدثنا إبراهيم بن سعد قال حدثنا بن شهاب عن سعيد بن المسيب عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل أي العمل أفضل فقال إيمان بالله ورسوله قيل ثم ماذا قال الجهاد في سبيل الله قيل ثم ماذا قال حج مبرور
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>.


 Hadits 26: Amal yang Paling Utama

Terorisme masih saja menghangat hingga kini. Terkadang, aksi terorime diakibatkan oleh pemahaman yang keliru terhadap hadits yang akan kita bahas sekarang ini, insya Allah. Yaitu hadits ke-25 dalam Shahih Bukhari. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Pembahasan hadits ke-25 ini diberi judul "Memerangi Manusia Hingga Bersyahadat, Shalat dan Zakat". Kami berharap pembaca tidak hanya membaca judulnya karena dikhawatirkan terjadi misinterpretasi terhadap hadits ini. Sebaliknya, kami merekomendasikan pembaca membaca keseluruhan penjelasan hadits di bawah ini.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-25:


عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga bersaksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan supaya mereka menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan itu maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam. Sedangkan perhitungan terakhir mereka terserah kepada Allah.

Penjelasan Hadits

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاة
Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga beraksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan supaya mereka menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat

Jika ada kata-kata أُمِرْتُ (aku diperintah) yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, maka maksudnya adalah diperintah Allah, karena hanya Dia-lah yang memerintah Rasulullah SAW. Sedangkan jika kata-kata أُمِرْتُ (aku diperintah) diucapkan oleh sahabat maka artinya adalah diperintah oleh Rasulullah, kata-kata itu tidak mengandung interpretasi "Aku diperintah oleh sahabat yang lain." Karena selama mereka adalah mujtahid maka mereka tidak menjadikan perintah mujtahid lain sebagai hujjah.

Kalimat حَتَّى يَشْهَدُوا (hingga mereka bersaksi) menjelaskan bahwa tujuan memerangi adalah adanya sebab-sebab yang disebutkan dalam hadits. Ini sekaligus berarti bahwa orang yang sudah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat akan dijamin jiwanya. Tidak boleh diperangi.

Menegakkan shalat (يُقِيمُوا الصَّلاَة) artinya mengerjakan shalat wajib secara kontinyu dengan memenuhi syarat dan rukunnya.

Dalam hadits ini dipakai istilah أقاتل (aku memerangi) bukan أقتل (aku membunuh). Keduanya berbeda. Dan dalam kerangka hadits inilah Abu Bakar memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Tidak ada satupun riwayat yang menunjukkan beliau membunuh mereka.

، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ
Jika mereka melakukan itu maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam

Jika mereka telah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat, maka mereka mendapat perlindungan dari Rasulullah atau pemerintah Islam. عَصَمُوا (mereka dalam lindunganku) artinya terjaga atau terlindungi. Al 'Ishmah berasal dari Al 'Ishaam, yaitu tali untuk mengikat mulut ghirbah (tempat air dari kulit binatang) agar airnya tidak mengalir.

Kecuali karena alasan-alasan hukum Islam (إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ) maksudnya adalah, meskipun dalam kondisi normal seseorang dilindungi dalam Islam, namun jika ia melakukan kejahatan maka hukuman hadud tetap dilaksanakan. Misalnya jika seorang muslim yang telah menikah terbukti berzina dengan terpenuhi empat saksi yang melihatnya, maka ia dirajam.

Demikian pula mereka tidak boleh diperangi kecuali dengan alasan yang disyahkan hukum Islam. Misalnya, melakukan bughat (pemberontakan kepada pemerintahan Islam yang sah).

وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
Sedangkan perhitungan terakhir mereka terserah kepada Allah.

Yaitu dalam hal-hal yang rahasia, khususnya yang lolos dari hukum. Karena hukum dalam Islam ditetapkan atas bukti zhahir. Adapun batinnya, atau jika ada kesalahan dalam putusan hukum, maka Allah yang akan mengadilinya di akhirat kelak.

Ibnu Hajar Al Asqalani menegaskan bahwa hadits ini menjadi dalil untuk tidak mengkafirkan ahli bid'ah yang mengikrarkan tauhid dan melaksanakan syariat. Hadits ini juga menjadi dalil diterimanya taubat orang kafir, terlepas dari kekafirannya sebelum itu bersifat dzahir atau batin.

Ibnu Hajar Al Asqalani juga menjawab keraguan sebagian orang yang merasakan pertentangan antara hadits ini yang dianggap menuntut untuk memerangi orang-orang yang menolak tauhid dengan ketentuan terhadap orang yang membayar jizyah atau mu'ahadah (terikat perjanjian damai) tidak diperangi.

Beliau menjawab bahwa ada enam jawaban untuk pertanyaan di atas. Pertama, hadits ini dinasakh dengan hukum penarikan jizyah dan mu'ahadah. Kedua, hadits ini bersifat umum lalu dikhususkan dengan hadits lain tentang jizyah dan mu'ahadah bahwa keduanya tidak diperangi. Ketiga, konteks hadits ini bersifat umum namun memiliki maksud tertentu. Maksud dari an-naas (manusia) dalam hadits ini adalah kaum musyrikin, bukan ahli kitab. Namun pendapat ini lemah sebab orang yang terikat perjanjian damai bisa saja orang musyrik. Keempat, maksud syahadah dalam hadits ini adalah menegakkan agama Islam dan menundukkan pembangkang. Tujuan itu bisa dicapai dengan berperang, atau mereka membayar jizyah, atau dengan mu'ahadah. Kelima, bahwa tuntutan dari perang tersebut adalah agar mereka bertauhid atau membayar jizyah sebagai pengganti. Keenam, tujuan diwajibkannya jizyah adalah mendesak mereka untuk memeluk Islam. Seakan-akan Rasulullah bersabda, "hingga mereka memeluk Islam atau melaksanakan perbuatan yang mengharuskan mereka memeluk Islam." Jawaban terakhir ini dikatakan oleh Ibnu hajar sebagai jawaban yang paling baik.

Yusuf Qardhawi membahas hadits ini secara panjang lebar dalam Fiqih Jihad dengan maksud agar tidak disalah pahami oleh umat Islam. Agar jangan sampai umat salah memahami bahwa melalui hadits ini Islam diwajibkan memerangi manusia non muslim seluruhnya. Bukan. Bukan seperti itu maksudnya.

Maka Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa konteks hadits ini adalah peperangan terbatas. An-naas yang disebutkan dalam hadits ini secara khusus mengacu kepada orang-orang musyrik yang telah menindas dakwah di Makkah dan selalu menzalimi kaum muslimin.

Yusuf Qardhawi di dalam Fiqih Jihad juga menjelaskan bahwa perang-perang yang dilakukan oleh umat Islam di masa Rasulullah, baik ghazwah maupun sariyah, hampir semuanya didahului oleh penyerangan dari pihak musuh, rencana penyerangan dari pihak musuh (diantaranya dengan memobilisasi kekuatan), atau pengkhianatan pihak musuh (misalnya Yahudi Bani Qainuqa', Quraidhah, dan Nadhir). Bisa dikatakan bahwa peperangan Rasulullah bersifat difa'iyah (defensif).

Yusuf Qardhawi juga mengutip pendapat banyak ulama secara detail khusus untuk membahas satu hadits ini, termasuk pendapat Ibnu Hajar di atas dan pendapat Al Jashash.

Yusuf Qardhawi juga mengutip penjelasan Ibnu Taimiyah. Diantaranya adalah penjelasan Ibnu Taimiyah dalam Al-Qaidah fi Qital Al Kafir bahwa maksud hadits ini adalah "Aku tidak diperintahkan untuk berperang kecuali hingga sampai pada tujuan ini. Bukan bermaksud aku diperintah untuk memerangi semua orang hingga tercapai tujuan ini. Penafsiran ini bertentangan dengan nash dan ijma'. Beliau tidak melakukan itu tetapi sebagaimana pada sirahnya, bahwa orang yang berdamai dengan beliau tidak akan diperangi."

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah, yang diperintah oleh Allah adalah peperangan yang terbatas pada orang-orang non muslim, khususnya yang memerangi, menzalimi, atau mengkhianati Islam ;
2. Orang-orang yang telah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat tidak boleh diperangi, kecuali dengan alasan hukum Islam (misalnya melakukan bughat);
3. Harta dan jiwa kaum muslimin yang telah bertauhid, shalat dan zakat dilindungi oleh pemerintah Islam kecuali karena adanya hukum Islam yang dilanggar (misalnya zina);
4. Bagi kesalahan yang tidak terjamah hukum, atau lolos dari pengadilan Islam, maka tetap ada pengadilan lain yang akan mengadilinya yaitu pengadilan Allah SWT.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-25. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga istiqamah dalam tauhid, menegakkan shalat dan menunaikan zakat serta kita dijauhkan dari pemahaman yang salah terhadap hadits. Allaahumma aamiin.

Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 25

حدثنا عبد الله بن محمد المسندي قال حدثنا أبو روح الحرمي بن عمارة قال حدثنا شعبة عن واقد بن محمد قال سمعت أبي يحدث عن بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام وحسابهم على الل
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>


 Hadits 25: Memerangi Manusia Hingga Bersyahadat, Shalat dan Zaka
Terorisme masih saja menghangat hingga kini. Terkadang, aksi terorime diakibatkan oleh pemahaman yang keliru terhadap hadits yang akan kita bahas sekarang ini, insya Allah. Yaitu hadits ke-25 dalam Shahih Bukhari. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Pembahasan hadits ke-25 ini diberi judul "Memerangi Manusia Hingga Bersyahadat, Shalat dan Zakat". Kami berharap pembaca tidak hanya membaca judulnya karena dikhawatirkan terjadi misinterpretasi terhadap hadits ini. Sebaliknya, kami merekomendasikan pembaca membaca keseluruhan penjelasan hadits di bawah ini.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-25:



عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga bersaksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan supaya mereka menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan itu maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam. Sedangkan perhitungan terakhir mereka terserah kepada Allah.

Penjelasan Hadits

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاة
Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga beraksi bahwa tiada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan supaya mereka menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat

Jika ada kata-kata أُمِرْتُ (aku diperintah) yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, maka maksudnya adalah diperintah Allah, karena hanya Dia-lah yang memerintah Rasulullah SAW. Sedangkan jika kata-kata أُمِرْتُ (aku diperintah) diucapkan oleh sahabat maka artinya adalah diperintah oleh Rasulullah, kata-kata itu tidak mengandung interpretasi "Aku diperintah oleh sahabat yang lain." Karena selama mereka adalah mujtahid maka mereka tidak menjadikan perintah mujtahid lain sebagai hujjah.

Kalimat حَتَّى يَشْهَدُوا (hingga mereka bersaksi) menjelaskan bahwa tujuan memerangi adalah adanya sebab-sebab yang disebutkan dalam hadits. Ini sekaligus berarti bahwa orang yang sudah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat akan dijamin jiwanya. Tidak boleh diperangi.

Menegakkan shalat (يُقِيمُوا الصَّلاَة) artinya mengerjakan shalat wajib secara kontinyu dengan memenuhi syarat dan rukunnya.

Dalam hadits ini dipakai istilah أقاتل (aku memerangi) bukan أقتل (aku membunuh). Keduanya berbeda. Dan dalam kerangka hadits inilah Abu Bakar memerangi orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Tidak ada satupun riwayat yang menunjukkan beliau membunuh mereka.

، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ
Jika mereka melakukan itu maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam

Jika mereka telah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat, maka mereka mendapat perlindungan dari Rasulullah atau pemerintah Islam. عَصَمُوا (mereka dalam lindunganku) artinya terjaga atau terlindungi. Al 'Ishmah berasal dari Al 'Ishaam, yaitu tali untuk mengikat mulut ghirbah (tempat air dari kulit binatang) agar airnya tidak mengalir.

Kecuali karena alasan-alasan hukum Islam (إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ) maksudnya adalah, meskipun dalam kondisi normal seseorang dilindungi dalam Islam, namun jika ia melakukan kejahatan maka hukuman hadud tetap dilaksanakan. Misalnya jika seorang muslim yang telah menikah terbukti berzina dengan terpenuhi empat saksi yang melihatnya, maka ia dirajam.

Demikian pula mereka tidak boleh diperangi kecuali dengan alasan yang disyahkan hukum Islam. Misalnya, melakukan bughat (pemberontakan kepada pemerintahan Islam yang sah).

وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
Sedangkan perhitungan terakhir mereka terserah kepada Allah.

Yaitu dalam hal-hal yang rahasia, khususnya yang lolos dari hukum. Karena hukum dalam Islam ditetapkan atas bukti zhahir. Adapun batinnya, atau jika ada kesalahan dalam putusan hukum, maka Allah yang akan mengadilinya di akhirat kelak.

Ibnu Hajar Al Asqalani menegaskan bahwa hadits ini menjadi dalil untuk tidak mengkafirkan ahli bid'ah yang mengikrarkan tauhid dan melaksanakan syariat. Hadits ini juga menjadi dalil diterimanya taubat orang kafir, terlepas dari kekafirannya sebelum itu bersifat dzahir atau batin.

Ibnu Hajar Al Asqalani juga menjawab keraguan sebagian orang yang merasakan pertentangan antara hadits ini yang dianggap menuntut untuk memerangi orang-orang yang menolak tauhid dengan ketentuan terhadap orang yang membayar jizyah atau mu'ahadah (terikat perjanjian damai) tidak diperangi.

Beliau menjawab bahwa ada enam jawaban untuk pertanyaan di atas. Pertama, hadits ini dinasakh dengan hukum penarikan jizyah dan mu'ahadah. Kedua, hadits ini bersifat umum lalu dikhususkan dengan hadits lain tentang jizyah dan mu'ahadah bahwa keduanya tidak diperangi. Ketiga, konteks hadits ini bersifat umum namun memiliki maksud tertentu. Maksud dari an-naas (manusia) dalam hadits ini adalah kaum musyrikin, bukan ahli kitab. Namun pendapat ini lemah sebab orang yang terikat perjanjian damai bisa saja orang musyrik. Keempat, maksud syahadah dalam hadits ini adalah menegakkan agama Islam dan menundukkan pembangkang. Tujuan itu bisa dicapai dengan berperang, atau mereka membayar jizyah, atau dengan mu'ahadah. Kelima, bahwa tuntutan dari perang tersebut adalah agar mereka bertauhid atau membayar jizyah sebagai pengganti. Keenam, tujuan diwajibkannya jizyah adalah mendesak mereka untuk memeluk Islam. Seakan-akan Rasulullah bersabda, "hingga mereka memeluk Islam atau melaksanakan perbuatan yang mengharuskan mereka memeluk Islam." Jawaban terakhir ini dikatakan oleh Ibnu hajar sebagai jawaban yang paling baik.

Yusuf Qardhawi membahas hadits ini secara panjang lebar dalam Fiqih Jihad dengan maksud agar tidak disalah pahami oleh umat Islam. Agar jangan sampai umat salah memahami bahwa melalui hadits ini Islam diwajibkan memerangi manusia non muslim seluruhnya. Bukan. Bukan seperti itu maksudnya.

Maka Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa konteks hadits ini adalah peperangan terbatas. An-naas yang disebutkan dalam hadits ini secara khusus mengacu kepada orang-orang musyrik yang telah menindas dakwah di Makkah dan selalu menzalimi kaum muslimin.

Yusuf Qardhawi di dalam Fiqih Jihad juga menjelaskan bahwa perang-perang yang dilakukan oleh umat Islam di masa Rasulullah, baik ghazwah maupun sariyah, hampir semuanya didahului oleh penyerangan dari pihak musuh, rencana penyerangan dari pihak musuh (diantaranya dengan memobilisasi kekuatan), atau pengkhianatan pihak musuh (misalnya Yahudi Bani Qainuqa', Quraidhah, dan Nadhir). Bisa dikatakan bahwa peperangan Rasulullah bersifat difa'iyah (defensif).

Yusuf Qardhawi juga mengutip pendapat banyak ulama secara detail khusus untuk membahas satu hadits ini, termasuk pendapat Ibnu Hajar di atas dan pendapat Al Jashash.

Yusuf Qardhawi juga mengutip penjelasan Ibnu Taimiyah. Diantaranya adalah penjelasan Ibnu Taimiyah dalam Al-Qaidah fi Qital Al Kafir bahwa maksud hadits ini adalah "Aku tidak diperintahkan untuk berperang kecuali hingga sampai pada tujuan ini. Bukan bermaksud aku diperintah untuk memerangi semua orang hingga tercapai tujuan ini. Penafsiran ini bertentangan dengan nash dan ijma'. Beliau tidak melakukan itu tetapi sebagaimana pada sirahnya, bahwa orang yang berdamai dengan beliau tidak akan diperangi."

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah, yang diperintah oleh Allah adalah peperangan yang terbatas pada orang-orang non muslim, khususnya yang memerangi, menzalimi, atau mengkhianati Islam ;
2. Orang-orang yang telah bersyahadat, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat tidak boleh diperangi, kecuali dengan alasan hukum Islam (misalnya melakukan bughat);
3. Harta dan jiwa kaum muslimin yang telah bertauhid, shalat dan zakat dilindungi oleh pemerintah Islam kecuali karena adanya hukum Islam yang dilanggar (misalnya zina);
4. Bagi kesalahan yang tidak terjamah hukum, atau lolos dari pengadilan Islam, maka tetap ada pengadilan lain yang akan mengadilinya yaitu pengadilan Allah SWT.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-25. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga istiqamah dalam tauhid, menegakkan shalat dan menunaikan zakat serta kita dijauhkan dari pemahaman yang salah terhadap hadits. Allaahumma aamiin.

Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 24

حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك بن أنس عن بن شهاب عن سالم بن عبد الله عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم مر على رجل من الأنصار وهو يعظ أخاه في الحياء فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم دعه فإن الحياء من الإيمان
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>..

 Hadits 24: Malu adalah Sebagian dari Iman

Alhamdulillah, pembahasan Hadits Shahih Bukhari kali ini memasuki hadits yang ke-24, biidznillah. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Sebagaimana judul yang bab yang diberikan oleh Imam Bukhari pada hadits ini " باب الْحَيَاءُ مِنَ الإِيمَانِ " pembahasan hadits ini juga diberikan judul yang sama dalam bahasa Indonesianya, yaitu "Malu adalah Sebagian dari Iman"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-24:



عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ

Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW bersabda, 'Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.'"


Penjelasan Hadits
Ayah dari Salim yang dimaksud dalam hadits ini tidak lain adalah Abdullah bin Umar bin Khattab.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ
Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu

Kata يَعِظُ berarti menasehati, menakut-nakuti, atau mengingatkan. Dalam hadits Shahih Bukhari yang lain (bab adab, yang insya Allah akan kita bahas nantinya jika sampai di sana) disebutkan dengan kalimat وَهْوَ يُعَاتَبُ فِى الْحَيَاءِ (ia mencela sifat malu saudaranya). Mungkin dalam bahasa kita, laki-laki ini mengatakan "Engkau sangat pemalu" atau "Sifat malu itu membahayakanmu."

Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan kemungkinan bahwa laki-laki tersebut sangat pemalu hingga ia tidak ingin meminta haknya. Karena itu ia dicela oleh saudaranya.

Namun ternyata, sikap laki-laki yang mencela atau menasehati saudaranya dari rasa malu itu tidak dibenarkan oleh Rasulullah SAW yang saat itu lewat di depan mereka.

دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِيمَانِ
Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman

Inilah salah satu sifat Rasulullah. Bahwa beliau tidak membiarkan sesuatu yang salah di hadapannya. Beliau tidak mendiamkan sesuatu yang keliru, kecuali menegurnya. Sebaliknya, segala hal yang terjadi atau diucapkan di hadapan Rasulullah SAW, sedangkan beliau membiarkan atau mendiamkannya, maka itu dianggap sebagai persetujuan Rasulullah SAW yang memiliki legitimasi hukum di dalam Islam. Dalam istilah hadits yang demikian itu disebut "hadits taqriri" yakni persetujuan dari Rasulullah SAW.

Maka dalam hadits ini Rasulullah SAW mengingatkan bahwa yang benar justru adalah tidak menghilangkan rasa malu dalam diri saudaranya. Biarkan saja seseorang memiliki sifat malu. Ia adalah akhlak yang disunnahkan. Malu adalah sebagian dari iman.

"Kalaupun sifat malu itu menghalangi seseorang dari meminta haknya," tulis Ibnu hajar dalam Fathul Bari, "maka dia akan diberi pahala sesuai dengan hak yang ditinggalkannya."

Karena sifat malu itu, menurut Ibnu Qutaibah, "Dapat menghalangi seseorang untuk melakukan kemaksiatan sebagaimana iman."

Malu didefinisikan sebagai sikap menahan diri dari perbuatan buruk atau hina. Sifat malu ini merupakan gabungan dari sifat takut dan iffah (menjaga kesucian diri).

Pendapat lain mengatakan bahwa malu adalah takut akan dosa karena melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Ada juga yang berpendapat bahwa malu berarti menahan diri karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat, akal, maupun adat kebiasaan. Pengertian yang disebutkan terakhir ini lebih umum dan mencakup definisi yang cukup luas.

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Kaum muslimin hendaknya selalu memiliki semangat untuk menasehati saudaranya, mengingatkannya dengan penuh kasih sayang, dan tidak berdiam diri dari kesalahan;
2. Salah satu sifat Rasulullah adalah meluruskan ketika ada kekeliruan yang beliau ketahui, dan membetulkan kesalahan yang beliau dapati. Sehingga ketika Rasulullah diam terhadap sesuatu yang diketahui beliau, maka itu berarti taqrir (persetujuan) dari beliau;
3. Hendaklah seorang muslim memiliki rasa malu dan menjaga sifat itu tetap ada pada dirinya;
4. Malu adalah sebagian dari iman.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-24. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang senantiasa memiliki semangat berdakwah dan memiliki rasa malu. Allaahumma aamiin.

Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 23

حدثنا محمد بن عبيد الله قال حدثنا إبراهيم بن سعد عن صالح عن بن شهاب عن أبي أمامة بن سهل أنه سمع أبا سعيد الخدري يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بينا أنا نائم رأيت الناس يعرضون علي وعليهم قمص منها ما يبلغ الثدي ومنها ما دون ذلك وعرض علي عمر بن الخطاب وعليه قميص يجره قالوا فما أولت ذلك يا رسول الله قال الدين
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
 Hadits 23: Kualitas Beragama Manusia Bertingkat-tingkat

Kali ini kita membicarakan hadits yang ke-23, biidznillah. Yakni hadits ke-23 dalam Shahih Bukhari (صحيح البخارى), di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Imam Bukhari tidak memberi judul tersendiri untuk hadits ke-23 ini, melainkan satu judul dengan hadits sebelumnya; باب تَفَاضُلِ أَهْلِ الإِيمَانِ فِى الأَعْمَالِ (Tingkatan orang-orang beriman dalam beramal). Untuk memudahkan pembaca, menyesuaikan dengan konteks hadits ini kita berikan judul pembahasannya: "Kualitas Beragama Manusia Bertingkat-tingkat"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-23:


عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ النَّاسَ يُعْرَضُونَ عَلَىَّ ، وَعَلَيْهِمْ قُمُصٌ مِنْهَا مَا يَبْلُغُ الثُّدِىَّ ، وَمِنْهَا مَا دُونَ ذَلِكَ ، وَعُرِضَ عَلَىَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلَيْهِ قَمِيصٌ يَجُرُّهُ . قَالُوا فَمَا أَوَّلْتَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الدِّينَ

Dari Abu Said Al-Khudri r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Aku bermimpi dalam tidurku seakan-akan aku melihat manusia di hadapankan kepadaku. Baju mereka diantaranya ada yang sebatas buah dada dan ada yang kurang dari itu. Dan kulihat pula Umar bin Khattab memakai baju yang dihela-helanya karena sangat panjang." Rasulullah ditanya, "Apakah takwil mimpi Anda ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "agama."

Penjelasan Hadits

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ النَّاسَ يُعْرَضُونَ عَلَىَّ
Aku bermimpi dalam tidurku seakan-akan aku melihat manusia di hadapankan kepadaku.

Dalam hadits ini Rasulullah SAW menceritakan mimpinya. Dan sebagaimana telah diketahui bahwa mimpi Rasulullah adalah benar. Ia tidak seperti mimpi bagi manusia pada umumnya, yang tidak bisa dijadikan hujjah.

وَعَلَيْهِمْ قُمُصٌ مِنْهَا مَا يَبْلُغُ الثُّدِىَّ ، وَمِنْهَا مَا دُونَ ذَلِكَ
Baju mereka diantaranya ada yang sebatas buah dada dan ada yang kurang dari itu.

Kalimat الثدي adalah bentuk jamak dari ثدي , artinya buah dada. Kalimat itu merupakan bentuk mudzakkar, meskipun ada pula ahli bahasa yang mengatakan sebagai bentuk mu'annats. Namun yang benar, kalimat الثدي bisa digunakan untuk menyebutkan baik laki-laki maupun perempuan. Terlebih dalam lanjutan hadits ini disebutkan nama Umar bin Khatab.

، وَعُرِضَ عَلَىَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلَيْهِ قَمِيصٌ يَجُرُّهُ
Dan kulihat pula Umar bin Khattab memakai baju yang dihela-helanya karena sangat panjang

Disebutkan secara khusus nama Umar di sini juga untuk menunjukkan keutamaan Umar bin Khatab. Bahwa beliau dengan segala kelebihannya, yang tegas terhadap kebenaran, kokoh dalam membela Islam hingga diberikan gelar Al-Faruq memang memiliki keutamaan yang luar biasa. Salah satunya adalah persaksian Rasulullah SAW dalam mimpinya ini.

. قَالُوا فَمَا أَوَّلْتَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
Rasulullah ditanya, "Apakah takwil mimpi Anda ya Rasulullah?"

Inilah para sahabat. Mereka sangat antusias dalam menerima pelajaran dari Rasulullah SAW dan sangat bersemangat untuk beramal. Meskipun pada dasarnya mereka tidak banyak bertanya, namun jika mereka belum menangkap secara jelas maksud Rasulullah maka mereka akan bertanya. Dan dalam kesempatan ini mereka melakukannya. Lalu Rasulullah menjawab dengan jawaban singkat, namun dipahami para sahabat: الدِّينَ "agama"

Bahwa baju dalam mimpi tersebut adalah takwil dari agama. Artinya, orang-orang mukmin memiliki kualitas beragama yang bertingkat-tingkat. Ada yang rendah, ada yang tinggi, dan ada yang sangat tinggi seperti Umar. Bukankah di hadits sebelumnya telah dibahas bahwa iman seseorang juga ada yang sangat kecil hingga ia menjadi penghuni surga yang datang terakhir ke sana?

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Mimpi Rasulullah SAW adalah benar. Apa yang diceritakan Rasulullah SAW dari mimpinya adalah wahyu yang perlu diketahui oleh para sahabat dan umatnya untuk diambil sebagai pelajaran dan tuntunan;
2. Manusia dalam bergama memiliki tingkatan kualitas yang berbeda-beda;
3. Agama dilambangkan dengan baju bisa diartikan bahwa agama adalah pelindung bagi seseorang dari teriknya siksa dan hinanya murka Allah, serta merupakan kehormatan hakiki bagi hambaNya;
4. Hadits ini menunjukkan salah satu keutamaan Umar bin Khatab.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-23. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang senantiasa meningkatkan kualitas beragama. Allaahumma aamiin.

Wallaahu a'lam bish shawab.[]