“فصل”
والولاء من حقوق العتق وحكمه حكم التعصيب عند عدمه وينتقل الولاء عن
المعتق إلى الذكور من عصبته وترتيب العصبات في الولاء كترتيبهم في الإرث
ولا يجوز بيع الولاء ولا هبته.
Fasal
Waris Walak adalah akibat dari memerdekakan budak. Dan hukumnya seperti hokum asobah ketika tidak ada yang menghalanginya dan akan pindahdari pemerdeka laki laki ke laki laki dari asobahnya. dan tertib asobah dalam walak seperti tertib dalam waris. Dan walak tidak boleh dijual atau diberikan key an g lain.
MU’TIQ ATAU WALA’
A. PENGERTIAN
Al-Wala atau
Al-Mu’tiq adalah kekerabatan karena sebab hukum (hukmiah). Disebut juga wala
al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan
budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya
mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi.
Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri
seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak
mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli
waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali
pernikahan.
Dalam Kitab Biadaytul Mujtahid dijelaskan, Mu'tiq atau Wala' adalah
hubungan antara dua orang seperti hubungan nasab. Hubungan kekerabatan secara
hukum (qarabah hukmiyah) ini terjadi karena dua sebab. Pertama,
kekuatan, kekuasaan, dan berbuat baik, yang diantaranya pemberian status
"merdeka" terhadap seseorang. Dengan demikian dia besetatus mantan
budak yang dimerdekakan (maula al-ataqah). Konsekuensinya, yang memerdekakan
menjadi "tuan" (wala'/mu'tiq') terhadap "mantan hamba" yang
dimerdekakan itu. Kedua, akad (perjanjian, transaksi), seperti ucapan
seseorang kepada orang lain, "Anda adalah Wala' k, jika aku meninggal,
Anda menjadi pewarisku, dan jika aku melakukan tindak pidana , Anda menjadi
penanggung diyatku. Transaksi seperti ini dalam hukum islam (fiqih) disebut
maula al-muwalah.
B.
WALA'
BAGI ORANG YANG MEMERDEKAKAN HAMBA
Ulama' berpendapat bahwa seseorang yang telah memerdekakan
hambanya, atas nama dirinya, hak wala'nya adalah untuknya. Ia mewarisi hak milik
hamba tersebut apabila bekas hambanya itu tidak mempunyai ahli waris. Ia juga
dapat menjadi pewaris ashabah jika hamba itu mempunyai ahli waris yang
tidak sampaimenghabiskan seluruh hartanya.
Diberikanya hak wala' kepada orang yang membebaskan hamba itu,
didasarkan kepada hadis sahih riwayat Barirah r.a. :
إِنَّمَا الْوَلَاءُ
لِمَنْ أَعْتَقَ (رواه البخاري و مسلم)
"Wala' itu hanya untuk orang yang memerdekakan".(HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian fuqaha berselisih pendapat tentang seseorang yang memerdekakan
hamba atas nama orang lain.
Malik berpendapat bahwa Wala' itu untuk orang yang memerdekakan,
bukan untuk orang yang menjadi wala' (atas nama) orang yang memerdekakan.
Menurut Abu Hanifah dan Syafi'I, jika ia membebaskanya dengan
sepengetahuan orang yang membebaskan, maka wala' tersebut untuk orang yang
melangsungkan pembebasanya.
Ulama' Hanafian dan Syafi'iyah berpegangan pada sabda Nabi Saw :
الْوَ لَاءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ
النَّسَبِ (أخرجه الدرم)
"Wala' adalah karib kerabat seperti karib kerabat nasab". (HR. Ad-Darimi)
Kata mereka, nasab tidak dapat dipertalikan dengan orang
merdekatanpa persetujuanya, begitu pula wala'.
Secara substansial pembebasanya itu adalah kemerdekaan yang terjadi
pada miliknorang yang memerdekakan, seharusnyalah wala' itu untuk yang
memerdekakan apabila ia memebebaskanya atas nama dirinya.
Sedang malik berpegangan, jika seseorang memerdekakan hamba,
berartia ia telah kehilangan/melepaskan hak kepemilikanya terhadap hamba itu,
jadi ia serupa dengan wakil. Karena itu, fuqaha sependapat bahwa jika
pemilik hamba itu member izin pada seorang wakil untuk memerdekakan hambanya
itu, maka wala'nya untuk yang memerdekakan (pemberi izin ), bukan untuk
wakilnya yang melangsungkan pemerdekaan.
C.
ORANG
YANG MEMERDEKAKAN SENDIRI HAMBANYA
Ulama' berselisih pendapat dalam hal apabila seorang tuan berkata
kepada hambanya, "Engkau merdeka".
Malik berpendapat, Wala' dan diyatnya untuk kaum muslim. Ia
menganggap tuan tersebut sebagai orang yang memedekakan atas nama kaum muslim.
Kecuali jika ia menghendaki arti pembebasan saja, maka wala'nya untuk dia.
Sedang menurut Syafi'I dan Abu Hanifah, bagaimanapun juga wala'nya
untuk orang yang membebaskan. Pendapat seperti ini juga dikemukakan oleh Ahmad,
Dawud, dan Abu Tsaur.
Fuqaha lain berpendapat
bahwa hamba tersebut dapat memberikan wala' sesukanya. Jika ia tidak memberikan wala' kepada
seorangpun, maka wala'nya untuk kaum muslim. Pendapat ini dikemukakan
oleh al-Laits dan al-auza'i. sedang Ibrahim dan asy-Sya'bi berpendapat bahwa
tidak apa-apa menjual wala' dari hamba yang dimerdekakan dan menghibahnya.
D.
WALA'
HAMBA MUSLIM YANG DIMERDEKAKAN OLEH ORANG NON MUSLIM
Ulama' berselisih pendapat tentang wala' hamba muslim ketika ia
dimerdekakan oleh orang Nasrani sebelum wala' itu dijual. Untuk siapakah
wala'nya?
Menurut Malik dan para pengikutnya, wala'nya itu untuk kaum
muslimin. Jika tuanya masuk islam sesudah itu, maka wala'nyabmaupun warisanya
tidak kembali kepadanya.
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa wla'nya untuk tuanya. Jika ia masuk
islam, ia memeperoleh wariasnya.
Jumhur fuqaha berpegangan bahwa wala' itu seperti nasab. Sebab,
jika seorang ayah masuk islam sesudah keislaman anakanya, ayah tersebut
mewarisinya. Demikia itu berlaku pula untuk hamba.
Dalam hal ini Malik berpegangan pada keumuman firman Allah.
"Dan Allah sekali-kali tidak akan member jalan kepada
orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman". (QS. An-Nisa':141)
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, diantara keduanya tidak ada
wala’. Dan menurut madzhabnya , hamba tersebut dapat menyerahkan kesetiaanya
kepada siapa saja yang disukainya.
Dalam hal ini Asyhab berbeda pendapat dengan Malik. Ia mengatakan
bahwa Hamba tersebut masuk islam sebelum tuanya, maka hak wala’nya tidak
kembali kepada tuanya selamanya.
Tetapi menurut Ibnul Qasim wala’nya, kembali kepada tuanya. Dan
ini, kesimpulan pendapat Malik krena dalam hal ini ia memeprtimbangkan waktu
terjadinya pembebasan.
E.
PEWARISAN
WALA’ BAGI PEREMPUAN
Jumhur Ulama sependapat bahwa perempuan-perempuan tidak termasuk
kelompok yang mewarisi hak wala’, kecuali perempuan yang melangsungkan diri
pemerdekaan hamba atau orang-orang yang ditarik oleh perempuan-perempun ynag
melangsungkan pembebasanya, baik dengan wala’ atau dengan nasab. Seperti orang
yang memeberikan kemerdekaan terhadap orang ynag memerdekakan dirinya sendiri.
Jumhur fuqaha berpegang bahwa wala’ itu hanya terjadi karena
kenikmatan dari orang yang memerdekakan atas orang yang diberi kemerdekaan. Dan
kenikmatan ini hanya ada pada orang yang memerdekakan secara langsung atau
orang tersebut menjadi sebab yang menentukan sebab-sebab kemerdekaan, yaitu
kelompok ashabah.
F.
WALA’
KARENA SENIORITAS
Masalah ini menurut jumhur fuqaha, bagian wala’ saudara laki-laki
yang mati tidak diwarisi oleh anak laki-lakinya, dan hak memperolah bagian
tersebut kembali kepada saudara laki-lakinya, karena ia lebih berhak dibanding
anak laki-laki tersebut. Berbeda halnya warisan biasa, karena penghalang dalam
warisan dipertimbangkan dekatnya hubungan dengan simayit. Sedang waris wala’
penghalanh dipertimbangkan menurut dekatnyahubungan dari orang yang
memerdekakan hamba secara langsung. Pendapat ini diriwayatkan dari kalangan
sahabat. Antara lain Umar bin Khatab, Ali, Usman, Ibnu mas’ud dan Zaid bin
Tsabit.
Sedangkan menurut Syuriah dan golongan fuqaha Basrah, hak saudara
laki-laki yang mati itu untuk anak-anaknya, mereka berpegangan bahwa antara
waris wala’ dan waris biasa mestinya ada kesamaan.
G.
PENARIKAN
WALA’
Persoalan terkenal lainya dalam hal ini adalah yang oleh fuqaha
dengan istilah penarikan wala’. Gambaranya adalah jika seorang hamba laki-laki
mempunyai anak laki-laki dari hamba perempuan. Kemudian hamba perempuan ini
dimerdekakan, dan sesudah itu hamba laki-laki tersebut dimerdekakan juga.
Dalam hal ini umlam berbeda pendapat, untuk siapa wala’ anak-anak
laki-laki jika ayahnya dimerdekakan. Demikia itu karena fuqaha sependapat bahwa
wala’ anak-anak tersebut sesudah sang ibu merdeka, dalam arti bayi itu masih
dalam perut ibunya yang belum tersentuh kehambaan, ini terjadi manakala hamba
laki-laki mengawininya sesudah dibebaskan, sedang ia belum dibebaskan, maka
wala’ tersebut menjadi hak orang yang memerdekakan ibunya.
Fuqaha berselisih pemndapat apabila ayah dibebaskan, apakah wala’
anak-anakanya itu tertarik kepada tuanya hamaba itu atau tidak?
Jumhur fuqaha seperti Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan
para pengikutnya berpendapat bahwa wala’ tersebut tertarik. Dan pendapat ini
dikemukakan oleh Ali, Ibnu Mas’ud, Zubair dan Usman bin Affan.
Sedangkan Atha’, Ikrimah, Ibnu Syihab, dan segolongan fuqaha
berpendapat bahwa wala’nya tidak tertarik. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar
dan diputuskan oleh Abdul Malik bin Marwan ketika Qubaishah bin Dzuaib
menceritakan demikian dari Umar bin Khatab. Meski dari Umar juga diriwayatkan
pendapatnya seperti pendapat Jumhur. Jumhur fuqaha beralasan bahwa wala’ itu
sma dengan nasab, sedang nasab adalah untuk ayah, bukan untuk ibu. Sementara
golongan kedua berpendapat sebaliknya karena mengikuti akibat kemerdekaan
ibunya.
No comments:
Post a Comment