Wednesday, December 6, 2017

ITIKAF

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


(فصل)
 والاعتكاف سنة مستحبة وله شرطان: النية والبث في المسجد. ولا يخرج من الاعتكاف المنذور إلا لحاجة الإنسان أو عذر من حيض أو مرض لا يمكن المقام معه ويبطل بالوطء

I’TIKAF 
I’tikaf (iktikaf) atau berdiam diri di masjid itu adalah sunnah yang disenangi oleh Allah. Dan i’tikaf itu mempunyai 2 syarat, yaitu niat dan berdiam di masjid. Seseorang tidak boleh keluar dari (masjid ketika menjalankan) i’tikaf yang dinazari kecuali untuk keperluan manusia (seperti kencing dan berak) atau karena terhalang oleh haid atau sakit yang tak memungkinkan orang berdiam di masjid Dan batallah i’tikaf itu sebab persetubuhan (hubungan intim).

TATA CARA I’TIKAF
Bagaimana tata cara beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, kapan dimulai dan amalan apa yang dikerjakan selama beri’tikaf berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah?
Muhammad Basir via email
Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini al-Makassari
Beri’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering dikerjakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencari keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadhan, khususnya malam mulia yang utama (lailatul-qadri). Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
أَنَّ النَّبِىَّ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian para istri beliau pun melakukan i’tikaf sepeninggal beliau.” (Muttafaq ‘alaih)
I’tikaf memiliki adab-adab yang menentukan sah dan sempurnanya i’tikaf, termasuk kapan mulainya dan kapan berakhirnya, berikut amalan-amalan apa saja yang dikerjakan selama i’tikaf.
Barang siapa berniat untuk melaksanakan sunnah ini hendaklah memulai i’tikaf dengan masuk ke masjid tempat i’tikaf sejak terbenamnya matahari di malam ke-21 Ramadhan, karena sepuluh hari terakhir Ramadhan dimulai ketika terbenam matahari di malam ke-21 Ramadhan. Jika dia menyiapkan tenda (kemah) di salah satu satu bagian masjid sebagai tempat menyendiri selama i’tikaf—dan ini hukumnya sunnah— hendaklah masuk ke dalam tenda (kemah) itu setelah shalat shubuh. Dalilnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai i’tikaf di masjidnya ketika terbenam matahari di awal malam ke-21. Namun beliau baru menyendiri (masuk) di dalam tenda yang telah disiapkan untuk dirinya setelah shalat shubuh, berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
كَانَ رَسُولُ الله إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkeinginan melakukan i’tikaf, beliau menunaikan shalat Fajar (shubuh), kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Ini adalah mazhab empat imam (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad) serta jumhur (mayoritas) ulama yang dirajihkan (dikuatkan) oleh al-Imam Ibnu ‘Utsaimin, dan inilah pendapat yang rajih.
Selama beri’tikaf hendaklah memerhatikan adab-adab berikut.
  1. Tidak melakukan jima’ (senggama), berdasarkan ayat i’tikaf:

وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ

“Janganlah kalian menggauli istri-istri itu, sedangkan kalian beri’tikaf dalam masjid.” (al-Baqarah: 187)
Hal ini hukumnya haram dan membatalkan i’tikaf, baik dilakukan di masjid maupun di luar masjid (rumah). Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkannya secara khusus pada i’tikaf, padahal pada asalnya halal di luar i’tikaf. Jima’ diharamkan dalam i’tikaf karena bertentangan dengan tujuan i’tikaf.
  1. Tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan i’tikaf, seperti keluar untuk bersenggama dengan istri di rumah, keluar untuk menekuni pekerjaannya, ataupun melakukan profesinya di tempat i’tikafnya. keluar untuk transaksi jual-beli, ataupun melakukan transaksi jual-beli di masjid, dan semisalnya. Apabila hal itu dilakukan maka i’tikafnya batal, meskipun ia telah mempersyaratkan akan melakukannya saat berniat melakukan i’tikaf, karena hal-hal tersebut bertentangan dengan tujuan i’tikaf. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Kalau memang ia butuh untuk bekerja (melakukan profesinya), jangan beri’tikaf.”
  1. Tidak keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan yang tidak bersifat harus dilakukan. Adapun keluar untuk urusan yang bersifat harus dilakukan, hal itu boleh. Urusan tersebut meliputi hal-hal yang bersifat tabiat manusiawi seperti kebutuhan buang hajat dan makan-minum, atau yang bersifat aturan syariat seperti wudhu, mandi janabah, dan shalat Jum’at. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak ada khilaf tentang bolehnya seseorang yang beri’tikaf keluar dari masjid untuk suatu urusan yang harus dilakukan.” Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
إِنَّ النَّبِيَّ كَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إلاَّ لِحاَجَةٍ )وَفِي رِوَايَةِ مُسْلِمٍ: إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ) إِذَا كَانَ مُعْتَكِفاً.
“Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beri’tikaf, beliau biasanya tidak masuk rumah kecuali untuk suatu hajat (pada riwayat Muslim: untuk hajat manusiawi).” (Muttafaq ‘alaih)
Juga hadits ‘Aisyah yang mauquf (dinisbatkan kepada ‘Aisyah sebagai perbuatannya) yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya pada “Kitab al-Haidh”:
إِنْ كُنْتُ لَأَدْخُلُ الْبَيْتَ لِلْحَاجَةِ وَالْمَرِيْضُ فِيْهِ، فَمَا أَسْأَلُ عَنْهُ إِلاَّ وَأَنَا مَارَّةٌ.
“Adalah aku (jika sedang beri’tikaf) biasa masuk rumah untuk suatu hajat, padahal di dalam rumah ada orang sakit. Aku tidak menanyakan keadaannya kecuali sambil lewat saja.”
Oleh karena itu, tidak boleh keluar dari tempat i’tikaf untuk urusan ketaatan yang bersifat sunnah, seperti menjenguk orang sakit dan mengantarkan jenazah, menurut pendapat yang rajih. Ini adalah pendapat jumhur ulama dan dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin, kecuali jika jelas baginya bahwa tidak ada yang mengurusi orang sakit tersebut selain dirinya—sedangkan kondisi sakitnya telah kritis—atau jika tidak ada yang bisa mengurusi jenazah tersebut selain dirinya, hal ini diperbolehkan. Sebab, pada kondisi itu hukumnya menjadi wajib atas dirinya. Jika ia keluar untuk suatu urusan yang harus dilakukannya, maka tidak boleh berlama-lama lebih dari hajatnya itu. Jika ia berlama-lama lebih dari hajatnya tersebut, maka i’tikafnya batal sebagaimana batalnya i’tikaf jika keluar untuk suatu urusan yang tidak bersifat wajib meskipun hanya sebentar, menurut pendapat empat imam mazhab.
  1. Disunnahkan menyibukkan diri dengan berbagai macam ibadah khusus, seperti shalat sunnah mutlak di waktu-waktu yang tidak terlarang, membaca Al-Qur’an, berzikir, berdoa, serta beristighfar. Secara khusus, sepuluh malam terakhir Ramadhan dihidupkan dengan shalat tarawih. Inilah inti dan tujuan i’tikaf, untuk mekhususkan diri dengan ibadah-ibadah tersebut. Itulah sebabnya pelaksanaan i’tikaf dibatasi harus di masjid.
  1. Disunnahkan meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, maupun yang lainnya.
  1. Tidak mengapa baginya untuk berbicara sebatas hajat dan berbincang-bincang dengan orang lain dalam batas yang dibolehkan dalam syariat, baik secara langsung maupun melalui telepon, selama hal itu masih dalam masjid tempat beri’tikaf. Demikian pula, tidak mengapa untuk dikunjungi kerabat atau temannya di tempat i’tikafnya serta berbincang-bincang sejenak dan tidak lama. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha, salah seorang istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim (Muttafaqun ‘Alaih) tentang kedatangannya mengunjungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari saat beliau melakukan i’tikaf, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri bersamanya dan mengantarkannya pulang ke rumahnya.
Selanjutnya, i’tikaf berakhir ketika terbenam matahari di malam ‘Id dan tidak disyariatkan menunggu esok harinya hingga menjelang shalat ‘Id. Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama serta Ibnu Hazm.
I’TIKAF DI SELAIN MASJID YANG TIGA
Para ulama berbeda pendapat tentang i’tikaf di selain tiga masjid (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsha), ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Mana yang rajih (lebih kuat)?
Fulan – lewat sms

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini al-Makassari
Menurut kami, yang rajih adalah pendapat yang menyatakan bahwa i’tikaf diperbolehkan di semua masjid dan tidak terbatas hanya di tiga masjid saja. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala:

وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ

       “Janganlah kalian gauli istri-istri itu, sedangkan kalian beri’tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah: 187)
Kata masjid dalam ayat ini bersifat umum. dan tidak dibatasi dengan sifat-sifat tertentu, sehingga ayat ini meliputi seluruh masjid tanpa kecuali.
Akan tetapi, jika rentang waktu i’tikaf diselingi waktu shalat lima waktu, maka bagi kaum pria yang berpendapat wajibnya shalat lima waktu secara berjamaah—dan inilah pendapat yang benar—dipersyaratkan untuk mereka beri’tikaf di masjid-masjid tempat ditunaikannya shalat berjamaah. Jika rentang waktu i’tikaf diselingi waktu shalat Jum’at, yang afdhal (lebih utama) adalah mereka beri’tikaf di masjid yang padanya ditunaikan shalat Jum’at, namun hal ini bukan syarat.
Adapun kaum wanita tidak dipersyaratkan melakukannya di masjid yang ditunaikan padanya shalat berjamaah, karena shalat jamaah tidak wajib atas kaum wanita. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan Ishaq bin Rahawaih, serta dirajihkan oleh Ibnu Baz dan Ibnu ‘Utsaimin.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa i’tikaf tidak sah kecuali dilakukan di tiga masjid (Masjid Al-Haram, Masjid An-Nabawi, dan Masjid Al-Aqsha) merupakan pendapat yang lemah, karena sandarannya adalah hadits yang diperselisihkan kesahihannya oleh para ulama dan ada kelemahannya, yaitu hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu:
لاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِي الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ
“Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid.”
Hadits ini diriwayatkan secara marfu’ (dinisbatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) oleh Sa’id bin Manshur dalam kitab as-Sunan dan ath-Thahawi dalam kitab Musykilul Atsar, juga diriwayatkan secara mauquf (dinisbatkan kepada Hudzaifah radhiallahu ‘anhu sebagai ucapannya) oleh ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir, Abdur Razzaq dalam kitab al-Mushannaf, dan Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannaf. Lafadz riwayat Abdur Razzaq adalah sebagai berikut.
قَالَ حُذَيْفَةُ لِعَبْدِ اللهِ: قَوْمٌ عُكُوْفٌ بَ دَارِكَ وَدَارِ أَبِي مُوْسَى لَا تَنْهَاهُمْ؟ فَقاَلَ لَهُ عَبْدُ اللهِ: فَلَعَلَّهُمْ أَصَابُوا وَأَخْطَأْتَ وَحَفِظُوا وَنَسِيْتَ؟ فَقَالَ حُذَيْفَةُ: لَا اعْتِكَافَ إِلَّا فِي هَذِه ِالْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ
Hudzaifah berkata kepada ‘Abdullah bin Mas’ud, “Engkau melihat suatu kaum melakukan i’tikaf (di masjid) antara rumahmu dan rumah Abu Musa al-Asy’ari dan engkau tidak melarang mereka?”
Abdulllah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu menjawab, “Barangkali mereka yang benar dan engkau yang salah, serta mereka yang hafal (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan engkau yang lupa.”
Lalu Hudzaifah berkata lagi, “Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid.”
Asy-Syaukani mengatakan bahwa riwayat mauquf ini menunjukkan Hudzaifah tidaklah berdalilkan dengan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Riwayat ini juga menunjukkan bahwa Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu menyelisihinya serta membolehkan i’tikaf di seluruh masjid. Seandainya memang ada hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu tidak akan menyelisihinya. Yang semakin menguatkan hal ini adalah dalam riwayat Sa’id bin Manshur yang marfu’ ada tambahan riwayat dengan lafadz:
أَوْ مَسْجِدٍ جَمَاعَةٍ
“… atau di masjid jamaah.”
Yakni masjid jami’ tempat ditunaikan shalat Jum’at. Maka dari itu, asy-Syaukani mengomentari riwayat ini dengan berkata, “Demikian pula adanya keraguan pada periwayatan itu (antara pembatasan di tiga masjid atau di masjid jamaah) termasuk hal yang melemahkan pendalilan dengan salah satu bagian dari hadits tersebut. Dengan ini pula Ibnu Hazm melemahkan hadits ini. Beliau berkata, ‘Keraguan ini dari Hudzaifah sendiri atau perawi setelahnya (yang di bawahnya). Tidak dibenarkan memastikan bahwa hadits-hadits itu berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan adanya keraguan pada periwayatannya. Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengucapkannya, tentu Allah subhanahu wa ta’ala akan menjaganya untuk umat ini dan tidak akan tersisipi keraguan dalam periwayatannya.
Adapun yang menyatakan hadits ini sahih adalah asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah (no. 2786) dan asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab al-Wushabi. Namun asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab al-Wushabi tidak menyatakan bahwa i’tikaf hanya sah dilakukan di tiga masjid dengan hadits ini. Beliau justru mengambil bagian kedua dari hadits untuk berpendapat bahwa i’tikaf hanya sah dilakukan di masjid jamaah (masjid jami’). Beliau menukilkan pula bahwa ini adalah pendapat asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i. Lihat risalah beliau Idhah ad-Dalalah fi Takhrij wa Tahqiq Hadits La I’tikaf illa fil Masjid ats-Tsalatsah.
Seandainya pun hadits Hudzaifah ini dinyatakan sahih, hadits ini tetap tidak bisa menjadi dalil untuk membatasi bahwa i’tikaf hanya sah dilakukan di tiga masjid. Hadits ini harus dipadukan dengan dalil-dalil lain yang menyebutkan bolehnya beri’tikaf di selain tiga masjid. Oleh karena itu, hadits ini harus ditafsirkan dengan makna bahwa tidaklah i’tikaf sempurna melainkan bila dilakukan di tiga masjid atau masjid jamaah. Dengan ini, tampaklah bahwa pendapat yang kami pilih adalah pendapat yang terbaik, insya Allah.Wallahu a’lam.

KAFARAT

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


ومن وطئ في نهار رمضان عامدا في الفرج فعليه القضاء والكفارة وهي: عتق رقبة مؤمنة فإن لم يجد فصيام شهرين متتابعين فإن لم يستطع فإطعام ستين مسكينا لكل مسكين مد. ومن مات وعليه صيام من رمضان أطعم عنه لكل يوم مد. والشيخ إن عجز عن الصوم يفطر ويطعم عن كل يوم مدا. والحامل والمرضع إن خافتا على أنفسهما: أفطرتا وعليهما القضاء وإن خافتا على أولادهما: أفطرتا وعليهما القضاء والكفارة عن كل يوم مد وهو رطل وثلث بالعراقي والمريض والمسافر سفرا طويلا يفطران ويقضيان 

Barangsiapa bersetubuh (berhubungan intim) pada siang hari bulan Ramadhan dengan sengaja pada kemaluan (muka atau belakang) wajiblah ia mengqadha’ dan membayar kafarat (denda) yaitu memerdekakan budak mukmin. Jika tidak ada, wajiblah ia berpuasa 2 bulan berturut-turut. Jika tidak dapat (mengerjakannya) wajiblah ia memberi makan kepada 60 orang miskin, untuk tiap orang 1 mud (6 ons makanan pokok).
Barangsiapa meninggal dunia sedang ia mempunyai tanggungan puasa dari Ramadan, haruslah dikeluarkan makan atas namanya(kepada orang miskin, oleh walinya dari harta peninggalannya) untuk tiap hari 1 mud).
Orang tua yang telah lanjut usia (pikun, termasuk juga orang sakit yang tak ada harapan untuk sembuh) jika tidak kuat berpuasa, boleh berbuka (tidak puasa) dan harus memberi makan (kepada orang miskin) untuk tiap hari 1 mud.
Wanita hamil dan wanita yang menyusui jika kuatir akan terganggu kesehatan dirinya, boleh berbuka (tidak puasa) dan wajiblah kedunya mengqadha. Jika keduanya kuatir akan (terganggu kesehatan) anaknya, boleh berbuka puasa dan wajib mengqadha’ serta membayar kafarat untuk tiap hari 1 mud yaitu 1/2 kati Irak (6 ons).
Orang sakit dan orang musafir yang bepergian jauh boleh keduanya berbuka dan harus mengqadha’.

A. Pengertian Kafarat, Macam-Macam Kafarat dan Dalil-Dalil Pensyari’atannya
Untuk memperjelas sebuah hal yang akan dibahas, diperlukan pendefenisian yang tepat. Oleh sebab itu, di sini akan dijelaskan definisi kafarat baik secara bahasa atau syara’ yang dikutip dari beberapa pendapat ulama fikih (fuqaha´) dan selainnya. Selain itu, sebelum menjelaskan secara panjang lebar tentang ibadah yang ada kafarat dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya, akan disebutkan terlebih dahulu macam-macam kafarat dan dalil-dalil pensyari’atan kafarat tersebut baik yang bersumber dari Alquran maupun hadis.
1. Pengertian  kafarat
Banyak sekali ulama yang mendefinisikan arti kafarat, namun di sini akan disebutkan beberapa pendapat ulama saja, karena secara keseluruhan pengertian kafarat ini memiliki kandungan yang sama yaitu sama-sama sebagai penebus atau penghapus dosa. Kafarat secara bahasa berasal dari kata kaffarah yang diambil dari kata takfīr yang berarti penebus dosa atau penutupnya.  Dalam bahasa Indonesia sering dipergunakan untuk arti terkutuk, kafir, dan tidak bertuhan. Kafarat juga berarti penebus atau penutup dosa.  Arti bahasa yang sesuai dengan pembahasan kafarat ini adalah kafarat sebagai penebus atau penutup dosa, sedangkan arti terkutuk, kafir, dan tidak bertuhan bukan arti yang dikehendaki dalam pembahasan ini.
Sedangkan menurut istilah, kafarat adalah denda yang telah ditentukan oleh syara’ untuk menebus dosa.  Ibn Hazm mendefinisikan kafarat dengan  إسقاط الحنثyaitu menggugurkan dosa, seperti orang yang melakukan hubungan suami istri di bulan Ramadan maka diwajibkan membayar kafarat yaitu memerdekakan budak, apabila ia tidak mampu, maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut dan jika puasa juga tidak sanggup ia lakukan, maka ia diwajibkan memberi makan enam puluh orang miskin. Kafarat ini semua disyari’atkan untuk menggugurkan dosa terhadap pelanggaran yang ia lakukan.  
Dari penjelasan definisi kafarat ini dapat dipahami bahwa pensyari’atan membayar kafarat bertujuan menebus dosa yang telah diperbuat oleh seseorang karena melanggar ketentuan syara’, karena dengan hukuman tersebut dosa si pelaku pelanggaran akan diampuni oleh Allah. Dan ketentuan tersebut berbeda-beda sesuai dengan kesalahan yang dilakukan sebagaimana akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya.   
2. Macam-macam dan dalil-dalil pensyari’atan kafarat
a. Kafarat sumpah
Berkaitan dengan masalah ini, kaum muslim sepakat bahwa kafarat atas sumpah merupakan suatu kewajiban yang disyariatkan oleh Islam, sesuai dengan kandungan ayat 89 surat al-Ma’idah:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ .
Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberikan pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa yang tidak sanggup melakukan demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu melanggar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). 
Di samping ayat tersebut, di dalam hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah:
عن عائشة أن أبا بكر رضي الله عنه لم يكن يحنث في يمين قط حتى أنزل الله كفارة اليمين، قال: لا أحلف على يمين فرأيت غيرها خيرا منها إلا أتيت الذي هو خير وكفرت عن يميني. 
Artinya: “Bahwasanya Abu Bakr RA tidak menjalankan sumpahnya sehingga turun ayat ini dan ia berkata: Saya tidak akan bersumpah sehingga saya melihat yang lebih baik selainnya kecuali saya mengambil yang baik tersebut dan membayar kafarat sumpah. (HR. Al-Bukhari).”
Bertolak dari ayat dan hadis di atas, ulama sepakat menyatakan bahwa kewajiban membayar kafarat sumpah merupakan kewajiban yang bersifat mutlak, tidak terbatas oleh waktu dan tempat (wajib mutlak) dan boleh memilih (wajib mukhayyar) di antara tiga pilihan yang disebutkan dalam ayat, yaitu: (1) memberi makan sepuluh orang miskin; (2) memberi pakaian sepuluh orang mikin; (3) Memerdekakkan budak. Seandainya ketiga pilihan tersebut tidak dapat dilaksanakan, orang yang melanggar  sumpah boleh menggantikannya dengan puasa selama tiga hari.
Ulama berbeda pendapat tentang jumlah makanan yang akan diberikan kepada masing-masing dari sepuluh orang miskin. Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafi‘iyyah, dan Hanabilah mewajibkan kafarat itu sebanyak satu mud  (lebih kurang ¾ liter) makanan yang mengenyangkan, disamakan dengan jumlah dan jenis zakat fitrah. Akan tetapi, Hanafiyyah mewajibkannya sebanyak ½ sa‘  (2 mud =1,5 liter). Ketetapan ini didasarkan oleh praktek yang dilakukan  oleh ‘Umar Ibn al-Khattab, ‘Alī Ibn Abī Talib, dan ‘Ā’isyah bint Abū Bakr. Ulama mazhab ini membolehkan membayarnya dengan uang seharga makanan tersebut. Di samping itu, mereka sepakat makanan harus diberikan kepada sepuluh orang. Tidak boleh memberikan makan yang seharusnya untuk sepuluh orang diberikan kepada satu orang, karena bertentangan dengan ayat di atas. 
Ulama berbeda pendapat juga tentang kadar pakaian yang diberikan kepada masing-masing dari sepuluh orang miskin. Menurut Hanafiyyah, kadar pakaian itu minimal dapat menutup segenap tubuh. Hanabilah menetapkan kadar pakaian tersebut sebatas pakaian yang dapat dipakai dalam shalat, tidak boleh kurang dari itu. Bahkan menurut Syafi‘iyyah dan Malikiyyah, ketentuan kafarat dalam bentuk pakaian ini lebih ringan lagi, yaitu cukup dengan salah satu jenis pakaian, seperti celana, kemeja, jubah, sarung, dan sebagainya, karena dari masing-masing jenis pakaian tersebut sudah dinamakan pakaian. 
Berkenaan dengan kafarat dalam bentuk memerdekakan budak, Wahbah al-Zuhaylī mengatakan, hal itu hanya tinggal dalam catatan sejarah, karena dewasa ini tidak ada lagi yang dinamakan budak. Kendati demikian, ia mengemukakan beberapa pandangan tentang kafarat dalam bentuk ini. Hanafiyyah memandang bahwa yang dimaksud budak di sini ialah semua budak, baik muslim atau nonmuslim, perempuan atau laki-laki, besar atau kecil. Hal ini didasarkan kepada ayat yang secara mutlak mencakup semua budak. Akan tetapi, jumhur ulama mensyaratkan keislaman budak tersebut. Oleh sebab itu, menurut mereka, tidak sah membayar kafarat dengan memerdekakan budak nonmuslim. Jumhur ulama membatasi (taqyīd ) kemutlakan ayat al-Ma’idah ayat 89 di atas dengan ayat yang membicarakan kafarat membunuh sesama muslim secara tidak sengaja, yaitu surat al-Nisa’ ayat 92 yang berbunyi:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا.
Artinya: Dan tidak laik bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa yag membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyah  yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyah yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
   
Menurut jumhur setiap lafal yang mutlak harus di-taqyīd-kan, dan di sisi kemutlakan surat al-Ma’idah ayat 89 harus di-taqyīd-kan dengan surat al-Nisa’ ayat 92. Hal ini juga dikarenakan kedua ayat tersebut sama-sama mengandung makna  penebusan terhadap dosa. 
Berkenaan dengan puasa yang menjadi pengganti kafarat, Malikiyyah dan Syafi‘iyyah tidak mensyaratkan khusus secara berturut-turut, karena ayat yang menjadi alasan tidak menyebutkan demikian. Sekalipun begitu, mereka memandang sunat melakukannya secara berturut-turut. Namun, Hanafiyyah dan Hanabilah memandang wajib dilakukan secara berturut-turut. Alasan mereka adalah ayat tersebut dalam versi bacaan ‘Ubay Ibn Ka‘b dan Ibn Mas‘ūd, dua sahabat Nabi SAW yang mempunyai bacaan Alquran tersendiri, membaca ayat tersebut dengan: (فَصِيَامُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ) artinya: “Maka berpuasalah tiga hari berturut-turut.” 
Lebih jauh, ulama sepakat menyamakan kafarat sumpah dengan kafarat nazar. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW:
عن عقبة بن عامر عن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: كفارة النذر كفارة اليمين.   
Artinya: ”Dari ‘Uqbah Ibn ‘Āmir dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “kafarat nazar adalah kafarat sumpah” (HR. Muslim).” 
Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang nazar untuk maksiat. Menurut Hanafiyyah dan Hanabilah, orang yang bernazar untuk melakukan suatu maksiat wajib membayar kafarat sumpah, alasan mereka ialah hadis Nabi SAW: 
عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: لا نذر في معصية، وكفارته كفارة يمين. 
Artinya: “Dari ‘Ā’isyah RA dari Nabi SAW bahwasanya ia bersabda: “tidak ada nazar dalam maksiat, dan kafaratnya adalah kafarat sumpah.” (HR. Abū Dawud).
Akan tetapi Malikiyyah, Syafi‘iyyah dan mayoritas ulama memandang tidak ada kafarat pada nazar yang diikrarkan untuk berbuat maksiat, karena nazar yang demikian tidak sah. Sabda Nabi SAW:
عن عائشة رضي الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: من نذر أن يطيع الله فليطعه ومن نذر أن يعصيه فلا يعصيه.  
Artinya: “Dari ‘Ā’isyah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: “barang siapa yang bernazar untuk taat kepada Allah maka lakukanlah, dan barang siapa yang bernazar untuk berbuat maksiat kepada Allah, janganlah ia memperbuatnya” (HR. Al-Bukhari). 
Oleh sebab itu, dengan sendirinya kafaratnya  tidak ada. Hadis yang dikemukakan oleh Hanafiyyah dan Hanabilah dipandang lemah oleh Malikiyyah, Syafi‘iyyah, dan mayoritas ulama.
Ulama juga sepakat menyamakan kafarat al-īla’ (sumpah suami bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya dalam waktu lebih dari empat bulan atau tanpa menyebutkan waktunya) dengan kafarat sumpah. Apabila seseorang mengikrarkan al-īla’, kemudian ia kembali kepada istrinya, baik dalam masa sebelum empat bulan atau sesudahnya, ia wajib membayar kafarat sebagai mana kafarat sumpah. 
b. Kafarat pembunuhan
Mayoritas ulama fikih membagi jenis pembunuhan kepada tiga macam, yaitu pembunuhan sengaja, serupa sengaja dan pembunuhan tidak sengaja (tersalah). Mereka sepakat bahwa kafarat membunuh sesama muslim dengan tidak sengaja ialah memerdekakan budak muslim, pelaku pembunuhan wajib puasa dua bulan berturut-turut, sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Nisa’ ayat 92 yang berbunyi: 
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا.
Artinya: Dan tidak laik bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa yag membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyah yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyah yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mu’min. Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Jumhur ulama yang terdiri dari Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Hanabilah memandang bahwa kafarat itu hanya berlaku kepada orang yang melakukan pembunuhan dengan tidak sengaja, sesuai dengan kandungan ayat di atas, serta menurut pendapat ini tidak dibolehkan qiyas dalam masalah kafarat karena ini merupakan ketentuan yang ditetapkan langsung oleh syara’, oleh karena itu harus diamalkan sesuai dengan posisi ayat tersebut yang hanya ditujukan kepada orang yang membunuh tidak sengaja. Sedangkan balasan yang diterima bagi orang yang sengaja membunuh yaitu neraka jahannam karena ini merupakan dosa besar dan Alquran tidak mewajibkan kafarat dalam jenis pembunuhan semacam ini, seandainya ini diwajibkan maka Alquran langsung yang akan menjelaskannya. Karena tuntutan posisi seperti ini membutuhkan penjelasan segera.  
Sedangkan Syafi‘iyyah mewajibkan juga atas orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja. Alasan mereka ialah bahwa tujuan disyariatkan kafarat ialah untuk menghapus dosa, dosa membunuh dengan sengaja lebih besar dari pada dosa membunuh dengan tidak sengaja. Oleh sebab itu, pembunuhan dengan sengaja lebih laik untuk dikenai kafarat dari pada yang melakukannya dengan tidak sengaja, demi menghapuskan dosa yang lebih besar dan berat itu. 
Adapun pembunuhan serupa sengaja yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dengan menggunakan sesuatu yang tidak membuat orang lain mati biasanya, seperti melempar dengan batu kecil dan memukul dengan kayu kecil. Dalam hal ini ulama sepakat tidak diwajibkan qisas bagi pembunuhan semacam ini. Hukuman bagi orang yang melakukan pembunuhan jenis ini adalah wajib membayar kafarat/ diyah yang berat berdasarkan hadis Nabi SAW:
عن عبد الله بن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم  ألا إن دية الخطأ شبه العمد ما كان بالسوط والعصا مائة من الإبل، منها أربعون في بطونها أولادها.  
Artinya: “Dari ‘Abd Allah Ibn ‘Umar, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: ketahuilah bahwasanya diyah tersalah serupa sengaja yang dilakukan dengan cambuk, tongkat adalah 100 (seratus) unta, 40 di antaranya yang memiliki kandungan di dalam perutnya.” (HR. Abū Dawud).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pembunuhan tersalah atau tidak sengaja dan pembunuhan serupa sengaja, dijelaskan kewajiban membayar kafarat bagi yang melakukannya di dalam nash baik Alquran maupun hadis, sedangkan untuk pembunuhan sengaja tidak ada nash yang menerangkan kewajiban tersebut. 
c. Zihar 
Secara etimologis (bahasa), kata zihar berarti punggung. Sedangkan menurut istilah, kata zihar berarti suatu ungkapan suami kepada istrinya, “Bagiku kamu seperti punggung ibuku,” dengan maksud dia mengharamkan istrinya bagi dirinya. Zihar ini merupakan tradisi talak yang berlaku di masyarakat jahiliyah terdahulu. kemudian diharamkan oleh Islam. Allah SWT memerintahkan kepada suami yang men-zihar istrinya untuk membayar kafarat sehingga zihar tersebut tidak sampai menjadi talak. 
Awal mula zihar dalam Islam yaitu terjadi pada kisah seorang wanita yang bernama Khawlah bint Tha‘labah yang telah di-zihar oleh suaminya, Aws Ibn al-Samit, yaitu dengan mengatakan kepadanya, “Kamu bagiku seperti punggung ibuku”, dengan maksud bahwa ia tidak boleh menggauli lagi istrinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya, sehingga turunlah surat al-Mujadilah ayat 1 yang berbunyi:
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ  .
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Seorang suami yang memyerupakan istrinya dengan ibunya haram bercampur dengan istrinya tersebut sampai ia membayar kafarat atas ucapannya itu. Bentuk kewajiban kafarat zihar adalah wajib murattab menurut tertib berikut: (1) memerdekakan budak; (2) kalau tidak diperoleh budak, puasa dua bulan berturut-turut; (3) kalau tidak sanggup berpuasa, wajib baginya memberi makan enam puluh orang miskin. Kewajiban membayar kafarat ini sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat al-Mujadilah ayat 3-4: 
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ. فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
Artinya: Orang-orang yang men-zihar istri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada Umat Islam dan Allah Maha Mengetahui apa yang umat-Nya kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.
Urutan dalam membayar kafarat sesuai dengan makna ayat di atas yaitu memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, dan terakhir memberi makan enam puluh orang miskin. Kafarat ini dilakukan menurut urutannya dan tidak boleh berpindah dari memerdekakan budak kepada lainnya kecuali budak tersebut tidak didapatkannya maka ia boleh berpindah kepada kafarat setelahnya yaitu berpuasa dua bulan berturut-turut. 
d. Kafarat ber-jima‘ di bulan Ramadan
Dalil wajib membayar kafarat bagi orang yang melakukan jima‘ di bulan Ramadan adalah hadis yang berbunyi:
عن أبي هريرة - رضي الله عنه - قال: ( جاء رجل الى النبي - صلى الله عليه وسلم - فقال: هلكت يا رسول الله ، قال: وما أهلكك؟ قال: وقعت على امرأتي في رمضان. قال: هل تجد ما تعتق؟ قال: لا. فقال: هل تستطيع أن تصوم شهرين متتابعين ، قال: لا، قال: فهل تجد ما تطعم ستين مسكيناً؟ قال: لا ، قال: ثم جلس فأتى النبي بعرق فيه تمر، فقال: تصدق بهذا، قال: على أفقر منا فما بين لابيتها أهل بيت أحوج إليه منا، فضحك النبي - صلى الله عليه وسلم - حتى بدت أنيابه، ثم قال: اذهب فأطعمه أهلك) " .
Artinya: Abu Hurairah RA berkata, ”Di saat kami duduk-duduk bersama Rasulullah SAW datang seoang laki-laki kepada Nabi SAW dan berkata, ‘Aku telah binasa wahai Rasulullah! Nabi menjawab, apa yang mencelakakanmu? Orang itu berkata, aku menyetubuhi isteriku di bulan Ramadan.’ Nabi bertanya, adakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan budak? Orang itu menjawab, tidak. Nabi bertanya lagi, sanggupkah kamu berpuasa dua bulan terus-menerus? Orang itu menjawab, tidak. Nabi bertanya, apakah kamu memiliki sesuatu untuk memberikan makan enam puluh orang miskin? Orang itu menjawab, tidak. Kemudian Nabi terdiam beberapa saat hingga didatangkan kepada Nabi sekeranjang berisi kurma dan berkata,  sedekahkanlah ini. Orang itu berkata, adakah orang yang lebih miskin dari kami? Maka tidak ada tempat di antara dua batu hitam penghuni rumah yang lebih miskin dari kami? Dan Nabi pun tertawa hingga terlihat gigi gerahamnya kemudian berkata, “Pergilah dan berikanlah kepada keluargamu.
Ini merupakan sebagian ketentuan kafarat dalam ibadah puasa. dan masih banyak lagi yang menyangkut tentang kafarat dalam ibadah puasa yang akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
e. Denda dalam haji
Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan ketika menunaikan ibadah haji atau umrah, maka kepadanya dikenakan denda atau tebusan. Pelanggaran itu misalnya melakukan larangan-larangan ihram atau tidak dapat menyempurnakan wajib haji seperti mabit di Mina atau Muzdalifah. Para Ulama telah sepakat bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji akan dikenakan kafarat dalam hal ini  dam , apabila melakukan beberapa hal sebagai berikut: melakukan haji qiran atau tamattu‘, tidak ihram dari miqat, tidak mabīt pertama di Muzdalifah, tidak mabīt kedua di Mina, tidak melontar jumrah, dan tidak melakukan tawaf wada’.
Ketentuan membayar denda atau kafarat dalam haji ini ditentukan dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 196 yang berbunyi:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ. 
Artinya: Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya membayar fidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji, (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila ia telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.
Berdasarkan ayat di atas dapat dipahami ada beberapa ketentuan dalam ibadah haji yang apabila seseorang melanggarnya atau melakukannya dengan tidak sempurna maka wajib membayar kafarat seperti orang yang terhalang oleh musuh, orang sakit atau ada gangguan di kepalanya maka harus membayar kafarat dalam hal ini dam. Pembahasan tentang kafarat dalam ibadah haji ini juga akan dibahas pada sub judul ibadah-ibadah yang dapat diganti dengan membayar kafarat.
  
B. Ibadah-Ibadah yang dapat Diganti dengan Membayar Kafarat
Permasalahan tentang ibadah-ibadah yang dapat diganti dengan membayar kafarat ini perlu penulis angkat karena dianggap masih ada kaitannya dengan judul penelitian ini. Di antara permasalahan yang diangkat adalah ibadah puasa dan ibadah haji. Ibadah puasa sebagaimana dimaklumi memiliki ketentuan tersendiri baik yang diatur dalam Alquran ataupun hadis. Dalam ibadah ini terdapat penjelasan tentang bagaimana hukum dan cara menggantikan puasa orang yang sudah meninggal atau orang yang belum meninggal akan tetapi ia mengalami beberapa kondisi yang dibolehkan atau diwajibkan baginya berbuka. Demikian juga ibadah haji, mengenai ibadah ini juga terdapat penjelasan dari hadis yang menyatakan bahwa seseorang yang sudah meninggal dan ia mampu melaksanakan ibadah haji akan tetapi ia meninggal sebelum melakukannya, maka ahli waris ataupun orang lain wajib  menggantikannya. Sedangkan ketentuan salat tidak ada nash yang sarīh yang menyatakan bahwa salat orang yang meninggal itu bisa digantikan ataupun dibayar kafarat.     
1. Ibadah puasa
Sebagaimana yang  telah dijelaskan di atas, pemaparan tentang fidyah dalam ibadah puasa ini terasa penting oleh penulis karena dianggap masih ada keterkaitannya dengan masalah penelitian yang diangkat yaitu kafarat salat. Kafarat salat seringkali disebutkan dalam pembahasan fidyah puasa ini, hampir semua kitab fikih khususnya yang bermazhab Syafi’i yang ada menjelaskan tentang kafarat salat dan selalu menyertakannya ke dalam pembahasan fidyah puasa. Karena anggapan keterkaitan inilah penulis mengkaji beberapa hal tentang puasa dalam hal ini ibadah puasa Ramadan.
Puasa merupakan salah satu ibadah di antara ibadah-ibadah lainnya yang disyari’atkan Allah atas hamba-Nya dengan menahan rasa lapar dan dahaga dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Ibadah ini dilaksanakan selama satu bulan penuh (baik 29 atau 30 hari) dalam setahun. Ibadah puasa juga termasuk ibadah yang membutuhkan banyak tenaga dan energi dalam menjalankannya. Tidak dipungkiri ada sebagian orang yang tidak mampu melaksanakan karena tidak sanggup menahan makan, minum, atau bersetubuh dengan istri sehingga berbuka sebelum tiba waktunya, bahkan ada juga yang sengaja tidak mau berpuasa karena terasa malas sehingga  enggan dalam menjalankannya.
Berbagai kondisi dan situasi lainnya juga dialami oleh sebagian lainnya. Ada yang lupa bahwa ia sedang berpuasa sehingga ia makan dan minum. Ada juga yang tidak berpuasa karena sakit atau umurnya yang sudah tua dan tidak mungkin lagi sanggup berpuasa. Kondisi seperti di atas dapat terjadi pada laki-laki atau perempuan. Akan tetapi ada juga beberapa kondisi ketika berpuasa yang hanya dialami oleh perempuan, seperti berhalangan berpuasa karena haid atau nifas, mengandung, melahirkan dan menyusui sehingga mereka tidak bisa berpuasa.
Semua kondisi di atas memiliki ketentuan hukum tersendiri baik bersumber dari Alquran, hadis atau hasil ijtihad para ulama. Tentunya para ulama sepakat bahwa siapa saja yang berbuka puasa dengan tanpa ada uzur syara’ seperti sakit, bepergian (musafir) maka ia berdosa dan wajib meng-qada’-nya atau membayar kafarat kecuali orang yang lupa, maka ia dibolehkan melanjutkan puasanya, seperti dalam hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok ulama hadis kecuali al-Nasa’ī bahwa:
وعن أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من نسي وهو صائم فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه الله وسقاه" 
Artinya: Dan dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang lupa sedangkan ia sedang berpuasa kemudian ia makan atau minum, maka hendaklah menyempurnakan puasanya, karena itu merupakan nikmat Allah yang telah memberi makan dan minum kepadanya”.
Menurut sebagian ulama termasuk ke dalam ketentuan ini yaitu orang yang bersetubuh dengan istrinya karena lupa.  Namun tentu hal ini merupakan perkara yang tergolong jarang atau tidak mungkin seseorang melakukannya karena lupa, dikarenakan pekerjaan tersebut dilakukan dengan melibatkan dua orang yaitu suami dan istri. Tentu apabila salah seorang lupa maka seorang lagi bisa mengingatkannya. Hal ini berbeda dengan lupa sehingga makan atau minum yang dapat terjadi secara spontanitas tanpa ada rencana sebelumnya.
Banyak sekali permasalahan yang berkaitan dengan puasa selain yang penulis sebutkan di atas, namun penulis tidak akan mengkaji semuanya, akan tetapi lebih difokuskan kepada dua pembahasan yang dianggap dapat mewakili yaitu berbuka puasa karena kesengajaan dan tidak sengaja. Penjelasan tentang berbuka dengan tidak sengaja (lupa) telah penulis jelaskan di atas.
Adapun berbuka puasa secara sengaja dapat dikategorikan kepada berbuka puasa yang diwajibkan, dibolehkan dan yang tidak dibolehkan. Ketentuan diwajibkan berbuka puasa yaitu kepada wanita yang sedang haid dan nifas maka bagi keduanya harus berbuka puasa dan meng-qada’-nya pada hari yang lain setelah bulan Ramadan. Sedangkan berbuka yang dibolehkan dalam agama adalah seperti karena sakit dan dalam perjalanan maka bagi orang yang sakit apabila ia telah sembuh, ia harus meng-qada’-nya pada hari yang lain, namun apabila sakitnya tergolong sakit yang lama atau bahkan tidak dapat sembuh maka orang tersebut harus memberi makan kepada orang miskin sebanyak puasa yang ditinggalkannya yaitu satu mud (sekitar tiga kaleng susu) beras atau sejenisnya kepada orang miskin sejumlah puasa yang ditinggalkannya. Bagi orang yang sakit dan meninggal sebelum sakitnya sembuh maka baginya tidak dibebankan apa-apa.  Namun jika ia meninggal dalam keadaan ia memungkinkan meng-qada’-nya, jumhur ulama berpendapat bahwa ahli waris tidak wajib menggantikan puasanya bahkan menurut Syafi’i dalam qawl jadīd-nya tidak sah puasa wali tersebut karena puasa merupakan ibadah badaniyyah semata-mata yang diwajibkan oleh Allah dan merupakan ibadah inti, jadi tidak dapat digantikan oleh siapapun baik ketika hidup atau setelah meninggal sama seperti salat. Syafi’i berpedoman pada hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Nasa’ī:
عن ابن عباس عن النبي أنه قال: "لا يصلي أحد عن أحد ولا يصوم أحد عن أحد ولكن يطعم عنه مكان كل يوم مدا من من حنطة." 
Artinya: Dari Ibn ‘Abbas dari Nabi, beliau bersabda: “Tidak melakukan salat oleh seseorang untuk menggantikan salat orang lain dan tidak berpuasa untuk menggantikan puasa orang lain, akan tetapi memberi makan setiap hari satu mud gandum”. (HR. Al-Nasa’ī).
Adapun Hanabilah berpendapat boleh bagi wali berpuasa untuk mayit karena itu lebih hati-hati dalam membebaskan tanggungan mayit.  Dalam kaitan inilah ulama mazhab sering sekali menyertakan kafarat salat dengan beragumentasi pada fidyah puasa yang dikeluarkan oleh ahli waris terhadap keluarganya yang meninggal. Hadis yang riwayat al-Nasa´ī di atas menunjukkan bahwa salat dan puasa tidak dapat digantikan oleh orang lain, akan tetapi khusus berkaitan dengan puasa karena terdapat nash baik ayat Alquran maupun hadis yang dapat digantikan dengan memberi makan dan hal ini tidak ditemukan dalam kewajiban salat. Dan seandainya memberi makan tersebut juga dapat dikaitkan dengan salat, maka kewajiban memberi makan hanya dilakukan sehari sekali dan bukan untuk satu waktu salat.
Adapun orang yang bersetubuh dengan istrinya setelah fajar terbit atau siang hari bulan Ramadan, sebagaimana yang terdapat dalam hadis yang telah penulis sebutkan sebelumnya, maka keduanya wajib membayar kafarat dan meng-qada’ puasa tersebut. Kafarat puasa yang harus dibayar oleh masing-masing mereka adalah   memerdekakan seorang budak, apabila tidak mereka jumpai maka mereka harus berpuasa dua bulan berturut-turut dan jika mereka tidak sanggup maka harus memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah  ketentuan agama terhadap orang yang melanggar puasa dengan bersetubuh pada siang hari bulan Ramadan berdasarkan hadis yang telah penulis sebutkan pada pembahasan macam-macam kafarat.
Adapun ketentuan bagi wanita hamil dan menyusui adalah jika keduanya berbuka karena takut terhadap diri mereka sendiri maka wajib qada’ dan tidak ada kafarat sama seperti orang sakit. Atau keduanya takut terhadap anak mereka maka keduanya harus membayar fidyah.  Inilah beberapa ketentuan yang ditetapkan di dalam agama bagi orang yang melaksanakan ibadah puasa.
2. Ibadah Haji
Ibadah lainnya yang memiliki ketentuan harus membayar tebusan apabila amalan ibadahnya tidak sempurna atau luput dari pelaksanaan yaitu ibadah haji. Ibadah yang disyari’atkan Allah dalam surat Āli ‘Imran ayat 97:
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ.
Artinya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahīm; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban menusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
Ibadah yang menurut pendapat jumhur ulama diwajibkan pada tahun keenam Hijriah dan hanya diwajibkan sekali seumur hidup ini merupakan ibadah yang juga membutuhkan tenaga, keamanan, dan kesanggupan finansial yang memadai. Banyaknya ketentuan yang harus dijalankan dan dipatuhi membutuhkan kepada hal tersebut. Faktor internal dan eksternal juga sangat mempengaruhi kualitas haji yang dilaksanakan. Faktor internal baik sengaja atau tidak, contoh yang tidak sengaja seperti lupa, haid dan nifas sering kali dialami oleh orang yang berhaji sehingga banyak amalan ibadah hajinya yang harus ditutupi dengan cara lain seperti membayar kafarat dan lain sebagainya. Adapun faktor internal yang dialami seseorang yang berhaji karena sengaja adalah seperti orang yang sengaja meninggalkan salah satu wajib haji seperti bermalam di Muzdalifah. 
Sedangkan faktor eksternal yang mungkin terjadi adalah tantangan cuaca, terhalang musuh, bersinggungan dengan orang banyak dan lain-lain yang kadang tidak sedikit menimbulkan jatuh sakit atau bahkan meninggal dunia yang menjadikan orang tersebut gagal menyempurnakan ibadah haji.
Berkaitan dengan faktor-faktor tersebut yang menjadikan seseorang tidak dapat menyempurnakan hajinya, agama telah menentukan beberapa ketentuan bagi orang tersebut. Ketentuan ini ditentukan dalam Alquran dan juga hadis Nabi SAW. Di antara ketentuan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
Diwajibkan bayar kafarat bagi siapa saja yang melanggar ketentuan antara lain, memakai sesuatu yang berjahit karena ada hadis Nabi yang melarang memakai sesuatu yang berjahit ketika ihram untuk umrah atau haji, menutupi kepala bagi laki-laki serta muka dan kedua telapak tangan bagi perempuan, memakai minyak rambut, memotong atau mencabut rambut yang ada di badan, mencabut kuku, memakai wangi-wangian, berburu, melaksanakan akad nikah, dan berhubungan suami istri. Semua ketentuan ini haram dilakukan selama ihram dan apabila orang yang berhaji melanggar salah satu ketentuan ini maka diwajibkan membayar kafarat kecuali akad nikah hal ini dikarenakan akad tersebut tidak sah. 
Syams al-Dīn menyebutkan bahwa Abu Syuja‘ membagikan kafarat yang wajib dalam ihram ini kepada lima macam: a) Kafarat yang wajib karena meninggalkan nusuk (ibadah dalam ihram) seperti berhaji tamattu‘ (mendahulukan umrah dari haji) maka bagi orang tersebut harus menyembelih seekor kambing, jika ia tidak mendapatkannya maka harus berpuasa tiga hari di haji dan tujuh hari ketika kembali ke tanah air. b) Kafarat yang wajib dengan sebab bercukur atau memotong rambut atau bulu dan bersenang-senang. Kafarat ini boleh dipilih (takhyīr) boleh dengan seekor kambing atau berpuasa tiga hari atau bersedekah dengan tiga sa’ kepada enam orang miskin. c) Kafarat yang wajib dengan sebab terhalang oleh musuh atau lainnya untuk menyempurnakan ibadah haji yaitu ber-tahallul dan menyembelih satu ekor kambing. d) Kafarat karena membunuh binatang buruan boleh memilih, jika binatang buruan tersebut ada yang serupa maka ia harus membayarnya dengan binatang yang serupa dengannya atau dengan harganya dengan cara membeli makanan dan bersedekah ataupun dengan berpuasa tiap-tiap mud untuk satu hari. e) Kafarat yang wajib dibayar dengan sebab berhubungan suami istri dan membayarnya secara tertib yaitu satu unta, jika tidak ada maka satu sapi, jika ia tidak mendapatkannya maka dengan tujuh ekor kambing, jika belum didapatkan juga maka dihargakan setara dengan seekor unta dengan membeli makanan dan bersedekah dan jika tidak maka ia harus berpuasa untuk tiap-tiap mud satu hari dan tidak memadai penyembelihan dan memberi makan kecuali di tanah haram. 
Di antara semua bentuk kafarat di atas, hanya kafarat haji yang terlihat lebih sistematis dan terbuka. Hal ini mungkin dikarenakan pelaksanaan kafarat  ibadah haji dilakukan oleh kebanyakan orang dan secara bersama-sama sehingga lebih nampak efeknya. Sedangkan pelaksanaan kafarat-kafarat lain seperti sumpah, membunuh, zihar, dan puasa bersifat individual sehingga efeknya kurang nampak dalam masyarakat. Bahkan cenderung tidak dilaksanakan meskipun pelanggaran-pelanggaran tersebut banyak terjadi, padahal kafarat ini terdapat nash (Alquran dan hadis) yang mewajibkan untuk  dilaksanakan apabila seseorang melanggar. Lain halnya dalam kasus salat, sebagian masyarakat menganggap bahwa membayar kafarat salat sudah menjadi suatu kewajiban apabila (mayit) pernah meninggalkan salat semasa hidupnya dan mereka menentang siapa saja yang mengatakan tidak wajib membayar kafarat. Padahal dalam masalah kafarat salat ini tidak ada anjuran dari nash baik Alquran atau hadis yang sarih untuk melaksanakannya. Akan tetapi yang ada nashnya adalah perintah meninggalkan salat dan mengancam orang-orang yang tidak mau melaksanakannya.