Wednesday, June 5, 2013

Hadits 39: Islam itu Mudah

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-39. Hadits ke-39 ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Imam Bukhari memberi judul باب الدِّينُ يُسْرٌ (Agama itu Mudah) untuk hadits ini. Senada dengan itu, pembahasan hadits ke-39 ini kita beri judul: "Islam itu Mudah"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-39:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya agama itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan. Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya, atau mendekati semestinya dan bergembiralah (dengan pahala Allah) dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam"

Penjelasan Hadits

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ
Sesungguhnya agama itu mudah

Inilah karakter agama Islam sebagai agama yang telah diridhai Allah dan diturunkan dalam kesempurnaan kepada umat terakhir.

Ada pendapat yang mengatakan Islam dikatakan mudah karena ia berbeda dengan agama-agama sebelumnya, di mana Allah telah menghilangkan kesulitan-kesulitan yang dibebankan kepada umat terdahulu. Dicontohkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, dalam hal taubat misalnya. Untuk diterima taubatnya, umat terdahulu ada yang diharuskan bunuh diri. Sedangkan bagi kaum muslimin cukup dengan menyesali dosanya, berjanji tidak mengulangi dan memperbanyak kebaikan.

Pada dasarnya, Islam adalah agama yang mudah karena ia diturunkan oleh Allah SWT yang Maha Tahu karakter dan kemampuan manusia. Manusia adalah ciptaan Allah dan Dialah yang paling tahu apa yang tepat serta mudah bagi ciptaan-Nya itu. Dia tidak memberikan beban atau kewajiban yang tidak sanggup ditanggung oleh hamba-Nya.

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al-Baqarah : 286)

Dalam hal aqidah, aqidah Islam yang pokoknya adalah tauhid merupakan keyakinan yang sejalan dengan fitrah, menenangkan hati dan memuaskan akal. Sehingga sangat mudah bagi manusia yang mau berfikir untuk mengikuti aqidah ini, tanpa kesulitan. Tidak seperti filsafat yang rumit dan juga tidak seperti politheisme yang membingungkan.

Dalam hal ibadah, ibadah Islam adalah ibadah yang mudah. Shalatnya lima waktu dalam sehari semalam merupakan ibadah yang pertengahan. Ia tidak seperti shalat umat terdahulu yang sampai puluhan kali dalam sehari dengan jangka waktu lama. Tidak pula terlalu jarang seperti peribadatan pekanan dalam agama selain Islam. Shalat bisa dilakukan di bumi mana saja, dengan baju yang mana saja asalkan menutupi aurat dan tidak melanggar syariah, dan dengan imam siapa saja dari kaum muslimin.

Puasa juga mudah. Ia hanya terbentang dari fajar hingga matahari terbenam. Satu bulan dalam satu tahun. Tidak seberat puasa kaum terdahulu. Selain mendekatkan kepada Allah, puasa juga menyehatkan pencernaan dan melatih kepekaan sosial.

Zakat dan haji juga demikian. Kedua ibadah yang sangat memerlukan harta ini hanya diwajibkan bagi kaum muslimin yang mampu. Mampu menunaikan zakat karena memiliki harta yang telah mencapai nishab dan haul, mampu menunaikan haji karena memiliki biaya serta aman dan kondusif dalam melaksanakannya.

Taubat bisa dilakukan siapa saja dengan cara yang juga mudah. Ia tidak seperti dipraktikkan agama lainnya yang mengharuskan seseorang yang berdosa untuk mengumumkan aibnya di depan orang lain dan membayar dengan sejumlah uang. Taubat dalam Islam bisa dilakukan oleh masing-masing orang hanya kepada Allah. Taubat dalam Islam berhak didapatkan oleh siapapun tanpa membedakan ia miskin atau kaya, banyak harta atau tidak memilikinya.

Muamalah dalam Islam juga sesuatu yang mudah. Ia sejalan dengan fitrah manusia dan tidak pernah memberatkan. Mulai dari jual beli dan berbagai bentuk interaksi sesama yang bertumpu pada prinsip keadilan, kasih sayang dan saling menguntungkan. Menikah juga mudah dilakukan. Islam tidak memberatkan mahar, namun menyerahkannya kepada kesepakatan antara kedua belah pihak calon suami dan istri sehingga mudah dipenuhi.

Allah SWT berfirman :

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (QS. Al-Hajj : 78)

وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agama melainkan ia akan dikalahkan

Siapa yang menentang Islam, ia akan kalah sendiri. Karena karakter agama Islam itu mudah, maka siapa yang menyulitkan diri sendiri ia akan kalah. Siapa yang berlebih-lebihan dalam agama ini ia akan kalah. Artinya, ia takkan mampu menjalankan agama ini dengan sempurna. Justru akan futur, jatuh dan tenggelam di tengah jalan.

Misalnya dicontohkan dalam sebuah hadits di mana ada tiga orang yang bertanya kepada Aisyah mengenai amal Rasulullah. Lalu mereka menyimpulkan bahwa mereka harus berusaha lebih karena Rasulullah telah diampuni dosanya. Maka orang pertama bertekad untuk qiyamullail sepanjang malam tanpa tidur. Orang kedua bertekad akan berpuasa setiap hari tanpa kecuali. Dan orang ketiga bertekad membujang selamanya, tanpa menikah.

Rasulullah SAW yang kemudian mengetahui perkara ini meluruskan mereka agar mengikuti sunnah Rasulullah. Bahwa qiyamullail dijalankan tetapi ada waktu untuk istirahat. Puasa tidak setiap hari, tetapi maksimalnya adalah puasa Dawud (sehari puasa sehari tidak). Dan seorang muslim hendaklah menikah, tidak membujang.

Apa yang diingatkan Rasulullah SAW itu tidak lain adalah mengikuti karakter agama ini. Bahwa Islam itu mudah. Dan seorang muslim tidak boleh berlebihan, memaksakan diri, atau memperberat yang akhirnya justru ia cepat bosan lalu berhenti, atau terhalang dari kewajiban dan keutamaan lain dari agama ini.

فَسَدِّدُوا
Oleh karena itu kerjakanlah dengan semestinya,

Yaitu amalkanlah Islam itu sebagaimana mestinya, dengan baik dan benar, tanpa berlebihan dan tanpa menguranginya

وَقَارِبُوا
atau mendekati semestinya

Jika tidak mampu, berusahalah mendekati mestinya. Senantiasa berusaha mendekati kesempurnaan sebagaimana yang telah ditunjukkan Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur'an dan hadits

وَأَبْشِرُوا
dan bergembiralah (dengan pahala Allah)

Bergembiralah, karena dengan mengamalkan Islam sebagaimana adanya itu engkau akan mendapatkan pahala dari Rabbmu. Bergembiralah, sebab dengan menjalankan Islam yang mudah itu engkau akan mendapatkan ganjaran dan kebaikan dari Tuhanmu. Dan amal yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus meskipun ia sedikit. Ketidakmampuan seseorang dalam menjalankan perintah Allah tanpa kesengajaan tidaklah mengurangi pahalanya, dan sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada banyak amalan tetapi bid'ah.

وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
dan mohonlah pertolongan di waktu pagi, petang dan sebagian malam

Al-Ghadwah (الْغَدْوَةِ) artinya permulaan siang. Ar-Rauhah (الرَّوْحَة) artinya setelah terbenamnya matahari. Ad-Duljah (الدُّلْجَةِ) artinya akhir malam.

Maksudnya adalah, mintalah pertolongan kepada Allah SWT dengan beribadah pada waktu-waktu yang telah ditentukan, utamanya adalah permulaan siang (Dzuhur), Maghrib dan waktu-waktu qiyamullail. Mintalah pertolongan kepada Allah dalam segala hal, baik urusan dunia maupun urusan akhirat, khususnya dalam bab ini adalah agar diisitiqamahkan dalam menjalankan Islam yang mudah, yang sesuai sunnah. Tanpa berlebih-lebihan sekaligus tanpa pengurangan.

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa hadits ini memiliki korelasi yang erat dengan hadits-hadits sebelumnya. Yakni jika hadits sebelumnya menunjukkan bahwa shalat, puasa dan jihad merupakan bagian dari iman dan memiliki keutamaan besar, hadits ini mengingatkan agar dalam menjalankan ketiganya kita tetap berada dalam koridor sunnah, sesuai dengan karakter Islam yang mudah. Tidak mempersulit diri dan berlebih-lebihan.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Islam itu agama yang mudah. Ia diturunkan dengan sempurna sesuai dengan fitrah dan kemampuan manusia;
2. Seorang muslim harus menjalankan Islam sesuai karakternya yang mudah, tidak mempersulit diri atau berlebih-lebihan;
3. Orang yang berlebih-lebihan dan mempersulit diri dalam beragama cenderung akan jatuh dalam kekalahan, baik itu bosan, futur atau terjebak pada ghuluw dan bid'ah;
4. Seorang muslim harus berusaha menjalankan Islam sebagaimana ia diperintahkan, jika tidak mampu hendaklah berusaha mendekatinya;
5. Seorang muslim harus optimis dengan pahala dan kebaikan yang akan diberikan kepadanya sebagai balasan atas komitmennya terhadap Islam dan sunnah;
6. Seorang muslim hendaklah senantiasa memohon kepada Allah dengan terus beribadah kepada-Nya;
7. Seorang muslim hendaklah memanfaatkan waktu-waktu utama dan memperhatikan kesempatannya untuk meraih momentum terbaik dalam beribadah dan beramal.

Demikian hadits ke-39 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga kita mampu menetapi Islam yang pada hakikatnya mudah ini. Semoga Allah menjadikan kita istoqmah, tanpa sikap berlebihan dan pengurangan. Karena, Islam itu Mudah. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 38: Puasa Ramadhan dengan Ikhlas adalah Sebagian dari Iman

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-38. Seperti hadits sebelumnya, hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Untuk hadits ke-38 ini, Imam Bukhari memberi judul باب صَوْمُ رَمَضَانَ احْتِسَابًا مِنَ الإِيمَانِ, yang diterjemahkan menjadi judul pembahasan hadits ini: "Puasa Ramadhan dengan Ikhlas adalah Sebagian dari Iman"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-38:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala), maka diampuni dosanya yang telah lalu"

Penjelasan Hadits

Sebagaimana disinggung pada hadits sebelumnya, hadits ke-38 ini merupakan salah satu dari empat hadits berturut-turut yang diberi judul oleh Imam Bukhari dengan berakhiran "minal iman" (bagian dari iman). Imam Bukhari memberi judul باب قِيَامُ لَيْلَةِ الْقَدْرِ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-35, باب الْجِهَادُ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-36, باب تَطَوُّعُ قِيَامِ رَمَضَانَ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-37, dan باب صَوْمُ رَمَضَانَ احْتِسَابًا مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-38 ini.

Empat hadits itu –sesuai judulnya- sengaja diletakkan pada urutan ini oleh Imam Bukhari untuk menegaskan bahwa iman itu bukan semata-mata keyakinan dalam hati, tetapi juga dibuktikan dengan amal. Dan amal-amal yang disebutkan dalam hadits ini merupakan bagian dari iman. Jika ia dilakukan, maka itu menjadikan iman semakin sempurna. Sebaliknya, jika ia tidak dilakukan, maka itu menandakan imannya kurang.

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala)

Matan hadits ini (hadits ke-38), hanya berbeda satu huruf dengan hadits sebelumnya (hadits ke-37). Jika pada hadits ke-37 menggunakan "qaf", hadits ini menggunakan "shad." Pada hadits ke-37, lafadz "Qaama" berarti shalat malam, lafadz "Shaama" pada hadits ke-38 ini artinya berpuasa. Itulah bedanya. Yang pertama adalah amal di malam hari, yang kedua amal di siang hari. Namun, kedua-duanya baru akan bernilai di sisi Allah jika dilandasi keikhlasan. Dan keduanya akan mendapatkan balasan yang sama-sama luar biasa.

غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
diampuni dosanya yang telah lalu

Inilah balasan yang luar biasa itu. Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Pelajaran Hadits

Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Allah SWT hanya menerima ibadah yang ikhlas;
2. Orang yang berpuasa Ramadhan dengan ikhlas, ia akan diganjar oleh Allah Ta'ala dengan diampuninya dosa yang telah lalu.

Demikian hadits ke-38 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga senantiasa berusaha menjaga dan meningkatkan iman serta bersemangat dalam beribadah, termasuk berpuasa dengan ikhlas pada bulan Ramadhan. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 37: Ikhlas Shalat Malam pada Ramadhan adalah Sebagian dari Iman

Pembahasan hadits Shahih Bukhari, biidznillah, kini memasuki hadits ke-37. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Sebagaimana hadits ke-35 dan hadits ke-36, hadits ke-37 ini juga membicarakan bagian dari iman. Karenanya pada hadits-hadits tersebut Imam Bukhari memberikan judul yang selalu berakhiran dengan "minal iman" (bagian dari iman). Hadits ke-37 ini oleh Imam Bukhari diberi judul باب تَطَوُّعُ قِيَامِ رَمَضَانَ مِنَ الإِيمَانِ, yang diterjemahkan menjadi judul pembahasan hadits ini: "Ikhlas Shalat Malam pada Ramadhan adalah Sebagian dari Iman"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-37:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menegakkan shalat di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala), maka diampuni dosanya yang telah lalu"

Penjelasan Hadits
Sebagaimana para ulama ahlus sunnah wal jama'ah lainnya, Imam Bukhari berkeyakinan bahwa amal shalih merupakan bagian dari iman dan dapat meningkatkan/mempertebal iman. Iman bisa bertambah dan berkurang. Perbuatan atau amal shalih dapat menambah iman, sebaliknya maksiat dapat menurunkan iman. Demikianlah aqidah yang lurus, yang berbeda dengan paham murji'ah yang berpendapat bahwa iman hanyalah pembenaran di hati, tanpa amal anggota badan.

Imam Bukhari agaknya ingin menekankan aqidah itu dalam kitab iman ini sehingga empat hadits berturut-turut, termasuk hadits ke-37 ini beliau beri judul yang selalu berakhiran dengan "minal iman" (bagian dari iman). Maka, beliau memberi judul باب قِيَامُ لَيْلَةِ الْقَدْرِ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-35, باب الْجِهَادُ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-36, باب تَطَوُّعُ قِيَامِ رَمَضَانَ مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-37 ini, dan باب صَوْمُ رَمَضَانَ احْتِسَابًا مِنَ الإِيمَانِ untuk hadits ke-38 nanti.

قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
Barangsiapa menegakkan shalat di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap perhitungan (pahala)

Seperti disebutkan pada hadits ke-35 yang merupakan pengecualian, semua hadits yang berisi kalimat syarat dan balasan/konsekuensi seperti ini keduanya menggunakan fi'il madhi. Khusus hadits ke-35 menggunakan fiil mudhari (kata kerja bentuk sekarang) pada kalimat syarat dan fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau) pada kalimat jawab/konsekuensinya karena hadits itu mengisyaratkan bahwa shalat pada lailatul qadar itu tidak dapat dipastikan. Sedangkan pada hadits ini, kalimat syarat menggunakan fi'il madhi karena shalat malam pada bulan Ramadhan bisa dipastikan, sebagaimana dapat diketahui bahwa malam itu adalah Ramadhan.

Hadits ke-37 ini menjelaskan keutamaan shalat malam pada bulan Ramadhan, namun keutamaan itu hanya bisa didapatkan jika shalat malam itu dikerjakan dengan ikhlas, semata-mata karena iman dan mengharapkan balasan dari Allah.

غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
diampuni dosanya yang telah lalu

Inilah keutamaan itu. Keutamaan yang luar biasa, diampuninya dosa-dosa yang telah lalu. Adakah ganjaran yang lebih hebat dari ini? Bukankah ini adalah kemurahan dan kasih sayang Allah untuk hamba-hambaNya yang beriman? Jika dosa sudah diampuni, itu berarti Allah meridhaiNya dan tempat kembalinya adalah surga.

Pelajaran Hadits

Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Iman bukan sebatas pengakuan di hati, tetapi juga mewujud dalam amal. Sehingga amal yang baik akan menambah iman, sebaliknya amal yang jelek (kemaksiatan) akan mengurangi iman;
2. Menegakkan shalat pada bulan Ramadhan adalah sebagian dari iman;
2. Allah SWT hanya menerima ibadah yang ikhlas;
3. Diantara keutamaan shalat malam pada bulan Ramadhan dengan ikhlas adalah diampuninya dosa yang telah lalu.

Demikian hadits ke-37 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita mendapatkan taufiq dari Allah SWT sehingga senantiasa berusaha menjaga dan meningkatkan iman serta bersemangat dalam beribadah, termasuk shalat malam pada bulan Ramadhan. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 36: Jihad adalah Sebagian dari Iman, Menang atau Syahid adalah Kebaikan

Senada dengan hadits ke-35, hadits ke-36 ini juga mengetengahkan bagian dari Iman. Meskipun secara eksplisit kita tidak menemukan kalimat seperti itu dalam hadits ini, Imam Bukhari memberikan judul باب الْجِهَادُ مِنَ الإِيمَانِ (Bab Jihad adalah sebagian dari Iman) untuk hadits ini.

Untuk lebih mengarahkan pembaca pada tekstual hadits, pembahasan hadits ke-36 ini judulnya diperpanjang menjadi "Jihad adalah Sebagian dari Iman, Menang atau Syahid adalah Kebaikan"

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-36:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ انْتَدَبَ اللَّهُ لِمَنْ خَرَجَ فِى سَبِيلِهِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ إِيمَانٌ بِى وَتَصْدِيقٌ بِرُسُلِى أَنْ أُرْجِعَهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ ، أَوْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ ، وَلَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى مَا قَعَدْتُ خَلْفَ سَرِيَّةٍ ، وَلَوَدِدْتُ أَنِّى أُقْتَلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Allah menggembirakan hati orang yang berperang di jalan Allah, yakni orang yang berperang semata-mata karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya, bahwa ia akan kembali membawa kemenangan dan ghanimah, atau dimasukkan ke dalam surga. Andaikata tidak menyulitkan umatku, niscaya aku akan selalu ikut berperang. Aku ingin mati terbunuh di jalan Allah, kemudian hidup kembali dan terbunuh, kemudian hidup lagi dan terbunuh pula"

Penjelasan Hadits

انْتَدَبَ اللَّهُ لِمَنْ خَرَجَ فِى سَبِيلِهِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ إِيمَانٌ بِى وَتَصْدِيقٌ بِرُسُلِى
Allah menggembirakan hati orang yang berperang di jalan Allah, yakni orang yang berperang semata-mata karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya

Maksud dari "Allah menggembirakan hati" (انْتَدَبَ اللَّهُ) adalah segera memberikan balasan yang baik, atau mengabulkan keinginan. Bahwa bagi orang yang berjihad fi sabilillah, Allah akan memberikan satu dari dua hal yang akan disebutkan di belakang nanti.

Siapakah mujahid fi sabilillah (orang yang berperang di jalan Allah)? Hadits ini memberikan definisi bahwa mujahid fi sabilillah yang mendapatkan janji balasan kebaikan itu adalah orang yang berperang semata-mata karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Indikasi orang yang berperang karena keimanan semacam itu adalah, tujuannya berperang tidak lain adalah untuk meninggikan agama Allah.

Dalam hadits yang lain disebutkan,

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمَغْنَمِ ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ ، فَمَنْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِىَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW lalu bertanya: "Ada orang berperang untuk mendapatkan ghanimah (rampasan perang), ada orang berperang supaya disebut-sebut (namanya), ada orang berperang supaya dilihat kedudukannya, maka manakah yang dapat disebut fi sabilillah?" Rasulullah menjawab: "Siapa yang berperang supaya kalimat Allah SWT menjadi tinggi, maka dia-lah yang berperang fi sabilillah" (HR. Bukhari)

Bagi orang-orang yang demikianlah, ada kabar gembira dari Allah, ada janji, ada balasan kebaikan yang akan didapatkan; baik ia menang maupun syahid. Apa itu balasannya?

أَنْ أُرْجِعَهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ أَوْ غَنِيمَةٍ ، أَوْ أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ
bahwa ia akan kembali membawa kemenangan dan ghanimah, atau dimasukkan ke dalam surga

Inilah balasannya. Sungguh, bagi mujahid fi sabilillah, ia menang maupun syahid, kedua-duanya adalah kebaikan. Jika ia menang maka ia akan kembali dengan membawa kemenangan dan ghanimah. Dengan kemenangan, dakwah akan semakin kokoh, Islam semakin kuat dan aturan-aturan Allah lebih luas dapat diterapkan. Sedangkan jika ia syahid, maka ia akan masuk surga.

Tak sekedar masuk surga seperti mukmin yang lain, orang yang syahid fi sabilillah memiliki keistimewaan khusus. Dalam sejumlah riwayat lainnya, termasuk dalam kitab jihad yang hadits-haditsnya insya Allah akan kita bahas pada gilirannya nanti, dapat diketahui bahwa keutamaan orang yang syahid fi sabilillah itu luar biasa. Diantaranya adalah tidak merasakan sakitnya mati kecuali seperti sakitnya digigit semut, mudah hisabnya karena dosanya diampuni kecuali hutang, dan sangat cepat dalam melintasi shirath menuju surga.

وَلَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى مَا قَعَدْتُ خَلْفَ سَرِيَّةٍ ، وَلَوَدِدْتُ أَنِّى أُقْتَلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ ثُمَّ أُحْيَا ، ثُمَّ أُقْتَلُ
Andaikata tidak menyulitkan umatku, niscaya aku akan selalu ikut berperang. Aku ingin mati terbunuh di jalan Allah, kemudian hidup kembali dan terbunuh, kemudian hidup lagi dan terbunuh pula

Subhaanallah. Tidak ada keinginan Rasulullah untuk mati berkali-kali kecuali untuk mencapai syahid. Ini menggambarkan betapa besarnya pahala jihad dan mati syahid.

Rasulullah juga ingin untuk selalu ikut berperang. Namun beliau khawatir itu akan memberatkan umatnya, terlebih jika jihad dijadikan fardhu ain bagi setiap muslim pada setiap perang. Karenanya pada sebagian perang, khususnya perang-perang besar Rasulullah ikut, tetapi pada sebagiannya lagi Rasulullah menetap di Madinah, tidak ikut berperang. Perang Badar, Uhud, Ahzab, Khaibar, Fathu Makkah, dan Hunain, semuanya diikuti oleh Rasulullah. Tetapi pada beberapa ekspedisi (sariyah) Rasulullah cukup mengutus pasukan tanpa keikutsertaan beliau. Demikian juga pada perang Muktah, Rasulullah juga tidak ikut serta.

Begitu besarnya keutamaan mati syahid, hingga ketika orang yang syahid telah berada di surga, mereka juga memiliki keinginan seperti Rasulullah, seandainya bisa hidup lagi, berjihad lalu mati syahid lagi.

مَا أَحَدٌ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ يُحِبُّ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا وَلَهُ مَا عَلَى الأَرْضِ مِنْ شَىْءٍ ، إِلاَّ الشَّهِيدُ ، يَتَمَنَّى أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا فَيُقْتَلَ عَشْرَ مَرَّاتٍ ، لِمَا يَرَى مِنَ الْكَرَامَةِ

Tidak seorangpun yang masuk surga namun dia suka untuk kembali ke dunia padahal dia hanya mempunyai sedikit harta di bumi, kecuali orang yang mati syahid. Dia berangan-angan untuk kembali ke dunia kemudian berperang lalu terbunuh hingga sepuluh kali karena dia melihat keistimewaan karamah (mati syahid). (HR. Al-Bukhari)

Karena itu, sebagai seorang muslim kita harus memancangkan niat untuk ikut berjihad fi sabilillah. Meskipun pada kenyataannya nanti tidak ada kesempatan untuk berjihad, niat yang ikhlas dan jujur itu akan membawanya meraih syahadah (pahala atau kedudukan mati syahid).

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ طَلَبَ الشَّهَادَةَ صَادِقًا أُعْطِيَهَا وَلَوْ لَمْ تُصِبْهُ

Barangsiapa yang memohon syahadah (mati syahid) dengan jujur, maka dia akan diberikan (pahala) syahadah meskipun dia tidak mati syahid. (HR. Muslim)

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Untuk mengokohkan kaum mukminin, Allah SWT menunjukkan keutamaan sebagian ibadah, termasuk jihad fi sabilillah;
2. Jihad fi sabilillah dalam pandangan Allah adalah jihad yang dilandasi iman;
3. Jihad fi sabilillah senantiasa berakhir dengan kebaikan. Jika menang, mujahid mendapatkan kemenangan dan ghanimah. Sedangkan jika syahid, ia mendapatkan surga;
4. Keutamaan jihad dan mati syahid sangat besar. Begitu besarnya hingga Rasulullah SAW secara khusus menginginkan bisa mati syahid berkali-kali.

Demikian hadits ke-36 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita termasuk hamba-Nya yang memiliki niat untuk berjihad fi sabilillah, berdoa mendapatkan kemuliaan mati syahid dan mempersiapkan diri meraihnya. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 35: Korelasi Iman dan Shalat pada Lailatul Qadar

Setelah membahas tanda-tanda munafik pada hadist sebelumnya, kita kini akan membahas kembali tanda-tanda keimanan dan kebaikannya.

Hadits yang akan kita bahas berikut adalah hadits ke-35, masih berada di bawah kitab iman. Ia berbicara mengenai keutamaan (fadhilah) menghidupkan lailatul Qadar. Dalam kaitannya dengan iman, menghidupkan lailatul Qadar adalah salah satu bagiannya. Karenanya, Imam Bukhari memberikan judul "Menegakkan Shalat pada Lailatul Qadar adalah sebagian dari Iman."

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-35:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Abu Hurairah, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menegakkan shalat pada Qadar karena iman dan mengharapkan perhitungan (pahala), maka diampuni dosanya yang telah lalu"

Penjelasan Hadits

Setelah Imam Bukhari menyebutkan hadits mengenai tanda-tanda kemunafikan, beliau kembali menyebutkan hadits mengenai tanda-tanda iman dan kebaikan/keutamaannya, karena pembicaraan tentang iman adalah tujuan utama dari kitabul iman. Maka di hadits ini beliau menjelaskan tentang shalat pada lailatul qadar adalah sebagian dari iman. Pada hadits selanjutnya nanti beliau menyebutkan shalat malam pada Ramadhan dan puasa Ramadhan adalah juga sebagian dari iman.

Berbeda dengan perawi lain yang menyebutkan matan hadits ini dengan fi'il madhi, matan hadits ke-35 Shahih Bukhari ini menggunakan fiil mudhari (kata kerja bentuk sekarang) pada kalimat syarat dan fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau) pada kalimat jawab/konsekuensinya. Fi'il madhi pada kalimat jawab merupakan isyarat kepastian balasan dari Allah. Sedangkan fi'il mudhari pada kalimat syarat di hadits ini mengisyaratkan bahwa shalat pada lailatul qadar itu tidak dapat dipastikan. Ini berbeda dengan shalat malam dan puasa pada bulan Ramadhan pada hadist selanjutnya (37 dan 38). Keduanya dapat dipastikan sehingga haditsnya memakai fi'il madhi.

مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
Menegakkan shalat pada lailatul Qadar

Inilah yang tidak dapat dipastikan. Selain Rasulullah, tidak ada manusia yang dapat memastikan bahwa saat itu adalah lailatul Qadar, meskipun dari berbagai hadita yang ada dapat diketahui tanda-tandanya dan malam keberapa di bulan Ramadhan yang lebih berpeluang menjadi waktu turunnya lailatul Qadar.

Yang dapat dilakukan adalah bermujahadah (sungguh-sungguh) untuk mendapatkan lailatul Qadar dengan memegakkan shalat pada malam-malam Ramadhan, terutama pada malam ganjil pada sepuluh hari terakhir. Dengan demikian, ketika turun lailatul Qadar, ia akan mendapatkan balasan/keutamaan yang ada pada hadita ini sebab ia pada saat itu terhitung menegakkan shalat di malam Qadar.

إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
karena iman dan mengharapkan perhitungan (pahala)

Artinya dengan ikhlas. Seseorang menegakkan shalat karena iman dan mengharap ridha serta perhitungan (pahala) dari Allah, bukan mengharapkan sesuatu dari selain-Nya seperti pujian, dikatakan kuat beribadah dan lain-lain. Hadits ini dan yang sejenis juga menjadi dalil bahwa seorang hamba yang beribadah dengan mengharapkan pahala serta ingin memperoleh surga tetap masuk dalam kategori ikhlas. Tidak seperti klaim sebagian sufi yang mengatakan bahwa beribadah dengan mengharap surga dan takut neraka berarti tidak ikhlas.

غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Diampuni dosanya yang telah lalu

Subhaanallah... adakah balasan lain yang lebih hebat daripada ini. Sungguh Allah maha pengampun lagi penyayang. Dia berkenan mengampuni dosa-dosa hambaNya dengan wasilah shalat malam pada lailatul Qadar. Jika seorang hamba telah mendapatkan ampunan, bukankah tempat kembalinya adalah surga? Adakah yang lebih hebat dari ini? Jika demikian, berarti lelah dan beratnya mujahadah untuk mencari lailatul Qadar dengan menegakkan shalat di malam-malam Ramadhan tidaklah seberapa dibandingkan dengan dahsyatnya balasan yang akan diterimanya

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Menegakkan shalat pada lailatul Qadar adalah sebagian dari iman;
2. Ibadah harus ikhlas dengan dilandasi iman, jika tidak ikhlas maka tidak akan diterima Allah SWT;
3. Diantara keutamaan shalat pada lailatul Qadar dengan ikhlas adalah diampuninya dosa yang telah lalu.

Demikian hadits ke-35 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita dimudahkan Allah untuk beribadah, diantaranya berupaya mencari lailatul qadar dengan menegakkan shalat pada malam-malam Ramadhan. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 34: Tanda-tanda Munafik (2)

Pembahasan hadits Shahih Bukhari, biidznillah, kini memasuki hadits ke-34. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Sebagaimana hadits ke-33, hadits ke-34 ini juga membicarakan tanda-tanda munafik. Bedanya, jika pada hadits ke-33 disebutkan tiga tanda, pada hadits ini ada empat. Karenanya, pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-34 ini kita beri judul "Tanda-tanda Munafik (2)".

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-34:


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

Dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, "Empat hal, barangsiapa memilikinya maka ia adalah munafik tulen. Barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat itu, maka ia memiliki karakter munafik hingga ia melepaskannya: Jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika berdebat ia bertindak tak terpuji."

Penjelasan Hadits

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا
Empat hal, barangsiapa memilikinya maka ia adalah munafik tulen. Barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat itu, maka ia memiliki karakter munafik hingga ia melepaskannya:

Kita mungkin bertanya, mengapa pada hadits sebelumnya disebutkan tiga tanda munafik sedangkan pada hadits ini disebutkan ada empat hal? Imam Al Qurthubi menjawab, "Ada kemungkinan Rasulullah SAW baru mengetahui sifat tambahan itu." Namun, pendapat ini tidak disetujui oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa kedua hadits di atas (hadits ke-33 dan ke-44) tidak ada pertentangan. Karena sifat yang menunjukkan karakter orang munafik belum tentu tanda-tanda munafik. Karena bisa saja tanda-tanda tersebut merupakan sifat asli munafik. Dan jika ditambahkan sifat yang lain maka kemunafikannya akan semakin sempurna (tulen).

Dalam riwayat Muslim ada tambahan kata مِنْ (dari) sehingga berbunyi مِنْ عَلاَمَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ (diantara tanda-tanda munafik itu ada tiga). Riwayat Muslim dari Abu Hurairah tersebut malah mengindikasikan tidak adanya pembatasan terhadap tanda-tanda munafik. Masih ada tanda lain di luar tiga itu, meskipun tiga tanda yang telah disebutkan pada hadits ke-33 adalah tanda-tanda pokok atau utama.

Empat hal yang akan disebutkan dalam lanjutan hadits ini jika terhimpun dalam diri seseorang, maka itu menjadi indikator bahwa orang tersebut adalah munafik tulen. Jika salah satu atau sebagiannya dimiliki seseorang, maka ia termasuk berkarakter munafik, sampai ia meninggalkan atau melepaskan sifat-sifat tersebut.

Apa saja keempat sifat itu?

إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika berdebat ia bertindak tak terpuji

Tiga hal yang disebutkan pertama adalah sama dengan tiga tanda-tanda munafik yang disebutkan pada hadits ke-33. Seperti disebutkan di awal, itulah tanda-tanda utama. Mengapa? Sebab domain amal seseorang hanya tiga; perkataan, perbuatan dan niat. Dusta itu merusak perkataan, khianat itu merusak perbuatan, mengingkari janji itu merusak niat. Sedangkan jika janji tidak terpenuhi tanpa sengaja (sebenarnya sudah berusaha tapi tidak berhasil), maka ia tidak dikategorikan sebagai tanda munafik, sebagaimana dijelaskan Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin.

Hal baru dalam hadits ini yang tidak disebutkan sebagai tanda munafik dalam hadits sebelumnya adalah bertindak "fujur" ketika berdebat. Fujur yang dimaksud dalam hadits ini adalah meninggalkan kebenaran dan menggunakan tipu daya untuk menolaknya. Sebenarnya karakter ini bisa dimasukkan dalam kategori berdusta dalam berbicara.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Tanda-tanda munafik yang pokok ada tiga. Namun, selain yang tiga itu ada sifat lain yang dimiliki oleh munafik, diantaranya bersikap buruk ketika berdebat dengan berdusta dan menggunakan tipu daya untuk menolak kebenaran;
2. Jika seseorang secara sempurna memiliki tanda-tanda munafik atau sifat munafik, maka ia adalah munafik tulen. Jika sebagian sifat yang dimiliki sedangkan yang lainnya tidak, maka ia memiliki sebagian kemunafikan;
3. Selain tiga tanda kemunafikan yaitu jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia mengingkari dan jika diberi amanah ia berkhianat, orang yang munafik memiliki sifat fujur ketika berdebat (meninggalkan kebenaran dan menggunakan tipu daya untuk menolak kebenaran itu).

Demikian hadits ke-34 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah SWT dari kemunafikan dan orang munafik, serta dikaruniai taufiq agar terjauh dari tanda-tanda munafik. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 33: Tanda-tanda Munafik

Pembahasan Hadits Shahih Bukhari, biidznillah, kini memasuki hadits ke-33. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Sebagaimana judul yang diberikan oleh Imam Bukhari " باب عَلاَمَةِ الْمُنَافِقِ", pembahasan Hadits Shahih Bukhari ke-33 ini kita beri judul "Tanda-tanda Munafik".

Berikut ini matan (redaksi) Hadits Shahih Bukhari ke-33:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat"

Penjelasan Hadits

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga:

Hadits ini adalah hadits yang sangat populer, sekaligus hadits yang sangat penting untuk memperingatkan kita agar waspada terhadap kemunafikan; jangan sampai penyakit itu menjangkiti kita.

Munafik (المنافق) artinya adalah orang yang nifaq (النفاق). Nifaq secara bahasa berarti ketidaksamaan antara lahir dan batin. Jika ketidaksamaan itu dalam hal keyakinan, hatinya kafir tetapi mulutnya mengatakan beriman, maka ia termasuk nifaq i'tiqadi. Pada zaman Rasulullah SAW, di Madinah ada munafik-munafik jenis ini dengan gembongnya bernama Abdullah bin Ubay bin Salul. Nifaq jenis ini seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ

Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (QS. Al-Baqarah : 8)

Karena kemunafikan itu masalah hati yang tersembunyi, maka tidak seorangpun yang bisa memastikan seseorang itu munafik atau bukan. Bahkan sahabat sekaliber Umar bin Khatab pun tidak mengetahuinya. Hanya seorang sahabat yang tahu satu per satu orang-orang munafik di Madinah waktu itu. Dialah Hudzaifah Ibnul Yaman. Hudzaifah mengetahui siapa orang-orang munafik karena Rasulullah SAW memberitahukan kepadanya. Itu merupakan salah satu keutamaan Hudzaifah sehingga ia dijuluki pemegang rahasia Rasulullah.

Meskipun tidak dapat diketahui secara pasti, kemunafikan bisa diwaspadai dari tanda-tandanya. Dalam hadits ini Rasulullah SAW menjelaskaskan bahwa tanda-tanda munafik itu ada tiga.

Jika tanda-tanda munafik ini ada pada seseorang, hendaklah orang itu diwaspadai supaya tidak dijadikan pemimpin bagi umat Islam. Namun yang lebih penting, dengan memperhatikan tiga tanda-tanda munafik ini kita mewaspadai diri kita agar jangan sampai kemunafikan hinggap dalam jiwa.

Tanda Munafik yang Pertama

إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ
jika berbicara ia berbohong

Inilah tanda munafik yang pertama; gemar berbohong. Semakin sering berbohong, semakin dekat dengan kemunafikan.

Dalam hadits lain Rasulullah SAW pernah mensifati seorang mukmin. Bahwa mungkin saja seorang mukmin itu penakut, mungkin saja bakhil, tetapi tidak mungkin seorang mukmin itu pembohong.

قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ جَبَانًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ بَخِيلًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا فَقَالَ لَاََََ

Ditanyakan kepada Rasulullah Saw: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi penakut?” Beliau menjawab: ‘Ya.” Lalu ditanya lagi: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi bakhil?” Beliau menjawab: “Ya.” Lalu ditanyakan lagi: “Apakah seorang mukmin bisa menjadi pembohong?” Beliau menjawab: “Tidak!” (HR. Malik dari Sofwan bin Sulaim dalam Al-Muwatha')

Tanda Munafik yang Kedua


وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ
jika berjanji ia mengingkari

Inilah tanda munafik yang kedua; gemar mengingkari janji. Semakin sering mengingkari janji, semakin dekat dengan kemunafikan. Karenanya, berhati-hatilah dengan janji.

Tanda munafik yang kedua ini tidak lebih mudah dihindari daripada tanda munafik pertama. Sering kali seorang muslim sudah mampu menjaga agar perkataannya benar, menghindari berbohong, tetapi ia masih mudah berjanji padahal ia tahu dirinya sulit memenuhi janji itu. Apalagi jika seseorang menjadi pemimpin; dorongan untuk berjanji biasanya lebih besar. Maka intensitas memberikan janji semakin besar. Lihatlah praktik kampanye di zaman sekarang. Bukankah dalam satu pertemuan saja bisa dicatat sekian banyak janji? Berhati-hatilah.

Tanda Munafik yang Ketiga


وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
dan jika diberi amanah ia berkhianat

Ini tanda munafik yang ketiga; mengkhianati amanah. Semakin sering dilakukan, semakin dekat dengan kemunafikan. Semakin besar amanah yang dikhianati, semakin jelas tanda kemunafikan. Sekali lagi, meskipun kita tidak bisa memastikan.

Amanah bentuknya bisa bermacam-macam. Bisa jadi ia adalah pekerjaan atau profesi yang di dalamnya ada kewajiban yang seharusnya kita penuhi. Bisa jadi ia adalah kepemimpinan yang dipercayakan kepada kita. Bahkan titipan barang dari orang lain agar kita menjaganya, atau rahasia dari orang lain agar kita menyimpannya, semua itu termasuk amanah.

Maka, marilah kita melakukan introspeksi diri agar tidak terjerumus dalam kemunafikan. Jika selama ini kita kurang komit terhadap kejujuran, mudah mengingkari janji atau menganggap remeh amanah, marilah kita bertaubat dan memperbaiki diri.

Pelajaran Hadits

Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Munafik adalah orang yang nifaq, antara lahir dan batinnya tidak sama (bertolak belakang). Yang paling parah adalah ketika secara dzahir mengatakan beriman tetapi hatinya kafir ;
2. Meskipun orang munafik tidak dapat diketahui secara pasti, namun tanda-tandanya dapat dikenali;
3. Tanda-tanda orang munafik ada tiga yaitu jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia mengingkari dan jika diberi amanah ia berkhianat.

Demikian Hadits ke-33 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah SWT dari kemunafikan dan orang munafik, serta dikaruniai taufiq agar terjauh dari tanda-tanda munafik. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 32: Syirik adalah Kezaliman Terbesar

Alhamdulillah, pembahasan Hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-32, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Hadits ini membahas tafsir QS. Al-An'am ayat 83, khususnya istilah zalim pada ayat itu. Para sahabat mengkhawatirkan diri mereka terancam keimanannya karena sadar bahwa tidak seorang pun suci dari perbuatan zalim. Kemudian dijelaskanlah kepada mereka apa "zalim" yang dimaksudkan dalam ayat tersebut. Karenanya, pembahasan Hadits Shahih Bukhari ke-32 ini kita beri judul "Syirik adalah Kezaliman Terbesar".

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-32:


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتِ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Dari Abdullah bahwa ia berkata, "Ketika turun ayat 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman' (QS. Al-An'am : 82) para sahabat bertanya "Siapa diantara kita yang tidak berbuat zalim?" Maka Allah menurunkan ayat 'Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang besar' (QS. Luqman : 13)"

Penjelasan Hadits
Jika sebelumnya, seluruh hadits mulai dari hadits ke-1 hingga hadits ke-31 kita mendapati matan (redaksi) nya berbentuk hadits qauli (perkataan Rasulullah), hadits fi'li (perbuatan Rasulullah yang diceritakan oleh sahabat), atau gabungan keduanya; maka pada hadits ke-32 ini seakan-akan kita tidak melihat matan hadits ini dinisbatkan kepada Rasulullah, baik secara perkataan maupun perbuatan.

Secara tekstual matan hadits di atas menjelaskan perbuatan para sahabat. Hadits semacam ini lebih dikenal dengan istilah atsar. Namun yang perlu diingat, setiap atsar yang terjadi ketika Rasulullah SAW masih hidup (perkataan atau perbuatan sahabat itu diketahui Rasulullah), lalu Rasulullah SAW mendiamkannya, maka diamnya Rasulullah SAW itu merupakan taqrir (persetujuan). Selain hadits qauli dan hadits fi'li, hadits taqriri merupakan jenis ketiga.

Kembali ke hadits ke-32 ini, sebenarnya ada hadits lain yang hampir sama namun matannya berbeda. Diantaranya adalah hadits ke-3360. Ketika kita bertemu hadits itu, kita akan mendapati di dalamnya disebutkan bahwa Rasulullah SAW menjawab kekhawatiran mereka dengan mengingatkan pada QS. Luqman ayat 13.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتِ ( الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ ) قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ
Dari Abdullah bahwa ia berkata, "Ketika turun ayat 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman' (QS. Al-An'am : 82) para sahabat bertanya "Siapa diantara kita yang tidak berbuat zalim?"

Perhatikanlah hadits ini! Demikianlah para sahabat mengkhawatirkan keimanan mereka. Ada sikap khauf yang sangat besar pada diri para sahabat, sebagaimana mereka juga memiliki sikap raja' yang juga besar. Kehati-hatian para sahabat inilah yang membedakannya dengan generasi kita sekarang.

Para sahabat, meskipun mereka adalah mukmin terbaik, mereka tetap khawatir terjadi sesuatu dengan iman mereka. Sementara generasi kita saat ini, ada yang sedemikian 'yakin' bahwa imannya tak akan goyah hingga mengatakan "Iman yang kuat tak akan takut pada keraguan. Iman yang dangkal dan dogmatis selalu was-was pada pertanyaan dan keragu-raguan."

Maka ketika turun ayat ke-82 surat Al-An'am :

الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An'am : 82)

Para sahabat bersedih. " أَيُّنَا لَمْ يَظْلِم ْ" (siapakah yang tidak berbuat zalim?). Pertanyaan ini mengisyaratkan kekhawatiran para sahabat kalau-kalau mereka tidak mendapatkan jaminan keamanan dari Allah dan tidak mendapat petunjuk dariNya karena sangat berat menjadi orang yang benar-benar bersih dari zhulmun (perbuatan zalim).

Lihatlah di sini. Bukankah para sahabat tidak mengklaim diri mereka sebagai orang yang suci. Para sahabat tidak menyatakan bahwa diri mereka bebas dari kesalahan. Lalu mengapa kita yang bukan siapa-siapa merasa sebagai orang bersih dan suci?

Pertanyaan sahabat itu juga mengindikasikan bahwa mereka memahami kata "dhulm" pada ayat di atas sebagai kezaliman secara umum. Kezaliman yang berarti meletakkan sesuatu/perkara bukan pada tempatnya. Dalam bahasa Indonesia, zalim disepadankan dengan kata aniaya. Di sini kekhawatiran para sahabat mendapatkan pembenarannya. Bukankah tidak memenuhi hak diri sendiri (baik jasadiyah, fikriyah maupun ruhiyah) dengan tepat adalah zalim; zalim terhadap diri sendiri? Bukankah tidak memenuhi hak istri dengan sempurna juga bisa dikatakan zalim? Bukankah tidak memenuhi hak anak dan orang tua dengan semestinya juga bisa disebut zalim? Makna zalim secara umum yang semula dipahami sahabat saat itu juga mendapatkan alasan karena kata "zhulmun" pada ayat di atas dalam bentuk nakirah (indefinitif).

"Menurut pendapatku," tulis Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, "para sahabat menafsirkan kata 'zhulmun' secara umum yaitu mencakup syirik dan perbuatan maksiat lainnya, hal ini juga sebagaimana dikehendaki oleh Imam Bukhari."

يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Maka Allah menurunkan ayat 'Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang besar' (QS. Luqman : 13)"

Inilah tafsir ayat QS. Al-An'am : 82 itu. Bahwa "zhulmun" yang dimaksudkan adalah syirik (mempersekutukan Allah SWT). Dan inilah langkah pertama dalam metode tafsir bil ma'tsur; menafsirkan Al-Qur'an dengan ayat lain yang menjelaskannya.

Dijelaskan dalam hadits yang lain bahwa setelah mengetahui bahwa "zhulmun" yang dimaksudkan adalah syirik, para sahabat menjadi tenang; kesedihannya hilang.

Lalu bagaimana kita mengkorelasikan hadits ini dengan hadits yang lain? Pada hadits ini para sahabat mengetahui tafsirnya setelah diturunkan QS. Luqman ayat 13, sedangkan pada hadits yang lain Rasulullah mengingatkan mereka pada ayat tersebut. Di sini dapat disimpulkan bahwa sesudah QS. Al-An'am : 82 turunlah QS. Luqman : 13. Lalu Rasulullah mengingatkan para sahabat dengan ayat tersebut sebagai tafsirnya.

Pelajaran Hadits

Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Diantara karakteristik para sahabat adalah menjadikan keimanan dan permasalahan akhirat sebagai orientasi hidup mereka. Maka kesedihan maupun ketenangan hidupnya selalu didasarkan pada kondisi iman;
2. Para sahabat memiliki sikap khauf (takut kepada Allah, mengkhawatirkan akhiratnya) yang sangat besar;
3. Para sahabat tidak menganggap (mengklaim) diri mereka bersih dan suci dari semua kesalahan/kezaliman dalam maknanya yang umum;
4. Segala hal yang tidak benar dan tidak tepat menurut syariat bisa disebut zalim. Maka baik syirik maupun perbuatan maksiat, semuanya masuk dalam istilah zalim secara umum;
5. Kata "zhulmun" dalam QS. Al-An'am ayat 82 maknanya adalah syirik;
6. Syirik adalah kezaliman terbesar;
7. Iman dan syirik (besar) tidak mungkin berkumpul dalam diri seseorang.

Demikian hadits ke-32 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah SWT dari kezaliman terbesar yaitu syirik serta kezaliman secara umum yaitu segala perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat Allah SWT. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 31: Dua Muslim yang Saling Membunuh, Keduanya Masuk Neraka

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-31, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Imam Bukhari memberi judul hadits ini باب ( وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ) فَسَمَّاهُمُ الْمُؤْمِنِينَ (Bab "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!" Allah menyebut tetap mereka mukmin). Untuk memudahkan, pembahasan hadits ke-31 Shahih Bukhari ini kita beri judul: Dua Muslim yang Saling Membunuh, Keduanya Masuk Neraka.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-31:


عَنِ الأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ ذَهَبْتُ لأَنْصُرَ هَذَا الرَّجُلَ ، فَلَقِيَنِى أَبُو بَكْرَةَ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قُلْتُ أَنْصُرُ هَذَا الرَّجُلَ . قَالَ ارْجِعْ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِى النَّارِ . فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

Dari Al-Ahnaf bin Qais bahwa ia berkata, "Pada suatu ketika saya hendak pergi menolong seseorang yang sedang berkelahi. Secara kebetulan saya bertemu Abu Bakar, ia pun berkata, "Mau ke mana kau?" Kujawab, "Aku akan menolong orang itu." Ia berkata lagi, "Kembalilah! Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Apabila dua orang muslim berkelahi dan masing-masing mempergunakan pedang maka si pembunuh dan yang terbunuh, keduanya masuk neraka." Aku bertanya, "Hal itu bagi pembunuh, bagaimana dengan yang terbunuh?" Beliau menjawab, "Karena orang yang terbunuh itu juga berusaha untuk membunuh saudaranya."

Penjelasan Hadits

عَنِ الأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ ذَهَبْتُ لأَنْصُرَ هَذَا الرَّجُلَ ، فَلَقِيَنِى أَبُو بَكْرَةَ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ قُلْتُ أَنْصُرُ هَذَا الرَّجُلَ
Dari Al-Ahnaf bin Qais bahwa ia berkata, "Pada suatu ketika saya hendak pergi menolong seseorang yang sedang berkelahi. Secara kebetulan saya bertemu Abu Bakar, ia pun berkata, "Mau ke mana kau?" Kujawab, "Aku akan menolong orang itu."

Dalam hadits ini tidak disebutkan dialog awal antara Al-Ahnaf dan Abu Bakar. Kita tidak mendapatkan ucapan salam ketika keduanya bertemu karena tidak ada keharusan untuk menceritakan kisah secara lengkap dalam periwayatan. Yang penting adalah dialog yang relevan dengan pembahasan hadits yang hendak disampaikan.

Pada hadits ke-29 yang telah dibahas sebelumnya, bahkan diperbolehkan bagi perawi untuk menyampaikan hadits secara tidak lengkap (mencuplik sebagian), asalkan tidak merusak maknanya.

قَالَ ارْجِعْ
Ia berkata lagi, "Kembalilah!"

Riwayat Al-Ahnaf ini menunjukkan potret kehidupan sahabat Nabi yang peduli dengan sesamanya. Baik Al-Ahnaf maupun Abu Bakar. Bedanya, Al-Ahnaf belum mengetahui bagaimana hukum perkelahian yang dilakukan oleh dua orang tersebut. Kepedulian Abu Bakar tidak kalah besar. Setelah tahu tujuan Al-Ahnaf, Abu Bakar mencegahnya agar tidak menolong salah satunya. Larangan Abu Bakar ini dimungkinkan ia mengetahui lebih detail bahwa kedua orang tersebut tak bisa lagi dilerai.

قَالَ ارْجِعْ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِى النَّارِ
Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Apabila dua orang muslim berkelahi dan masing-masing mempergunakan pedang maka si pembunuh dan yang terbunuh, keduanya masuk neraka."

Di sinilah poin penting yang harus diperhatikan oleh kaum muslimin. Bahwa kepedulian terbesar seorang muslim kepada muslim lainnya adalah mengupayakannya agar berada di atas petunjuk; mengajaknya agar menetapi Al-Qur'an dan sunnah. Dan itulah yang dilakukan Abu Bakar kepada Al-Ahnaf. Ia menunjukkan sabda Rasulullah SAW terkait kasus kedua orang yang berkelahi itu.

Korelasi sabda Rasulullah SAW ini dengan masalah iman adalah bahwa ada perbuatan-perbuatan maksiat atau dosa yang bisa menjerumuskan seorang muslim ke neraka. Misalnya adalah perbuatan dua orang yang berkelahi dan saling membunuh. Namun demikian, selama kedua orang tersebut tidak melakukan kesyirikan, keduanya masih dikategorikan sebagai muslim. Bahkan, dalam QS. Al-Hujurat ayat 9 disebutkan bahwa dua pihak yang berperang masih disebut mukmin; dan itulah yang dijadikan judul oleh Imam Bukhari dalam hadits ini.

Jika perkelahian itu benar-benar saling membunuh, lalu salah satunya terbunuh, maka kedua-duanya masuk neraka. Inilah yang harus diwaspadai oleh kaum muslimin agar tidak sampai terbawa emosi dan tersulut amarah kemudian terlibat persengketaan dan perkelahian dengan sesama muslim.

فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ
Aku bertanya, "Hal itu bagi pembunuh, bagaimana dengan yang terbunuh?"

Abu Bakar bertanya mengapa yang terbunuh juga masuk neraka. Kalau yang membunuh, ia pantas masuk neraka karena perbuatan buruknya itu; menghilangkan nyawa seorang muslim. Tapi yang terbunuh? Bagaimana penjelasannya?

Sikap Abu Bakar ini –sebagaimana sikap sahabat yang lain dalam hadits sebelumnya- juga merupakan potret karakter para sahabat yang mengamalkan wahyu; فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ "bertanyalah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui" (QS. Al-Anbiya' : 7). Dan lihatlah, pertanyaat mereka adalah pertanyaan emas. Pertanyaan yang begitu jawabannya diketahui membawa efek/perubahan bagi amal mereka.

قَالَ إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
Beliau menjawab, "Karena orang yang terbunuh itu juga berusaha untuk membunuh saudaranya."

Inilah jawabannya. Karena ia (yang tebunuh), juga berusaha membunuh. Jika ada yang bertanya, bukankah ada hadits lain yang menjelaskan bahwa seorang yang berniat jelek tidak dihitung dosa sebelum melakukannya? Jawabannya adalah, orang ini bukan hanya niat, tetapi juga telah berbuat. Yaitu ia juga berusaha membunuh. Kalau saja bukan karena kedahuluan ia terbunuh, tentu dialah yang membunuh.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Diantara karakteristik para sahabat adalah peduli dengan sesama muslim, selalu berusaha membantu dan menolong mereka. Dan kepedulian terbesar adalah membuat seorang muslim berada di atas petunjuk Al-Qur'an dan sunnah;
2. Wajib menyampaikan ilmu yang telah diketahui, khususnya jika kebutuhannya mendesak dan jika tidak disampaikan akan menimbulkan kemudharatan;
3. Tidak boleh bagi seorang muslim berkelahi dengan muslim yang lainnya, apalagi sampai pada tingkat saling berusaha membunuh;
4. Dua orang muslim yang berkelahi dan saling membunuh, maka keduanya diancam masuk neraka, baik yang membunuh maupun terbunuh;
5. Ada perbuatan-perbuatan maksiat, seperti berkelahi ini, yang menyebabkan seorang muslim masuk neraka tetapi tidak otomatis mengeluarkannya dari agama.

Demikian hadits ke-31 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dihindarkan dari permusuhan sesama muslim, apalagi sampai pada taraf saling membunuh. Semoga Allah senantiasa menjaga kita berada dalam ukhuwah Islamiyah; saling mencintai, saling menyayangi. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 30: Maksiat adalah Perbuatan Jahiliyah, Islam itu Indah

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-30, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Hadits yang berisi pengalaman Abu Dzar ditegur keras oleh Rasulullah SAW ini mengajarkan kepada kita bahwa kemaksiatan, seperti mencaci seseorang dengan menghina ibunya adalah perbuatan jahiliyah yang harus ditinggalkan. Sebaliknya, Islam mengajarkan interaksi yang sangat indah kepada sesama, termasuk hamba sahaya. Karenanya, pembahasan hadits ke-30 Shahih Bukhari ini kita beri judul: Maksiat adalah Perbuatan Jahiliyah, Islam itu Indah.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-30:


عَنِ الْمَعْرُورِ قَالَ لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ ، وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ ، وَعَلَى غُلاَمِهِ حُلَّةٌ ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ إِنِّى سَابَبْتُ رَجُلاً ، فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ ، فَقَالَ لِىَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ ، إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ ، وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

Dari Al-Ma'rur bahwa ia berkata, "Saya bertemu dengan Abu Dzar di Rabadzah. Beliau dan hamba sahayanya mengenakan pakaian (mantel) yang serupa. Kemudian saya bertanya apa sebabnya mereka mengenakan pakaian yang serupa. Abu Dzar menjawab, 'Aku pernah memaki seseorang dengan menghina ibunya. Lalu Nabi SAW berkata kepadaku, "Wahai Abu Dzar, apakah kau memaki dia dengan menghina ibunya? Rupanya masih ada dalam dirimu karakteristik jahiliyah. Para hambamu adalah saudara-saudaramu yang Allah titipkan di bawah tanggungjawabmu. Oleh karena itu, barangsiapa memiliki hamba sahaya, hendaklah hamba sahaya itu diberikan makanan yang dimakan dan diberi pakaian yang dipakai serta janganlah mereka dibebani dengan pekerjaan yang berada di luar kemampuan mereka. Jika mereka terpaksa mengerjakannya maka bantulah mereka."

Penjelasan Hadits

لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ ، وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ ، وَعَلَى غُلاَمِهِ حُلَّةٌ ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ
Saya bertemu dengan Abu Dzar di Rabadzah. Beliau dan hamba sahayanya mengenakan pakaian (mantel) yang serupa. Kemudian saya bertanya apa sebabnya mereka mengenakan pakaian yang serupa.

Abu Dzar yang dimaksud di sini adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Sedangkan Rabadzah adalah sebuah perkampungan yang berjarak 3 mil dari Madinah.

Lihatlah Abu Dzar Al Ghifari ini! Demikianlah para sahabat. Mereka mengamalkan apa yang telah diajarkan Sang Nabi meskipun berlawanan dengan tradisi dan dinilai banyak orang sebagai sesuatu yang merendahkan diri. Namun bagi orang yang mulia karena keimanan, tidak masalah jika pakaiannya sama dengan pakaian budak, apalagi sekadar anak buah atau bawahan. Justru dengan kerelaan memakai dan memberikan pakaian yang sama, nyatalah Islam mempersamakan derajat setiap manusia. Bahkan antara budak dan tuannya. Di kemudian hari, melalui berbagai upaya termasuk kaffarat, Islam secara besar-besaran menghapus perbudakan.

Lihatlah Al-Ma'rur. Demikianlah semestinya para pecinta ilmu dan kebenaran. Ia menanyakan hal yang tak diketahuinya, yang besar sekali kemungkinannya ia mendapatkan manfaat dari sana: ilmu agama, juga pengamalannya.

فَقَالَ إِنِّى سَابَبْتُ رَجُلاً ، فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ
Abu Dzar menjawab, 'Aku pernah memaki seseorang dengan menghina ibunya.

Lihatlah Abu Dzar Al Ghifari sekali lagi! Ia tidak malu untuk menceritakan kesalahannya asalkan orang lain dapat belajar dari dirinya. Ia tidak menyembunyikan ilmu agar terhadap hadits Rasulullah SAW ini semua umat tahu. Meski dalam cerita itu ada kesalahan Abu Dzar. Sebab sahabat seperti Abu Dzar sadar bahwa orang yang baik bukanlah orang yang suci sama sekali dari kesalahan, namun orang yang menyadari kesalahannya, lalu memperbaiki diri dan tidak mengulangi.

Dan itulah yang pernah dilakukan oleh Abu Dzar Al-Ghifari. Ia memaki seseorang. Dalam sebuah riwayat, orang itu adalah Bilal bin Rabah, ketika Abu Dzar berselisih dengannya. Maka Abu Dzar yang kala itu marah memaki Bilal; يا بن السوداء (wahai anak orang Negro).

Makian seperti itu mungkin dianggap wajar oleh manusia di zaan sekarang. Namun Islam menegaskan bahwa segala makian bisa menyakiti perasaan, apalagi ketika nadanya menghina ibu yang seharusnya dimuliakan.

فَقَالَ لِىَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ
Lalu Nabi SAW berkata kepadaku, "Wahai Abu Dzar, apakah kau memaki dia dengan menghina ibunya? Rupanya masih ada dalam dirimu karakteristik jahiliyah.

Kini lihatlah Rasulullah! Rasulullah demikian marah dengan hinaan seperti itu keluar dari lisan orang beriman seperti Abu Dzar. Maka beliau menegaskan bahwa menghina ibu seseorang adalah perbuatan jahiliyah. Betapa tegasnya Rasulullah dan betapa tegasnya Islam itu. Ia tak pandang bulu. Siapa yang salah harus dibetulkan. Siapa yang bengkok harus diluruskan. Dan hakikat sesuatu harus diungkapkan. Bahwa hinaan seperti itu adalah perbuatan jahiliyah yang harus dihindari dan ditiadakan.

Mengapa? Sebab Islam –sekali lagi- sejak pertama kali didakwahkan telah membuat aturan istimewa bahwa semua manusia berderajat sama. Baik orang Arab maupun non Arab. Baik yang berkulit putih maupun hitam. Islam datang dalam rangka menghapuskan penghambaan dan penyembahan manusia kepada manusia lainnya. Dan penghambaan itu biasanya bermula dari pemuliaan satu kelompok manusia dan penghinaan kelompok lainnya. Islam tidak memperbolehkan perbuatan jahiliyah semacam itu.

Namun demikian, meskipun menghina yang merupakan kemaksiatan dan segala kemaksiatan merupakan perbuatan jahiliyah, ia tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam; sepanjang bukan kesyirikan. Inilah aqidah Islam. Inilah yang diajarkan Rasulullah yang tetap memperlakukan dan menyayangi Abu Dzar setelah mengingatkannya. Dan inilah yang ingin disampaikan Imam Bukhari dalam hadits ini. Bahwa klaim khawarij tidak benar dan tidak dapat dibenarkan. Khawarij menyatakan bahwa segala kemaksiatan, segala perbuatan jahiliyah, mengeluarkan manusia dari Islam dan membuatnya kekal di neraka.

إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ ، وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
Para hambamu adalah saudara-saudaramu yang Allah titipkan di bawah tanggungjawabmu. Oleh karena itu, barangsiapa memiliki hamba sahaya, hendaklah hamba sahaya itu diberikan makanan yang dimakan dan diberi pakaian yang dipakai serta janganlah mereka dibebani dengan pekerjaan yang berada di luar kemampuan mereka. Jika mereka terpaksa mengerjakannya maka bantulah mereka.

Subhaanallah! Lihatlah ajaran Islam ini! Ajaran mana yang lebih indah daripada ajaran ini. Ideologi mana yang lebih humanis daripada ideologi ini. Petunjuk mana yang lebih mulia daripada petunjuk ini.

Bahkan budak dipersamakan derajatnya dengan saudara dan harus diperlakukan dengan mulia. Lalu bagaimana halnya dengan pembantu, anak buah, bawahan, pegawai, dan karyawan? Bukankah mereka lebih berhak untuk diperlakukan secara manusiawi dan didekati dengan interaksi yang memuliakan?

Oh, di manakah kebaikan paham komunis yang menghendaki kemenangan kaum proletar di atas puing-puing kehancuran kelompok lainnya. Dan dimanakah kebaikan paham kapitalis yang demi keuntungan korporasi membiarkan rakyat kecil terampas hak-haknya. Kalau demikian, mengapa kita tidak bergerak untuk memperjuangkan kembali Islam yang indah ini. Apakah kita menunggu orang lain yang kita sebut pahlawan untuk datang dan membantu? Percayalah, mereka takkan pernah datang. Bahkan, mereka telah hadir di sini. Sebagiannya sedang membaca hadits ini.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Diantara karakteristik para sahabat adalah mengamalkan dengan sungguh-sungguh hadits Rasulullah SAW yang telah didengarnya serta memperbaiki diri dari kesalahan yang pernah dilakukannya;
2. Tidak boleh memaki seseorang dengan menghina ibunya;
3. Menghina ibu adalah perbuatan jahiliyah. Demikian pula kemaksiatan dalam arti yang luas, baik mendurhakai perintah maupun melanggar larangan Allah;
4. Kemaksiatan atau perbuatan jahiliyah tidaklah mengeluarkan pelakunya dari agama, kecuali kemaksiatan atau perbuatan yang tergolong kesyirikan;
5. Derajat manusia dalam Islam adalah setara. Tidak ada manusia yang boleh dihina oleh manusia lainnya baik dengan alasan warna kulit maupun suku bangsa;
6. Islam mengajarkan agar memperlakukan budak secara manusiawi dan terhormat, apalagi kepada orang-orang merdeka;
7. Tidak boleh membebani budak dengan pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakannya, apalagi terhadap pegawai atau karyawan yang bukan budak. Kalaupun terpaksa melakukan pekerjaan yang memberatkan, hendaklah pimpinan/majikan juga turut membantunya sehingga pekerjaan itu menjadi ringan karena ditanggung bersama.

Demikian hadits ke-30 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dihindarkan dari perbuatan jahiliyah, dimudahkan untuk menjalankan Islam yang begitu indah, serta ikut berkontribusi dalam memperjuangkannya melalui dakwah. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 29: Durhaka Kepada Suami = Kufur?

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-29, masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Imam Bukhari memberi judul bab untuk hadits ini dengan باب كُفْرَانِ الْعَشِيرِ وَكُفْرٍ دُونَ كُفْرٍ (Kufur Kepada Suami dan Kufur Duna Kufrin). Jika kemudian pembahasan hadits ini diberi judul "Durhaka Kepada Suami = Kufur?" ini semata-mata untuk memudahkan saja. Selamat membaca.

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-29:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ . قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Diperlihatkan neraka kepadaku. Ketika itu aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita." Seseorang bertanya, "Apakah mereka kufur kepada Allah?" Rasulullah menjawab, "Mereka kufur kepada suami dan tidak berterima kasih atas kebaikan yang diterimanya. Walaupun sepanjang masa engkau telah berbuat baik kepada mereka, begitu mereka melihat sedikit kesalahan darimu, maka mereka berkata, 'Aku tak pernah melihat kebaikan darimu'"

Penjelasan Hadits

Hadits ke-29 ini sebenarnya adalah potongan dari hadits panjang yang secara lengkap bisa dicantumkan pada hadits ke-1052 pada bab Shalat Gerhana Berjama'ah dan hadits ke-5197 pada bab Kufur kepada suami. Dari sinilah Ibnu Hajar Al-Asqalani menyimpulkan bahwa Imam Bukhari membolehkan memotong hadits ketika menyampaikan, baik yang di depannya maupun di belakangnya, asalkan tidak merusak makna hadits itu.

أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ
Diperlihatkan neraka kepadaku. Ketika itu aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita

Jamak diketahui bahwa Rasulullah SAW diperlihatkan surga dan neraka ketika Mi'raj. Pada saat itu diantara pemandangan yang beliau lihat ialah banyaknya wanita yang masuk neraka. Ada sebagian orientalis yang menjadikan hadits-hadits seperti ini sebagai alat untuk menuduh Islam tidak memuliakan wanita. Padahal jika dihubungkan dengan populasi umat manusia, sebenarnya hadits ini sangat wajar. Bukankah populasi wanita lebih banyak dari laki-laki? Andai pun prosentase laki-laki dan wanita yang masuk neraka sama, secara kuantitas jumlah perempuan tampak lebih besar. Namun demikian, tentu ada sebab mengapa banyak wanita yang masuk neraka. Dan di sinilah kecerdasan para sahabat terlihat. Kecerdasan spiritual yang membuat mereka mengajukan pertanyaan agar mengetahui sebabnya lalu mengkondisikan istri dan putri mereka agar terhindar dari sebab itu.

قِيلَ أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ
Seseorang bertanya, "Apakah mereka kufur kepada Allah?"

Inilah pertanyaan sahabat. Karena mereka memahami bahwa faktor penyebab utama masuk ke dalam neraka adalah kekufuran; kufur kepada Allah. Sebagaimana faktor utama masuk surga adalah tauhid.

قَالَ يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ
Rasulullah menjawab, "Mereka kufur kepada suami dan tidak berterima kasih atas kebaikan yang diterimanya.

Inilah jawaban Rasulullah SAW. Mereka bukan kufur kepada Allah alias kafir sebagai lawan dari iman. Namun mereka durhaka kepada suami. Durhaka kepada suami disebut kufur karena ia termasuk kemaksiatan, sebagaimana ketaatan juga bisa disebut iman. Abu Bakar bin Al Arabi menjelaskan dalam syarah-nya bahwa Imam Bukhari memberi judul bab ini dengan kata "kufur" maksudnya bukanlah kufur yang menyebabkan seseorang keluar dari agama. Karenanya pula, pada judul bab ada istilah "Kufr duuna kufrin" (kufur yang bukan kekafiran) sebuah istilah yang dipopulerkan Ibnu Abbas khususnya saat mengingkari fitnah kaum khawarij.

Hadits ini semestinya menjadi peringatan bagi kaum wanita agar tidak durhaka kepada suami, dalam hal-hal yang yang tidak bertentangan dengan syariat. Demikian pula agar para istri membiasakan mengucapkan terima kasih kepada suami atas kebaikan-kebaikannya.

Bukan berarti para suami lantas menuntut terima kasih dan ketaatan dari istrinya setelah mengetahui hadits ini tanpa berbuat hal yang sama. Sungguh Islam telah mengatur kehidupan berumah tangga dengan cara yang sangat indah dan mulia. Bagi seorang suami ada kewajiban yang harus dipenuhi, ada pula hak baginya. Pun bagi istri, ada kewajiban yang harus dijalankannya, ada pula hak baginya. Jika masing-masing mampu menunaikan kewajibannya, maka hak keduanya akan tercapai dengan sendirinya. Jika masing-masing saling berterima kasih atas kebaikan, bahkan saat selesai berhubungan seksual, tentu keduanya akan hidup dalam keharmonisan; sakinah mawaddah wa rahmah.

لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Walaupun sepanjang masa engkau telah berbuat baik kepada mereka, begitu mereka melihat sedikit kesalahan darimu, maka mereka berkata, 'Aku tak pernah melihat kebaikan darimu'

Inilah diantara bentuk kedurhakaan istri kepada suami. Mungkin karena menuruti perasaan/emosi, seorang istri begitu saja melupakan kebaikan-kebaikan suaminya hanya karena satu kesalahan, lantas menyebutnya tak pernah berbuat baik. Ibarat peribahasa, akibat setitik nila rusak susu sebelanga atau panas setahun dihapus hujan sehari. Dan betapa banyak kasus yang telah terjadi, karena hal seperti ini kemudian timbul masalah dalam kehidupan berumah tangga, bahkan sampai terjadi cerai. Na'udzubillah.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Rasulullah SAW diberi keistimewaan oleh Allah SWT untuk melihat neraka, khususnya pada saat Mi'raj;
2. Kebanyakan penduduk neraka adalah wanita. Ini sejalan pula dengan populasi wanita di dunia yang lebih banyak dari laki-laki;
3. Kecerdasan spiritual para sahabat yang bertanya mengenai sebab masuk neraka sehingga dengan mengetahui sebab itu bisa berhati-hati dan berusaha menghindarinya;
4. Diantara sebab wanita masuk neraka adalah durhaka kepada suami dan tidak pandai berterima kasih atas kebaikannya;
5. Durhaka kepada suami termasuk perbuatan kufur, namun bukan kufur yang mengeluarkan seseorang dari agamanya;
6. Boleh menyampaikan hadits secara tidak lengkap, asalkan tidak merusak maknanya;
7. Ketika mendapati kesalahan suami, hendaknya seorang istri tidak bersikap seolah-olah suaminya tidak pernah berbuat kebaikan kepadanya.

Demikian hadits ke-29 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dihindarkan dari durhaka kepada suami, serta mampu menjaga istri dan anak kita dari hal itu. Demikian pula sebagai suami semoga mampu saling memenuhi kewajiban kepada istri sehingga terwujudlah keluarga sakinah mawaddah wa rahmah di dunia, serta dikumpulkan kembali di surga.

Friday, May 10, 2013

SERI ARBA’IN NAWAWI: PENJELASAN HADITS PERTAMA (INNAMAL A’MALU BIN NIYYAT)



pdf_icon
PENJELASAN HADITS PERTAMA
SYARAH ARBA’IN NAWAWI

1- عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِيءٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الله وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٌ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )). رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثَيْنِ : أَبُوْ عَبْدِ الله مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَةِ الْبُخَارِيْ ، وَأَبُوْ الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمِ الْقُشَيْرِيُّ اَلنَّيْسَابُوْرِيُّ فِيْ صَحِيْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ .
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khattab berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya amal perbuatan membutuhkan niat. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih dunia atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits yaitu, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, dan Abul Husein Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi dalam Shahih keduanya, yang mana keduanya adalah kitab karangan yang paling shahih.

l   Biografi Periwayat Hadits
Shahabat Umar bin Khattab
Beliau adalah Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riyah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu-ai, Al-Qurasyi Al-‘Adawi. Nasab beliau bersambung dengan nasab rasulullah pada kakekny yang ketujuh yaitu Ka’ab bin Luai.
Umar bin Khattab memeluk islam pada tahun keenam setelah kenabian. Beliau turut serta dalam semua pertempuran bersama rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau meninggal pada awal bulan Muharram tahun 24 Hijriyyah, karena ditikam oleh Abu Lu’lu’ah, budak majusi milik Mughirah bin Syu’bah. Kepemimpinan Umar berlangsung selama sepuluh tahun enam bulan.
Al-Imam Al-Bukhari
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi Al-Bukhari. Penulis kitab Ash-Shahih, lahir di bulan Syawwal tahun 194 hijriyah.
Al-Imam Muslim
Beliau adalah Abul Husein Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, lahir pada tahun 204 hijriyah dan meninggal di bulan Rajab tahun 261 hijriyah.
l   Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari pada tujuh tempat dalam kitab Shahih-nya[1] dengan redaksi yang berbeda-beda. Sedangkan Imam Muslim meriwayatkannya di  akhir kitab Al-Jihad no.1907[2].
Hadits ini juga diriwayatkan dari tujuh belas shahabat lainnya sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Abdurrahman bin Mandah[3]. Mereka adalah Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Ubadah bin Shamith, ‘Utbah bin ‘Abd Al-Aslami, Hazzal bin Suwaid, ‘Utbah bin ‘Amir, Jabir bin Abdillah, Abu Dzar Al-Ghifari, ‘Utbah bin Mundzir, dan ‘Uqbah bin Muslim radhiallahu ‘anhum.[4] Semuanya diriwayatkan Ibnu Mandah sebagaimana disebutkan Badrud Din Al-‘Aini dalam ‘Umdatul Qari 1/51, Al-Hafizh Al-‘Iraqi dalam At-Taqyid wal Idhah hal.102-103 dan Tharhut Tatsrib 1/357 .
Akan tetapi riwayat dari tujuh belas shahabat di atas semuanya dha’if/lemah, sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafizh Al-‘Iraqi.
Al-Bazzar berkata dalam musnad-nya (no.260): “Dan kami tidak mengetahui hadits ini diriwayatkan (dengan sanad yang shahih) kecuali dari ‘Umar bin Khattab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” Seperti ini pula yang disebutkan Al-Imam Ali bin Al-Madini, At-Tirmidzi, Hamzah Al-Kinani, dan Muhammad bin ‘Attab.[5]
Al-Imam An-Nawawi juga berkata: “Para huffazh berkata, ‘Hadits ini tidak ada yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kecuali dari riwayat Umar bin Khattab.”[6]
* * *
l   Makna Hadits secara Global
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi poros Islam. Al-Imam Ahmad dan Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini mengandung sepertiga ilmu dan masuk ke dalam tujuh puluh bab pembahasan fikih.”[7] Disebut sepertiga ilmu karena perbuatan seorang hamba tidak lepas dari tiga bagian: hati, lisan, dan anggota tubuh. Sedangkan niat yang bermukim di dalam hati  adalah salah satunya.
Al-Imam Ahmad berkata: “Pokok islam ada pada tiga hadits; kemudian beliau menyebutkan salah satunya adalah hadits Umar di atas.”
Al-Imam Abu Sa’id Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Seandainya aku menyusun sebuah buku, akan kumulai pada setiap babnya dengan hadits ini.” Beliau juga berkata, “Siapa saja yang ingin menyusun sebuah kitab hendaklah ia mulai dengan hadits ini.”
Al-Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin Khattab Al-Khattabi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Ma’alim, “Dahulu para masyayikh kami menyukai mendahulukan hadits ini pada segala sesuatu.”
Sebagian salaf juga berkata, “Sepatutnya hadits ini dijadikan pembuka setiap kitab dari kitab-kitab ilmu.”
Demi menjalankan wasiat para Imam tersebut, banyak ulama’ yang menjadikan hadits ini sebagai pembuka tulisan mereka, sebagai contoh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam ‘Umdatul Ahkam, Al-Baghawi dalam dua kitabnya; Mashabihus Sunnah dan Syarhus Sunnah, demikian pula As-Suyuthi dalam Al-Jami’ush Shaghir , serta Al-Imam Nawawi dalam dua kitabnya; Al-Majmu’ dan Al-Arba’in yang sedang kita bahas ini.[8]
l   Makna Hadits
[ hanyalah ] lafazh Innama (hanyalah) dalam ilmu ma’ani bahasa arab berfungsi sebagai hashr (pembatasan).
[ amal perbuatan dengan niat ] Maknanya adalah: hanyalah amal perbuatan akan diterima atau akan menjadi benar dengan niat. Amal perbuatan di sini mencakup ucapan dan perbuatan; ucapan hati dan perbuatan hati, dan ucapan lisan juga perbuatan lisan, demikian pula ucapan dan perbuatan jawarih (anggota tubuh).
Akan tetapi niat hanya berlaku untuk amalan yang bersifat perintah, adapun untuk amalan yang bersifat larangan maka tidak disyari’atkan untuk berniat, seperti membersihkan najis, meninggalkan khamar, atau menjauhi ghibah. Seseorang yang meninggalkan perbuatan tersebut atau yang semisalnya akan tetap sah walaupun tidak didahului dengan niat. Berbeda dengan amalan yang bersifat perintah, seperti shalat, puasa, dan wudhu’. Seseorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak akan diterima dan tidak akan mendapatkan pahala kecuali apabila disertai dengan niat yang benar. Wallahu a’lam.

[ dan seseorang akan dibalas sesuai dengan niatnya ] yakni amal perbuatan hamba disesuaikan dengan niatnya; keabsahan atau kerusakannya, kesempurnaan atau kekurangannya. Maka siapa saja yang melakukan perbuatan ketaatan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah maka ia akan mendapatkan pahala yang besar. Dan siapa saja meniatkan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka yang dia dapatkan hanya kenikmatan dunia, baik berupa kedudukan, pujian atau yang lainnya.
Terkadang sebuah amalan yang asalnya mubah bisa bernilai ibadah disebabkan niat. Sebagai contoh adalah makan dan minum yang asalnya mubah, tetapi jika diniatkan untuk melakukan ketaatan seperti makan sahur maka ia bernilai ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Makan sahurlah kalian, karena pada makan sahur terdapat barakah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

[ Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya ] asal kata hijrah maknanya ialah meninggalkan. Adapun makna hijrah karena Allah ialah meninggalkan sesuatu karena mengharap keridhaan Allah. Dan makna hijrah karena Rasul-Nya ialah meningalkan sesuatu karena mengikuti Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Dan yang dimaksud hijrah pada hadits ini adalah meninggalkan negeri syirik menuju negeri Islam. Termasuk juga seseorang yang meninggalkan negeri bid’ah menuju negeri sunnah, atau negeri yang dipenuhi kemaksiatan menuju negeri yang sedikit maksiatnya.

[ maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya ] hijrah yang diniatkan karena mencari keridhaan Allah dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah ibadah, dan pelakunya akan mendapatkan pahala yang besar. Ini adalah perumpamaan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang seorang yang melakukan amalan ibadah ikhlas karena Allah .
[ dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan dia raih atau wanita yang akan dia nikahi maka hijrahnya sesuai dengan niatnya ]  Ini adalah perumpamaan bagi seorang yang melakukan ibadah karena mencari kenikmatan dunia berupa harta atau wanita. Maka pelakunya hanya mendapatkan apa yang dia niatkan. Demikian pula seluruh amalan akan dinilai sesuai dengan niatnya.
Sebagian ulama’, seperti Ibnu Daqiqil ‘Ied dan An-Nawawi menyebutkan bahwa hadits ini berkenaan dengan seorang shahabat yang melakukan hijrah dari Mekkah menuju Madinah karena ingin menikahi wanita yang dia cintai bernama Ummu Qais. Sehingga orang tersebut dijuluki Muhajir Ummu Qais (orang yang pindah karena mencari Ummu Qais). Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Dahulu ada seseorang berhijrah untuk menikahi seorang wanita yang disebut Ummu Qais, sehingga ia dijuluki Muhajir Ummu Qais.” Dalam riwayat lain, “Dahulu ada di antara kami seorang yang melamar wanita dikenal dengan Ummu Qais, ia enggan untuk dinikahi sampai lelaki tersebut melakukan hijrah, maka lekaki itupun berhijrah kemudian menikahinya. Orang itu kami juluki Muhajir Ummu Qais.”
Menanggapi cerita di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, sanadnya shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim. Namun, tidak ada keterangan pada kisah di atas bahwa hadits innamal a’malu bin niyat (diucapkan oleh Nabi) bertepatan dengan kejadian itu. Aku juga tidak menemukan satupun dalam banyak sanad hadits ini yang menegaskan hal tersebut.” (Fathul Bari 1/10)
Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/74-75) juga menjelaskan: “Sangat masyhur bahwa kisah Muhajir Ummu Qais adalah sebab diucapkannya hadits “Barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia atau wanita yang akan dia nikahi” banyak orang (ulama) sekarang yang menyebutkan hal itu di kitab-kitab mereka. Namun, kami tidak menemukan keterangan tersebut dalam sanad yang shahih, wallahu a’lam.”
Dari penjelasan Ibnu Hajar dan Ibnu Rajab di atas menjadi jelas bahwa kisah Muhajir Ummu Qais tidak ada kaitannya dengan hadits innamal a’malu bin niyyat ini. Wallahu a’lam.
  
Faedah hadits
1)            Hadits ini adalah hadits pertama yang disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya.
2)            Anjuran untuk ikhlas (dalam beramal), karena Allah tidak akan menerima sebuah amalan kecuali jika dibangun di atas dasar muta’ba’ah dan ikhlas. Oleh karena itu, banyak ulama yang memulai karya tulis mereka dengan hadits ini sebagai bentuk teguran bagi pembaca tentang pentingnya meluruskan niat.
Al-Imam Abu Sa’id Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Seandainya aku menyusun sebuah kitab, akan kumulai pada setiap babnya dengan hadits ini.” Beliau juga berkata, “Siapa saja yang ingin menyusun sebuah kitab hendaklah ia mulai dengan hadits ini.”
3)            Bahwa perbuatan apapun yang dapat mendekatkan diri kepada Allah jika dilakukan oleh seorang mukallaf sebagai suatu kebiasaan[9] tidak akan membuahkan pahala, sampai ia benar-benar meniatkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4)            Keutamaan hijrah kepada Allah dan rasul-Nya[10]. Dalam sejarah Islam telah terjadi dua macam hijrah, pertama: berpindah dari negeri yang penuh dengan ketakutan menuju negeri yang penuh keamanan, seperti hijrah ke negeri Habasyah dan hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Kedua: hijrah dari negeri kufur menuju negeri Islam, jenis ini berlaku setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tinggal di Madinah. Pada masa rasul, istilah hijrah hanya dikhususkan ke negeri Madinah sampai peristiwa Fathu Makkah. Sehingga yang berlaku adalah hijrah dari negeri kufur ke negeri islam, bagi yang mampu hukumnya wajib.
5)            Dianjurkan bagi seorang ‘Alim memberikan contoh ketika menjelaskan sesuatu agar permasalahan yang ia terangkan mudah dipahami.
 ABU QOTADAH AL-MAIDANY
Admin Warisan Salaf

[1] Yaitu pada no.1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953.
[2] Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Daud no.2201, Tirmidzi no.1647, Nasa’i 1/58, 7/13, dan Ibnu Majah no.4227 .
[3] Al-Hafizh Al-‘Iraqi berkata: telah sampai kepadaku berita bahwa Al-Hafizh Abul Hajjaj Al-Mizzi ditanya tentang ucapan Ibnu Mandah ini, maka beliau menganggapnya mustahil. Sungguh, aku (Al-Hafizh Al-‘Iraqi) telah meneliti ucapan Ibnu Mandah ini, ternyata aku menemukan bahwa kebanyakan shahabat yang ia sebutkan haditsnya tentang hal ini, adalah berbicara tentang niat secara umum bukan hadits ini secara khusus. (Tharhu At-Tatsrib 1/357)
[4] ‘Umadatul Qari Syarhu Shahih Al-Bukhari 1/51
[5] Tharhut Tatsrib 1/ 355 dan Jami’ul ‘Ulum wal Hikam dengan Ta’liq Mahir Yasin Fahl
[6] Syarhu Muslim lin Nawawi 6/387
[7] Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra 2/14. Lihat Al-Majmu’ lin Nawawi 1/169, Syarhu Muslim lin Nawawi 7/48, Tharhu At Tatsrib lil ‘Iraqi 2/5, dan Fathul Bari 1/14 .
[8] Lihat Fathu Qawiyil Matin fi Syarhil Arba’in hal.8 , Karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad .
[9] Maksudnya: seseorang melakukan suatu perbuatan ibadah karena kebiasaan, bukan karena ingin mendapatkan pahala dari Allah. Masuk juga dalam hal ini seorang yang melakukan sebuah ibadah dengan tujuan kesehatan atau semisalnya, seperti seorang yang berpuasa karena ingin diet.
[10] Keutamaan hijrah juga dijelaskan oleh nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits Amr bin Al-‘Ash. “Tidakkah kamu tahu bahwa islam menghapus dosa sebelumnya, dan hijrah menghapus dosa sebelumnya…” (HR. Muslim, no.192)