Saturday, February 24, 2018

SAH MEMERDEKAKAN

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 



Kemerdekaan budak 

ويصح العتق من كل مالك جائز التصرف في ملكه ويقع بصريح العتق والكتابة مع النية وإذا أعتق بعض عبد عتق جميعه وإن أعتق شركا له في عبد وهو موسر سرى العتق إلى باقية وكان عليه قيمة نصيب شريكه ومن ملك واحدا من والديه أو مولودية عتق عليه.

Sah memerdekakan setiap yang dimiliki yang bebas melakukan pekerjaan dalam miliknya. Memerdekakan akan terjadi dengan kata yang jelas atau sindiran yang desertai niat. Ketika sebagian anggota dari budak itu dimerdekakan maka merdeka seluruh budak. Dan bila seseorang memerdekakan budak milik sarikat dan dia kaya maka jalanlah kemerdekaan seluruh budak dan bagi orang tersebut menanggung bagian temannya. Dan barang siapa memiliki satu budak dari orang tuanya atau dari anaknya mak hendaklah dia memerdekakan

1.    PENGERTIAN ‘ITQ 

‘Itq huruf ‘ain dikasrah, ialah memerdekakan budak. Pakar Bahasa Arab al-Azhari mengatakan: Kata ‘itq berasal dari perkataan orang Arab, ‘ataqal faras yaitu kuda lepas dan ‘ataqal farkh yakni anak burung terbang meninggalkan sarangnya. Disebut demikian, karena budak bisa bebas dengan jalan dimerdekakan sehingga ia bisa ke mana ia mau.

2.    ANJURAN MEMERDEKAKAN BUDAK DAN KEUTAMAANNYA

Allah swt berfirman:
"Maka tidaklah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau orang miskin yang sangat fakir." (QS.Al-Balad: 11-16)
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang memerdekakan seorang budak muslim, niscaya Allah akan memerdekakan satu anggota tubuhnya dari siksa neraka.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 146 no: 2517, Muslim II: 24 dan 1509)
Dari Abu Musa al-Asy’ari ra bahwa Nabi saw bersabda, “Ada tiga golongan yang mana mereka (kelak) akan diberi pahala dua kali: (Pertama) seseorang dari kalangan Ahli Kitab yang beriman kepada Nabinya, dan mendapati Nabi saw lalu beriman (juga) kepadanya serta mengikutinya dan membenarkan Beliau, maka baginya mendapatkan dua pahala. (Kedua) hamba sahaya yang menunaikan hak Allah dan hak tuannya, maka baginya dua pahala. Dan (ketiga) seorang laki-laki yang memiliki budak perempuan, ia memberinya makan dengan makanan yang bergizi, lalu ia mendidiknya dengan baik serta mengajarkan dengan baik (pula), kemudian ia memerdekakannya dan menikahinya, maka baginya mendapat dua pahala.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari I: 190 no: 97, Muslim I: 134 no: 154 dan lafadz ini baginya, Tirmidzi II: 292 no: 1124 dan Nasa’i VI: 115) 

3.    BUDAK YANG PALING UTAMA DIMERDEKAKAN 

Dari Abu Dzar ra ia berkata: Saya pernah bertanya kepada Nabi saw, “(Ya Rasulullah), amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah menjawab, “Iman kepada Allah, dan jihad di jalan-Nya.” Lalu saya bertanya (lagi), “Kemudian budak yang mana yang paling utama (dimerdekakan)?” Jawab Beliau, “Budak yang paling tinggi harganya dan paling terhormat di kalangan keluarganya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 148 no: 2518 dan Muslim I: 89 no: 84).

4.    WAKTU DIANJURKAN MEMERDEKAKAN BUDAK 

Dari Asma’ binti Abu Bakar ra ia berkata, “Nabi  saw pernah memerintah memerdekakan budak pada waktu ada gerhana.”

5.    SEBAB-SEBAB KEMERDEKAAN BUDAK

Kemerdekaan budak bisa terjadi, pertama, karena dimerdekakan oleh tuannya demi mendambakan ridha Allah, sebagaimana telah dikupas oleh hadist-hadist yang lalu tentang keutamaannya.
Sebab yang kedua, karena kepemillikan. Yaitu barangsiapa yang mendapatkan bagian rampasan perang yang di antaranya ada seorang mahramnya, maka dengan sendirinya mahram itu termerdekakan.
Dari Samurah bin Jundab ra, dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Barangsiapa memiliki budak dari keluarga yang haram (dinikahi olehnya), maka jadi merdekalah ia.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2046, ‘Aunul Ma’bud X: 480 no: 3830, Tirmidzi II: 409 no: 1376 dan Ibnu Majah II: 843 no: 2524)
Sebab yang ketiga, kemerdekaan seorang hamba secara total bisa terjadi melalui proses sebagai berikut: seorang budak dimiliki dua tuan, lalu satu memerdekakan bagiannya, kemudian ia punya dana untuk menembus hamba itu dari tuan yang menjadi rekan sekutunya itu,  lantas ia serahkan dana termaksud kepadanya, maka merdekalah budak itu secara total:
Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa memerdekakan bagiannya pada seorang hamba, dan ia mempunyai dana yang cukup buat harga hamba itu, maka ditaksirlah harga hamba itu dengan penaksiran yang pantas, lalu ia bayar hak-hak orang-orang yang berserikat dengannya dan merdekalah hamba itu; tetapi jika tidak, termerdekalah hamba itu sebanyak yang ia merdekakan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 151 no: 2522, Muslim II: 1139 no: 1501, ‘Aunul Ma’bud X: 466 no: 3921 dan Tirmidzi II: 400 no: 1361).
Kalau orang yang memerdekakan itu tidak punya dana untuk memerdekakannya secara keseluruhan, maka merdekalah si budak itu sesuai dengan kadar yang telah dimerdekakan oleh orang itu, dan ia wajib berusaha keras bekerja mengumpulkan dana untuk menembus sebagiannya lagi kepada tuannya:
Dari Abu Huraitah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa memerdekakan sebagian pada seorang budak, maka penyelesaiannya tergantung pada hartanya, jika ia mempunyai harta; jika tidak, maka nilai hamba itu ditaksir, kemudian disuruh berusaha dengan tidak menyulitkan atasnya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 156 no: 2527, Muslim II: 1140 no: 1503, ‘Aunul Ma’bud X: 452 no: 2919, Tirmidzi II: 401 no: 1358 dan Ibnu Majah II: 844 no: 2527).
6.    TADBIR
Tadbir ialah upaya memerdekakan budak yang digantungkan dengan masa kematian. Sebagian misal ada seorang tuan berkata kepada budaknya, "jika aku meninggal dunia, maka engkau merdeka." Jadi, jika kemudian tuannya meninggal dunia, maka dengan sendirinya ia menjadi merdeka, jika harganya tidak lebih dari sepertiga jumlah hartanya. (Manurus Sabil II: 116)
Dari Imran bin Husain, bahwa ada seorang laki-laki pernah mempunyai enam hamba sahaya. Ia tidak memiliki harta kecuali mereka. Kemudian ia memerdekakan mereka bertiga ketika hampir meninggal dunia. Maka Rasulullah saw membagi mereka menjadi tiga bagian, kemudian Rasulullah undikan antara mereka, lalu Beliau memerdekakan dua orang dan tetapkan empat orang sebagai hamba sahaya, dan Beliau berkata kepadanya dengan perkataan yang keras (yakni atas perbuatannya).” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 895, Muslim III: 1288 no: 1668, ‘Aunul Ma’bud X: 500 no: 1375 Tirmidzi II: 409 no: 3939 dan Nasa’i  IV: 64).

7.    BOLEH MENJUAL HAMBA MUDABBAR DAN BOLEH MENGHIBAHKANNYA

Dari Jabir bin Abdullah ra ia berkata, “Telah sampai (informasi) kepada Nabi saw bahwa ada seorang laki-laki dari kalangan sahabatnya memerdekakan hambanya secara mudabbar, ia tidak mempunyai harta selain (hamba) itu. Oleh sebab itu, Beliau kemudian menjualnya dengan harga delapan ratus Dirham, lalu uangnya Beliau kirimkan kepadanya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XIII: 179 no:7186, Muslim II: 692 no: 997 ‘Aunul Ma’bud X: 495 no: 3938).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 935 – 940

WALAK

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 




“فصل”
 والولاء من حقوق العتق وحكمه حكم التعصيب عند عدمه وينتقل الولاء عن المعتق إلى الذكور من عصبته وترتيب العصبات في الولاء كترتيبهم في الإرث ولا يجوز بيع الولاء ولا هبته.

Fasal 

Waris Walak adalah akibat dari memerdekakan budak. Dan hukumnya seperti hokum asobah ketika tidak ada yang menghalanginya dan akan pindahdari pemerdeka laki laki ke laki laki dari asobahnya. dan tertib asobah dalam walak seperti tertib dalam waris. Dan walak tidak boleh dijual atau diberikan key an g lain.

MU’TIQ ATAU WALA’
 
A.    PENGERTIAN
Al-Wala atau Al-Mu’tiq adalah kekerabatan karena sebab hukum (hukmiah). Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
Dalam Kitab Biadaytul Mujtahid dijelaskan, Mu'tiq atau Wala' adalah hubungan antara dua orang seperti hubungan nasab. Hubungan kekerabatan secara hukum (qarabah hukmiyah) ini terjadi karena dua sebab. Pertama, kekuatan, kekuasaan, dan berbuat baik, yang diantaranya pemberian status "merdeka" terhadap seseorang. Dengan demikian dia besetatus mantan budak yang dimerdekakan (maula al-ataqah). Konsekuensinya, yang memerdekakan menjadi "tuan" (wala'/mu'tiq') terhadap "mantan hamba" yang dimerdekakan itu. Kedua, akad (perjanjian, transaksi), seperti ucapan seseorang kepada orang lain, "Anda adalah Wala' k, jika aku meninggal, Anda menjadi pewarisku, dan jika aku melakukan tindak pidana , Anda menjadi penanggung diyatku. Transaksi seperti ini dalam hukum islam (fiqih) disebut maula al-muwalah.

B.     WALA' BAGI ORANG YANG MEMERDEKAKAN HAMBA 
Ulama' berpendapat bahwa seseorang yang telah memerdekakan hambanya, atas nama dirinya, hak wala'nya adalah untuknya. Ia mewarisi hak milik hamba tersebut apabila bekas hambanya itu tidak mempunyai ahli waris. Ia juga dapat menjadi pewaris ashabah jika hamba itu mempunyai ahli waris yang tidak sampaimenghabiskan seluruh hartanya.
Diberikanya hak wala' kepada orang yang membebaskan hamba itu, didasarkan kepada hadis sahih riwayat Barirah r.a. :
إِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ (رواه البخاري و مسلم)

"Wala' itu hanya untuk orang yang memerdekakan".(HR. Bukhari dan Muslim)
Kemudian fuqaha berselisih pendapat tentang seseorang yang memerdekakan hamba atas nama orang lain.
Malik berpendapat bahwa Wala' itu untuk orang yang memerdekakan, bukan untuk orang yang menjadi wala' (atas nama) orang yang memerdekakan.
Menurut Abu Hanifah dan Syafi'I, jika ia membebaskanya dengan sepengetahuan orang yang membebaskan, maka wala' tersebut untuk orang yang melangsungkan pembebasanya.

Ulama' Hanafian dan Syafi'iyah berpegangan pada sabda Nabi Saw :
الْوَ لَاءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ  (أخرجه الدرم)

"Wala' adalah karib kerabat seperti karib kerabat nasab". (HR. Ad-Darimi)
Kata mereka, nasab tidak dapat dipertalikan dengan orang merdekatanpa persetujuanya, begitu pula wala'.
Secara substansial pembebasanya itu adalah kemerdekaan yang terjadi pada miliknorang yang memerdekakan, seharusnyalah wala' itu untuk yang memerdekakan apabila ia memebebaskanya atas nama dirinya.
Sedang malik berpegangan, jika seseorang memerdekakan hamba, berartia ia telah kehilangan/melepaskan hak kepemilikanya terhadap hamba itu, jadi ia serupa dengan wakil. Karena itu, fuqaha sependapat bahwa jika pemilik hamba itu member izin pada seorang wakil untuk memerdekakan hambanya itu, maka wala'nya untuk yang memerdekakan (pemberi izin ), bukan untuk wakilnya yang melangsungkan pemerdekaan.
C.     ORANG YANG MEMERDEKAKAN SENDIRI HAMBANYA
Ulama' berselisih pendapat dalam hal apabila seorang tuan berkata kepada hambanya, "Engkau merdeka".
Malik berpendapat, Wala' dan diyatnya untuk kaum muslim. Ia menganggap tuan tersebut sebagai orang yang memedekakan atas nama kaum muslim. Kecuali jika ia menghendaki arti pembebasan saja, maka wala'nya untuk dia.
Sedang menurut Syafi'I dan Abu Hanifah, bagaimanapun juga wala'nya untuk orang yang membebaskan. Pendapat seperti ini juga dikemukakan oleh Ahmad, Dawud, dan Abu Tsaur.
Fuqaha lain berpendapat bahwa hamba tersebut dapat memberikan wala' sesukanya.  Jika ia tidak memberikan wala' kepada seorangpun, maka wala'nya untuk kaum muslim. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Laits dan al-auza'i. sedang Ibrahim dan asy-Sya'bi berpendapat bahwa tidak apa-apa menjual wala' dari hamba yang dimerdekakan dan menghibahnya.

D.    WALA' HAMBA MUSLIM YANG DIMERDEKAKAN OLEH ORANG NON MUSLIM
Ulama' berselisih pendapat tentang wala' hamba muslim ketika ia dimerdekakan oleh orang Nasrani sebelum wala' itu dijual. Untuk siapakah wala'nya?
Menurut Malik dan para pengikutnya, wala'nya itu untuk kaum muslimin. Jika tuanya masuk islam sesudah itu, maka wala'nyabmaupun warisanya tidak kembali kepadanya.
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa wla'nya untuk tuanya. Jika ia masuk islam, ia memeperoleh wariasnya.
Jumhur fuqaha berpegangan bahwa wala' itu seperti nasab. Sebab, jika seorang ayah masuk islam sesudah keislaman anakanya, ayah tersebut mewarisinya. Demikia itu berlaku pula untuk hamba.
Dalam hal ini Malik berpegangan pada keumuman firman Allah.
"Dan Allah sekali-kali tidak akan member jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman". (QS. An-Nisa':141)
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, diantara keduanya tidak ada wala’. Dan menurut madzhabnya , hamba tersebut dapat menyerahkan kesetiaanya kepada siapa saja yang disukainya.
Dalam hal ini Asyhab berbeda pendapat dengan Malik. Ia mengatakan bahwa Hamba tersebut masuk islam sebelum tuanya, maka hak wala’nya tidak kembali kepada tuanya selamanya.
Tetapi menurut Ibnul Qasim wala’nya, kembali kepada tuanya. Dan ini, kesimpulan pendapat Malik krena dalam hal ini ia memeprtimbangkan waktu terjadinya pembebasan. 
E.     PEWARISAN WALA’ BAGI PEREMPUAN
Jumhur Ulama sependapat bahwa perempuan-perempuan tidak termasuk kelompok yang mewarisi hak wala’, kecuali perempuan yang melangsungkan diri pemerdekaan hamba atau orang-orang yang ditarik oleh perempuan-perempun ynag melangsungkan pembebasanya, baik dengan wala’ atau dengan nasab. Seperti orang yang memeberikan kemerdekaan terhadap orang ynag memerdekakan dirinya sendiri.
Jumhur fuqaha berpegang bahwa wala’ itu hanya terjadi karena kenikmatan dari orang yang memerdekakan atas orang yang diberi kemerdekaan. Dan kenikmatan ini hanya ada pada orang yang memerdekakan secara langsung atau orang tersebut menjadi sebab yang menentukan sebab-sebab kemerdekaan, yaitu kelompok ashabah.
F.      WALA’ KARENA SENIORITAS 
Masalah ini menurut jumhur fuqaha, bagian wala’ saudara laki-laki yang mati tidak diwarisi oleh anak laki-lakinya, dan hak memperolah bagian tersebut kembali kepada saudara laki-lakinya, karena ia lebih berhak dibanding anak laki-laki tersebut. Berbeda halnya warisan biasa, karena penghalang dalam warisan dipertimbangkan dekatnya hubungan dengan simayit. Sedang waris wala’ penghalanh dipertimbangkan menurut dekatnyahubungan dari orang yang memerdekakan hamba secara langsung. Pendapat ini diriwayatkan dari kalangan sahabat. Antara lain Umar bin Khatab, Ali, Usman, Ibnu mas’ud dan Zaid bin Tsabit.
Sedangkan menurut Syuriah dan golongan fuqaha Basrah, hak saudara laki-laki yang mati itu untuk anak-anaknya, mereka berpegangan bahwa antara waris wala’ dan waris biasa mestinya ada kesamaan. 
G.    PENARIKAN WALA’
Persoalan terkenal lainya dalam hal ini adalah yang oleh fuqaha dengan istilah penarikan wala’. Gambaranya adalah jika seorang hamba laki-laki mempunyai anak laki-laki dari hamba perempuan. Kemudian hamba perempuan ini dimerdekakan, dan sesudah itu hamba laki-laki tersebut dimerdekakan juga.
Dalam hal ini umlam berbeda pendapat, untuk siapa wala’ anak-anak laki-laki jika ayahnya dimerdekakan. Demikia itu karena fuqaha sependapat bahwa wala’ anak-anak tersebut sesudah sang ibu merdeka, dalam arti bayi itu masih dalam perut ibunya yang belum tersentuh kehambaan, ini terjadi manakala hamba laki-laki mengawininya sesudah dibebaskan, sedang ia belum dibebaskan, maka wala’ tersebut menjadi hak orang yang memerdekakan ibunya.
Fuqaha berselisih pemndapat apabila ayah dibebaskan, apakah wala’ anak-anakanya itu tertarik kepada tuanya hamaba itu atau tidak?
Jumhur fuqaha seperti Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa wala’ tersebut tertarik. Dan pendapat ini dikemukakan oleh Ali, Ibnu Mas’ud, Zubair dan Usman bin Affan.
Sedangkan Atha’, Ikrimah, Ibnu Syihab, dan segolongan fuqaha berpendapat bahwa wala’nya tidak tertarik. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar dan diputuskan oleh Abdul Malik bin Marwan ketika Qubaishah bin Dzuaib menceritakan demikian dari Umar bin Khatab. Meski dari Umar juga diriwayatkan pendapatnya seperti pendapat Jumhur. Jumhur fuqaha beralasan bahwa wala’ itu sma dengan nasab, sedang nasab adalah untuk ayah, bukan untuk ibu. Sementara golongan kedua berpendapat sebaliknya karena mengikuti akibat kemerdekaan ibunya.