Saturday, February 10, 2018

HAK ASUH ANAK

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 



"فصل"
وإذا فارق الرجل زوجته وله منها ولد فهي أحق بحضانته إلى سبع سنين ثم يخير بين أبويه فأيهما اختار سلم إليه, وشرائط الحضانة سبع العقل والحرية والدين والعفة والأمانة والإقامة والخلو من زوج فإن اختل منها شرط سقط
(Fasal)
Dan ketika seorang lelaki menceraikan istrinya dan mempunyai anak maka sang ibu lebih berhak merawatnya sampai umur tujuh tahun, kemudian setelah umur tujuh tahun anak disuruh memilih antara bapak dan ibu, mana yang dipilih anak maka disana dia diserahkan.
Dan syarat merawat itu ada tujuh:
1. Berakal
2. Merdeka
3. Mempunyai sifat iffah
4. Amanah
5. Bermukim
6. Belum memiliki istri/suami baru
Apabila ada salah satu sarat yang tidak dimiliki maka gugur.

 Islam mengistilahkan hak pengasuhan tersebut dengan hidlaanah (حِضَانَةٌ). Hidlaanah menurut definisi syar’iy maksudnya adalah : حفظ من لا يستقل بأمره، وتربيته عما يهلكه، أو يضره. “Penjagaan/pemeliharaan anak yang belum mampu mandiri untuk mengurusi dirinya sendiri, pendidikannya, serta (pemeliharaan) dari segala sesuatu yang dapat membinasakannya atau membahayakannya”. Begitulah yang dikatakan Ash-Shan’aniy rahimahullah dalam Subulus-Salam (3/617, ta’liq : Al-Albaaniy; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1427).

Lantas, siapakah pihak yang paling berhak di antara mantan suami istri itu terhadap anak-anaknya ? Mari kita perhatikan riwayat berikut :

 حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ السُّلَمِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ أَبِي عَمْرٍو يَعْنِي الْأَوْزَاعِيَّ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي 

Telah menceritakan kepada kami Mahmuud bin Khaalid As-Sulamiy : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid, dari Abu ‘Amru – yaitu Al-Auza’iy - : Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amru : Bahwasannya ada seorang wanita berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya; sedangkan ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkanya dariku”. Lalu Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2276; hasan].

Hadits ini menjadi dalil bahwa ibu lebih berhak dalam pengasuhan anak, selama ia belum menikah kembali dengan laki-laki lain. ‘Umar radliyallaahu ‘anhu pernah menceraikan istrinya yang kemudian keduanya berselisih tentang hak pengasuhannya anaknya. Lalu keduanya mengadukan perkara tersebut kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, lalu ia (Abu Bakr) berkata :

"ريحها، وحرّها، وفرشها خير له منك حتى يَشِب ويختار لنفسه"

(Sesungguhnya) keharuman wanita itu, kehangatannya, dan tempat tidurnya lebih baik bagi anak itu daripada engkau (‘Umar), hingga ia mampu memilih yang baik bagi dirinya sendiri” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 7/154 no. 12601; hasan].

 Ash-Shan’aaniy rahimahullah kembali berkata :

 ودلّ الحديث على أن الأم إذا نكحت، سقط حقها من الحضانة؛ وإليه ذهب الجماهير؛ قال ابن المنذر : أجمع على هذا كل من أحفظ عنه من أهل العلم. وذهب الحسن وابن حزم إلى عدم سقوط الحضانة بالنكاح، واستدل بأن أنس بن مالك كان عند والدته وهي مزوّجة، وكذا أم سلمة تزوجت بالنبي صلى الله عليه وآله وسلم وبقى ولدها في كفالتها، وكذا ابنة حمزة قضى بها النبي صلى الله عليه وسلم الخالتها وهي مزوجة. قال : وحدث ابن عمرو المذكور فيه مقال؛ فإنه صحيفة؛ يريد : لأنه قد قيل : إن حديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده صحيفة. وأجيب عنه بأن حديث عمرو بن شعيب قبله الأئمة وعلموا به؛ البخاري وأحمد وابن المديني والحميدي وإسحاق بن راهويه وأمثالهم؛ فلا يلتفت إلى القدح فيه. وأما ما احتج به، فإنه لا يتم دليلا إلا مع طلب من تنتقل إليه الحضانة ومنازعته. وأما مع عدم طلبه، فلا نزاع في أن للأم المزوجة أن تقوم بولدها، ولم يذكر في القصص المذكورة أنه حصل نزاع في ذلك؛ فلا دليل فيما ذكره على ما ادعاه. “

Hadits ini (riwayat Abu Dawud di atas) menunjukkan bahwa ibu apabila ia telah menikah, maka gugurlah haknya dari asuhan dan pemeliharaan anaknya. Demikianlah menurut pendapat mayoritas ulama. Ibnul-Mundzir berkata : ‘Telah disepakati pendapat seperti ini dari setiap ulama yang menghapal hadits tersebut. Al-Hasan dan Ibnu Hazm berpendapat : Tidak gugur hak pemeliharaan oleh ibunya dikarenakan pernikahannya. Mereka berdalil bahwasannya Anas bin Maalik tetap berada dalam pemeliharaan ibunya yang telah menikah lagi. Demikian pula Ummu Salamah yang kemudian menikah dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, sedangkan anaknya tetap dalam pemeliharaannya. Demikian pula anak perempuan Hamzah telah diputuskan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi sallam untuk dipelihara bibinya padahal ia telah menikah lagi’. Ia berkata : Dan hadits Ibnu ‘Amru di atas terdapat pembicaraan, karena periwayatan itu berasal dari shahiifah. Maksudnya : Sesungguhnya hadits ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berasal dari shahiifah. Dijawab : Bahwasannya hadits ‘Amru bin Syu’aib diterima para imam dan mereka beramal dengannya, diantaranya : Al-Bukhaariy, Ahmad, Ibnul-Madiiniy, Al-Humaidiy, Ishaaq bin Raahawaih, dan yang lainnya. Maka, tidak selayaknya memperhatikan celaan/kritik pada hadits tersebut. Adapun hadits yang mereka jadikan dalil (untuk menetapkan hak pengasuhan ibu tidak gugur dengan adanya pernikahan), maka ia tidak sempurna menjadi dalil, kecuali bersama permintaan orang/laki-laki terhadap pemindahan pengasuhan dan pemisahan anaknya itu (dari ibunya). Apabila tidak disertai permintaan, maka sepakat, bahwa ibunya yang telah menikah lagi masih berhak mengasuh anaknya itu. Tidak disebutkan dalam cerita/kisah tersebut bahwa pernah terjadi perselisihan/gugatan (tentang hak pengasuhan anak). Oleh karena itu, tidak ada bukti tentang sesuatu yang ia sebutkan untuk menguatkan pendapatnya itu” [Subulus-Salaam, 3/618-619].

Shiddiq Hasan Khaan menambahkan jawaban yang diberikan Ash-Shan’aaniy rahimahumallah di atas :

ويجاب عن ذلك؛ بأن موجود البقاء مع عدم المنازع لا يحتج به؛ لاحتمال أنه لم يبق له قريب غيرها.

Jawaban atas hal itu :
Tinggalnya seorang anak bersama ibu tanpa gugatan (dari pihak lain) tidak bisa dijadikan hujjah, karena ada kemungkinan anak itu tidak mempunyai keluarga dekat selain ibunya” [At-Ta’liiqaatur-Radliyyah ‘alar-Raudlatin-Nadliyyah oleh Al-Albaaniy, 2/336; Daar Ibnu ‘Affaan, Cet. 1/1423].

 Namun jika anak tersebut telah menginjak usia tamyiiz, maka ia (si anak) berhak memilih kepada siapa ia akan tinggal/ikut antara ayahnya atau ibunya.

 حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَأَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي زِيَادٌ عَنْ هِلَالِ بْنِ أُسَامَةَ أَنَّ أَبَا مَيْمُونَةَ سَلْمَى مَوْلًى مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ رَجُلَ صِدْقٍ قَالَ بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَارِسِيَّةٌ مَعَهَا ابْنٌ لَهَا فَادَّعَيَاهُ وَقَدْ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا فَقَالَتْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَرَطَنَتْ لَهُ بِالْفَارِسِيَّةِ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ وَرَطَنَ لَهَا بِذَلِكَ فَجَاءَ زَوْجُهَا فَقَالَ مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اللَّهُمَّ إِنِّي لَا أَقُولُ هَذَا إِلَّا أَنِّي سَمِعْتُ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا قَاعِدٌ عِنْدَهُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي وَقَدْ سَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ وَقَدْ نَفَعَنِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ فَقَالَ زَوْجُهَا مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ فَانْطَلَقَتْ بِهِ 

Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Hulwaaniy: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq dan Abu ‘Aashim, dari Ibnu Juraij: Telah mengkhabarkan kepadaku Ziyaad, dari Hilaal bin Usaamah : Bahwasannya Abu Maimuunah Salmaa mantan budak penduduk Madinah yang termasuk orang jujur, berkata : Ketika aku sedang duduk bersama Abu Hurairah, datang kepadanya seorang wanita Persia yang membawa anaknya - keduanya mengklaim lebih berhak terhadap anak tersebut -, dan suaminya telah menceraikannya. Wanita tersebut berkata menggunakan bahasa Persia : “Wahai Abu Hurairah, suamiku ingin pergi membawa anakku”. Kemudian Abu Hurairah berkata kepadanya menggunakan bahasa asing : “Undilah anak tersebut”. Kemudian suaminya datang dan berkata : “Siapakah yang menyelisihiku mengenai anakku ?”. Kemudian Abu Hurairah berkata : “Ya Allah, aku tidak mengatakan hal ini kecuali karena aku telah mendengar seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sementara aku duduk di sisinya, kemudian ia berkata : ‘Wahai Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, sementara ia telah membantuku mengambil air dari sumur Abu 'Inaabah, dan ia telah memberiku manfaat’. Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Undilah anak tersebut !’. Kemudian suaminya berkata : ‘Siapakah yang akan menyelisihiku mengenai anakku ?’. Kemudian Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata : ‘Ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu, gandenglah tangan salah seorang diantara mereka yang engkau kehendaki!’. Kemudian anak itu menggandeng tangan ibunya, lalu wanita tersebut pergi membawanya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2277; shahih].

Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata :

" هذا في الغلام الذي قد عقل واستغنى عن الحضانة، وإذا كان كذلك خير بين والديه"

Ini berlaku pada anak yang telah berakal (tamyiiz) dan tidak membutuhkan pengasuhan lagi. Jika keadaan seperti itu, maka ia disuruh memilih antara ayah atau ibunya (yang hendak ia ikuti)” [‘Aunul-Ma’buud, 6/373, tahqiq : ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsmaan].

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :

 قد ثبت التخييرُ عن النبيِّ صلى الله عليه وسلم في الغلام، من حديث أبي هريرة:وثبت عن الخلفاء الراشدين، وأبي هريرة، ولا يُعرف لهم مخالفٌ في الصحابة ألبتة، ولا أنكره منك. قالوا: وهذا غايةٌ في العدل الممكن، فإن الأمَّ إنما قُدِّمتْ في حال الصغر لحاجة الولد إلى التربية والحمل والرضاع والمداراة التي لا تتهيأ لِغير النساء، وإلا فالأمُّ أحد الأبوين، فكيف تُقدَّم عليه؟ فإذا بلغ الغلام حداً يُعْرِبُ فيه عن نفسه، ويستغني عن الحمل والوضع وما تُعانيه النساء، تساوى الأبوانِ، وزال السببُ الموجبُ لتقديم الأم، والأبوانِ متساويانِ فيه، فلا يُقَدَّمُ أحدُهما إلا بمرجِّح، والمرجِّحُ إما من خارج، وهو القرعةُ، وإما من جهة الولد، وهو اختيارُه، وقد جاءت السنةُ بهذا وهذا، وقد جمعهما حديثُ أبي هريرة، فاعتبرناهما جميعاَ، ولم ندفع أحدهما بالآخر. وقدمنا ما قدمه النبيّ صلى الله عليه وسلم، وأخّرنا ما أخره، فقدم التخييرُ، لأن القُرعة إنما يُصار إليها إذا تساوت الحقوقُ مِن كل وجه، ولم يبق مرجِّحٌ سواها، وهكذا فعلنا هاهنا قدمنا أحدَهما بالاختيار، فإن لم يختر، أو اختارهما جميعاً، عدلنا إلى القُرعة، فهذا لو لم يكن فيه موافقة السنة، لكان مِن أحسن الأحكام، وأعدلها، وأقطعها للنزاع بتراضي المتنازعين. وفيه وجه آخر في مذهب أحمد والشافعي: أنه إذا لم يختر واحداً منهما كان عند الأم بلا قُرعة، لأن الحضانة كانت لها، وإنما ننقلُه عنها باختياره، فإذا لم يختر، بقي عندها على ما كان. فإن قيل: فقد قدمتُمُ التخييرَ على القُرعة، والحديث فيه تقديمُ القُرعة أولاً، ثم التخيير، وهذا أولى، لأن القرعة طريق شرعي للتقديم عند تساوي المستحقين، وقد تساوى الأبوانِ، فالقياسُ تقديمُ أحدهما بالقُرعة، فإن أبيا القُرعة، لم يبق إلا اختيارُ الصبي، فيُرجح به، فما بالُ أصحابِ أحمد والشافعي قدَّموا التخييرَ على القرعة.

Telah shahih adanya hak pilih yang diriwayatan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang anak dalam hadits Abu Hurairah. Telah shahih pula ketetapan itu dari Khulafaaur-Raasyidiin dan Abu Hurairah dimana tidak diketahui adanya penyelisihan sedikitpun terhadap (pendapat) mereka dari kalangan shahabat; dan tidak pula ada pengingkaran. Bahkan mereka berkata : ‘Ini adalah keputusan yang paling adil’. Karena seorang ibu harus diutamakan/didahulukan untuk mengasuh anak kecil dalam hal mendidiknya, menggendongnya, menyusuinya, dan bersikap lemah-lembut kepadanya. Semuanya itu tidak mungkin akan didapati kecuali dari diri seorang wanita. Ia adalah salah satu di antara dua orang tua si anak; lantas bagaimana ia tidak diutamakan terhadap anak itu ? Apabila anak itu telah mencapai usia tertentu dan mampu menyampaikan isi hatinya, tidak perlu digendong dan dibawa-bawa lagi oleh seorang wanita, maka dalam hal tersebut kedua orang tua mempunyai kedudukan yang sama. Hak pendahuluan/pengutamaan terhadap ibu menjadi hilang karena keduanya mempunyai hak yang sama. Tidak boleh diutamakan salah satu di antara keduanya kecuali ada faktor khusus yang menyebabkan pengutamaan itu dilakukan. Faktor itu bisa bersifat eksternal, yaitu dengan pengundian; atau bersifat internal, yaitu berdasarkan pilihan dari anak itu sendiri. Terdapat hadits yang menjadi dasar atas kedua hal tersebut yang terkumpul pada hadits Abu Hurairah (sebagaimana telah disebutkan di atas – Abul-Jauzaa’). Hendaklah keduanya (suami istri) memakai dua cara ini, dan tidak menolak salah satu di antara keduanya. Kita mendahulukan apa-apa yang telah didahulukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mengakhirkan apa-apa yang beliau telah akhirkan. Yang pertama dilakukan adalah menyuruh si anak untuk memilih, karena undian hanya dilakukan bila terdapat hak yang sama kuat dalam pengasuhan anak dari segala sisi dimana tidak ada cara lain yang ditempuh selain dengan cara tersebut. Inilah yang kita lakukan dengan mendahulukan salah satu di antara keduanya (orang tua) dengan cara meberikan pilihan kepada si anak. Jika ia tidak memilih, atau ia memilih keduanya secara bersama-sama, baru beralih kepada cara pengundian. Seandainya saja tidak ada sunnah (dalil) yang mendasari pengundian ini, maka ini adalah pendapat yang paling baik dan adil (yang bisa diijtihadkan); yang bisa menghindari perselisihan sehingga kedua belah pihak dapat ridla menerima keputusan tersebut. Ada pendapat lain dari madzhab Ahmad dab Asy-Syaafi’iy : ‘Apabila anak tersebut tidak memilih salah satu di antara kedua orang tuanya, maka hak itu otomatis jatuh ke ibu tanpa harus melalui undian. Karena al-hidlaanah (pengasuhan) merupakan hak si ibu secara asal. Pemindahan hak asuh dari ibu tersebut hanya dapat dilakukan dengan pilihan si anak. Apabila ia tidak memilih, maka hak itu kembali ke asalnya (yaitu ibu)” [Zaadul-Ma’aad, 5/468-469; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 3/140].

 فمن قدمناه بتخيير 
 أو قرُعة أو بنفسه، فإنما نُقدِّمه إذا حصلت به مصلحة الولد، ولو كانت الأم أصون مِن الأب وأغيرَ منه قدمت عليه، ولا التفات إلى قرعة ولا اختيار الصبي في هذه الحالة، فإنه ضعيفُ العقل يؤثِرُ البطالة واللعب، فإذا اختار من يُساعِدُهُ على ذلك، لم يُلتفت إلى اختياره، وكان عند من هو أنفعُ له وأخيرُ، ولا تحتمِلُ الشريعة غيرَ هذا، “

Setiap anak yang kita berikan pilihan, baik dengan mengundi atau pilihan dirinya sendiri, yang semua itu dipertimbangkan untuk menghasilkan kemaslahatan bagi si anak. Seandainya ada seorang ibu yang lebih shaalih dan lebih bisa menjaga dibandingkan dengan ayahnya, maka ibunya lebih didahulukan daripada ayahnya. Tidak boleh hal ini dipalingkan pada cara undian atau pilihan si anak dalam keadaan seperti ini. Karena anak itu akalnya masih lemah, masih terpengaruh perkara sia-sia dan suka bermain-main. Jika ia memilih, maka tidak boleh pilihannya itu dipengaruhi oleh orang lain. Ia harus bersama dengan orang yang paling bermanfaat dan paling baik bagi dirinya. Syari’at tidak menetapkan hidlaanah selain dari cara ini” [idem, 5/474].

TALAK

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html
Talak
“فصل” والخلع جائز على عوض معلوم وتملك به المرأة نفسها ولا رجعة له عليها إلا بنكاح جديد ويجوز الخلع في الطهر وفي الحيض ولا يلحق المختلعة الطلاق.
“Fasal”
dan perceraian diperbolehkan dengan menawarkan sesuatu yang dikenal dan memiliki wanita itu sendiri dan tidak boleh rujuk kecuali dengan pernikahan barudan khuluk diperbolehkan dalam keadaan suci dan pada saat menstruasi. Khuluk tidak disamakan dengan talak
“فصل” والطلاق ضربان صريح وكناية فالصريح ثلاثة ألفاظ الطلاق والفراق والسراح ولا يفتقر صريح الطلاق إلى النية والكناية كل لفظ احتمل الطلاق وغيره ويفتقر إلى النية والنساء فيه ضربان ضرب في طلاقهن سنة وبدعة وهن ذوات الحيض فالسنة أن يوقع الطلاق في طهر غير مجامع فيه والبدعة أن يوقع الطلاق في الحيض أو في طهر جامعها فيه وضرب ليس في طلاقهن سنة ولا بدعة وهن أربع الصغيرة والآيسة والحامل والمختلعة التي لم يدخل بها.
“Fasal”
Dan perceraian itu ada dua jenis: Jelas dan Sindiran. Talak Jelas itu ada tiga kata: cerai dan pemisah dan bebas. Talak Yang Jelas tidak membutuhkan niat, sedang talak kinayah yaitu semua lafat yang memuat talak dan kinayah itu membutuhkn niyat. Dan dalam urusa talak, perempuan itu ada macam : 1. Tidak haram: 2. Haram yaitu perempuan yang dalam keadaan haid. Sedang perempuan yang dicerai mendapat hokum tidak haram yaitu menjatuhkan talak dalam keadaan suci dan belum kikumpuli. Sedangkan talak yang mendapat hokum haram yaitu menjatuhkan talak dalamwaktu haid atau dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri, perempuan yang telah luas, hamil, perempuan yang dikhuluk tidak dicampurinya.
“فصل” ويملك الحر ثلاث تطليقات والعبد تطليقتين ويصح الاستثناء في الطلاق إذا وصله به ويصح تعليقه بالصفة
والشرط ولا يقع الطلاق قبل النكاح وأربع لا يقع طلاقهم الصبي والمجنون والنائم والمكره.
Fasl
Orang yang merdeka memiliki kesempatanmencerai istrinya tiga kali, sedang hamba memiliki kesempatan cerai dua kali. Dan sah mengecualikan dalam cerai ketika disambungkan dengan cerai. Dan sah pula menggantungkan cerai dengan sifat dan sarat.. cerai tidak sah sebelum menikah.
Ada empat orang yang tidak sah cerainya:
1. Anak Kecil.
2. Orang gila.
3. Orang yang sedang tidur.
4. Orang yang dipaksa.
“فصل” وإذا طلق امرأته واحدة أو اثنتين فله مراجعتها ما لم تنقض عدتها فإن انقضت عدتها حل له نكاحها بعقد جديد وتكون معه على ما بقي من الطلاق فإن طلقها ثلاثا لم تحل له إلا بعد وجود خمس شرائط انقضاء عدتها منه وتزويجها بغيره ودخوله بها وإصابتها وبينونتها منه وانقضاء عدتها منه.
Fasl
Ketika seorang suami menceraikan istrinya satu atau dua kali maka masih ada kesempatan untuk rujuk selama belum habis masa iddahnya. Dan ketika sudah habis masa iddahnya maka boleh untuk menikah kembali dengan pernikahan baru serta mendapatkan sisa talak.
Apabila dia menceraikan tiga kali maka tidak diperbolehkan baginya kecuali dengan adanya lima syarat:
1. Habisny iddah darinya
2. Sudah dinikahi laki laki lain
3. Sudah di setubuhi oleh laki laki lain tersebut
4. Sudah ditalak bain oleh laki laki lain tersebut
5. Habisnya iddah dari laki laki lain tersebut
“فصل” وإذا حلف أن لا يطأ زوجته مطلقا أو مدة تزيد على أربعة أشهر فهو مول ويؤجل له إن سألت ذلك أربعة أشهر ثم يخير بين الفئة والتكفير أو الطلاق فإن امتنع طلق عليه الحاكم.
Fasl
Apabila seorang suami bersumpah tidak akan mencampuri istrinya mutlak atau dalam waktu lebih dari empat bulan, itu adala sumpah ila’. Dan tidak berguan bila seorang istri meminta dalam waktu empat bulan tersebut. Kemudian suami disuruh memilih antara bersetubuh dan bayar kiffarat atau cerai. Bila suami menolak maka diceraikan hakim.
“فصل” والظهار أن يقول الرجل لزوجته أنت علي كظهر أمي فإذا قال ذلك ولم يتبعه بالطلاق صار عائدا ولزمته الكفارة والكفارة عتق رقبة مؤمنة سليمة من العيوب المضرة بالعمل والكسب فإن لم يجد فصيام شهرين متتابعين فإن لم يستطع فإطعام ستين مسكينا لكل مسكين مد ولا يحل للمظاهر وطؤها حتى يكفر.
Fasl
Dhihar adalah seorang suami mengucapkan kepada istrinya : “ kamu atasa saya seperti punggung ibuku. Maka ketika seorang suami mengataka seperti itu dan tidak diikuti deng talak maka dia boleh kembali kepada istrinya dan wajib membayar kiffarat. Adapun kiffarat dhihar adalah:
1. Mmerdekakan budak perempuan mukmin yang selamat dari cacat melakukan pekerjaan.
2. Apabila tidak menemukan maka harus puasa dua bulan berturut turut.
3. Apabila tidak mampu maka member makan 60 miskin, setiap miskin satu mud.
Tidak diperbolehkan mencampuri istrinya sampai ia membayar kiffarat.
“فصل” وإذا رمى الرجل زوجته بالزنا فعليه حد القذف إلا أن يقيم البينة أو يلاعن فيقول عند الحاكم في الجامع على المنبر في جماعة من الناس أشهد بالله إنني لمن الصادقين فيما رميت به زوجتي فلانة من الزنا وإن هذا الولد من الزنا وليس مني أربع مرات ويقول في المرة الخامسة بعد أن يعظه الحاكم وعلي لعنة الله إن كنت من الكاذبين ويتعلق بلعانة خمسة أحكام سقوط الحد عنه ووجوب الحد عليها وزوال الفراش ونفيالولد والتحريم على الأبد ويسقط الحد عليها بأن تلتعن فتقول أشهد بالله إن فلانا هذا لمن الكاذبين فيما رماني به من الزنا أربع مرات وتقول في الخامسة بعد أن يعظها الحاكم وعلى غضب الله إن كان من الصادقين.
Ketika Seorang Suami Menuduh Zina kepada Istrinya Maka dia Harus di Had Tuduhan Kecuali biala Suami Tersebut Mempunyai Saksi Atau saling Melaknati . DIA Harus Bersumpah didepan Hakim dengan disaksikan Mastarakat diatas Mimbar: “ Saya Bersaksi Demi Allah bahwa Saya adalah orang Yang Jujur terhadap apa yang saya Tuduhkan Terhadap Istri Saya dan Anak ini adalah Empat KaliDari Zina Bukan Dari Saya” Dan Pada ucapan Yang kelima, setelah dia dinasehati Hakim:” Saya dilaknat Allah Bila Saya Bohong”.
Dengan Laknat Bisa Menggugurkan Lima: Gugurnya Had dari Laki Laki , Wajib Had Terhadap Perempuan, Hilangnya Alas Tidur, Haram Untuk Selama Lamanya.
Had Terhadap Istri Bisa Gugur Bila Istri meyakinkannya dengan Ucapan : “ Saya Bersaksi Demi Allah 3X Ini Bohong Tntang apa Yg dituduhkan Trhadap Saya 4X Dan Kali Yg Kelima Semoga Saya Dimarahi Allah Andai Dia Benar
“فصل” والمعتدة على ضربين متوفى عنها وغير متوفى عنها فالمتوفى عنها إن كانت حاملا فعدتها بوضع الحمل وإن كانت حائلا فعدتها أربعة أشهر وعشر وغير المتوفى عنها إن كانت حاملا فعدتها بوضع الحمل وإن كانت حائلا وهي من ذوات الحيض فعدتها ثلاثة قروء وهي الأطهار وإن كانت صغيرة أو آيسة فعدتها ثلاثة أشهر والمطلقة قبل الدخول بها لا عدة عليها وعدة الأمة بالحمل كعدة الحرة وبالإقراء أن تعتد بقرأين وبالشهور عن الوفاة أن تعتد بشهرين وخمس ليال وعن الطلاق أن تعتد بشهر ونصف فإن اعتدت بشهرين كان أولى.
Fasl
Perempuan iddah itu ada dua macam: ditinggal mati dan tidak ditinggal mati.
Iddah akibat ditinggal mati maka apabila hamil iddahnya adalah melahirkan. Dal bila tidak hamil maka iddahnya empat bulan sepuluh hari.
Iddah akibat cerai bukan ditinggal mati apabila hami mak iddahnya melahirkan, dan jika tidak hamil dan masih subur ( haid ) maka iddahnya tiga kali suci.
Iddah bagi perempuan yang dicerai yang msih kecil atau perempuan yang sudah luas ( tidak haid lagi ) maka iddahnya tiga bulan.
Perempuan yang dicerai sebelum dikumpuli tidak punya iddah.
Iddahnya amat yang hamil seperti iddahnya perempuan yang merdeka, dan yang iddahnya perempuan budak yang dengan ukuran suci adal dua kali suci. Budak perempuan yang ditinggal mati dan tidak hamil maka iddahnya dua bulan lima malam. Iddah budak perempuan yang dicerai bukan ditinggal mati adalah satu bulan lima belas hari, bila iddah dengan dua bulan itu lebih utama.
“فصل” ويجب للمعتدة الرجعية السكني والنفقة ويجب للبائن السكني دون النفقة إلا أن تكون حاملا ويجب على المتوفى عنها زوجها الإحداد وهو الامتناع من الزينة والطيب وعلى المتوفى عنها زوجها والمبتوتة ملازمة البيت إلا لحاجة.
Wajib bagi perempuan yang ditalak Raja i tempat tinggal dan nafkah. Wajib bagi perempuan yang ditalak bain tempat tinggal tidak ada nafkah kecuali dalam kondisi hamil. Wajib bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak berhias dan memakai harum haruman dan harus tetap didalam rumah kecuali ada keperluan.
“فصل” ومن استحدث ملك أمة حرم عليه الاستمتاع بها حتى يستبرئها إن كانت من ذوات الحيض بحيضة وإن كانت من ذوات الشهور بشهرفقط وإن كانت من ذوات الحمل بالوضع وإذا مات سيد أم الولد استبرأت نفسها كالأمة.
Fasl
Barang siapa baru mempunyai amat baru, diharamkan baginya bersenang senang dengannya sehihingga benar benar bebas, bila amat tersebut subur maka denga ukuran satu haidan, dan bila memiliki ukuran bulan maka cukup satu bulan dan apabila dia hamil maka dengan lahirnya anak. Dan ketika tuannya meninggal maka dia merdeka dengan sendirinya seperti amat.
“فصل” وإذا أرضعت المرأة بلبنها ولدا صار الرضيع ولدها بشرطين أحدهما أن يكون له دون الحولين والثاني أن ترضعه خمس رضعات متفرقات ويصير زوجها أبا له ويحرم على المرضع التزويج إليها وإلى كل من ناسبها ويحرم عليها التزويج إلى المرضع وولده دون من كان في درجته أو أعلى طبقة منه.
Fasl
Bila seorang perempuan menyusui dengan susunya sendiri terhadap anak maka setatus anak tersebut menjadi anaknya dengan dua syarat:
1. Anak yang disusui kurang dari dua tahun
2. Dia menhusuinya lima susuan dengan pisah pisah.
Dan suami dari perempuan tersebut menjadi ayah anak yang di susuinya.
Diharamkan bagi anak yang disusui menikah ibu yang menyusuinya dan juga haram nikah dengan yang senasab dengan ibu tersebut. Haram juga bagi ibu yang menyusui menikahkan anaknya denga anak yang disusuinya keatas dan bebawah
“فصل” ونفقة العمودين من الأهل واجبة للوالدين والمولودين فأما الوالدون: فتجب نفقتهم بشرطين الفقر والزمانة أو الفقر والجنون وأما المولودون فتجب نفقتهم بثلاث شرائط الفقر والصغر أو الفقر والزمانة أو الفقر والجنون ونفقة الرقيق والبهائم واجبة ولا يكلفون من العمل ما لا يطيقون ونفقة الزوجة الممكنة من نفسها واجبة وهيمقدرة فإن كان الزوج موسرا فمدان من غالب قوتها ومن الأدم والكسوة ما جرت به العادة وإن كان معسرا فمد من غاب قوت البلد وما يأتدم به المعسرون ويكسونه وإن كان متوسطا فمد ونصف ومن الأدم والكسوة الوسط وإن كانت ممن يخدم مثلها فعليه إخدامها وإن أعسر بنفقتها فلها فسح النكاح وكذلك أن أعسر بالصداق قبل الدخول.
Fasl
. Nafkah penopang bagi keluarga itu wajib atas kedua orang tua dan anak.
Adapun orang tua maka wajib dinafkahi deng dua syarat: 1. Fakir dan tertekan. 2. Fakir dan gila.
Adapun anak wajib dinafkahi denga tiga syarat: 1. Fakir dan kecil. 2. Fakir dan tertekan. 3. Fakir dan gila. Dan nafkah hamba dan hewan ternak adalah wajib. Mereka semua tidak boleh dipaksa melakukan hal yang mereka tidak mampu.
Nafkah istri yang yang pasrah atas dirinya adalah wajib dan secukupnya. Apabila suami mampu mak nafkahnya dua mut umumnya daerah setempat dari lauk sampai pakaian yang berlaku didaerah setempat.
Dan apabila suaminya miskin maka satu mud umumnya daerah setempat yang digunakan lauk dan pakaian orang miskin.
Dan bila harus dilayani maka wajib bagi suami untuk melayaninya. Dan bila suami lebih sulit untuk menafkahinya maka bagi istri berhak untuk membatalkan nikah juga maskawin

فصلوإذا فارق الرجل زوجته وله منها ولد فهي أحق بحضانته إلى سبع سنين ثم يخير بين أبويه فأيهما اختار سلم إليه, وشرائط الحضانة سبع العقل والحرية والدين والعفة والأمانة والإقامة والخلو من زوج فإن اختل منها شرط سقط
(Fasal)
Dan ketika seorang lelaki menceraikan istrinya dan mempunyai anak maka sang ibu lebih berhak merawatnya sampai umur tujuh tahun, kemudian setelah umur tujuh tahun anak disuruh memilih antara bapak dan ibu, mana yang dipilih anak maka disana dia diserahkan.
Dan syarat merawat itu ada tujuh:
1. Berakal
2. Merdeka
3. Mempunyai sifat iffah
4. Amanah
5. Bermukim
6. Belum memiliki istri/suami baru
Apabila ada salah satu sarat yang tidak dimiliki maka gugur.