Tuesday, April 16, 2013

Hadits nomor 2 Shahih Bukhary

حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أم المؤمنين رضى الله تعالى عنها أن الحارث بن هشام رضى الله تعالى عنه سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله كيف يأتيك الوحي فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أحيانا يأتيني مثل صلصلة الجرس وهو أشده علي فيفصم عني وقد وعيت عنه ما قال وأحيانا يتمثل لي الملك رجلا فيكلمني فأعي ما يقول قالت عائشة رضى الله تعالى عنها ولقد رأيته ينزل عليه الوحي في اليوم الشديد البرد فيفصم عنه وإن جبينه ليتفصد عرقا

Telah menceritakan kepada kami, Abdullah ibnu Yusuf, ia berkata, telah mengabarkan kepada kami, Malik, dari Hisyam ibnu 'Urwah, dari Bapaknya, dari A'isyah Ummul Mu'minin Radliyallahu 'Anha, dari Harits ibnu Hisyam Radliyallahu 'Anhu


Harits ibnu Hisyam Radliyallahu'Anhu bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'Alayhi wa Salla, "Ya Rasulullah bagaimana caranya wahyu turun kepada Anda? Rasulullah menjawab, "Kadang-kadang wahyu itu datang kepadaku seperti bunyi lonceng. Itulah yang sangat berat bagiku. Setelah bunyi itu berhenti, aku baru mengerti apa yang disampaikannya. Kadang-kadang malaikat menjelma seperti seorang laki-laki menyampaikan kepadaku dan aku mengerti apa yang disampaikannya." A'isyah berkata, "Aku pernah melihat Nabi ketika turunnya wahyu kepadanya pada suatu hari yang amat dingin. Setelah wahyu itu berhenti turun, kelihatan dahi Nabi bersimbah peluh."

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
 Hadits 2: Cara Turunnya Wahyu

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ - رضى الله عنها - أَنَّ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ - رضى الله عنه - سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْىُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « أَحْيَانًا يَأْتِينِى مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ - وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَىَّ - فَيُفْصَمُ عَنِّى وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ ، وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِىَ الْمَلَكُ رَجُلاً فَيُكَلِّمُنِى فَأَعِى مَا يَقُولُ » . قَالَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها وَلَقَدْ رَأَيْتُهُ يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْىُ فِى الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ ، فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا

Dari Aisyah Ummul Mukminin r.a. bahwa Harits bin Hisyam r.a. bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, "Ya Rasulullah, bagaimana caranya wahyu turun kepada Anda?" Rasulullah menjawab, "kadang-kadang wahyu itu datang kepadaku seperti bunyi lonceng. Itulah yang sangat berat bagiku. Setelah bunyi itu berhenti, aku baru mengerti apa yang disampaikannya. Kadang-kadang malaikat menjelma seperti seorang laki-laki menyampaikan kepadaku dan aku mengerti apa yang disampaikannya," Aisyah berkata, "Aku pernah melihat Nabi ketika turunnya wahyu kepadanya pada suatu hari yang amat dingin. Setelah wahyu itu berhenti turun, kelihatan dahi Nabi bersimpah peluh."

Hadits di atas adalah hadits ke-2 dalam Shahih Bukhari (صحيح البخارى), di bawah Kitab Bad’il Wahyi (كتاب بدء الوحى) (Permulaan Turunnya Wahyu). Meskipun Imam Bukhari tidak memberikan bab pada hadits kedua ini, dari matannya terlihat jelas bahwa ia memuat cara turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW.

أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ : Adalah gelar bagi istri-istri Nabi. Kata ini diambil dari firman Allah SWT, "istri-istri Nabi adalah ibu-ibu mereka (kaum muslimin)." Artinya dalam menghormati mereka dan larangan menikahinya.

Harits bin Hisyam adalah seorang dari bani Makhzumi, saudara kandung Abu Jahal bin Hisyam. Ia masuk Islam pada Fathu Makkah, termasuk tokoh dari kalangan sahabat. Ia meninggal pada waktu penaklukan negeri Syam.

كَيْفَ يَأْتِيكَ الْوَحْىُ

Pertanyaan ini dimaksudkan untuk menanyakan sifat wahyu, sifat pembawa wahyu, atau yang lebih umum dari itu. Sehingga Rasulullah menjawab pertanyaan ini dengan dua cara turunnya wahyu kepada beliau yang juga mengandung sifat wahyu dan sifat pembawanya.

أَحْيَانًا يَأْتِينِى مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ - وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَىَّ - فَيُفْصَمُ عَنِّى وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ

أَحْيَانًا : Bentuk jamak dari حين yang berarti waktu yang banyak atau sedikit. Seakan-akan Nabi berkata أَوْقَاتًا يَأْتِينِي (beberapa kali dia datang kepadaku).

مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ : Shalshalah adalah suara yang dihasilkan dari benturan antara besi, kemudian kata tersebut dinisbatkan kepada semua yang menimbulkan dengung. Sedangkan Jaras adalah lonceng kecil atau kerincingan yang digantungkan pada hewan.

وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَىَّ : Itulah yang sangat berat bagiku. Memahami perkataan dengan bunyi lonceng lebih sulit daripada memahami perkataan secara langsung. Sebagian ulama mengatakan bahwa berat atau sulitnya menerima wahyu bertujuan agar Nabi lebih konsentrasi. Ulama lain mengatakan biasanya cara seperti ini ketika wahyu yang turun membicarakan masalah adzab, namun pendapat ini diperselisihkan.

فَيُفْصَمُ عَنِّى وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ: (Setelah bunyi itu berhenti aku baru mengerti apa yang disampaikannya). Artinya, Rasulullah SAW mengerti perkataan yang disampaikan setelah bunyi itu berhenti. Inilah yang menguatkan bahwa turunnya wahyu melalui perantaraan malaikat.

وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِىَ الْمَلَكُ رَجُلاً فَيُكَلِّمُنِى فَأَعِى مَا يَقُولُ

يَتَمَثَّلُ لِىَ الْمَلَكُ رَجُلاً : Malaikat menjelma seperti seorang laki-laki. Hadits ini sekaligus menjadi dalil bahwa malaikat dapat menyerupai manusia. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa perubahan ini hanyalah perubahan bentuk saja, bukan dzat malaikat. Contoh yang sangat terkenal dalam hal ini adalah ketika Jibril datang bertanya kepada Rasulullah tentang Islam, Iman, dan Ihsan. Yaitu hadits yang juga dicantumkan Imam Nawawi dalam Kitab Arbain nomor kedua.

فَيُكَلِّمُنِى : Lafazh inilah yang banyak digunakan oleh para perawi. Karena malaikat menyerupai manusia, maka perkatannya pun sebagaimana perkataan manusia umumnya sehingga mudah dipahami begitu saja.

يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْىُ فِى الْيَوْمِ الشَّدِيدِ الْبَرْدِ ، فَيَفْصِمُ عَنْهُ وَإِنَّ جَبِينَهُ لَيَتَفَصَّدُ عَرَقًا
(ketika turun wahyu kepada Rasulullah pada suatu hari yang amat dingin, setelah wahyu itu berhenti turun, kelihatan dahi Nabi bersimpah peluh)

Inilah kesaksian Aisyah yang menyaksikan bertanya Rasulullah dalam menerima wahyu sehingga dahi beliau penuh keringat walaupun berada di musim dingin. Lelah, dan sangat serius menerima perkara besar yang menjadi petunjuk bagi manusia demi keselamatan mereka di dunia dan akhirat.

[Diringkas dari Fathul Baari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani]

Hadits nomor 1 Bukhory

Hadits nomor 1 ini terdapat di Shahih Bukhary Juz I, Kitab Awal Turunnya Wahyu, Bab Bagaimana Awal Wahyu Turun kepada Rasulullah shalallahu 'alayhi wa sallam. Hadits ini kerap disebut hadits "Innamal a'malu binniyat".

حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرني محمد بن إبراهيم التيمي أنه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضى الله تعالى عنه على المنبر قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه


Telah menceritakan kepada kami, Al Hamidy Abdullah ibnu Az-Zubair, dia berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan, dia berkata telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Said Al-Anshory, dia berkata telah mengabarkan kepadaku Muhammad ibnu Ibrahim At-Taimy, sesungguhnya dia telah mendengar Alqomah ibnu Waqosh Al-Laitsy berkata aku mendengar Umar bin Khattab radhiyallahu anhu di atas mimbar.


Beliau (Umar bin Khattab) berkata aku mendengar Rasulullah shalallahu alayhi wa sallam sedang berkata, "Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu bergantung pada niat-niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang diniatkannya. Barang siapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa berhijrah kepada dunia yang dikejarnya atau wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang diniatkannya.\

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

Hadits 1: Semua Amal Tergantung Niatnya

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِىَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ - رضى الله عنه - عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ »
Dari ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi bahwa ia berkata, “Aku mendengar Umar bin Khattab RA berkata di atas mimbar, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju”

Hadits di atas adalah hadits ke-1 dalam Shahih Bukhari (صحيح البخارى), di bawah Kitab Bad’il Wahyi (كتاب بدء الوحى) (Permulaan Turunnya Wahyu), Bab Cara Permulaan Turunnya Wahyu Kepada Rasulullah (باب كَيْفَ كَانَ بَدْءُ الْوَحْىِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ).

عَلَى الْمِنْبَرِ : Yakni mimbar masjid Nabawi, Madinah



إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

إِنَّمَا adalah adatul-Hashr (untuk membatasi), yakni menetapkan sesuatu yang disebut setelahnya dan menafikan sesuatu yang tidak disebut. Dengan demikian, hadits ini menunjukkan bahwa tidak ada amal perbuatan yang sah atau sempurna hukumnya kecuali berdasarkan niat.

بِالنِّيَّاتِ : Huruf ba’ menunjukkan arti mushahabah (menyertai) dan ada juga yang mengartikan sababiyah (menunjukkan sebab). Niyyaat adalah bentuk jama’ dari kata niyat. Secara etimologi bermakna ‘kehendak’ dan secara terminologi bermakna ‘kehendak yang dibarengi dengan perbuatan nyata’.

Para ahli fikih berselisih pendapat untuk menentukan apakah niat itu termasuk rukun atau syarat? Dalam hal ini pendapat yang paling kuat adalah, bahwa niat di awal pekerjaan adalah rukun, sedangkan menyertakannya dalam pekerjaan adalah syarat.



وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

امْرِئٍ : Manusia, baik laki-laki maupun perempuan
Jika kalimat pertama di atas menunjukkan apa saja yang termasuk amal, maka kalimat kedua ini menunjukkan akibat atau hasil dari amal itu. Kalimat pertama menjelaskan bahwa perbuatan itu harus disertai niat, kalimat kedua ini menegaskan bahwa seseorang tidak mendapatkan dari perbuatannya kecuali apa yang ia niatkan.



فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dalam hadits ini tidak terdapat kalimat فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ sebagaimana hadits-hadits lain yang lebih populer dan lebh banyak dihafal umat Islam. Ini dimungkinan karena riwayat Humaidi sampai kepada Imam Bukhari seperti lafadz hadits di atas. Imam Al-Karmani berkata: “Hadits ini terkadang diriwayatkan secara lengkap dan terkadang tidak, hal itu disebabkan perawi yang meriwayatkannya juga berbeda. Memang setiap perawi telah meriwayatkan hadits sesuai dengan apa yang dia dengar tanpa ada yang dihilangkan, sedang Bukhari menulis riawayt hadits ini sesuai dengan judul yang dibicarakan.”

Memang prinsip Imam Bukhari dalam menulis hadits adalah tidak menulis satu hadits yang berbeda periwayatannya dalam satu tempat. Apabila ada hadits yang mempunyai sanad lebih dari satu, maka ia menulisnya pada tempat yang berbeda pula, dan tidak pernah beliau menulis hadits dengan menghilangkan sebagiannya, sedang pada tempat yang lain beliau menulis secara lengkap. Juga tidak dijumpai satu hadits pun dengan sanad dan matan yang sama dan lengkap ditulis pada beberapa tempat, kecuali sebagian kecil saja, yakni kurang lebih dua puluh tempat.

هِجْرَتُهُ : Hijrah secara etimologi bermakna ‘meninggalkan’ dan secara terminologi bermakna ‘meninggalkan negeri kafir ke negeri Islam untuk menghindari hal-hal yang buruk.’ Adapun yang dimaksud dengan hijrah dalam hadits ini adalah perpindahan dari kota Makkah dan kota-kota lain ke kota Madinah, sebelum fathu Makkah.

هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا : Untuk mendapatkan keuntungan duniawi
Kata dunya berasal dari Ad-dunuw yang berarti dekat. Dinamakan demikian karena dunia lebih dahulu dari pada akhirat atau karena dunia sangat dekat dengan kehancuran/kebinasaan.

إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا : Untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahi
Disebutkannya kata wanita secara khusus setelah kata umum (dunia) adalah untuk menekankan bahwa bahaya dan fitnah yang ditimbulkan oleh wanita sangat besar. Ini juga berkaitan dengan sababul wurud hadits ini. Imam At-Thabrani meriwayatkan dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dengan sanad yang bisa dipercaya, bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Diantara kami ada seorang laki-laki yang melamar seorang wanita bernama Ummu Qais. Namun, wanita itu menolak sehingga ia berhijrah ke Madinah. Maka laki-laki tersebut ikut hijrah dan menikahinya. Karena itu kami memberinya julukan Muhajir Ummu Qais.”

فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ : Maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia tuju
Seseorang yang melakukan amal ibadah tetapi niatnya bukan karena Allah, tetapi ingin mendapatkan dunia atau wanita maka ia tidak mendapatkan pahala dari Allah. Inilah yang termasuk syirik asghar. Namun dalam konteks hijrah pada hadits ini, jika diniatkan menjauhi kekufuran dan menikahi wanita, hijrahnya kurang sempurna dibandingkan dengan orang yang berhijrah dengan niat yang tulus. Meskipun, niat menikahi wanita –baik hijrah atau tidak- akan mendapatkan pahala jika pernikahannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena pernikahan adalah anjuran agama Islam.

Hal ini seperti peristiwa masuk Islamnya Thalhah, sebagaimana diriwayatkan oleh Nasa’i dan Anas, ia berkata, “Abu Thalhah telah menikahi Ummu Sulaim dengan mahar masuk Islam, karena Ummu Sulaim telah masuk Islam lebih dahulu dari pada Abu Thalhah. Maka ketika melamarnya, Ummu Sulaim berkata, “Aku sudah masuk Islam, seandainya kamu masuk Islam, maka saya bersedia dinikahi.” Lalu Abu Thalhah masuk Islam dan menikahi Ummu Sulaim.

Imam Ghazali menggaris bawahi apabila keinginan untuk memperoleh dunia lebih besar dari keinginannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang itu tidak mendapatkan pahala, begitu pula apabila terjadi keseimbangan antara keduanya, ia tetap tidak mendapatkan pahala. Akan tetapi apabila seseorang berniat untuk ibadah dan mencampurnya dengan keinginan selain ibadah yang dapat mengurangi keikhlasan, maka Abu Ja’far bin Jarir Ath-Thabari telah menukil perkataan ulama salaf, bahwa yang harus menjadi tolak ukur adalah niat awal, apabila ia memulai dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka perubahan niat tidak menggugurkan pahalanya. Wallaahu a’lam bish shawab.