Tuesday, February 13, 2018

EMPAT HAK PIMPINAN

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 



والإمام مخير فيهم بين أربعة أشياء القتل والاسترقاق والمن والفدية بالمال أو بالرجال يفعل من ذلك ما فيه المصلحة ومن أسلم قبل الأسر أحرز ماله ودمه وصغار أولاده ويحكم للصبي بالإسلام عند وجود ثلاثة أسباب أن يسلم أحد أبويه أو يسبيه مسلم منفردا عن أبويه أو يوجد لقيطا في دار الإسلام.
Fasal
Pimpinan memilih di mereka antara 4 hal
1. Dibunuh
2. Jadi budak
3. Memberikan keamanan
4. Bayar kemanan dengan harta mereka atau disuruh melakukan kemaslahatan.

Barang siapa masuk islam sebelum ditawan maka dijaga harta, darah anak kecilnya. Anak kecil dihukumi Islam tatkal ada tiga sebab:
1. Islam salah satu orang tuanya
2. Sendirinya anak muslim. Ketika berpisah dengan orang tuanya
3. Ditemukan di derah islam 

Dalam agama Islam, semua persoalan yang menyangkut kehidupan ummat manusia telah ada aturannya yang sangat jelas dan detail. Sebagai contoh adalah aturan (syariat) tentang bagaimana tata cara bersuci (istinja’) dari najis saat buang air besar/kecil dan bersuci dari hadats (kentut, mandi junub). Demikian juga tata krama (‘adab)  saat bersin, makan, minum, tidur, buang air dan seterusnya.
Padahal ini menyangkut hal yang dampaknya bersifat sangat individual. Karena itu sangat logis jika dalam persoalan yang lebih besar dan luas dampaknya, Islam juga sangat peduli. Contohnya soal kepemimpinan ini. Hal ini karena aspek kepemimpinan ini luar biasa sangat besar dampaknya bagi kehidupan seluruh rakyat (ummat) di suatu negeri.
Hadits Nabi  berikut ini sebagai salah satu bukti begitu seriusnya Islam memandang persoalan kepemimpinan ini. Nabi  Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ

 “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).

Hadits ini secara jelas memberikan gambaran betapa Islam sangat memandang penting persoalan memilih pemimpin. Hadits ini memperlihatkan bagaimana dalam sebuah kelompok Muslim yang sangat sedikit (kecil) pun, Nabi  memerintahkan seorang Muslim agar memilih dan mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.
Kisah pembaiatan Abu Bakar di Saqifah Bani Saidah sesaat pasca wafatnya Rasulullah adalah bukti lain betapa pentingnya arti kepemimpinan ini dalam Islam. Saat jasad Nabi  yang belum lagi dimakamkan, para sahabat lebih mendahulukan memilih khalifah pengganti Nabi  daripada menyelenggarakan jenazah beliau yang agung dan mulia.

HARTA LAWAN

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


“فصل” 
ومن قتل قتيلا أعطى سلبه وتقسم الغنيمة بعد ذلك على خمسة أخماس فيعطى أربعة أخماسها لمن شهد الوقعة للفارس ثلاثة أسهم وللراجل سهم ولا يسهم إلا لمن استكملت فيه خمس شرائط: الإسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورة فإن اختل شرط من ذلك رضخ له ولم يسهم له ويقسم له الخمس على خمسة أسهم, سهم لرسول الله صلى الله عليه وسلم يصرف بعده للمصالح وسهم لذوي القربى وهم بنو هاشم وبنو المطلب وسهم لليتامى وسهم للمساكين وسهم لأبناء السبيل
Fasal
Brang siapa membunuh lawan dalam perang maka salaf( benda yang dipakai lawan) diberikan kepadanya. Sesudah itu harta jarahannya dibagi menjadi 5:
1. 4/5 nya diberikan kepda orang yang hadir dalam perang. Bagi yang bawa kuda mendapat 3 bagian dan yang berjalan mendapat 1 bagian. Dan tidak diberikan bagian kecuali sempurna memiliki 5 sarat
a. Islam
b. Baligh
c. Berakal
d. Merdeka
e. Laki laki.
Barang siapa kehilang satu dari sarat tersebut Maka harus rela dan tidak diberikan sesuatu, dan dia diberi 1/5 dari 1/5 bagian.1 bagian dari 1/5 untuk rosululloh. 1 bagian dari 1/5 untuk kerabat bani hasyim, bani muttholib. 1 bagian dari 1/5 untuk miskin. Dan 1 bagian dari dari 1/5 untuk ibnu sabil.



Harta Fai juga mencakup harta-benda—sebagian tanah maupun harta-benda—yang diserahkan kaum kafir karena takut menghadapi tentara Islam. Contohnya adalah harta yang diperoleh kaum Muslim dari penduduk Fadak yang beragama Yahudi. Inilah makna fai yang dimaksud dalam firman Allah SWT:

وَمَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْهُمْ فَمَا أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلا رِكَابٍ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Nya. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu (QS al-Hasyr [59]: 6).

Harta yang diperoleh kaum Muslim dari Yahudi Bani Nadhir dan penduduk Fadak tidak didahului dengan peperangan. Harta semacam ini menjadi milik Rasulullah saw. Sebagian harta Fai ini Baginda belanjakan untuk keperluan keluarganya selama setahun, dan sisanya digunakan untuk penyediaan amunisi dan senjata untuk berperang di jalan Allah. Praktik seperti ini diteruskan oleh Abu Bakar dan Umar ra.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam bab Khumus, bahwa Utsman, Abdurrahman bin Auf, Zubair dan Saad bin Abi Waqash pernah meminta izin kepada Umar untuk memasuki rumah kediaman Umar, dan Umar mengizinkannya. Kemudian mereka duduk dengan tenang. Lalu datang Ali dan Abbas yang juga meminta izin masuk. Umar pun mengizinkan mereka berdua. Ali dan Abbas masuk, memberi salam, lalu duduk. Abbas berkata, “Amirul Mukminin, berikanlah keputusan antara aku dan orang ini (Ali ra.)—kedua orang ini tengah berselisih dalam hal Fai yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw. dari harta Bani Nadhir.
Mendengar hal itu, Utsman dan sahabatnya berkata, “Amirul Mukminin, buatlah keputusan di antara mereka berdua agar satu sama lain bisa merasa puas.”
Berkatalah Umar, “Kusampaikan kepada kalian dan bersumpahlah kalian dengan nama Allah yang dengan izin-Nya berdiri langit dan bumi. Apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah saw. telah berkata, ’Segala sesuatu yang kami tinggalkan tidak diwariskan tetapi menjadi shadaqah’, dan yang Rasulullah saw maksudkan itu adalah beliau sendiri’.
Berkatalah mereka semua, “Memang benar beliau telah bersabda seperti itu.”
Umar lalu berpaling kepada Ali dan Abbas seraya berkata, “Bersumpahlah kalian berdua dengan nama Allah, tahukah kalian berdua bahwa Rasulullah saw. telah bersabda seperti itu?’”Mereka berdua menjawab, “Memang benar beliau telah bersabda seperti itu.”
Berkatalah Umar, “Maka akan kukabarkan kepada kalian tentang hal ini, yaitu bahwa Allah SWT telah mengkhususkan Fai ini kepada Rasul-Nya dan tidak diberikan kepada seorang pun selain beliau.”
Kemudian Umar membacakan ayat: “Apa saja harta rampasan (Fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka,” sampai firman Allah: “Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” Hal ini menunjukan bahwa Fai ini benar-benar menjadi milik Rasulullah saw. Demi Allah, harta tersebut dihindarkan dari kalian, tidak diwariskan kepada kalian. Akan tetapi, beliau telah memberikan sebagian dari harta tersebut kepada kalian dan membagikannya di antara kalian, sedangkan sisanya oleh Rasulullah saw. dibelanjakan sebagian untuk keperluan keluarganya selama setahun dan sisanya dijadikan oleh beliau tetap menjadi harta milik Allah. Rasulullah telah melakukan hal tersebut selama hidupnya. Bersumpahlah dengan nama Allah, apakah kalian mengetahui hal itu?’
Mereka semua menjawab, “Ya.”
Selanjutnya Umar berkata, “Kemudian Allah mewafatkan Nabi-Nya, dan saat itu Abu Bakar berkata, ‘Aku adalah pengganti Rasulullah saw.’ Lalu Abu Bakar menahan harta tersebut dan kemudian melakukan tindakan seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. Allah mengetahui bahwa dia (Abu Bakar) dalam mengelola harta tersebut sungguh berada dalam sifat yang benar, baik, mengikuti petunjuk serta mengikuti yang haq. Kemudian Allah mewafatkan Abu Bakar dan akulah yang menjadi pengganti Abu Bakar. Aku pun menahan harta tersebut selama dua tahun dari masa pemerintahanku. Aku memperlakukan harta tersebut sesuai dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah saw. dan Abu Bakar. Selain itu, Allah mengetahui bahwa aku dalam mengelola harta tersebut berada dalam kebenaran, kebaikan, mengikuti petunjuk dan kebenaran.” (HR al-Bukhari).
Atas dasar itu, harta Fai yang diperoleh kaum Muslim merupakan milik Allah, seperti halnya Kharaj dan Jizyah. Harta seperti ini disimpan di Baitul Mal dan dibelanjakan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum Muslim serta memelihara urusan mereka, berdasarkan keputusan atau ijtihad seorang khalifah.
Harta Fai juga mencakup tanah yang ditaklukkan, baik dengan paksa maupun sukarela, dan semua harta yang mengikutinya, yaitu Kharaj, Jizyah perorangan dan ‘Usyur dari perdagangan. Alasannya adalah firman Allah SWT:

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk suatu negeri, maka (harta benda itu) untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil, dan agar supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian (QS al-Hasyr [59]: 7).

Berdasarkan ayat di atas, Khalifah Umar ra. tidak membagi-bagikan tanah-tanah subur di Irak, Syam dan Mesir meskipun didesak oleh para Sahabat. Bilal dan beberapa orang Sahabat bersikeras meminta agar tanah-tanah tersebut dibagikan kepada mereka. Perlu diketahui bahwa, tanah-tanah tersebut ditaklukkan secara paksa dengan pedang mereka. Itu dapat diketahui dengan jelas dalam diskusi mereka dengan Umar, yaitu saat mereka berkata kepadanya, “Apakah engkau akan memberikan harta rampasan yang telah Allah berikan kepada kami melalui pedang-pedang kami, kepada satu kaum yang tidak hadir dan tidak juga menyaksikan, kemudian digunakan untuk membangun kaum tersebut, dan untuk membangun rumah-rumah mereka padahal mereka tidak hadir?”
Di dalam percakapan Umar dengan 10 orang Anshar juga tampak jelas, bahwa Kharaj dan Jizyah termasuk harta Fai. Beliau berkata, “Aku telah memutuskan untuk menahan tanah rampasan perang dengan penduduknya, kemudian menetapkan Kharaj atas mereka (penduduknya) dari tanah tersebut, serta Jizyah untuk budak-budak mereka, dan menjadikannya sebagai harta Fai bagi kaum Muslim, untuk tentara dan keturunannya serta untuk orang-orang yang datang setelah mereka.” (HR al-Bukhari).
Setelah menetapkan Kharaj atas tanah Irak, Syam dan Mesir, Umar ra. berkata, “Tidak seorang pun dari kaum Muslim kecuali berhak mendapatkan bagian dalam harta ini.” Lalu Umar membacakan ayat, “Apa saja dari harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dari penduduk suatu negeri” hingga “dan orang-orang yang datang setelah mereka.” (QS al-Hasyr: 10). Kemudian Umar berkata, “Harta ini akan aku ambil semuanya untuk (kepentingan) seluruh kaum Muslim, dan sungguh, jika aku menahannya, niscaya akan datang seorang penguasa dengan sarwi Himyar dan meminta bagian dari harta tersebut dengan kening tanpa mengeluarkan keringat sedikitpun.” (HR Ibn Qudamah dalam al-Mughni).
Dari penjelasan di atas, 
Harta Fai adalah harta yang diperoleh oleh kaum Muslim dari harta kaum kafir, tanpa peperangan, dimana harta, rumah dan tanah mereka ditinggalkan karena takut kepada pasukan kaum Muslim. Konteks ini ada ketika ada Khilafah yang melakukan jihad ofensif, dengan mengerahkan pasukannya hingga sampai di negara kafir, sebagaimana kasus Bani Nadhir.
Karena itu, menggunakan istilah Fai dalam konteks negara Khilafah tidak ada; tidak ada jihad ofensif; tidak pula ada harta-benda, rumah dan tanah yang ditinggalkan oleh kaum kafir karena takut kepada pasukan Khilafah adalah bentuk tahrif (penyimpangan); menyelewengkan istilah syariah tidak sesuai dengan konteksnya, dan ini merupakan tindakan yuharrifuna al-kalima ’an mawadhi’ihi, yang diharamkan dalam Islam. Apalagi menggunakan istilah Fai untuk menjustifikasi perampokan; maka berdosa dua kali: dosa menyelewengkan istilah dan dosa merampok. Wallahu a’lam