Monday, February 12, 2018

MEMBUNUH SETENGAH SENGAJA

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


وعمد الخطأ أن يقصد ضربه بما لا يقتل غالبا فيموت فلا قود عليه بل تجب دية مغلظة على العاقلة مؤجلة في ثلاث سنين

Membunuh setengah sengaja atau sengaja salah yaitu seseorang membunuh dengan alat yang tidak membunuh pada umumnya sehingga orang yang terlampar terbunuh. Maka tidak di qisos tapi wajib diyat atas yang berakal dan ditangguhkan sampai tiga tahun.

Pembunuhan tersalah, yaitu pembunuhan yang tidak ditujukan kepada seseorang tetapi sesorang tersebut mati karena perbuatannya. Jenis pembunuhan tersalah ada tiga kemungkinan :
a)        Perbuatan tanpa maksud melakukan kejahatan tetapi mengakibatkan kematian seseorang. Kesalahan seperti ini disebut salah sasaran (error in concrieto) contohnya seseorang yang menembak harimau tetapi justru menyasar mengenai orang lain hingga meninggal dunia
b)        Perbuatan yang mempunyai niat membunuh, namun ternyata orang tersebut tidak boleh dibunuh. Contohnya menembak seseorang yang disangka musuh dalam peperangan, tetapi ternyata kawan sendiri. Kesalahan demikian disebut salah dalam maksud (error in objecto)
c)        Pebuatan yang pelakunya tidak bermaksud jahat, tetapi akibat kelalaiannya dapat menyebabkan kematian seseorang.  Contohnya sesorang terjatuh dari pohon dan menimpa yang ada di bawahnya hingga mati. 

Jenis ini diambil dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
Di antaranya adalah hadits `Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bersabda

 وَالْعَصَا مِائَةٌ مِنَ الإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهَا أَوْلاَدُهَا 

Ketahuilah bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja, yaitu yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor onta. Di antaranya empat puluh ekor yang sedang hamil

SARAT WAJIB QISOS

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


وشرائط وجوب القصاص أربعة أن يكون القاتل بالغا عاقلا وأن لا يكون والدا للمقتول وأن لا يكون المقتول أنقص من القاتل بكفر أو رق وتقتل الجماعة بالواحد وكل شخصين جرى القصاص بينهما في النفس يجري بينهما في الأطراف وشرائط وجوب القصاص في الأطراف بعد الشرائط المذكورة اثنان الاشتراك في الاسم الخاص, اليمنى باليمنى, واليسرى باليسرى, وأن لا يكون بأحد الطرفين شلل, وكل عضو أخذ من مفصل ففيه القصاص ولا قصاص في الجروح إلا في الموضحة.

Syarat wajib qisos ada empat:
1. Yang membunuh baligh
2. Yang membunuh berakal
3. Yang membunuh bukan orang tua yang dibunuh
4. Yang terbunuh lebih nakis dari yang membunuh sebab kafir atau hamba
Rombongan membunuh satu orang maka perorang harus diqisos. Dan wajib pula setiap perorangan diqisos ujung anggota yang sama.
Dan syarat wajib qisos anggota setelah syarat diatas tersebut diatas ada dua lagi:
1. Bersekutu satu nama khusus, kanan dengan kanan, kiri dengan kiri
2. Salah satu dari dua anggota yang diqisos tidak lengket dengan yang lain, setiap anggota yang dipotong di ruas. Ini dalam qisos. Dan tidak ada qisos dala melukai kecuali anggota yang tampak terang.

 Syarat-Syarat Qishas

Hukuman qishas dapat dilakukan apabila terpenuhi syarat-syarat berikut:
  1. Orang yang membunuh itu sudah baligh dan berakal;
  2. Ada kesengajaan membunuh
  3. yang membunuh bukan bapak dari yang dibunuh
  4. Dilakukan secara langsung
  5. Ikhtiar (bebas dari paksaan), segala perbuatan yang terpaksa tidak akan dimintakan pertanggungjawaban sepenuhnya sebagai kejahatan, pelanggaran, atau dosa
  6. Yang dibunuh bukan budak yang dimilikinya;
  7. Yang dibunuh bukan orang kafir
  8. Ada bukti yang menyatakan bahwa pelaku pembunuhan ( pelaku kejahatan) yang menghilangkan anggota tubuh seseorang adalah benar-benar pelaku pidana tersebut
  9. Ada dua orang saksi yang benar-banar kejadian perkara.

Qishas Anggota Badan

Seperti halnya membunuh orang, penganiayaan terhadap anggota badan manusia harus dibalas seperti penganiayaan yang dilakukan. Misalnya, orang yang memotong tangan harus dibalas dengan potong tangan pula.
Pembalasan penganiayaan terhadap anggota tubuh manusia memang harus seimbang. Misalnya, tangan dibalas tangan. Tidak boleh memotong kaki jika yang dikenai tangan.
Tangan yang sehat tidak dipotong karena memotong tangan yang lumpuh, begitu pula mata yang melihat tidak boleh dirusak karena menganiaya mata yang buta. Lain halnya dengan telinga yang tuli, telinga itu masih ada kegunaannya, yaitu mencegah serangga masuk.
Qishas dalam tindak pidana yang menyangkut anggota badan diterangkan dalam surah al- Ma’idah Ayat 45.

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنفَ بِالْأَنفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُ‌وحَ قِصَاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَ‌ةٌ لَّهُ ۚ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّـهُ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ 

Artinya : 
Di dalam Tawrât, Kami mewajibkan hukum qisas kepada orang-orang Yahudi agar Kami memelihara kelangsungan hidup manusia. Kami tetapkan bahwa nyawa dibalas dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung dan gigi dengan gigi. Luka-luka pun sedapat mungkin dikenakan kisas pula. Barangsiapa memaafkan dan menyedekahkan hak kisasnya terhadap pelaku kejahatan, maka sedekah itu merupakan kafarat yang dapat menghapus sebagian dosanya. Barangsiapa yang tidak menerapkan hukum kisas dan lain-lainnya yang telah ditetapkan Allah, akan termasuk orang-orang yang zalim.

Pada surah tersebut ditegaskan bahwa setiap yang luka (diberlakukan) qishas. Tindak pidana yang menyangkut anggota badan adalah hak pribadi korban untuk melakukan tuntunan.
Artinya, pihak korban dapat saja menggugurkan hukuman qishas sepanjang itu menyangkut haknya. Namun, ia tidak berhak menggugurkan hal yang menyangkut kepentingan umum. Oleh karena itu, meskipun sikorban telah menggugurkan hak qishas, jika dari segi pebuatan jarimah hal tersebut mengganggu ketentraman umum, penguasa berhak pula untuk memberikan beban dengan sanksi hukum ta’zir.

Qishâsh disyariatkan dalam al-Qur‘ân dan Sunnah serta ijmâ’. Di antara dalil dari al-Qur‘ân adalah firman Allah Azza wa Jalla :

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنثَىٰ بِالْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [al-Baqarah/2:178-179] 

Sedangkan dalil dari Sunnah di antaranya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرٍ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل 

Siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia memilih dua pilihan, bisa memilih diyât dan bisa qishâsh (balas bunuh).[HR al-Jamâ’ah] 

Sedangkan dalam riwayat at-Tirmidzi rahimahullah dengan lafazh:

 مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرٍ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يَعْفُوَ وَإِمَّا أَنْ يَقْتُلَ 

 Siapa yang menjadi keluarga korban terbunuh maka ia mempunyai dua pilihan, bisa memilih memaafkannya atau bisa membunuhnya.  

Ayat dan hadits di atas menunjukkan wali (keluarga) korban pembunuhan dengan sengaja memiliki pilihan untuk membunuh pelaku tersebut (qishâsh) bila menghendakinya, bila tidak, bisa memilih diyât dan pengampunan. Pada asalnya pengampunan lebih utama, selama tidak mengantar kepada mafsadat (kerusakan) atau ada kemashlahatan lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menguatkan bahwa tidak boleh memberikan maaf pada qatlu al-ghîlah (pembunuhan dengan memperdaya korban)
Sedangkan Ibnu al-Qayyim rahimahullah ketika menyampaikan kisah al-‘Urayinin menyatakan: ‘Qatlu al-ghîlah menuntut pelakunya harus dibunuh secara had (hukuman), sehingga tidak bisa gugur dengan sebab ampunan dan tidak pandang kesetaraannya (mukâfaah). Inilah pendapat penduduk Madinah dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Ahmad dan yang dikuatkan oleh Syaikh (Ibnu Taimiyah – pen) dan beliau rahimahullah berfatwa dengannya.’