ومن وطئ في نهار رمضان عامدا في الفرج فعليه القضاء والكفارة وهي: عتق رقبة مؤمنة فإن لم يجد فصيام شهرين متتابعين فإن لم يستطع فإطعام ستين مسكينا لكل مسكين مد.
ومن مات وعليه صيام من رمضان أطعم عنه لكل يوم مد.
والشيخ إن عجز عن الصوم يفطر ويطعم عن كل يوم مدا. والحامل والمرضع إن خافتا على أنفسهما: أفطرتا وعليهما القضاء وإن خافتا على أولادهما: أفطرتا وعليهما القضاء والكفارة عن كل يوم مد وهو رطل وثلث بالعراقي والمريض والمسافر سفرا طويلا يفطران ويقضيان
Barangsiapa bersetubuh (berhubungan intim) pada siang hari bulan
Ramadhan dengan sengaja pada kemaluan (muka atau belakang) wajiblah ia
mengqadha’ dan membayar kafarat (denda) yaitu memerdekakan budak mukmin.
Jika tidak ada, wajiblah ia berpuasa 2 bulan berturut-turut. Jika tidak
dapat (mengerjakannya) wajiblah ia memberi makan kepada 60 orang
miskin, untuk tiap orang 1 mud (6 ons makanan pokok).
Barangsiapa meninggal dunia sedang ia mempunyai tanggungan puasa dari
Ramadan, haruslah dikeluarkan makan atas namanya(kepada orang miskin,
oleh walinya dari harta peninggalannya) untuk tiap hari 1 mud).
Orang tua yang telah lanjut usia (pikun, termasuk juga orang sakit
yang tak ada harapan untuk sembuh) jika tidak kuat berpuasa, boleh
berbuka (tidak puasa) dan harus memberi makan (kepada orang miskin)
untuk tiap hari 1 mud.
Wanita hamil dan wanita yang menyusui jika kuatir akan terganggu
kesehatan dirinya, boleh berbuka (tidak puasa) dan wajiblah kedunya
mengqadha. Jika keduanya kuatir akan (terganggu kesehatan) anaknya,
boleh berbuka puasa dan wajib mengqadha’ serta membayar kafarat untuk
tiap hari 1 mud yaitu 1/2 kati Irak (6 ons).
Orang sakit dan orang musafir yang bepergian jauh boleh keduanya berbuka dan harus mengqadha’.
A.
Pengertian Kafarat, Macam-Macam Kafarat dan Dalil-Dalil Pensyari’atannya
Untuk memperjelas sebuah hal yang akan dibahas, diperlukan pendefenisian
yang tepat. Oleh sebab itu, di sini akan dijelaskan definisi kafarat
baik secara bahasa atau syara’ yang dikutip dari beberapa pendapat ulama
fikih (fuqaha´) dan selainnya. Selain itu, sebelum menjelaskan secara
panjang lebar tentang ibadah yang ada kafarat dan segala sesuatu yang
berkaitan dengannya, akan disebutkan terlebih dahulu macam-macam kafarat
dan dalil-dalil pensyari’atan kafarat tersebut baik yang bersumber dari
Alquran maupun hadis.
1. Pengertian kafarat
Banyak sekali ulama yang mendefinisikan arti kafarat, namun di sini akan
disebutkan beberapa pendapat ulama saja, karena secara keseluruhan
pengertian kafarat ini memiliki kandungan yang sama yaitu sama-sama
sebagai penebus atau penghapus dosa. Kafarat secara bahasa berasal dari
kata kaffarah yang diambil dari kata takfīr yang berarti penebus dosa
atau penutupnya. Dalam bahasa Indonesia sering dipergunakan untuk arti
terkutuk, kafir, dan tidak bertuhan. Kafarat juga berarti penebus atau
penutup dosa. Arti bahasa yang sesuai dengan pembahasan kafarat ini
adalah kafarat sebagai penebus atau penutup dosa, sedangkan arti
terkutuk, kafir, dan tidak bertuhan bukan arti yang dikehendaki dalam
pembahasan ini.
Sedangkan menurut istilah, kafarat adalah denda yang telah ditentukan
oleh syara’ untuk menebus dosa. Ibn Hazm mendefinisikan kafarat dengan
إسقاط الحنثyaitu menggugurkan dosa, seperti orang yang melakukan
hubungan suami istri di bulan Ramadan maka diwajibkan membayar kafarat
yaitu memerdekakan budak, apabila ia tidak mampu, maka berpuasa selama
dua bulan berturut-turut dan jika puasa juga tidak sanggup ia lakukan,
maka ia diwajibkan memberi makan enam puluh orang miskin. Kafarat ini
semua disyari’atkan untuk menggugurkan dosa terhadap pelanggaran yang ia
lakukan.
Dari penjelasan definisi kafarat ini dapat dipahami bahwa pensyari’atan
membayar kafarat bertujuan menebus dosa yang telah diperbuat oleh
seseorang karena melanggar ketentuan syara’, karena dengan hukuman
tersebut dosa si pelaku pelanggaran akan diampuni oleh Allah. Dan
ketentuan tersebut berbeda-beda sesuai dengan kesalahan yang dilakukan
sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya.
2. Macam-macam dan dalil-dalil pensyari’atan kafarat
a. Kafarat sumpah
Berkaitan dengan masalah ini, kaum muslim sepakat bahwa kafarat atas
sumpah merupakan suatu kewajiban yang disyariatkan oleh Islam, sesuai
dengan kandungan ayat 89 surat al-Ma’idah:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ
يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ
عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ
كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ
وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ .
Artinya: Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah
yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi
makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberikan pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barang siapa yang tidak sanggup melakukan
demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu
adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu melanggar).
Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).
Di samping ayat tersebut, di dalam hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah:
عن عائشة أن أبا بكر رضي الله عنه لم يكن يحنث في يمين قط حتى أنزل الله
كفارة اليمين، قال: لا أحلف على يمين فرأيت غيرها خيرا منها إلا أتيت الذي
هو خير وكفرت عن يميني.
Artinya: “Bahwasanya
Abu Bakr RA tidak menjalankan sumpahnya sehingga turun ayat ini dan ia
berkata: Saya tidak akan bersumpah sehingga saya melihat yang lebih baik
selainnya kecuali saya mengambil yang baik tersebut dan membayar
kafarat sumpah. (HR. Al-Bukhari).”
Bertolak dari ayat dan hadis di atas, ulama sepakat menyatakan bahwa
kewajiban membayar kafarat sumpah merupakan kewajiban yang bersifat
mutlak, tidak terbatas oleh waktu dan tempat (wajib mutlak) dan boleh
memilih (wajib mukhayyar) di antara tiga pilihan yang disebutkan dalam
ayat, yaitu: (1) memberi makan sepuluh orang miskin; (2) memberi pakaian
sepuluh orang mikin; (3) Memerdekakkan budak. Seandainya ketiga pilihan
tersebut tidak dapat dilaksanakan, orang yang melanggar sumpah boleh
menggantikannya dengan puasa selama tiga hari.
Ulama berbeda pendapat tentang jumlah makanan yang akan diberikan kepada
masing-masing dari sepuluh orang miskin. Mayoritas ulama dari kalangan
Malikiyyah, Syafi‘iyyah, dan Hanabilah mewajibkan kafarat itu sebanyak
satu mud (lebih kurang ¾ liter) makanan yang mengenyangkan, disamakan
dengan jumlah dan jenis zakat fitrah. Akan tetapi, Hanafiyyah
mewajibkannya sebanyak ½ sa‘ (2 mud =1,5 liter). Ketetapan ini
didasarkan oleh praktek yang dilakukan oleh ‘Umar Ibn al-Khattab, ‘Alī
Ibn Abī Talib, dan ‘Ā’isyah bint Abū Bakr. Ulama mazhab ini membolehkan
membayarnya dengan uang seharga makanan tersebut. Di samping itu, mereka
sepakat makanan harus diberikan kepada sepuluh orang. Tidak boleh
memberikan makan yang seharusnya untuk sepuluh orang diberikan kepada
satu orang, karena bertentangan dengan ayat di atas.
Ulama berbeda pendapat juga tentang kadar pakaian yang diberikan kepada
masing-masing dari sepuluh orang miskin. Menurut Hanafiyyah, kadar
pakaian itu minimal dapat menutup segenap tubuh. Hanabilah menetapkan
kadar pakaian tersebut sebatas pakaian yang dapat dipakai dalam shalat,
tidak boleh kurang dari itu. Bahkan menurut Syafi‘iyyah dan Malikiyyah,
ketentuan kafarat dalam bentuk pakaian ini lebih ringan lagi, yaitu
cukup dengan salah satu jenis pakaian, seperti celana, kemeja, jubah,
sarung, dan sebagainya, karena dari masing-masing jenis pakaian tersebut
sudah dinamakan pakaian.
Berkenaan dengan kafarat dalam bentuk memerdekakan budak, Wahbah
al-Zuhaylī mengatakan, hal itu hanya tinggal dalam catatan sejarah,
karena dewasa ini tidak ada lagi yang dinamakan budak. Kendati demikian,
ia mengemukakan beberapa pandangan tentang kafarat dalam bentuk ini.
Hanafiyyah memandang bahwa yang dimaksud budak di sini ialah semua
budak, baik muslim atau nonmuslim, perempuan atau laki-laki, besar atau
kecil. Hal ini didasarkan kepada ayat yang secara mutlak mencakup semua
budak. Akan tetapi, jumhur ulama mensyaratkan keislaman budak tersebut.
Oleh sebab itu, menurut mereka, tidak sah membayar kafarat dengan
memerdekakan budak nonmuslim. Jumhur ulama membatasi (taqyīd )
kemutlakan ayat al-Ma’idah ayat 89 di atas dengan ayat yang membicarakan
kafarat membunuh sesama muslim secara tidak sengaja, yaitu surat
al-Nisa’ ayat 92 yang berbunyi:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ
مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ
قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ
مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا.
Artinya: Dan
tidak laik bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa yag membunuh
seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman serta membayar diyah yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia
mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang
mu’min. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar
diyah yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Barang siapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Menurut jumhur setiap lafal yang mutlak harus di-taqyīd-kan, dan di sisi
kemutlakan surat al-Ma’idah ayat 89 harus di-taqyīd-kan dengan surat
al-Nisa’ ayat 92. Hal ini juga dikarenakan kedua ayat tersebut sama-sama
mengandung makna penebusan terhadap dosa.
Berkenaan dengan puasa yang menjadi pengganti kafarat, Malikiyyah dan
Syafi‘iyyah tidak mensyaratkan khusus secara berturut-turut, karena ayat
yang menjadi alasan tidak menyebutkan demikian. Sekalipun begitu,
mereka memandang sunat melakukannya secara berturut-turut. Namun,
Hanafiyyah dan Hanabilah memandang wajib dilakukan secara
berturut-turut. Alasan mereka adalah ayat tersebut dalam versi bacaan
‘Ubay Ibn Ka‘b dan Ibn Mas‘ūd, dua sahabat Nabi SAW yang mempunyai
bacaan Alquran tersendiri, membaca ayat tersebut dengan: (فَصِيَامُ
ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ) artinya: “Maka berpuasalah tiga hari
berturut-turut.”
Lebih jauh, ulama sepakat menyamakan kafarat sumpah dengan kafarat nazar. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW:
عن عقبة بن عامر عن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: كفارة النذر كفارة اليمين.
Artinya: ”Dari ‘Uqbah Ibn ‘Āmir dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “kafarat nazar adalah kafarat sumpah” (HR. Muslim).”
Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang nazar untuk maksiat.
Menurut Hanafiyyah dan Hanabilah, orang yang bernazar untuk melakukan
suatu maksiat wajib membayar kafarat sumpah, alasan mereka ialah hadis
Nabi SAW:
عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: لا نذر في معصية، وكفارته كفارة يمين.
Artinya: “Dari ‘Ā’isyah RA dari Nabi SAW bahwasanya ia bersabda: “tidak
ada nazar dalam maksiat, dan kafaratnya adalah kafarat sumpah.” (HR. Abū
Dawud).
Akan tetapi Malikiyyah, Syafi‘iyyah dan mayoritas ulama memandang tidak
ada kafarat pada nazar yang diikrarkan untuk berbuat maksiat, karena
nazar yang demikian tidak sah. Sabda Nabi SAW:
عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من نذر أن يطيع الله فليطعه ومن نذر أن يعصيه فلا يعصيه.
Artinya: “Dari
‘Ā’isyah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: “barang siapa yang bernazar
untuk taat kepada Allah maka lakukanlah, dan barang siapa yang bernazar
untuk berbuat maksiat kepada Allah, janganlah ia memperbuatnya” (HR.
Al-Bukhari).
Oleh sebab itu, dengan sendirinya kafaratnya tidak ada. Hadis yang
dikemukakan oleh Hanafiyyah dan Hanabilah dipandang lemah oleh
Malikiyyah, Syafi‘iyyah, dan mayoritas ulama.
Ulama juga sepakat menyamakan kafarat al-īla’ (sumpah suami bahwa ia
tidak akan mencampuri istrinya dalam waktu lebih dari empat bulan atau
tanpa menyebutkan waktunya) dengan kafarat sumpah. Apabila seseorang
mengikrarkan al-īla’, kemudian ia kembali kepada istrinya, baik dalam
masa sebelum empat bulan atau sesudahnya, ia wajib membayar kafarat
sebagai mana kafarat sumpah.
b. Kafarat pembunuhan
Mayoritas ulama fikih membagi jenis pembunuhan kepada tiga macam, yaitu
pembunuhan sengaja, serupa sengaja dan pembunuhan tidak sengaja
(tersalah). Mereka sepakat bahwa kafarat membunuh sesama muslim dengan
tidak sengaja ialah memerdekakan budak muslim, pelaku pembunuhan wajib
puasa dua bulan berturut-turut, sesuai dengan firman Allah SWT dalam
surat al-Nisa’ ayat 92 yang berbunyi:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ
مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ
قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ
مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ
وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا.
Artinya: Dan
tidak laik bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa yag membunuh
seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman serta membayar diyah yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia
mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang
mu’min. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar
diyah yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Barang siapa yang tidak
memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Jumhur ulama yang terdiri dari Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah
memandang bahwa kafarat itu hanya berlaku kepada orang yang melakukan
pembunuhan dengan tidak sengaja, sesuai dengan kandungan ayat di atas,
serta menurut pendapat ini tidak dibolehkan qiyas dalam masalah kafarat
karena ini merupakan ketentuan yang ditetapkan langsung oleh syara’,
oleh karena itu harus diamalkan sesuai dengan posisi ayat tersebut yang
hanya ditujukan kepada orang yang membunuh tidak sengaja. Sedangkan
balasan yang diterima bagi orang yang sengaja membunuh yaitu neraka
jahannam karena ini merupakan dosa besar dan Alquran tidak mewajibkan
kafarat dalam jenis pembunuhan semacam ini, seandainya ini diwajibkan
maka Alquran langsung yang akan menjelaskannya. Karena tuntutan posisi
seperti ini membutuhkan penjelasan segera.
Sedangkan Syafi‘iyyah mewajibkan juga atas orang yang melakukan
pembunuhan dengan sengaja. Alasan mereka ialah bahwa tujuan disyariatkan
kafarat ialah untuk menghapus dosa, dosa membunuh dengan sengaja lebih
besar dari pada dosa membunuh dengan tidak sengaja. Oleh sebab itu,
pembunuhan dengan sengaja lebih laik untuk dikenai kafarat dari pada
yang melakukannya dengan tidak sengaja, demi menghapuskan dosa yang
lebih besar dan berat itu.
Adapun pembunuhan serupa sengaja yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain dengan menggunakan sesuatu yang tidak
membuat orang lain mati biasanya, seperti melempar dengan batu kecil dan
memukul dengan kayu kecil. Dalam hal ini ulama sepakat tidak diwajibkan
qisas bagi pembunuhan semacam ini. Hukuman bagi orang yang melakukan
pembunuhan jenis ini adalah wajib membayar kafarat/ diyah yang berat
berdasarkan hadis Nabi SAW:
عن عبد الله بن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ألا إن دية
الخطأ شبه العمد ما كان بالسوط والعصا مائة من الإبل، منها أربعون في
بطونها أولادها.
Artinya: “Dari ‘Abd Allah Ibn ‘Umar, ia berkata: Rasulullah SAW
bersabda: ketahuilah bahwasanya diyah tersalah serupa sengaja yang
dilakukan dengan cambuk, tongkat adalah 100 (seratus) unta, 40 di
antaranya yang memiliki kandungan di dalam perutnya.” (HR. Abū Dawud).
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pembunuhan tersalah atau tidak
sengaja dan pembunuhan serupa sengaja, dijelaskan kewajiban membayar
kafarat bagi yang melakukannya di dalam nash baik Alquran maupun hadis,
sedangkan untuk pembunuhan sengaja tidak ada nash yang menerangkan
kewajiban tersebut.
c. Zihar
Secara etimologis (bahasa), kata zihar berarti punggung. Sedangkan
menurut istilah, kata zihar berarti suatu ungkapan suami kepada
istrinya, “Bagiku kamu seperti punggung ibuku,” dengan maksud dia
mengharamkan istrinya bagi dirinya. Zihar ini merupakan tradisi talak
yang berlaku di masyarakat jahiliyah terdahulu. kemudian diharamkan oleh
Islam. Allah SWT memerintahkan kepada suami yang men-zihar istrinya
untuk membayar kafarat sehingga zihar tersebut tidak sampai menjadi
talak.
Awal mula zihar dalam Islam yaitu terjadi pada kisah seorang wanita yang
bernama Khawlah bint Tha‘labah yang telah di-zihar oleh suaminya, Aws
Ibn al-Samit, yaitu dengan mengatakan kepadanya, “Kamu bagiku seperti
punggung ibuku”, dengan maksud bahwa ia tidak boleh menggauli lagi
istrinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya, sehingga turunlah
surat al-Mujadilah ayat 1 yang berbunyi:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي
إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ
بَصِيرٌ .
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang
memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya)
kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Seorang suami yang memyerupakan istrinya dengan ibunya haram bercampur
dengan istrinya tersebut sampai ia membayar kafarat atas ucapannya itu.
Bentuk kewajiban kafarat zihar adalah wajib murattab menurut tertib
berikut: (1) memerdekakan budak; (2) kalau tidak diperoleh budak, puasa
dua bulan berturut-turut; (3) kalau tidak sanggup berpuasa, wajib
baginya memberi makan enam puluh orang miskin. Kewajiban membayar
kafarat ini sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat al-Mujadilah ayat
3-4:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ
بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ
شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
Artinya: Orang-orang
yang men-zihar istri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak
sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepada Umat Islam dan Allah Maha Mengetahui apa yang umat-Nya kerjakan.
Barangsiapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib atasnya berpuasa
dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang
tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah
hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
Urutan dalam membayar kafarat sesuai dengan makna ayat di atas yaitu
memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, dan terakhir
memberi makan enam puluh orang miskin. Kafarat ini dilakukan menurut
urutannya dan tidak boleh berpindah dari memerdekakan budak kepada
lainnya kecuali budak tersebut tidak didapatkannya maka ia boleh
berpindah kepada kafarat setelahnya yaitu berpuasa dua bulan
berturut-turut.
d. Kafarat ber-jima‘ di bulan Ramadan
Dalil wajib membayar kafarat bagi orang yang melakukan jima‘ di bulan Ramadan adalah hadis yang berbunyi:
عن أبي هريرة - رضي الله عنه - قال: ( جاء رجل الى النبي - صلى الله عليه
وسلم - فقال: هلكت يا رسول الله ، قال: وما أهلكك؟ قال: وقعت على امرأتي في
رمضان. قال: هل تجد ما تعتق؟ قال: لا. فقال: هل تستطيع أن تصوم شهرين
متتابعين ، قال: لا، قال: فهل تجد ما تطعم ستين مسكيناً؟ قال: لا ، قال: ثم
جلس فأتى النبي بعرق فيه تمر، فقال: تصدق بهذا، قال: على أفقر منا فما بين
لابيتها أهل بيت أحوج إليه منا، فضحك النبي - صلى الله عليه وسلم - حتى
بدت أنيابه، ثم قال: اذهب فأطعمه أهلك) " .
Artinya: Abu Hurairah RA berkata, ”Di saat kami duduk-duduk bersama
Rasulullah SAW datang seoang laki-laki kepada Nabi SAW dan berkata, ‘Aku
telah binasa wahai Rasulullah! Nabi menjawab, apa yang mencelakakanmu?
Orang itu berkata, aku menyetubuhi isteriku di bulan Ramadan.’ Nabi
bertanya, adakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak? Orang
itu menjawab, tidak. Nabi bertanya lagi, sanggupkah kamu berpuasa dua
bulan terus-menerus? Orang itu menjawab, tidak. Nabi bertanya, apakah
kamu memiliki sesuatu untuk memberikan makan enam puluh orang miskin?
Orang itu menjawab, tidak. Kemudian Nabi terdiam beberapa saat hingga
didatangkan kepada Nabi sekeranjang berisi kurma dan berkata,
sedekahkanlah ini. Orang itu berkata, adakah orang yang lebih miskin
dari kami? Maka tidak ada tempat di antara dua batu hitam penghuni rumah
yang lebih miskin dari kami? Dan Nabi pun tertawa hingga terlihat gigi
gerahamnya kemudian berkata, “Pergilah dan berikanlah kepada keluargamu.
Ini
merupakan sebagian ketentuan kafarat dalam ibadah puasa. dan masih
banyak lagi yang menyangkut tentang kafarat dalam ibadah puasa yang akan
dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
e. Denda dalam haji
Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan yang telah
ditetapkan ketika menunaikan ibadah haji atau umrah, maka kepadanya
dikenakan denda atau tebusan. Pelanggaran itu misalnya melakukan
larangan-larangan ihram atau tidak dapat menyempurnakan wajib haji
seperti mabit di Mina atau Muzdalifah. Para Ulama telah sepakat bahwa
seseorang yang menunaikan ibadah haji akan dikenakan kafarat dalam hal
ini dam , apabila melakukan beberapa hal sebagai berikut: melakukan
haji qiran atau tamattu‘, tidak ihram dari miqat, tidak mabīt pertama di
Muzdalifah, tidak mabīt kedua di Mina, tidak melontar jumrah, dan tidak
melakukan tawaf wada’.
Ketentuan membayar denda atau kafarat dalam haji ini ditentukan dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 196 yang berbunyi:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا
اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ
الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ
رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا
أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا
اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ
أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ
كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ.
Artinya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika
kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka
(sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur
kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di
antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur),
maka wajiblah atasnya membayar fidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah
atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang
ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji, (wajiblah ia
menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan
(binatang kurban atau tidak mampu, maka wajib berpuasa tiga hari dalam
masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila ia telah pulang kembali. Itulah
sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah)
bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil
Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami ada beberapa ketentuan dalam
ibadah haji yang apabila seseorang melanggarnya atau melakukannya dengan
tidak sempurna maka wajib membayar kafarat seperti orang yang terhalang
oleh musuh, orang sakit atau ada gangguan di kepalanya maka harus
membayar kafarat dalam hal ini dam. Pembahasan tentang kafarat dalam
ibadah haji ini juga akan dibahas pada sub judul ibadah-ibadah yang
dapat diganti dengan membayar kafarat.
B. Ibadah-Ibadah yang dapat Diganti dengan Membayar Kafarat
Permasalahan tentang ibadah-ibadah yang dapat diganti dengan membayar
kafarat ini perlu penulis angkat karena dianggap masih ada kaitannya
dengan judul penelitian ini. Di antara permasalahan yang diangkat adalah
ibadah puasa dan ibadah haji. Ibadah puasa sebagaimana dimaklumi
memiliki ketentuan tersendiri baik yang diatur dalam Alquran ataupun
hadis. Dalam ibadah ini terdapat penjelasan tentang bagaimana hukum dan
cara menggantikan puasa orang yang sudah meninggal atau orang yang belum
meninggal akan tetapi ia mengalami beberapa kondisi yang dibolehkan
atau diwajibkan baginya berbuka. Demikian juga ibadah haji, mengenai
ibadah ini juga terdapat penjelasan dari hadis yang menyatakan bahwa
seseorang yang sudah meninggal dan ia mampu melaksanakan ibadah haji
akan tetapi ia meninggal sebelum melakukannya, maka ahli waris ataupun
orang lain wajib menggantikannya. Sedangkan ketentuan salat tidak ada
nash yang sarīh yang menyatakan bahwa salat orang yang meninggal itu
bisa digantikan ataupun dibayar kafarat.
1. Ibadah puasa
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pemaparan tentang fidyah
dalam ibadah puasa ini terasa penting oleh penulis karena dianggap masih
ada keterkaitannya dengan masalah penelitian yang diangkat yaitu
kafarat salat. Kafarat salat seringkali disebutkan dalam pembahasan
fidyah puasa ini, hampir semua kitab fikih khususnya yang bermazhab
Syafi’i yang ada menjelaskan tentang kafarat salat dan selalu
menyertakannya ke dalam pembahasan fidyah puasa. Karena anggapan
keterkaitan inilah penulis mengkaji beberapa hal tentang puasa dalam hal
ini ibadah puasa Ramadan.
Puasa merupakan salah satu ibadah di antara ibadah-ibadah lainnya yang
disyari’atkan Allah atas hamba-Nya dengan menahan rasa lapar dan dahaga
dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Ibadah ini dilaksanakan
selama satu bulan penuh (baik 29 atau 30 hari) dalam setahun. Ibadah
puasa juga termasuk ibadah yang membutuhkan banyak tenaga dan energi
dalam menjalankannya. Tidak dipungkiri ada sebagian orang yang tidak
mampu melaksanakan karena tidak sanggup menahan makan, minum, atau
bersetubuh dengan istri sehingga berbuka sebelum tiba waktunya, bahkan
ada juga yang sengaja tidak mau berpuasa karena terasa malas sehingga
enggan dalam menjalankannya.
Berbagai kondisi dan situasi lainnya juga dialami oleh sebagian lainnya.
Ada yang lupa bahwa ia sedang berpuasa sehingga ia makan dan minum. Ada
juga yang tidak berpuasa karena sakit atau umurnya yang sudah tua dan
tidak mungkin lagi sanggup berpuasa. Kondisi seperti di atas dapat
terjadi pada laki-laki atau perempuan. Akan tetapi ada juga beberapa
kondisi ketika berpuasa yang hanya dialami oleh perempuan, seperti
berhalangan berpuasa karena haid atau nifas, mengandung, melahirkan dan
menyusui sehingga mereka tidak bisa berpuasa.
Semua kondisi di atas memiliki ketentuan hukum tersendiri baik bersumber
dari Alquran, hadis atau hasil ijtihad para ulama. Tentunya para ulama
sepakat bahwa siapa saja yang berbuka puasa dengan tanpa ada uzur syara’
seperti sakit, bepergian (musafir) maka ia berdosa dan wajib
meng-qada’-nya atau membayar kafarat kecuali orang yang lupa, maka ia
dibolehkan melanjutkan puasanya, seperti dalam hadis yang diriwayatkan
oleh sekelompok ulama hadis kecuali al-Nasa’ī bahwa:
وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من نسي
وهو صائم فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه الله وسقاه"
Artinya: Dan dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang lupa sedangkan ia sedang berpuasa kemudian ia makan
atau minum, maka hendaklah menyempurnakan puasanya, karena itu merupakan
nikmat Allah yang telah memberi makan dan minum kepadanya”.
Menurut sebagian ulama termasuk ke dalam ketentuan ini yaitu orang yang
bersetubuh dengan istrinya karena lupa. Namun tentu hal ini merupakan
perkara yang tergolong jarang atau tidak mungkin seseorang melakukannya
karena lupa, dikarenakan pekerjaan tersebut dilakukan dengan melibatkan
dua orang yaitu suami dan istri. Tentu apabila salah seorang lupa maka
seorang lagi bisa mengingatkannya. Hal ini berbeda dengan lupa sehingga
makan atau minum yang dapat terjadi secara spontanitas tanpa ada rencana
sebelumnya.
Banyak sekali permasalahan yang berkaitan dengan puasa selain yang
penulis sebutkan di atas, namun penulis tidak akan mengkaji semuanya,
akan tetapi lebih difokuskan kepada dua pembahasan yang dianggap dapat
mewakili yaitu berbuka puasa karena kesengajaan dan tidak sengaja.
Penjelasan tentang berbuka dengan tidak sengaja (lupa) telah penulis
jelaskan di atas.
Adapun
berbuka puasa secara sengaja dapat dikategorikan kepada berbuka puasa
yang diwajibkan, dibolehkan dan yang tidak dibolehkan. Ketentuan
diwajibkan berbuka puasa yaitu kepada wanita yang sedang haid dan nifas
maka bagi keduanya harus berbuka puasa dan meng-qada’-nya pada hari yang
lain setelah bulan Ramadan. Sedangkan berbuka yang dibolehkan dalam
agama adalah seperti karena sakit dan dalam perjalanan maka bagi orang
yang sakit apabila ia telah sembuh, ia harus meng-qada’-nya pada hari
yang lain, namun apabila sakitnya tergolong sakit yang lama atau bahkan
tidak dapat sembuh maka orang tersebut harus memberi makan kepada orang
miskin sebanyak puasa yang ditinggalkannya yaitu satu mud (sekitar tiga
kaleng susu) beras atau sejenisnya kepada orang miskin sejumlah puasa
yang ditinggalkannya. Bagi orang yang sakit dan meninggal sebelum
sakitnya sembuh maka baginya tidak dibebankan apa-apa. Namun jika ia
meninggal dalam keadaan ia memungkinkan meng-qada’-nya, jumhur ulama
berpendapat bahwa ahli waris tidak wajib menggantikan puasanya bahkan
menurut Syafi’i dalam qawl jadīd-nya tidak sah puasa wali tersebut
karena puasa merupakan ibadah badaniyyah semata-mata yang diwajibkan
oleh Allah dan merupakan ibadah inti, jadi tidak dapat digantikan oleh
siapapun baik ketika hidup atau setelah meninggal sama seperti salat.
Syafi’i berpedoman pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Nasa’ī:
عن ابن عباس عن النبي أنه قال: "لا يصلي أحد عن أحد ولا يصوم أحد عن أحد ولكن يطعم عنه مكان كل يوم مدا من من حنطة."
Artinya: Dari Ibn ‘Abbas dari Nabi, beliau bersabda: “Tidak melakukan
salat oleh seseorang untuk menggantikan salat orang lain dan tidak
berpuasa untuk menggantikan puasa orang lain, akan tetapi memberi makan
setiap hari satu mud gandum”. (HR. Al-Nasa’ī).
Adapun Hanabilah berpendapat boleh bagi wali berpuasa untuk mayit karena
itu lebih hati-hati dalam membebaskan tanggungan mayit. Dalam kaitan
inilah ulama mazhab sering sekali menyertakan kafarat salat dengan
beragumentasi pada fidyah puasa yang dikeluarkan oleh ahli waris
terhadap keluarganya yang meninggal. Hadis yang riwayat al-Nasa´ī di
atas menunjukkan bahwa salat dan puasa tidak dapat digantikan oleh orang
lain, akan tetapi khusus berkaitan dengan puasa karena terdapat nash
baik ayat Alquran maupun hadis yang dapat digantikan dengan memberi
makan dan hal ini tidak ditemukan dalam kewajiban salat. Dan seandainya
memberi makan tersebut juga dapat dikaitkan dengan salat, maka kewajiban
memberi makan hanya dilakukan sehari sekali dan bukan untuk satu waktu
salat.
Adapun
orang yang bersetubuh dengan istrinya setelah fajar terbit atau siang
hari bulan Ramadan, sebagaimana yang terdapat dalam hadis yang telah
penulis sebutkan sebelumnya, maka keduanya wajib membayar kafarat dan
meng-qada’ puasa tersebut. Kafarat puasa yang harus dibayar oleh
masing-masing mereka adalah memerdekakan seorang budak, apabila tidak
mereka jumpai maka mereka harus berpuasa dua bulan berturut-turut dan
jika mereka tidak sanggup maka harus memberi makan enam puluh orang
miskin. Demikianlah ketentuan agama terhadap orang yang melanggar puasa
dengan bersetubuh pada siang hari bulan Ramadan berdasarkan hadis yang
telah penulis sebutkan pada pembahasan macam-macam kafarat.
Adapun
ketentuan bagi wanita hamil dan menyusui adalah jika keduanya berbuka
karena takut terhadap diri mereka sendiri maka wajib qada’ dan tidak ada
kafarat sama seperti orang sakit. Atau keduanya takut terhadap anak
mereka maka keduanya harus membayar fidyah. Inilah beberapa ketentuan
yang ditetapkan di dalam agama bagi orang yang melaksanakan ibadah
puasa.
2. Ibadah Haji
Ibadah lainnya yang memiliki ketentuan harus membayar tebusan apabila
amalan ibadahnya tidak sempurna atau luput dari pelaksanaan yaitu ibadah
haji. Ibadah yang disyari’atkan Allah dalam surat Āli ‘Imran ayat 97:
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ
آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ.
Artinya: Padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahīm;
barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan
haji adalah kewajiban menusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang
sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam.
Ibadah yang menurut pendapat jumhur ulama diwajibkan pada tahun keenam
Hijriah dan hanya diwajibkan sekali seumur hidup ini merupakan ibadah
yang juga membutuhkan tenaga, keamanan, dan kesanggupan finansial yang
memadai. Banyaknya ketentuan yang harus dijalankan dan dipatuhi
membutuhkan kepada hal tersebut. Faktor internal dan eksternal juga
sangat mempengaruhi kualitas haji yang dilaksanakan. Faktor internal
baik sengaja atau tidak, contoh yang tidak sengaja seperti lupa, haid
dan nifas sering kali dialami oleh orang yang berhaji sehingga banyak
amalan ibadah hajinya yang harus ditutupi dengan cara lain seperti
membayar kafarat dan lain sebagainya. Adapun faktor internal yang
dialami seseorang yang berhaji karena sengaja adalah seperti orang yang
sengaja meninggalkan salah satu wajib haji seperti bermalam di
Muzdalifah.
Sedangkan faktor eksternal yang mungkin terjadi adalah tantangan cuaca,
terhalang musuh, bersinggungan dengan orang banyak dan lain-lain yang
kadang tidak sedikit menimbulkan jatuh sakit atau bahkan meninggal dunia
yang menjadikan orang tersebut gagal menyempurnakan ibadah haji.
Berkaitan
dengan faktor-faktor tersebut yang menjadikan seseorang tidak dapat
menyempurnakan hajinya, agama telah menentukan beberapa ketentuan bagi
orang tersebut. Ketentuan ini ditentukan dalam Alquran dan juga hadis
Nabi SAW. Di antara ketentuan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
Diwajibkan
bayar kafarat bagi siapa saja yang melanggar ketentuan antara lain,
memakai sesuatu yang berjahit karena ada hadis Nabi yang melarang
memakai sesuatu yang berjahit ketika ihram untuk umrah atau haji,
menutupi kepala bagi laki-laki serta muka dan kedua telapak tangan bagi
perempuan, memakai minyak rambut, memotong atau mencabut rambut yang ada
di badan, mencabut kuku, memakai wangi-wangian, berburu, melaksanakan
akad nikah, dan berhubungan suami istri. Semua ketentuan ini haram
dilakukan selama ihram dan apabila orang yang berhaji melanggar salah
satu ketentuan ini maka diwajibkan membayar kafarat kecuali akad nikah
hal ini dikarenakan akad tersebut tidak sah.
Syams
al-Dīn menyebutkan bahwa Abu Syuja‘ membagikan kafarat yang wajib dalam
ihram ini kepada lima macam: a) Kafarat yang wajib karena meninggalkan
nusuk (ibadah dalam ihram) seperti berhaji tamattu‘ (mendahulukan umrah
dari haji) maka bagi orang tersebut harus menyembelih seekor kambing,
jika ia tidak mendapatkannya maka harus berpuasa tiga hari di haji dan
tujuh hari ketika kembali ke tanah air. b) Kafarat yang wajib dengan
sebab bercukur atau memotong rambut atau bulu dan bersenang-senang.
Kafarat ini boleh dipilih (takhyīr) boleh dengan seekor kambing atau
berpuasa tiga hari atau bersedekah dengan tiga sa’ kepada enam orang
miskin. c) Kafarat yang wajib dengan sebab terhalang oleh musuh atau
lainnya untuk menyempurnakan ibadah haji yaitu ber-tahallul dan
menyembelih satu ekor kambing. d) Kafarat karena membunuh binatang
buruan boleh memilih, jika binatang buruan tersebut ada yang serupa maka
ia harus membayarnya dengan binatang yang serupa dengannya atau dengan
harganya dengan cara membeli makanan dan bersedekah ataupun dengan
berpuasa tiap-tiap mud untuk satu hari. e) Kafarat yang wajib dibayar
dengan sebab berhubungan suami istri dan membayarnya secara tertib yaitu
satu unta, jika tidak ada maka satu sapi, jika ia tidak mendapatkannya
maka dengan tujuh ekor kambing, jika belum didapatkan juga maka
dihargakan setara dengan seekor unta dengan membeli makanan dan
bersedekah dan jika tidak maka ia harus berpuasa untuk tiap-tiap mud
satu hari dan tidak memadai penyembelihan dan memberi makan kecuali di
tanah haram.
Di antara
semua bentuk kafarat di atas, hanya kafarat haji yang terlihat lebih
sistematis dan terbuka. Hal ini mungkin dikarenakan pelaksanaan kafarat
ibadah haji dilakukan oleh kebanyakan orang dan secara bersama-sama
sehingga lebih nampak efeknya. Sedangkan pelaksanaan kafarat-kafarat
lain seperti sumpah, membunuh, zihar, dan puasa bersifat individual
sehingga efeknya kurang nampak dalam masyarakat. Bahkan cenderung tidak
dilaksanakan meskipun pelanggaran-pelanggaran tersebut banyak terjadi,
padahal kafarat ini terdapat nash (Alquran dan hadis) yang mewajibkan
untuk dilaksanakan apabila seseorang melanggar. Lain halnya dalam kasus
salat, sebagian masyarakat menganggap bahwa membayar kafarat salat
sudah menjadi suatu kewajiban apabila (mayit) pernah meninggalkan salat
semasa hidupnya dan mereka menentang siapa saja yang mengatakan tidak
wajib membayar kafarat. Padahal dalam masalah kafarat salat ini tidak
ada anjuran dari nash baik Alquran atau hadis yang sarih untuk
melaksanakannya. Akan tetapi yang ada nashnya adalah perintah
meninggalkan salat dan mengancam orang-orang yang tidak mau
melaksanakannya.