(فصل)
وتدفع الزكاة إلى الأصناف الثمانية الذين ذكرهم الله تعالى في
كتابه العزيز في قوله تعالى: (إنما الصدقات للفقراء والمساكين والعاملين
عليها والمؤلفة قلوبهم وفي الرقاب والغارمين وفي سبيل الله وابن السبيل)
وإلى من يوجد منهم ولا يقتصر على أقل من ثلاثة من كل صنف إلا العامل.
وخمسة لا يجوز دفعها إليهم: الغني بمال أو كسب والعبد وبنو هاشم وبنو
المطلب والكافر زمن تلزم المزكي نفقته لا يدفعها إليهم باسم الفقراء
والمساكين.
ORANG YANG MENERIMA ZAKATZakat (haruslah) diberikan kepada 8 (delapan) golongan yang telah disebutkan oleh Allah di dalam firmannya: “Sesungguhnya zakat-zakati itu hanyalah diberikan kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin, para pekerja urusan zakat (amil zakat), orang-orang yang dijinakkan hatinya (karena baru memeluk Islam), hamba sahaya yang sedang berikhtiar menebus dirinya untuk jadi orang merdeka, orang-orang yang punya hutang (karena kepentingan agama), orang yang berperang untuk agama Allah (tanpa gaji dari pemerintah) dan musafir yang kehabisan bekal dalam perjalanan”, Dan kepada siapa saja yang bisa didapat dari mereka ini zakat harus diberikan, bila ternyata tak bisa didapat kesemuanya). Dan sedikitnya tidak boleh kurang dari 3 orang (yang harus diberi zakat) dari tiap golongan di atas kecuali amil (amil boleh hanya seorang).
5 (lima) orang yang zakat tak boleh diberikan kepada mereka:
(a) orang yang kaya uang atau pencaharian;
(b) hamba sahaya;
(c) Bani Hasyim;
(d) Bani Mutalib;
(e) orang kafir.
Orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungan orang yang zakat tidak boleh zakat itu diberikan kepada mereka dengan nama fakir miskin.
Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan yang telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat berikut,
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu'allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.” (QS. At Taubah: 60)
Ayat ini dengan jelas menggunakan
kata “innama”, ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan
golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.
Golongan pertama dan kedua : fakir
dan miskin.
Fakir dan miskin adalah golongan
yang tidak mendapati sesuatu yang mencukupi kebutuhan mereka.
Para ulama berselisih pendapat
manakah yang kondisinya lebih susah antara fakir dan miskin. Ulama Syafi’iyah
dan Hambali berpendapat bahwa fakir itu lebih susah dari miskin. Alasan mereka
karena dalam ayat ini, Allah menyebut fakir lebih dulu baru miskin. Ulama
lainnya berpendapat miskin lebih parah dari fakir.
Adapun batasan dikatakan fakir
menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah adalah orang yang tidak punya harta dan
usaha yang dapat memenuhi kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu
rupiah tiap harinya, namun ia sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan
tersebut atau ia hanya dapat memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh.
Sedangkan miskin adalah orang yang hanya dapat mencukupi separuh atau lebih
dari separuh kebutuhannya, namun tidak bisa memenuhi seluruhnya.
Orang yang berkecukupan tidak
boleh diberi zakat
Orang yang berkecukupan sama
sekali tidak boleh diberi zakat, inilah yang disepakati oleh para ulama. Hal
ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ
حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ
“Tidak ada satu pun bagian zakat
untuk orang yang berkecukupan.”
Apa standarnya orang kaya yang
tidak boleh mengambil zakat?
Standarnya, ia memiliki kecukupan
ataukah tidak. Jika ia memiliki harta yang mencukupi diri dan orang-orang yang
ia tanggung, maka tidak halal zakat untuk dirinya. Namun jika tidak memiliki
kecukupan walaupun hartanya mencapai nishob, maka ia halal untuk
mendapati zakat. Oleh karena itu, boleh jadi orang yang wajib zakat karena
hartanya telah mencapai nishob, ia sekaligus berhak menerima zakat. Demikian
pendapat mayoritas ulama yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu
pendapat dari Imam Ahmad.
Apa standar kecukupan?
Kecukupan yang dimaksud adalah
kecukupan pada makan, minum, tempat tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi
tanpa bersifat boros atau tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini
adalah baik kebutuhan dirinya sendiri atau orang-orang yang ia tanggung nafkahnya.
Inilah pendapat mayoritas ulama.
Bolehkah memberi zakat kepada fakir miskin yang mampu mencari nafkah?
Jika fakir dan miskin mampu
bekerja dan mampu memenuhi kebutuhannya serta orang-orang yang ia tanggung atau
memenuhi kebutuhannya secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh
mengambil zakat. Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ مُكْتَسِبٍ
““Tidak ada satu pun bagian zakat
untuk orang yang berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk
bekerja.”
Dalam hadits yang lain, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ سَوِىٍّ
“Tidak halal zakat bagi orang yang
berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya:
mampu untuk bekerja, pen)”
Berapa kadar zakat yang
diberikan kepada fakir dan miskin?
Besar zakat yang diberikan kepada
fakir dan miskin adalah sebesar kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan
orang yang mereka tanggung dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih
daripada itu. Yang jadi patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat
dikeluarkan setiap tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa menyimpan kebutuhan makanan keluarga beliau untuk
setahun. Barangkali pula jumlah yang diberikan bisa mencapai ukuran nishob
zakat.
Jika fakir dan miskin memiliki
harta yang mencukupi sebagian kebutuhannya namun belum seluruhnya terpenuhi,
maka ia bisa mendapat jatah zakat untuk memenuhi kebutuhannya yang kurang dalam
setahun.
Golongan ketiga : amil
zakat.
Untuk amil zakat, tidak
disyaratkan termasuk miskin. Karena amil zakat mendapat bagian zakat disebabkan
pekerjaannya. Dalam sebuah hadits disebutkan,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ
“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang terlilit hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.”
Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah
mengatakan bahwa imam (penguasa) akan memberikan pada amil zakat upah
yang jelas, boleh jadi dilihat dari lamanya ia bekerja atau dilihat dari
pekerjaan yang ia lakukan.
Siapakah Amil Zakat?
Sayid Sabiq mengatakan, “Amil
zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk
bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah
orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan
juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.”
‘Adil bin Yusuf al ‘Azazi
berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh
penguasa untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar
zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat
serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang
yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski
sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya.”
Syeikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak mendapatkan zakat adalah
amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk
mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu
menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja
mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan orang
biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya
bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta
zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika
mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang
yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut
mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah
mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah
dari hartanya yang lain bukan dari zakat.”
Berdasarkan paparan di atas
jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan
diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya
sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang
yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini
sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang
dipekerjakan oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil
dan mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki
kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak
untuk membayar zakat.
Golongan keempat : orang
yang ingin dilembutkan hatinya.
Orang yang ingin dilembutkan
hatinya. Bisa jadi golongan ini adalah muslim dan kafir.
Contoh dari kalangan muslim:
1. Orang yang lemah imannya namun
ditaati kaumnya. Ia diberi zakat untuk menguatkan imannya.
2. Pemimpin di kaumnya, lantas
masuk Islam. Ia diberi zakat untuk mendorong orang kafir semisalnya agar
tertarik pula untuk masuk Islam.
Contoh dari kalangan kafir:
1. Orang kafir yang sedang
tertarik pada Islam. Ia diberi zakat supaya condong untuk masuk Islam.
2. Orang kafir yang ditakutkan
akan bahayanya. Ia diberikan zakat agar menahan diri dari mengganggu kaum
muslimin.
Golongan kelima : pembebasan
budak.
Pembebasan budak yang termasuk di
sini adalah: (1) pembebasan budak mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya
ingin merdeka dengan melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim,
(3) pembebasan tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir.
Golongan keenam : orang
yang terlilit utang.
Yang termasuk dalam golongan ini
adalah:
Pertama : Orang yang
terlilit utang demi kemaslahatan dirinya.
Namun ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi:
1. Yang berutang adalah seorang
muslim.
2. Bukan termasuk ahlu bait
(keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
3. Bukan orang yang bersengaja
berutang untuk mendapatkan zakat.
4. Utang tersebut membuat ia
dipenjara.
5. Utang tersebut mesti dilunasi
saat itu juga, bukan utang yang masih tertunda untuk dilunasi beberapa tahun
lagi kecuali jika utang tersebut mesti dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan
zakat.
6. Bukan orang yang masih
memiliki harta simpanan (seperti rumah) untuk melunasi utangnya.
Kedua : Orang yang
terlilit utang karena untuk memperbaiki hubungan orang lain. Artinya, ia
berutang bukan untuk kepentingan dirinya, namun untuk kepentingan orang lain.
Dalil dari hal ini sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ
الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِثَلَاثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ بِحَمَالَةٍ
بَيْنَ قَوْمٍ فَسَأَلَ فِيهَا حَتَّى يُؤَدِّيَهَا ثُمَّ يُمْسِكَ
“Sesungguhnya permintaan itu
tidak halal kecuali bagi tiga orang; yaitu orang laki-laki yang mempunyai
tanggungan bagi kaumnya, lalu ia meminta-minta hingga ia dapat menyelesaikan
tanggungannya, setelah itu ia berhenti (untuk meminta-minta).”
Ketiga : Orang yang
berutang karena sebab dhoman (menanggung sebagai jaminan utang orang lain).
Namun di sini disyaratkan orang yang menjamin utang dan yang dijamin utang
sama-sama orang yang sulit dalam melunasi utang.
Golongan ketujuh : di jalan
Allah.
Yang termasuk di sini adalah:
Pertama : Berperang di
jalan Allah.
Menurut mayoritas ulama, tidak
disyaratkan miskin. Orang kaya pun bisa diberi zakat dalam hal ini. Karena
orang yang berperang di jalan Allah tidak berjuang untuk kemaslahatan dirinya
saja, namun juga untuk kemaslahatan seluruh kaum muslimin. Sehingga tidak perlu
disyaratkan fakir atau miskin.
Kedua : Untuk kemaslahatan
perang.
Seperti untuk pembangunan benteng
pertahanan, penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian
upah pada mata-mata baik muslim atau kafir yang bertugas untuk memata-matai
musuh.
Golongan kedelapan : ibnu
sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal di perjalanan.
Yang dimaksud di sini adalah
orang asing yang tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia
dapat melanjutkan perjalanan ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi
zakat kecuali bila memenuhi syarat: (1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait
(keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada
saat itu sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia
adalah orang yang berkecukupan, (3) safar yang dilakukan bukanlah safar
maksiat.[20]
Memberi Zakat untuk
Kepentingan Sosial dan kepada Pak Kyai atau Guru Ngaji?
Para fuqoha berpendapat tidak
bolehnya menyerahkan zakat untuk kepentingan sosial seperti pembangunan jalan,
masjid dan jalan. Alasannya karena sarana-sarana tadi bukan jadi milik
individual dan dalam surat At Taubah ayat 60 hanya dibatasi diberikan kepada delapan
golongan tidak pada yang lainnya.
Begitu pula tidak boleh
menyerahkan zakat kepada pak Kyai atau guru ngaji kecuali jika mereka termasuk
dalam delapan golongan penerima zakat yang disebutkan dalam surat At Taubah
ayat 60.
Menyerahkan Zakat kepada Orang
Muslim yang Bermaksiat dan Ahlu Bid’ah
Orang yang menyandarkan diri pada
Islam, ada beberapa golongan:
1. Muslim yang taat dan
menjalankan syariat Islam. Maka tidak meragukan lagi bahwa golongan ini yang
pantas diberikan zakat. Jadi seharusnya zakat diserahkan pada orang yang
benar-benar memperhatikan shalat dan ibadah wajib lainnya.
2. Termasuk ahlu bid’ah dan
bid’ahnya adalah bid’ah yang sifatnya kafir. Orang seperti ini tidak boleh
diberikan zakat pada dirinya. Misalnya adalah bid’ah mengakui ada nabi ke-26.
3. Ahli bid’ah (yang sifatnya
tidak kafir) dan ahli maksiat. Jika diketahui dengan sangkaan kuat bahwa ia
akan menggunakan zakat tersebut untuk maksiat, maka tidak boleh memberikan
zakat pada orang semacam itu.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Sudah seharusnya setiap orang memperhatikan orang-orang yang berhak mendapakan
zakat dari kalangan fakir, miskin, orang yang terlilit utang dan golongan
lainnya. Seharusnya yang dipilih untuk mendapatkan zakat adalah orang yang
berpegang teguh dengan syari’at. Jika nampak pada seseorang kebid’ahan atau
kefasikan, ia pantas untuk diboikot dan mendapatkan hukuman lainnya. Ia sudah
pantas dimintai taubat. Bagaimana mungkin ia ditolong dalam berbuat
maksiat.”
Wallahu a'lam,