Sunday, February 11, 2018

DIYAT

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


“فصل”
والدية على ضربين مغلظة ومخففة فالمغلظة مائة من الإبل ثلاثون حقة وثلاثون جذعة وأربعون خلفة في بطونها أولادها والمخففة مائة من الإبل عشرون حقة وعشرون جذعة, وعشرون بنت لبون, وعشرون ابن لبون, وعشرون بنت مخاض, فإن عدمت الإبل انتقل إلى قيمتها وقيل ينتقل إلى ألف دينار أو اثني عشر ألف درهم, وإن غلظت زيد عليها الثلث وتغلظ دية الخطأ في ثلاثة مواضع إذا قتل في الحرم, أو في الأشهر الحرم, أو قتل ذا رحم محرم, ودية المرأة على النصف من دية الرجل ودية اليهودي والنصراني ثلث دية المسلم وأما المجوسي ففيه ثلثا عشر دية المسلم وتكمل دية النفس في قطع اليدين والرجلين والأنف والأذنين والعينين والجفون الأربعة واللسان والشفتين وذهاب الكلام وذهاب البصر وذهاب السمع وذهاب الشم وذهاب العقل والذكر والأنثيين وفي الموضحة والسن خمس من الإبل وفي كل عضو لا منفعة فيه حكومة ودية العبد قيمته ودية الجنين الحر غرة عبد أو أمة ودية الجنين الرقيق عشر قيمة أمه 


Diyat itu terbagi menjadi dua: diyat yang beratkan dan diyat yang diringankan
Diyat yang diberatkan adalah seratus unta dari hikkoh dan tiga puluh unta jada ah dan empat puluh onta yang masih dalam kandungan.
Diyat yang ringan adalah seratus onta dari 20 hikkoh dan 20 jada ah dan 20 bintu labun dan 20 ibnu labun dan 20 bintu mahot.
Bila tidak ada onta onta tersebut diatas maka kalkulasi nilai onta onta diatas. Menurut pendapat yang lain: dialihkan seribu dinar atau dua belas dirham. Bila diyat yang diberatkan maka ditambah sepertiganya.
dan diberatkan diyat pembunuhan keliru di 3 tempat
1. Ketika membunuh di tanah haram
2. Membunuh di bulan Haram
3. Membunuh kerabat yang dimuliakan
Diyat seorang perempuan adalah separo dari diyat laki laki. Dan diyat Yahudi, Nasrani adalah sepertiga diyat Muslim, adapun Majusi adalah 2/3 per sepuluh ( 66,6 % ) diyat Muslim
Dan sempurnya diyat nafsi dalam memotong kedua tangan, kedua kaki, hidung, kedua telinga, kedua mata, Pelupuk mata yang empat, lisan, kedua bibir, menghilangkan kalam ( suara) menghilangkan penglihatan, menghilangkan pendengaran, menghilangkan penciuman, menghilangkan akal, menghilangkan dzakar, menghilangkan dua telor, dan di anggota yang tampak jelas, gigi, Maka lima onta. Dan semua anggota yang tidak ada manfaat maka didalamnya ada hokum.
Dan diyatnya hamba maka harga dari hamba tersebut. Dan diyat janin yang merdeka adalah seperti halnya hamba atau amat. Dan diyat janin hamba 1/10 harga ibunya.

Kata diyat (دِيَةٌ ) secara etimologi berasal dari kata “wadâ – yadî – wadyan wa diyatan”( وَدَى يَدِى وَدْيًا وَدِيَةً). Bila yang digunakan mashdar wadyan (وَدْيًا ) berarti sâla ( سَالَ= mengalir) yang sering dikaitkan dengan lembah, seperti di dalam firman Allah Azza wa Jalla :

 إِنِّي أَنَا رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَ ۖ إِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى 

Sesungguhnya Aku inilah rabbmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. [Thâhâ/20: 12]. 

Akan tetapi, jika yang digunakan adalah mashdar diyatan (دِيَةً), berarti ‘membayar harta tebusan yang diberikan kepada korban atau walinya dengan sebab tindak pidana penganiyaan (jinâyat). 
Bentuk asli kata diyat ( دِيَةٌ) adalah widyat ( وِدْيَة) yang dibuang huruf wau-nya, seperti kata عِدَةdan صِلَة dari kata لْوَعْدُ dan.الوَصْلُ 
Sedangkan diyat secara terminologi syariat adalah harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh pelaku jinâyat kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi, disebabkan jinâyat yang dilakukan oleh si pelaku kepada korban.  

Definisi ini mencakup diyat pembunuhan dan diyat anggota tubuh yang dicederai, sebab harta ganti rugi ini diberikan kepada korban bila jinâyatnya tidak sampai membunuhnya dan diberikan kepada walinya bila korban terbunuh. 

PENSYARIATAN HUKUMAN DIYAT 

Hukuman diyat disyari’atkan dalam syariat Islam berdasarkan dalil dari al-Qur‘ân, Sunnah dan ijmâ’. Di antara dalil dari al-Qur‘ân adalah firman Allah Azza wa Jalla :

 فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ
  وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ 

Maka barangsiapa yang mendapat suatu permaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. [al-Baqarah/2:178] 

 Ini berlaku untuk pembunuhan disengaja Juga firman Allah Azza wa Jalla :

 وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً ۚ وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَن يَصَّدَّقُوا ۚ فَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ عَدُوٍّ لَّكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ ۖ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا 

 Dan tidak pantas bagi seorang Mukmin membunuh seorang Mukmin yang lain, kecuali karena tersalah tidak sengaja. Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[an-Nisâ‘/4:92] 

 Hal ini berhubungan dengan pembunuhan tidak disengaja dan mirip sengaja. Sedangkan dari Sunnah di antaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 مَنْ قُتِلَ لَهُ قَتِيْلٌ فَهُوَ بِخَيْرِ النَّظَرَيْنِ إِمَّا أَنْ يُفْدَى وَإِمَّا أَنْ يُقْتَل 

Barangsiapa yang keluarganya terbunuh maka ia bisa memilih dua pilihan, bisa memilih diyat dan bisa juga memilih pelakunya dibunuh (qishâsh). [HR al-Jamâ’ah]. 

Demikian juga kaum Muslimin telah bersepakat tentang pensyariatan diyat pada jinâyat pembunuhan. 

 KAPAN DITERAPKAN HUKUMAN DIYAT? 

Diyat merupakan sebagian dari hukuman yang dijatuhkan oleh hakim atas: 

1 Orang yang telah terbukti secara sah menurut hukum membunuh orang Mukmin, secara tidak di sengaja atau mirip sengaja. Namun, apabila ahli waris korban merelakan diyat tersebut, terhukum dan keluarganya tidak wajib membayar diyat tersebut. 

2. Orang yang telah terbukti secara sah menurut hukum membunuh kafir dzimmi (orang kafir yang mengadakan perjanjian untuk tidak saling memerangi dengan orang Islam). 

3. Orang yang dijatuhi hukuman karena qishâsh (pembunuhan atau pelukaan dengan sengaja),tetapi dimaafkan oleh ahli waris korban. 

UKURAN DIYAT PEMBUNUHAN 

Diyat sebagai satu hukuman memiliki ukuran tertentu yang telah ditetapkan syari’at, tergantung kepada korban pembunuhan. Hal ini dapat diringkas sebagai berikut:

1. Muslim Laki-Laki Merdeka 

Para Ulama sepakat menjadikan diyat Muslim merdeka seratus onta,  tidak ada bedanya dalam hal ini antara pembunuhan sengaja, tidak sengaja dan mirip sengaja. 
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 أَلاَ إِنَّ قَتِيلَ الْخَطَاءِ قَتِيْلَ السَّوْطِ وَالْعَصَا فِيْهِ مِائَةٌ مِنْ اْلإِبِل 

Ketahuilah, sesungguhnya dalam korban pembunuhan mirip sengaja, korban terbunuh oleh cambuk dan tongkat, diyatnya 100 onta [HR Ibnu Mâjah no 2618]

Namun diyat ketiga jenis pembunuhan ini berbeda dari sisi ringan dan beratnya diyat. Diyat pembunuhan sengaja diperberat dari tiga sisi dan diyat pembunuhan mirip sengaja diperberat dari satu sisi dan mendapat keringanan dari dua sisi. 
Sedangkan diyat pembunuhan tidak sengaja mendapat keringanan dari tiga sisi sekaligus. Perinciannya sebagai berikut: 

 a). Sisi pemberatan hukuman diyat pembunuhan disengaja adalah: 

Pertama: 
Pembayarannya ditanggung sendiri oleh pelaku pembunuhan, tidak dibebankan kepada keluarga besarnya. Ini sudah menjadi ijmâ’ sebagaimana disampaikan Ibnu Qudâmah.  

Kedua: 
Diwajibkan kontan dan tidak dibayar tempo karena disamakan dengan qishâsh dan ganti rugi jinâyât. Inilah pendapat yang râjih menurut jumhur Ulama. Ketiga: Diperberat dari sisi usia onta. Onta yang harus diserahkan yaitu 30 ekor onta hiqqah, 30 onta Jaza’ah, 40 onta hamil yang mengandung janin diperutnya (khalifah) menurut pendapat yang rajah dengan dasar sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 مَنْ قَتَلَ مُتَعَمِّدًا دُفِعَ إِلَى أَوْلِيَاءِ الْمَقْتُوْلِ فَإِنْ شَاءُوْا قَتَلُوْهُ وَإِنْ شَاءُا أَخَدُوْا الدِّيَةَ وَهِيَ ثَلاَثُوْنَ حِقَّةً وَثَلاَثُوْنَ جَذَعَةً وَأَرْبَعُوْنَ خَلِفَةً وَمَا صُوْ لِحُوْا عَلَيْهِ فَهُوَ لَهُمْ 

Siapa yang membunuh dengan sengaja maka diserahkan kepada para wali korban, apabila mereka ingin maka mereka membunuhnya dan bila ingin (lainnya) maka mengambil diyat yaitu 30 hiqqah (onta berusia 3 tahun), 30 jaza’ah (onta berusia 4 tahun) dan 40 khalifah (onta yang sedang mangandung janin). Semua yang mereka terima dengan damai maka itu hak mereka. [HR Ibnu Mâjah no 2626]

b). Sisi pemberatan dan keringanan dalam diyat pembunuhan mirip sengaja. 

Diyat pembunuhan semacam ini diperberat dalam satu sisi saja yaitu usia ontanya sama dengan diyat pembunuhan disengaja. 

Hal ini didasarkan kepada hadits ‘Abdullâh bin ‘Amr Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 أََلاَ إِنَّ دِيَةَ الْخَطَأِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَنَا بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِا ئَةٌ مِنَالإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُوْنَ فِيْ بُطُوْ نِهِا أَوْلاَدُهَا 

Ketahuilah bahwa diyat pembunuhan yang mirip dengan sengaja yaitu yang dilakukan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor onta.Di antaranya empat puluh ekor yang sedang hamil. 

Namun mendapat keringanan dari dua sisi yaitu: 

Pertama : 
Kewajiban ini dibebankan kepada keluarga besar pembunuh (al’-‘Aqilah), sebagaimana ditetapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

 اقْتَتَلَتِ امرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلِ فَِرَمَتْ إِحْدَا هُمَا الأُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِى يَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُو لِ اللَّهِ صًلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ دِيَةَ جَنِيْبِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَاِلِيْدَةٌ وٌَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْاَةِ عَلَى عَا قِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ 

Dua orang wanita dari suku Hudzail saling berperang, lalu salah seorang dari mereka melempar batu kepada yang satunya, lalu membunuhnya dan membunuh juga janin isi kandungannya. Lalu kaum mereka memperadilkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memutuskan kewajiban membayar diyat janinnya ghurrah budak laki-laki atau wanita dan menetapkan diyat korban wanita tersebut atas kerabat wanita pembunuhnya. Kemudian anak korban dan kerabat yang bersamanya mewarisi diyat tersebut. [Muttafaq ‘alaihi] 

Kedua: 
Diyat boleh diangsur selama tiga tahun menurut ijmâ’ sebagaimana dikatakan Ibnu Qudâmah rahimahullah, “Diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘anhu dan Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwa keduanya menetapkan diyat kepada al-Aqilah (keluarga pembunuh) selama tiga tahun dan tidak ada yang menyelisihi keduanya di zaman mereka sehingga itu menjadi ijmâ’.  

c). Sisi keringanan dalam diyat pembunuhan tidak sengaja dari tiga sisi 

Pertama: 
Kewajiban ini dibebankan kepada al-Aqilah menurut ijmâ’ umat ini . Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Kami tidak mengetahui adanya khilâf di antara para Ulama bahwa diyat pembunuhan tidak sengaja diambil dari al-‘Aqilah (keluarga). 

Kedua: 
Dibayar dalam tiga tahun sebagaimana diyat pembunuhan mirip sengaja. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: “Tidak ada khilaf di antara mereka bahwa diyatnya tidak kontan (dibayar) tiga tahun”. 

Ketiga: 
Mendapatkan keringan dari sisi usia ontanya menjadi lima jenis, yaitu 20 bintu makhâdh (onta betina berusia setahun), 20 ibnu makhâdh (onta jantan berumur setahun) , 20 onta bintu labûn (onta betina usia dua tahun), 20 onta hiqqah dan 20 onta jaza’ah. 

 STANDAR PEMBAYARAN DIYAT 

Standar pembayaran diyat pembunuhan adalah onta menurut pendapat mayoritas Ulama dan Ibnul-Qayyim rahimahullah serta Syaikh Prof. DR. Shâlih bin ‘Abdillâh al-Fauzân dengan dasar : – Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkannya pada diyat pembunuhan mirip sengaja, seperti dalam hadits ‘Abdullâh bin ‘Amru di atas. – Riwayat shahîh dari Umar bin al-Khaththâb Radhiyallahu ‘anhu ketika berbicara di atas mimbar:

 أَلاَ إِنَّ اْلإِبِلَ ٌَدْ غَلَتْ قَالَ فَفَرَ ضَهَا عُمَرُعَلَى أَهْلِ الدَّهَبٍ أَلْفَ دِيْنَارٍ وَعَلَى أَهْلِ الْوَرِقِ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفًا وَعَلَى أَهْلِ الشَّاءِ أَلْفَيْ شَاةٍ 

Ketahuilah bahwa harga onta telah naik (menjadi mahal). Lalu Umar mewajibkan diyat kepada orang yang punya emas sebanyak 1000 dinar, kepada pemilik perak 12000 dirham, pemilik sapi 200 sapi dan pemilik kambing 2000 kambing. [HR Abu Dâwud no. 4542] 

Dalam hal ini nampak Umar Radhiyallahu ‘anhu menaikkan jumlah diyat selain onta disebabkan mahalnya harga onta, sehingga jadilah onta sebagai standar pembayaran diyat, sedangkan yang lain mengikuti nilai onta. – Seluruh diyat anggota tubuh dibayar dan diukur dengan onta. Syariat selalu menentukan ukuran bagian diyat dengan onta, sehingga menunjukkan onta adalah standar (asal) pembayaran diyat. 

Hal ini tidak dapat diwujudkan menurut ijmâ’ dengan selain onta. Wallâhu a’lam. 

2. Diyat Orang Kafir Ahli Kitab 

Yang Merdeka Diyat lelaki ahli kitab yang merdeka baik sebagai seorang Mu’âhad, musta’man atau dzimmi adalah separuh diyat Muslim berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

 أَنَّ رَسُوْ لَ اللَّهُ صَلَّى اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنَّ عَقْلَ أَهْلِ الْكِتَابِ نِصْفُ غَقْلِ الْمُسْلِمِيْنَ 

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan bahwa diyat ahli kitab separuh diyat Muslimin. [HR Ahmad 6795] 

 3. Diyat Orang Kafir Non Ahli Kitab 

Mereka ini seperti majusi, baik ahli dzimmah atau musta’man atau mu’âhad dan orang kafir musyrik namun mu’âhad atau musta’man, maka diyatnya adalah 800 dirham islami sebagaimana dijelaskan dalam pernyataan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu :

 وَدِيَةُ الْمَجُوسِيِّ ثَمَانُ مِائَةِ دِرْهَمٍ 

 Diyat al-Majusi 800 dirham. [HR at-Tirmidzi no, 1417] 

Ini adalah pendapat mayoritas Ulama.] 

4. Diyat Wanita Muslimah 

Diyat wanita Muslimah separuh diyat lelaki Muslim, sebagaimana dijelaskan dalam surat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan kepada ‘Amru bin Hazm yang di antara isinya adalah: 

 دِيَةُ الْمَرْأَةِ عَلَى النِّصفِ مِنْ دِيَةِ الرَّجُلِ 

 Diyat wanita itu separuh dari diyat lelaki. [HR al-Baihaqi dalam Sunanul-Kubra no. 16344] 

Hal ini telah menjadi ijmâ’ sebagaimana disampaikan Ibnul-Mundzir rahimahullah : “Para Ulama berijmâ` bahwa diyat wanita separuh diyat lelaki” 

5. Diyat Wanita Ahli Kitab 

Diyat wanita ahli kitab dan majusi serta kaum musyrikin adalah separuh dari diyat laki-laki mereka, sebagaimana diyat wanita Muslimah adalah separuh dari laki-laki Muslim. 

6.Diyat Budak 

Diyat budak, baik lelaki atau perempuan, kecil atau dewasa adalah sesuai harga budak itu sendiri selama harganya tidak mencapai nilai diyat lelaki merdeka. Ini sudah menjadi ijmâ’ di kalangan kaum Muslimin  karena budak adalah harta yang bernilai jual sehingga diganti seharga nilai budak tersebut. 

7. Diyat Janin 

Diyat janin baik laki-laki atau perempuan apabila keguguran atau mati dengan sebab akibat jinâyat atas ibunya baik pada pembunuhan sengaja atau tidak sengaja adalah ghurrah budak. 

Nilai ghurrah ini adalah 5 ekor onta berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :

 اقْتَتَلَتِ امرَأَتَانِ مِنْ هُذَيْلِ فَِرَمَتْ إِحْدَا هُمَا الأُخْرَى بِحَجَرٍ فَقَتَلَتْهَا وَمَا فِى يَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى رَسُو لِ اللَّهِ صًلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَضَى رَسُوْ لُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ دِيَةَ جَنِيْبِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ وَاِلِيْدَةٌ وٌَقَضَى بِدِيَةِ الْمَرْاَةِ عَلَى عَا قِلَتِهَا وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَنْ مَعَهُمْ 

Dua orang wanita dari suku Hudzail saling berperang,lalu salah seorang dari mereka melempar batu kepada yang satunya, lalu membunuhnya dan membunuh juga janin isi kandungannya. Lalu kaum mereka memperadilkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan kewajiban membayar diyat janinnya ghurrah budak laki-laki atau wanita dan menetapkan diyat korban wanita tersebut atas kerabat wanita pembunuhnya. Kemudian anak korban dan kerabat yang bersamanya mewarisi diyat tersebut.[Muttafaq ‘alaihi]

PENGAKUAN BERDARAH PENCURI

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


“فصل”
 وإذا اقترن بدعوى الدمِ لوثٌ يقع به في النفسِ صِدْقُ المُدَّعِي حَلَفَ المُدَّعِي خمسين يمينا واستحق الدية وإن لم يكن هناك لوث فاليمين على المدَّعَى عليه وعلى قاتل النفس المُحَرَّمَة كفارة عتق رقبة مؤمنة سليمة من العيوب المضرة فإن لم يجد فصيام شهرين متتابعين

Ketika Bersamaan pengakuan berdarah dengan pencuri pada seseorang yang sama serta pengakuannya benar maka pengaku disumpah 50 kali dan berhak diad. Dan bila tidak bersamaan dengan pencuri maka pengaku disumpah dan yang membunuh jiwa yang mulia harus membayar kifarat yaitu memerdekaan amat mukminah yang selamat dari aib yang membahayakan. Dan bila tidak menemukan maka harus berpuasa dua bulan berturut turut. 

 1.       Nash ayat
 
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ( سورة المائدة : 38)
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.  (Qs. Al-Maidah : 38)

2.      Sebab turunnya ayat

Ayat ini turun pada Thu’mah bin Ubairiq ketika mencuri baju perang milik tetangganya, Qatadah bin An-Nu’man. Baju itu laludisembunyikan di rumah Zaid bin As-Samin seorang yahudi. Namun terbawa juga kantung berisi tepung yang bocor sehingga tercecerlah tepung itu dari rumah Qatadah sampai ke rumah Zaid.
Ketika Qatadah menyadari baju perangnya dicuri, dia menemukan jejak tepung itu sampai ke rumah Zaid. Maka diambillah baju perang itu dari rumah Zaid. Zaid berkata,”Saya diberi oleh Thu’mah”.
Dan orang-orang bersaksi membenarkannya. Saat itu Rasulullah SAW ingin mendebat Thu’mah, lalu turunlah ayat ini yang menerangkan tentang hukum pencurian.
Sedangkan sebab turun ayat selanjutnya yaitu ayat 39 adalah riwayat dari Ahmad dari Abdillah bin amru bahwa seorang wanita telah mencuri di masa Rasulullah SAW. Lalu dipotonglah tangan kanannya. Wanita itu lalu bertanya,”Masih mungkinkah bagi saya untuk bertaubat ?”. Maka turunlah ayat yang artinya Maka barangsiapa bertaubat  sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

3.      Pengertian pencurian, hukum dan sifatnya

a.    Pembagian Pencurian

Al-Ustaz As-Sayyid Sabiq penyusun Fiqhus Sunnah membagi jenis pencurian menjadi beberapa bentuk dan jenis. Masing-masing mempunyai ancaman hukuman tersendiri.

§  Pencurian yang diancam hukuman ta`zir.

Pencurian yang diancam hukuman ta`zir adalah pencurian yang tidak memenuhi syarat dan kriteria pencurian yang dimaksud dalam surat Al-Maidah ayat 38.
Seperti bila tidak mencapai nishab atau barangnya tidak disimpan dan seterusnya. Dalam hal ini potong tangan tidak boleh dilaksanakan dan sebagai gantinya hakim bisa menerapkan ta`zir.

§  Pencurian yang diancam hukum potong tangan

Inilah pokok pembicaraan kita dalam tafsir surat Al-Maidah ayat 38 ini.

§  Pencurian yang diancam hukum bunuh, salib, potong tangan dan kaki atau dibuang.

Ini adalah bentuk pencurian yang dikombinasikan dengan perampasan dan perampokan bahkan pembunuhan. Dalam isitlah fiqih disebut dengan hiraabah.

b.    Definisi Pencurian

Para ulama telah membuat batasan pencurian dengan perbuatan sejenisnya. Dengan pembatasan atau definisi itu, maka meski perbuatan sejenis mirip dengan pencuria, tapi tidak diganjar dengan hukum potong tangan.
Definisi pencurian yang disepakati para ulama umumnya adalah : 


“Mengambil hak orang lain secara tersembunyi (tidak diketahui) atau saat lengah dimana barang itu sudah dalam penjagaan/dilindungi oleh pemiliknya”.


Tidak Semua Bentuk Pencurian Harus Dipotong Tangan

Dari definisi  para ulama, maka bentuk pengambilan hak orang lain yang tidak memenuhi kriteria pencurian adalah tidak termasuk pencurian yang dimaksud. Diataranya yang bukan termasuk pencurian adalah :
ú  Perampasan/penodongan : yaitu mengambil secara paksa dengan sepengetahuan pemilik harta. (انتهاب)
ú  Pengkhianatan : yaitu pengambilan hak orang lain dimana pelakunya adalah orang yang diamanahi menjaga barang itu.(خيانة)
ú  Penjambretan : yaitu mengambil hak orang lain dengan cara membuat lengah pemiliknya lalu mengambilnya dengan cepat dan melarikan diri.(اختلاس)
ú  Penggelapan : yaitu mengambil hak orang lain dengan cara membawa lari uang yang dipinjamnya.(جاحد العارية). Namun ada juga pendapat yang mewajibkan pelakunya dipotong tangan.

Bentuk-bentuk pengambilan hak orang lain ini tidak termasuk dalam kriteria pencurian yang diancam dengan hukuman “had”.
Dalilnya adalah :
“Pengkhianat dan penjambret itu tidak dipotong tangannya” HR. Ahmad, Ashhabus Sunan, Ibnu Hibban dan dishahihkna oleh At-Tirmizy.

Dari Jabir ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Perampas / penodong itu tidak dipotong tanganya” HR. Abu Daud.

Jadi hukuman yang mereka terima adalah berdasarkan hukum “ta`zir” yang bentuknya diserahkan kepada kebiajakan qadhi / hakim. Bisa dalam bentuk cambuk, pemukulan, penjara yang lama atau denda.
Qadhi `Iyadh menyebutkan mengapa Allah menetapkan hukuman potong tangan hanya pada kasus pencurian saja, sedangkan kasus penjambretan dan penodongan tidak diterapkan potong tangan ?
Hikmahnya adalah bentuk-bentuk itu kecil nilainya  bila dibandingkan dengan pencurian. Karena bisa dengan mudah untuk mengembalikannya cukup dengan tuduhan yang disampaikan kepada hakim. Dan pembuktiannya pun mudah sekali.
Berbeda dengan pencurian yang cukup sulit untuk membuktikannya sehingga memerlukan metode tersendiri dan karena itu pula hukumannya harus lebih keras.

c.    Hukum “HAD” bagi pencuri

Allah SWT telah menetapkan hukum had bagi pencuri yang memenuhi kriteria pencurian, yaitu dengan dipotong tangannya.
Dalilnya adalah firman Allah SWT :

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.  (Qs. Al-Maidah : 38)

Dalil dari sunnah Rasulullah SAW :
Dari Asiyah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Orang-orang sebelummu itu binasa karena pembesar mencuri dibiarkan dan bila orang lemah yang mencuri barulah dihukum”. HR. Bukhari, Muslim, At-Tirmizy, Abu Daud dan An-Nasai.

Para ulama sepakat bahwa selain dipotong tangannya juga wajib mengganti harta yang diambilnya tanpa hak itu. Hal itu bila barang yang diambilnya masih ada di tangan. Namun bila harta yang dicuirnya itu sudah habis atau sudah tidak di tangannya lagi, bagaimana hukumnya ?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat :

§  Al-Hanafiyah  berpendapat bahwa bila harta yang dicuri itu sudah tidak ada lagi, maka cukup dipotong tangannya saja dan tidak diwajibkan mengganti. Alasannya karena Allah SWT tidak menyebutkan kewajiban untuk mengganti. Padahal dalam ayat yang mewajibkan potong tangan itu, Allah tidak memerintahkan keharusan untuk mengganti harta yang diambilnya. Alasan lainnya yang menguatkan adalah hadits Rasulullah SAW,”Apabila seorang pencuri dipotong tangannya, maka tidak perlu mengganti”.

Bahkan bila masalahnya diangkat ke pengadilan dan pencuri itu mengembalikan, maka menurut pendapat ini, tidak perlu dipotong tangannya.

§  Al-Malikiyah berpendapat bahwa pencuri itu orang berada, maka selain dipotong tangannya juga wajib mengganti barang yang diambilnya. Ini sebagai bentuk peringatan untuknya. Namun bila pencuri itu miskin dan tidak mampu mengganti, maka cukup dipotong tangannya saja tanpa kewajiban mengganti.

§  Sedangkan Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah berpendapat bahwa baik ptong tangan maupun mengganti harta yang diambil harus diterapkan. Bila barang yang diambil itu sudah hilang, wajib mengganti senilai harganya. Hal ini dengan tidak membedakan antara apakah pencuri itu mampu atau tidak mampu.

Karena potong tangan itu kewajiban kepada Allah dan mengganti itu kewajiban kepada manusia. Dan masing-masing memiliki latar belakang perintah kewajiban yang berbeda-beda.

Dan pendapat inilah yang paling rajih dan mendekati kebenaran. Karena hadits yang digunakan Al-Hanafiyah adalah hadits dha`if.

d.   Bila pencurian dilakukan berkali-kali

Bila seorang pencuri yang telah pernah dihukum potong tangan, lalu kedapatan mencuri lagi, bagaimana bentuk hukumannya ? Apakah dipotong lagi atau tidak ?
Bila seorang pencuri terbutki mencuri untuk pertama kalinya, para ulama sepakat untuk memotong tangan pencuri yaitu tangan kanannya. Sedangkan bila untuk kedua kalinya terbutki mencuri lagi, maka ulama pun sepakat untuk memotong kaki kirinya.
Tapi para ulama berbeda pendapat bila pencuri itu untuk ketiga kalinya mencuri lagi. Bagaimanakah hukumnya bila masih mencuri lagi untuk yang ketiga kalinya ?
Dalam hal ini para ulama berbeda pandangan :

      Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah berpendapat bila mencuri lagi untuk ketiga kalinya, maka tidak perlu lagi dipotong tanganya, tapi cukup dihukum ta`zir dan dipenjara hingga taubat.

      Dalilnya yang mereka gunakan adalah hadits berikut :

Diriwayatkan bahwa kepada Sayyidina Ali ra. didatangkan soerang pencuri lalu dipotonglah tangannya. Kemudian didatangkan kepadanya yang kedua dan telah mencuri maka dipotonglah kakinya. Kemudian didatangkan yang ketiga namun beliau berkata,”Aku tidak akan memotongnya, karena bila kupotong maka dengan apa dia akan makan dan yatamassah. Dan bila kupotong kakinya maka dengan apa dia akan berjalan. Sungguh aku malu kepada Allah”. Maka dipukullah pencuri itu dengan kayu dan dipenjarakan.” (HR. Ad-Daruquthuny  dan Muhammad bin Al-Hasan dalam kitab al-Asar).       

      Al-Malikiyah dan Asy-Syafi`iyah berpendapat bahwa bila mencuri lagi untuk yang ketiga kalinya, maka tangan kirinya dipotong. Dan bila mencuri lagi untuk yang keempat kalinya, maka kaki kanannya yang dipotong. Bila mencuri lagi setelah itu barulah dia dihukum ta`zir.

Dalilnya adalah hadits berikut :

Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang pencuri,”bila mencuri maka potonglah tangan (kanan)nya, bila mencuri lagi maka potonglah kaki (kiri)nya, bila mencuri lagi maka potonglah tangan (kiri)nya dan bila mencuri lagi maka potonglah kaki (kanan)nya”. (HR. Ad-Daruquthuni dan As-Syafi`i).

Sedangkan hikmah dari dipotongnya tangan dan kaki karena tangan digunakan untuk mengambil dan kaki digunakan untuk membawa lari curiannya itu. Sedangkan dipotong secara bersilang adalah agar terjadi keseimbangan dan masih bisa dimanfaatkannya anggota tubuhnya yang tersisa.

4.      Sifat HAD pencurian

Hukuman yang dijatuhkan kepada pencuri merupakan bentuk hukuman had (jama`nya : hudud) yang telah ditetapkan oleh Allah. Karena itu tidak boleh untuk dirubah atau diganti bentuk hukumannya bahkan oleh Rasulullah SAW sekalipun. Begitu juga bentuk hukuman ini tidak mengenal pengampunan, permaafan atau damai antara kedua belah pihak bila telah  diketuk palu oleh hakim.
Seandainya seorang hakim telah memvonis pencuri dengan potong tangan lalu pihak yang kecurian mengampuni dan memaafkan, tidak bisa dicabut lagi hukuman potong tangan ini.
Mengapa ? Karena pengampunan itu memang hak pihak yang kecurian, sedangkan potong tangan adalah hak Allah SWT.
Berangkat dari logika ini, Al-Hanafiyah menetapkan suatu kaidah yang berbunyi,”Damai dari masalah hudud adalah batil”.
Hal seperti ini pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW, yaitu seorang telah memaafkan pencuri yang mencuri barangnya, tapi kasusnya sudah masuk dan diangkat ke pengadilan. Sehingga tidak bisa dihalangi lagi eksekusi potong tangan tersebut karena vonis telah jatuh.
Dalam kisah yang sangat masyhur tentang Fatimah Al-Makhzumiyah yang dimintakan kepada  Rasulullah SAW agar tidak diberlakukan hukum potong tangan.
Seorang pencuri dihadapkan kepada Rasulullah SAW maka beliau perintahkan untuk dipotong tangannya. Namun seseorang berkata,”Ya Rasulullah, kami tidak mengira anda akan melakukan itu”. Beliau menjawab,”Waalupun Fatimah binti Muhammad mencuri, maka tetap tegakkan hukum HAD (potong tangan)”. HR Muttafaqun Alaih.
Dari Rabiah bin Abdirrahman dari Az-zubair berkata,”Bila hukuman had sudah sampai kepada sultan, maka Allah melaknat orang yang minta keringanan dan memberikan keringanan”. HR. Malik dalam Al-Muwattha`

5.      Syarat Pencurian

Namun tidak semua kasus pencurian langsung dihukum dengan potong tangan. Ini perlu dijelaskan karena sering disalahpahami orang yang tidak suka pada ajaran Islam. Seolah-olah Islam itu haus darah, kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Padahal dalam kasus pencurian itu, Islam justru datang untuk melindungi hak milik manusia. Dan dengan diterapkannya hukum potong tangan ini, para pencuri harus berpikir ulang berkali-kali sebelum nekat melakukannya, karena ancamannya tidak ringan.
Seorang calon pencuri harus berhitung ulang bila sampai tertangkap dan dipotong tangannya. Padahal tangan adalah anggota tubuh manusia yang paling penting dan berperan sekali dalam menjalankan kehidupan normal. Kalau sampai dipotong, maka hidupnya akan kesulitan dan hilangnya bagian tangan itu akan menjadi cap abadi seumur hidup. Kepada siapa pun dia bertemu, semua orang akan tahu bahwa dia adalah pencuri yang pernah dihukum potong tangan.
Karena kerasnya hukum ini, para qadhi dan hakim pun tidak boleh sembarangan main potong. Karena itu sosialisasi hukum potong tangan itu harus benar-benar dipahami dan dimengerti oleh semua lapisan masyarakat. Jangan sampai terjadi kasus dimana seseorang kedapatan mencuri tapi dia tidak tahu bentuk hukuman apa yang diancamkan kepadanya.
Untuk memotong tangan pencuri, harus dipenuhi syarat dan kriteria yang cukup lengkap. Syarat itu harus ada baik pada diri pencurinya, pada barang yang dicuri, pada orang yang kecurian dan juga pada tempat kejadian perkara. Bila salah satu dari syarat pencurian itu tidak terpenuhi, maka huum potong tangan itu tidak boleh dilaksanakan.
Dan sebagai gantinya, hakim bisa menjatuhkan hukuman ta`zir seperti yang sudah disebutkan sebelummhya. Hukuman itu bisa berbentuk cambuk, pemukulan, penjara, denda dan sebagainya. Namun bila dilihat efektifitas dan efeknya, maka hukuman cambuk nampaknya lebih tepat dipilih. Karena kalau hukuman kurungan, dari semua kasus yang ada, umumnya kurang bisa mendidik parapencuri, bahkan malah mereka saling berjumpa sesama pencuri dan saling bertukar pelajaran dan pengalaman. Akibatnya keluar dari penjara, bukannya tobat tapi malah naik levelnya.
Karena itu hukuman cambuk lebih efektif karena langsung bisa dilaksanakan, juga murah dan tidak perlu menghabiskan dana untuk penjara, makan, kesehatan dan lain-lain. Eksekusi itu bisa dilakukan di depan umum untuk mendapatkan efek shock teraphy yang lebih dalam.

a.    Syarat pencuri

Untuk bisa dihukum sesuai dengan had yaitu dipotong tangan, maka pencurinya harus memenuhi persyaratan dan kriteria tertentu. Bila syarat itu tidak terpenuhi tetap dihuum namun bukan dengan potong tangan tapi dengan hukuman ta`zir.
Syarat pertama dan kedua telah disepakati oleh para ulama, sedangkan syarat-syarat berikutnya satu sama lain berbeda pandangan. Syarat- syarat itu adalah :

§  Akil

§  Baligh

Sehingga orang gila dan anak-anak bila mencuri tidak perlu dilakukan eksekusi potong tangan, karena orang gila jelas tidak berakal dan anak kecil belum baligh. Dua syarat ini termasuk yang disepakati oleh jumhur ulama.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW :
Telah diangkat pena dari tiga orang : anak kecil hingga mimpi, orang gila hingga sadar dan orang yang tidur hingga terjaga.”
Bahkan Imam Abu Hanifah dan Zufar mengatakan bila pencurian dilakukan oleh sekelompok orang dimana di dalamnya ada orang gila dan anak kecil, maka semuanya terbebas dari hukum potong tangan.

§  Tidak dalam keadaan dipaksa dan dalam ikatan hukum Islam

Syarat ini diajukan oleh Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah dimana mereka mengatakan bila pencurian dilakukan oleh orang yang dalam kondisi dipaksa, maka tidak wajib dilakukan hukum potong tangan itu.

Begitu juga seorang non-muslim yang tinggal di negeri Islam, maka bila mencuri tidak termasuk yang wajib dipotong tanganya. Karena dia bukan orang yang terikat dengan hukum Islam.

§  Pencurinya bukan ayah atau kakeknya sendiri

Syarat ini diajukan oleh Al-Malikiyah dimana bila seorang ayah mencuri harta anaknya sendiri, maka tidak bisa dikategorikan sebagai pencurian.
Sedangkan Imam Asy-Syafi`i menambahkan bahwa bila seorang kakek mencuri harta cucunya, maka tidak dikategorikan pencurian yang mewajibkan potong tangan.
Bahkan Imam Abu Hanifah menyebutkan bila pencurinya adalah orang yang masih punya hubungan kerabat.

§  Tidak dalam kondisi kelaparan

Al-Hanabilah menyebutkan bila kondisi pencuri dalam keadaan kelaparan yang sangat lalu mencuri untuk menyambung hidupnya, tidak bisa dialkukan potong tangan.

§  Pencurinya tahu tidak bolehnya mencuri

Al-Hanabilah juga mensyaratkan bahwa seorangpencuri harus tahu bahwa perbuatan itu haram dan berdosa. Bila dia tidak tahu, maka tidak bisa dilakukan hukum tersebut.

b.    Syarat barang yang dicuri

Sedangkan yang berkaitan dengan kondisi barang yang dicuri, ada beberapa kriteria dan persyarat agar bisa dikategorikan pencurian yang mewajibkan dilaksanakannya potong tangan. Bila syarat pada barang yang dicuri ini tidak ada, maka pelakunya tidak dipotong tangan tetapi hakim bisa menerapkan hukuman ta`zir. Syarat dan kreiteria itu adalah :

§  Barang yang dicuri memiliki nilai harga

Bila barang yang dicuri adalah bangkai, khamar atau babi, maka tidak termasuk pencurian yang mewajibkan dilaksanakannya potong tangan. Karena semua itu tidak termasuk sesuatu yang berharga bagi hak seorang muslim.
Begitu juga bila yang dicuri adalah anak kecil yang merdeka (bukan budak). Karena manusia merdeka bukan termasuk harta. Ini berbeda bila yang dicuri anak seorang budak kecil.

§  Mencapai nishab

Nishab adalah nilai harga minimal yang bila terpenuhi, maka pencurian itu mewajibkan dilaksanakannya potong tangan. Seandainya barang yang dicuri itu nilainya kecil dan masih di bawah harga nisahb itu, maka tidak termasuk hal itu.
Namun para ulama tidak secara tepat menyepakati besarnya nishab itu :
-          Jumhur ulama diantaranya Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa nishab pencurian itu adalah ¼ dinar emas atau 3 dirham perak. Nilai ini setara dengan harga 4,45 gram emas murni. Jadi bila harga emas murni 24 per gramnya Rp. 100.000,-, maka satu nisab itu adalah Rp. 100.000,- x 4,45 gram = Rp. 445.000,-.
Bila benda yang dicuri oleh seseorang harganya setara atau lebih dari Rp. 445.000,-, dia sudah bisa dipotong tangannya.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW
Dari Aisyah ra. ,”Tangan pencuri dipotong bila nilainya ¼ dinar ke atas”. HR. Bukhari, Muslim dan ashabu kutub sittah.
Dari Abdullah bin Umar ra. bahwa Rasulullah SAW memotong tangan pencuri mijan yang nilainya 3 dirham”. HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-tirmizy dan An-Nasai.
-          Sedangkan Al-Hanafiyah menetapkan bahwa nishab pencurian itu adalah 1 dinar atau 10 dirham atau yang senilai dengan keduanya.
Dalilnya adalah hadits Rasulullah SAW,:”Tidaklah dipotong selama nilainya di bawah 10 dirham.” HR Ahmad.
Juga hadits lainnya,”Tidak dipotong tangan kecuali senilai 1 dinar atau 10 dirham”. HR. At-Thabarani.
Juga hadits lainnya,”Tidaklah tangan pencuri itu dipotong kecuali nilainya seharga “mijan” dimana saat itu seharga 10 dirham”. HR. Abu Syaibah

Bila kita cermati latar belakang perbedaan itu sebenarnya hanyalah berkisar pada penetapan harga mijan. Dimana jumhur ulama sepakat bahwa harganya saat itu ¼ dinar. Sedangkan Al-Hanafiyah menganggap harganya saat itu 1 dinar.

§  Barang yang Dicuri Berada Dalam Penjagaan

Yang dimaksud penjagaan adalah bahwa harta yang dicuri itu diletakkan di tempat penyimpanannya oleh pemiliknya. Dalam hal ini bisa dibagi menjadi dua kategori, yaitu yang temapt yang sengaja dibuat untuk menempatkan suatu barang dan juga yang secara hukum bisa dianggap sebagai penjagaan.
Yang pertama, tempat penyimpanan itu bisa di dalam rumah, pagar, kotak, laci, atau lemari. Sebagai contoh bila seseorang meletakkan barangnya di dalam rumahnya, maka rumah itu menjadi media penyimpanan meski pintunya terbuka. Karena seseorang tidak boleh memasuki rumah orang lain tanpa izin meski pintunya terbuka.
Yang kedua, memang bukan media penyimpanan khusus namun termasuk area umum dimana seseorang berada disitu dan orang lain tidak boleh menguasainya kecuali atas izinnya. Contohnya adalah seseorang yang duduk di masjid dan meletakkan tasnya di sampingnya saat tidur. Ini termasuk dalam penjagaan.
Pencopet termasuk yang wajib dipotong tangannya karena mengambil dari saku orang lain. Sedangkan saku seseorang termasuk kategori penjagaan.
Sedangkan hukum Nabbasy (pencuri kian kafan mayat dalam kubur) menurut Imam Abu Hanifah tidak termasuk yang wajib dipotong tangannya karena kuburan tidak termasuk meida penjagaan harta. Sedangkan menurut Al-Malikiyah, Asy-Syafi`iyah, Al-Hanabilah dan Abu Yusuf tetap harus dipotong karena kuburan termasuk media penjagaan.

§  Barang yang awet dan bisa disimpan (tidak lekas rusak)

Imam Abu Hanifah dan Muhammad mengatakan bila barang yang dicuri mudah rusak seperti buah-buahan, susu murni atau makanan basah. Karena bisa saja seseorang mengambilnya dengan niat menyelamat-kannya dan siap untuk menggantinya.

§  Barang yang dicuri yang bisa diambil oleh siapapun

Menurut Al-Hanafiyah, bila suatu benda ada dimana-mana dan tidak dimiliki secara khusus oleh orang, maka tidak bisa dikatakan pencurian bila diambil oleh seseorang. Seperti burung liar, kayu, kayu bakar, bambu, rumput, ikan, tanah dan lain-lain. Mengingat benda-benda seperti itu terhampar dimana-mana dan tidak merupakan hak perorangan. Bila ada seseorang mengambil kayu yang jatuh dari ranting pohon yang sudah tua di dalam sebuah hutan, tentu tidak dianggap pencurian.
Namun akan berbeda halnya bila kayu yang diambilnya adalah gelondongan kayu jati sebanyak 1 juta meter kubik. Karena ini bernilai tinggi dan tentu dilindungi oleh negara. Namun hukum dasarnya memang halal karena benda itu tidak dimiliki oleh perorangan. Tetapi ketika terjadi ekploitasi besar-besaran dan mengganggu ekosistem serta keseimbangannya, maka tentu dibuat aturan yang bijak.
Dimasa sekarang ini hampir sulit menemukan benda seperti yang dimaksud oleh Al-Hanafiyah. Karena semuanya sekarang punya nilai jual tersendiri. Karena itu nampak pendapat jumhur dalam hal ini lebih kuat karena memang tidak membedakan apakah harta itu tersedia dimana-mana tanpa pemilik atau tidak. Karena semua memiliki nilai jual dan pada dasarnya harus digunakan demi kepentingan rakyat secara umum yang dikoordinir oleh negara. Ini menurut ukuran idealnya, karena negaralah yang seharusnya memanfaatkan semua kekayaan alam dan demi kentingan merata rakyat banyak.
Adapun yang dilakukan oknum pemerintahan bekerjasa sama dengan perusahaan yang mengeksploitasi kekayaan alam, tidak lebih dari penjahat yang memakan harta rakyat secara zalim.

§  Dalam harta yang dicuri tidak ada bagian hak pencuri

Bila seorang mencuri harta dari seorang yang berhutang kepadanya dan tidak dibayar-bayar, maka ini tidak termasuk pencurian yang mewajibkan potong tangan. Begitu juga bila seseorang mencuri harta atasannya yang pelit dan tidak membayar gaji bawahannya sesuai dengan haknya. Atau seorang yang mencuri harta orang kaya yang zalim dan memakan uang rakyat yang lemah. Termasuk juga bila seseorang mengambil harta dari seorang maling atau perampok.
Bahkan para ulama juga menuliskan bahwa mencuri alat-alat yang haram hukumnya seperti alat musik gendang, gitar, seruling atau kayu salib, catur, dadu dan sejenisnya termasuk di luar kategori pencurian yang dimaksud. Karena secara umum, barang-barang itu tidak boleh dimiliki oleh seorang muslim. Sehingga itu mencurinya pun bukan termasuk mencuri harta seseorang.
Seorang yang mencuri harta dari baitul mal pun tidak termasuk kategori pencurian yang dimaksud. Karena baitul mal adalah harta bersama dimana di dalamnya ada juga hak si pencuri sebagai rakyat meski kecil bagiannya. Namun bila si pencuri itu termasuk orang kaya atau non muslim, maka termasuk pencurian dan wajib dipotong tangannya. Karena orang kaya dan non muslim, keduanya buka ntermasuk orang yang berhak mendapatkan harta dari baitul mal.
Semua kasus di atas tidak mewajibkan potong tangan karena pada dasarnya potong tangan itu merupakan ibadah mahdhah dan merupakan hukuman yang berisifat lengkap. Sedangkan kasus-kasus di atas tidak sepenuhnya bermakna pencurian, tapi ada syubhat karena di dalam harta itu sebagian ada yang menjadi haknya.

§  Tidak ada izin untuk menggunakannya

Seseorang yang mengambil harta yang bukan miliknya namun dia sendiri memiliki wewenang untuk masuk ke tempat penyimpanannya, maka ketika dia mengambilnya tidak termasuk pencurian yang dimaksud. Karena unsur mengambil dari penjagaannya tidak berlaku. Hal itu disebabkan si pencuri adalah orang yang punya izin dan hak untuk ke luar masuk ke dalam tempat penjagaan.
Contoh kasusnya bila seorang suami mengambil uang istrinya yang disimpan di dalam rumah. Suami adalah penghuni rumah dan punya akses masuk ke dalam rumah itu. Bila dia mengambil harta yang ada dalam rumah itu, maka bukan termasuk pencurian yang mewajibkan potong tangan.
  Hal yang sama berlaku bagi sesama penghuni rumah seperti pembantu dan siapapun yang memang menjadi penghuni rumah itu secara bersama. Termasuk tamu yang memang diizinkan tinggal di dalam rumah.

§  Barang itu sengaja dicuri

Bila seseorang mencuri suatu benda namun setelah itu di dapatinya pada benda itu barang lainnya yang berharga, maka dia tidak bisa dihuum karena adanya barang lain itu.
Contoh : bila seseorang berniat mencuri kucing tapi ternyata kucing itu berkalungkan emas atau berlian yang harganya mahal, maka dia tidak bisa dikatakan mencuri emas atau berlian itu.
Atau mencuri anak kecil lalu ternyata anak kecil itu memakai giwang emas.
Namun yang jadi masalah, bagaimana hakim bisa membedakan motivasi pencuri dalam mengambil barang.

c.    Syarat orang yang kecurian

Selain adanya syarat yang harus terdapat pada pencuri dan barang yang dicuri, syarat berikutnya adalah syarat yang terkait dengan orang yang kecurian. Syarat ini juga harus termasuk salah satu dari tiga kondisi :
-          Dia adalah pemilik asli barang yang dicuri, atau
-          Dia adalah orang yang diamanahi untuk menyimpan atau memegang harta itu, atau
-          Dia adalah orang yang menjadi penjamin atas barang itu seperti orang yang menerima gadai.
Dengan demikian, bila seseorang yang kecurian barang namun dia bukan pemilik atau yang diamanahi atau yang menjadi penjamin barang itu, maka bukan termasuk pencurian yang dimaksud.
Sama halnya dengan seorang pencuri yang baru saja berhasil menggarap harta orang lain tiba-tiba barang itu dicuri lagi oleh pencuri lainnya, maka pencuri kedua tidak termasuk pencuri yang dimaksud. Karena dia mencuri barang bukan dari pemilik sahnya. Para ulama menqiyaskan tindakan mencuri barang curian dari seorang pencuri sama halnya dengan mengambil barang dari jalanan. Disitu tidak ada unsur penjagaan (hirz)

d.   Syarat tempat pencurian

Sebuah pencurian bisa dikatakan sah bila terjadi di negeri yang adil dimana tidak terjadi perang disitu atau bukan daerah konflik bersenjata.
Begitu juga pencurian itu terjadi bukan di daerah kekuasaan Islam, maka hukum hudud potong tangan tidak bisa dilakukan.
Di dunia ini negeri yang secara formal menerapkan hukum Islam secara resmi barangkali hanya Saudi Arabia saja. Sedangkan negeri arab lainnya, sayang sekali, belum lagi menerapkannya secara formal. Padahal bila dilihat dari sisi syarat dan dan kemampuan, sebenarnya masing-masing negara arab dan yang berpunduduk mayoritas muslim bisa saja menyepakati untuk menjalankan syariat Islam dalam hukum positif mereka.
Dengan demikian, maka mereka akan termasuk orang yang menjalankan hukum yang Allah turunkan. Karena penolakan terhadap hukum Allah akan berakibat pada gugurnya ke-islaman seseorang. Allah mengancam para penentang hukum Dalam hal ini Allah menyebutkan cap kafir, zhalim dan fasik buat penentang hukum-hukum-Nya. Silahkan cermati firman Allah ta`ala :

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.(QS. Al-Maidah : 44)
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim..(QS. Al-Maidah : 45)
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik..(QS. Al-Maidah : 47)

6.      Penetapan pencurian

Bila seorang pencuri tertangkap dan semua syarat untuk pencurian sudah tersedia, tinggal satu hal lagi yang harus dikerjakan, yaitu itsbat. Yang dimaksud adalah penetapan oleh pihak mahkamah / pengadilan / qadhi dalam memvonis seseorang itu benar-benar mencuri dan memenuhi syarat pencurian.
Hukum potong tangan tidak bisa dijatuhkan oleh qadhi sebelum dilakukan itsbat atau penetapan  bahwa pencurian itu dilakukannya.
Itsbat atau penetapan ini dalam prakteknya hanya mungkin dilakukan dengan salah satu dari dua cara, yaitu adanya saksi atau adanya pengakuan dari si pencuri sendiri.

a.    Pembuktian dengan adanya saksi

Kesaksian dari orang lain sebagai saksi aka menentukan apakah seorang bisa dibuktikan sebagai pencuri atau bukan. Namun untuk bisa dijadikan saksi, diperlukan beberapa persyaratan :
-          Jumlahnya minimal dua orang.
-          Keduanya laki-laki, sedangkan wanita tidak diterima kesaksiannya.
-          Keduanya adil, sedangkan orang fasik tidak diterima kesaksiannya.
-          Kesaksian itu dilakukan langsung dimana saksi secara nyata memang melihat peristiwa pencurian itu, bukan sekedar perkiraan atau dugaan semata. Sedangkan persaksian atas persaksian tidak bisa diterima.

b.    Pengakuan

Bila tidak ada saksi, maka hal yang bisa dijadikan istbat justru datang dari pengakuan si pencuri. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa pencuri yang mengaku itu harus seorang yang merdeka dan bukan budak.

7.      Bagian Tangan yang Dipotong

Al-Quran secara tegas telah menyebutkan bahwa pencuri itu harus dipotong tangannya. Tapi bagian manakah dari tangan itu yang harus dipotong ? Seluruhnya atau bagian tertentu saja ?
Dalam masalah ini Jumhur Ulama telah sepakat bahwa tangan pencuri yang dipotong adalah hanya bagian pergelangannya saja dan bukan seluruh tangannya. Mereka dalam banyak kitab menuiskan bahwa batas yang dipotong adalah sebatas : (كوع / رِسغ / مفصل الزند). Kesemuanya berarti adalah pergelangan tangan.
Dalilnya yang mereka gunakan adalah :
Dari Amru ibn Syu`aib dari ayahnya dari kakeknya tentang kisah pencuri selendang Shofwan bin Umayyah yang dalam hadits itu ada kisah tentang Rasulullah SAW,”Kemudian beliau memerintahkan untuk memotong sebatas tangannya sebatas pergelangan”. (HR .Ad-Daruquthuny)

Dari Ibnu Adi bin Abdillah bin Amru berkata, “Rasulullah SAW memotong tangan seorang pencuri pada pergelangannya”.
Begitu juga dalam kasus seorang pencuri terbukti mencuri untuk kedua kali, maka kaki yang dipotong adalah hanya batas bagian pergelangan kaki.
Dari Umar ra. bahwa Rasulullah SAW memotong kaki pada bagian pergelangan kaki”. HR. Ibnul Munzir

Dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwa Rasulullah SAW memotong kaki pencuri pada pergelangan kaki”. (HR. Al-Baihaqi)
Apabila telah dilakukan pemotongan, maka disunahkan untuk menggantungkan anggota tubuh itu pada lehernya barang sesaat.

Dari Fadhalah bin Ubaid berkata, “Didatangkan kepada Nabi SAW seorang pencuri lalu diperintahkan untuk memotong tangannya lalu diperintahkan untuk digantungkan pada lehernya”.

Selain itu juga dianjurkan untuk mencelupkan bekas pemotongan itu ke dalam minyak yang mendidih agar darahnya bisa segera berhenti

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW dihadirkan seorang pencuri lalu beliau berkata,”Bawalah dan potonglah, kemudian celupkan ke dalam minyak dan bawa kembali kepadaku. Maka setelah selesai dihadapkan kepada beliau dan beliau berkata kepadanya,”Taubatlah kepada Allah”. Pencuri itu menjawab,”Aku bertobat kepada Allah”. Beliau menjawab,”Allah mengampuni kamu”.

8.      Hikmah Kerasnya Hukuman Pencuri

Islam adalah agama yang sangat menghormati hak milik seseorang sebagimana Islam juga menghargai jiwa manusia. Untuk itu Islam datang untuk melindungi lima kepentingan pokok manusia, yaitu keamanan jiwa, keamanan harta, kebebasan beragama, bebasnya berpikir dan terjaganya kehormatan.
Karena itu menjaga dan memelihara harta ma­nusia merupakan sesuatu yang fundamental dan rnerupakan keperluan asasi bagi rnanusia. Jika tidak ada Islam maka musnahlah harapan terpelihara­nya harta benda.
Suatu fenomena historis tentang pemeliharaan harta benda ini terjadi ketika Abu ‘Ubaidah bin Jarrah merasa tidak mampu melindungi penduduk Nashrani, Ia rnengembalikan jizyah (upeti) yang diterimanya kepada penduduk Nashrani tersebut. Ini jelas lahirnya satu era keadilan yang sukar ditemu­kan dalam sejarah manusia. Dan lahirnya masyarakat baru yang tidak di dapati di dunia sesudah mereka. Yaitu masyarakat yang menjamin seluruh tonggak hidup dan eksistensi manusia.
Bandingkan fenomena tersebut dengan apa yang dilakukan imperialis di negara-negara jajahan. Bandingkan apa yang terjadi di masyarakat Muslim, di mana individu-individunya tidak mengambil harta kecuali dengan haq dan harta manusia tidak diambil kecuali dengan haq dengan masyarakat komunis dan kapitalis modern.
Di dalam masyarakat komunis tidak dibenarkan hak pemilikan. Karena itu hak pemilikan dan hidup jelas diabaikan. Dan di dalam masyarakat kapitalis secara lahiriah menjaga harta manusia, tapi hakikat­nya ia mencuri harta tersebut dengan jalan riba, penimbunan, eksploitasi, menghancurkan hak-hak kaum fuqara’ dan orang-orang miskin dan melakukan jalan culas yang keji.
Harta manusia tidak akan dapat terpelihara oleh manusia kecuali dengan Islam. Islam tidak akan memberikan harta kepada siapapun dengan cara zhalim dan tidak akan mengambil harta dengan cara zhalim pula. Jadi tidak akan ada manusia yang terzhalimi dalam masyarakat Muslim.
Dan mempertahankan harta yang dimiliki dari perampasan dan pencurian adalah hak seorang muslim. Bahkan kalaupun harus beresiko nyawa sekalipun.
Dari Abi Hurairah berkata bawah Rasulullah SAW bersabda ketika seseorang bertanya,”Ya Rasulullah, bagaimana bila seorang merampas hartaku ?”. “Jangan berikan !”. “Bagaimana bila dia mau membunuhku ?”. “Bunuhlah dia !”. Bagaiman bila aku malah terbunuh ?”. “Bila kamu terbunuh maka kamu mati syahid karena mempertahankan hartamu”. “Bagamana bila aku berhasil membunuhnya ? “. “Dia masuk neraka”. (HR. Muslim dan Ahmad).

Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang mati karena mempertahankan hartanya maka dia mati syahid.Dan siapa yang mati karena mempertahankan kehormatannya maka dia mati syahid”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan Allah SWT berfirman :
Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosapun atas mereka.(QS. As-Syuro : 41).