Tuesday, April 16, 2013

Shahih Bukhary Hadits Nomor 16

حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا عبد الوهاب الثقفي قال حدثنا أيوب عن أبي قلابة عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Hadits 16: Manisnya Iman

Kini kita akan memasuki pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-16. Pembahasan hadits ke-16 ini kita beri judul “Manisnya Iman”. Terjemah dari judul yang telah diberikan oleh Imam Bukhari yaitu باب حَلاَوَةِ الإِيمَانِ. Hadits ini masih termasuk dalam kitab Al-Iman, kitab kedua dalam Shahih Bukhari.

Berikut ini matan lengkap hadits Shahih Bukhari ke-16:


عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ

Dari Anas, dari Nabi SAW beliau bersabda: "Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman. (yaitu) menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka."

Penjelasan Hadits
قَالَ ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ
Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman

Dalam hadits ini dipakai istilah حَلاَوَةُ الإِيمَانِ (manisnya iman). Dalam ilmu balaghah, istilah seperti ini disebut isti'arah takhyiliyyah, yaitu majaz (kiasan) yang dibangun dari tasybih (penyerupaan) imajinasi. Semacam majas metafora dalam bahasa Indonesia. Bahwa iman itu terasa manis.

Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari, ini mengindikasikan bahwa tidak semua orang bisa merasakannya. Sebagaimana manisnya madu hanya akan dirasakan oleh orang yang sehat, sedangkan orang yang sakit kuning tidak mampu merasakan manisnya. Demikian pula manisnya iman. Ia hanya didapatkan oleh orang-orang yang imannya "sehat". Diantaranya adalah yang memenuhi kriteria yang disebutkan dalam penggalan hadits berikutnya.

Manisnya iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ) juga mengingatkan kita ibarat pohon, iman itu memiliki buah manisnya bisa dirasakan oleh seorang mukmin. Tentu saja pohon baru bisa berbuah ketika akarnya teguh dan pohonnya kuat. Jadi ia tidak mudah dirasakan oleh setiap orang.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ * تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS. Ibrahim : 24-25)

Sebagian ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan manisnya iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ) merasakan lezatnya ketaatan dan memiliki daya tahan menghadapi rintangan dalam menggapai ridha Allah, lebih mengutamakan ridha-Nya dari pada kesenangan dunia, dan merasakan lezatnya kecintaan kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya

Inilah hal pertama yang membuahkan manisnya iman: mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi selainnya. Seorang mukmin haruslah menyempurnakan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, baru ia mendapati manisnya iman. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya tidak cukup hanya sekedarnya, tetapi harus melebihi dari yang selainnya.

Manusia akan merasakan kebahagiaan besar ketika sedang mencintai. Maka manisnya iman menjadi buah yang dirasakan seorang mukmin ketika ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sempurna. Inilah yang menjelaskan mengapa Bilal sanggup menahan panasnya pasir dan terik surya, beratnya batu yang menindihnya, serta hinaan menyakitkan Umayyah dan kawan-kawannya. Dalam kondisi demikian, Bilal tetap melantunkan manisnya iman melalui lisannya: "ahad, ahad..."

Manisnya iman buah cinta ini pula yang membuat Khabab bin Al Art seakan tak merasakan luka-luka menganga di tubuhnya yang disalib. Maka ketika diminta pendapatnya bagaimana jika Rasulullah yang menggantikannya, ia menjawab dalam nada manisnya iman: "Bahkan aku tak rela jika kaki Rasulullah tertusuk duri"

Dalam manisnya iman pula, sahabat-sahabat Ansar rela pulang tangan kosong tanpa ghanimah dalam Perang Hunain. Isak tangis mengharu biru ketika mereka tersadar bahwa Rasulullah hendak meneguhkan Islam para muallaf Makkah. Sementara mereka pulang membawa Rasulullah, biarlah orang lain pulang membawa unta dan kambing.
وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ
Dan mencintai seseorang semata-mata karena Allah

Jika kecintaan kepada Allah adalah yang pertama dan tidak boleh terkalahkan oleh selainnya, demikian pula Rasulullah sebagai manusia yang paling dicintai, bukan berarti kita tidak diperkenankan mencintai sesama. Cinta itu fitrah manusia. Maka mencintai kedua orang tua, anak, saudara, sahabat, dan sesama mukmin juga dibutuhkan. Dan tatkala cinta itu karena Allah semata, maka iman akan manisnya iman akan bisa dirasakan.

Generasi pertama umat ini adalah generasi yang sukses dalam membina cinta karena Allah ini. Maka dengan cinta lillah, suku Aus dan Khazraj yang semula bermusuhan menjadi bersaudara di bawah satu bendera: Ansar. Pada saat itu, mereka merasakan manisnya iman. Lalu, muhajirin dan anshar yang belum pernah bersua pun, tiba-tiba menjadi saling berbagi. Membagi harta menjadi dua, membagi kebun dan rumah agar bisa sama-sama hidup layak dalam perjuangan bersama. Pada saat itu, mereka merasakan manisnya iman.
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ
Dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka

Jika dua hal yang pertama adalah pekerjaan mencintai, hal ketiga yang membawa manisnya iman ini adalah pekerjaan sebaliknya: membenci. Yakni membenci kekufuran. Khususnya kekufuran yang telah ditinggalkannya dan diganti dengan Islam.

Dalam riwayat Muslim, redaksi hadits tentang manisnya iman (حَلاَوَةُ الإِيمَانِ) ini pada poin ketiga berbunyi :
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Dan benci kembali kapada kekufuran setelah diselamatkan oleh Allah, sebagaimana kebenciannya dilempar ke dalam api neraka

Dan itulah yang, lagi-lagi, kita dapati pada generasi sahabat Nabi. Maka ketika Sayyid Quthb memotret tiga karakter sahabat yang menjadi faktor utama keberhasilan mereka, salah satunya ia catat: "Saat mereka masuk Islam dan mendapat Al-Qur'an seketika mereka melepas seluruh kejahiliyahan"

Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan juga mengingatkan para sahabat agar jangan sampai kembali kepada kejahiliyahan, meskipun hanya sebagian sifatnya. Maka Rasulullah mengingatkan kaum Anshar ketika hampir saja mereka bermusuhan kembali antara suku Aus dan Khazraj seperti perang bu'ats. Rasulullah juga pernah mengingatkan Abu Dzar tatkala berselisih dengan Bilal lalu mencelanya dengan nada sentimen kesukuan. "Sungguh dalam dirimu ada perilaku jahiliyah" tegur Rasulullah yang selalu dikenang Abu Dzar. Dan sejak saat itu ia lebih mencintai dan menghormati Bilal.

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Bolehnya memakai majaz dalam menasehati, memberi pelajaran, dan dakwah dengan tujuan agar lebih mudah dipahami dan diterima pelajarannya;
2. Iman memiliki buah yang manis yang bisa dirasakan mukmin ketika memenuhi kriteria atau syarat-syaratnya, sebaliknya tidak semua orang bisa merasakan manisnya iman ini;
3. Manisnya iman bisa dirasakan seorang mukmin yang mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi selainnya, mencintai orang lain karena Allah semata, dan membenci kembali kepada kekufuran.

Wallahu a’lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 15

حدثنا يعقوب بن إبراهيم قال حدثنا بن علية عن عبد العزيز بن صهيب عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم ح وحدثنا آدم قال حدثنا شعبة عن قتادة عن أنس قال قال النبي صلى الله عليه وسلم لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Hadits 15: Mencintai Rasul-Nya Melebihi Semua Manusia

Pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits yang ke-15, biidznillah. Pembahasan hadits ke-15 ini kita beri judul “Mencintai Rasul-Nya Melebihi Semua Manusia”. Nanti kita akan melihat bahwa matan hadits ke-15 ini tidak jauh berbeda dari hadits ke-14, hanya terdapat tambahan وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (dan manusia seluruhnya).

Berikut ini matan lengkap hadits Shahih Bukhari ke-15:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Dari Anas r.a. ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak sempurna keimanan seseorang diantara kalian hingga ia lebih mencintai aku daripada kedua orangtuanya, anaknya, dan manusia semuanya."

Penjelasan Hadits
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
Tidak sempurna keimanan seseorang diantara kalian hingga ia lebih mencintai aku daripada kedua orangtua dan, anaknya

Penjelasan matan ini telah ditulis dalam pembahasan hadits ke-14. Lafadznya sama persis, kecuali adanya sumpah yang mendahului pada hadits ke-14. Pembaca bisa merujuknya kembali.
وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
dan manusia semuanya

Jadi kesempuraan iman itu menuntut kecintaan yang sempurna pula. Kecintaan yang berpangkal pada pemahaman, cinta yang tumbuh dari kesadaran dan mujahadah. Bukan kecintaan sebagai tabiat semata.

Jika manusia mencintai orang tua karena keduanya telah melahirkan, mendidik, dan membesarkannya, sesungguhnya ketiga hal itu takkan pernah terjadi kalau bukan karena Rahmat Allah. Maka kecintaan kepada Allah sudah seharusnya menjadi cinta yang paling utama. Lalu Allah memerintahkan hamba-Nya untuk mencintai Rasulullah, atas dasar cinta seorang hamba akan memenuhi perintah untuk mencintai Rasul-Nya melebihi mereka. Dan, bukankah orang tua hanya memberikan nafkah lahir sementara Rasulullah telah menyampaikan petunjuk Allah kepada umatnya hingga manusia terselamatkan dari kesesatan? Argumentasi ini menjadi dasar logika kecintaan kepada Rasulullah melebihi mereka.

Demikian pula anak. Secara tabiat manusia memiliki cinta padanya. Sebab ia adalah buah hati, penyejuk mata, dan harapan bagi orang tua untuk meneruskan garis keluarga, nasab, dan menjadi saham yang akan berbuah ketika lanjut usia menyapa dan di alam barzakh yang ia nantikan doanya. Lalu bagaimana dengan Rasulullah yang memiliki hak syafaat? Bukankah harapan itu jauh lebih besar. Dan tanpa dakwah Rasulullah, apalah gunanya memiliki anak dengan bergelimang dalam kesesatan? Argumentasi ini juga menjadi pondasi logika kecintaan kepada Rasulullah melebihi mereka.

Ada sebagian orang yang mencintai orang lain melebihi orang tua dan anak-anaknya. Bisa jadi mereka yang dicintai itu pemimpin, guru, atau orang yang berjasa dalam hidupnya, atau orang-orang yang dikaguminya. Hadits ini kemudian memberi standar bahwa siapapun orang itu, kecintaan kepada Rasulullah harus melebihi kecintaan kepadanya.

Sebenarnya dalam diri semua manusia ada kecintaan kepada satu orang yang dalam kondisi umum manusia selalu mencintainya melebihi siapapun. Ia maafkan kesalahannya. Ia puji kebaikannya meskipun hanya sedikit. Ia kagumi ia. Ia tempatkan di tempat yang terhormat. Selalu dijaga dan selalu dibela. Orang itu adalah dirinya sendiri. Namun dalam kesempurnaan iman, kecintaan kepada Rasulullah juga harus melebihi kecintaan kepada dirinya sendiri. Bukankah diri sendiri juga termasuk dalam kalimat "manusia seluruhnya"? maka hadits ini tidak mengkecualikannya.

Alangkah indahnya hidup dan alangkah berbahagianya ketika manusia mampu mengubah cintanya menjadi iman yang sempurna dengan mencintai Rasulullah melebihi semua manusia termasuk dirinya sendiri. Dan Umar bin Khattab, mampu mengubah cintanya menjadi seperti itu hanya dalam beberapa saat.

Ibnu Hajar Al Asqalani ketika menjelaskan hadits ini menggunakan kasus hawa nafsu sebagai pengganti diri sendiri. Betapa banyak orang yang menjadikan hawa nafsunya paling dicintai, namun iman yang sempurna harus menundukkannya hingga menjadi nafsu muthmainnah, dengan menjadikan Rasulullah lebih dicintai dari siapapun juga.

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Salah satu syarat sekaligus tanda sempurnanya iman adalah mencintai Rasulullah melebihi orang tua, anak, dan seluruh manusia;
2. Kecintaan kepada Rasulullah yang melebihi kecintaan pada manusia seluruhnya itu juga berarti lebih mencintai Rasulullah daripada dirinya sendiri atau hawa nafsunya.

Wallahu a’lam bish shawab.[]