Wednesday, December 6, 2017

ZAKAT PERTANIAN

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 
(فصل)
 ونصاب الزروع والثمار خمسة أوسق وهي: ألف وستمائة رطل بالعراقي وفيما زاد بحسابه وفيها إن سقيت بماء السماء أو السيح العشر وإن سقيت بدولاب أو نضح نصف 
العشر
Nisah hasil pertanian dan buah-buahan itu 5 ausuq yaitu 1600 kati menurut neraca negeri Irak.[1] Untuk selebihnya (harus dizakati) menurut perhitungannya. Dan untuk jumlah 5 ausuq tersebut, jika diairi dengan air hujan atau air sungai (yang mengalir sendiri ke sawah) maka zakatnya sepersepuluhnya (10%). Jika diairi (dengan air sungai atau perigi yang ditimba) dengan kerekan atau alat penyiram (yang digerakkan oleh tenaga binatang) maka zakatnya setengahnya sepersepuluh (5%).


Allâh Azza wa Jalla telah memberikan karunia kepada kita dalam aneka ragam kenikmatan, diantaranya hasil yang tumbuh dan keluar dari bumi. Bentuknya beragam, ada hasil pertanian dan buah-buahan, madu, harta terpendam dan barang tambang. Semua ini tentunya ada hak-hak yang harus ditunaikan. Tentunya semua harus dengan dasar syariat yang benar agar jangan sampai mengambil yang bukan haknya atau menahan yang sudah menjadi hak Allâh Subhanahu wa Ta’ala atasnya.
Berikut penjelasan singkat tentang permasalahan ini, semoga dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat Islam yang umumnya sudah jauh dari syariat Islam yang benar.
KEWAJIBAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN
Zakat Hasil pertanian disyariatkan dalam Islam berdasarkan al-Qur`ân dan as-Sunnah serta Ijmâ’. Diantara dasar tersebut :
1. Firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allâh Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [al-Baqarah/2:267]
2. Firman Allâh Azza wa Jalla :
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. [al-An’am/6:141]
3. Hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ وَالْعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ باِلنَّضْحِ: نِصْفُ الْعُشُرِ
Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR al-Bukhâri]
4. Hadits Jâbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فِيْمَا سَقَتِ الأَنْـهَارُ وَالْغَيْمُ: الْعُشُوْرُ، وَفِيْمَا سُقِيَ بِالسَّانِيَةِ: نِصْفُ اْلعُشُرِ
Semua yang diairi dengan sungai dan hujan maka diambil sepersepuluh dan yang diairi dengan disiram dengan pengairan maka diambil seperduapuluh [HR Muslim]
5. Hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
بَعَثَنِيّ رَسُوْلُ اللهِ n إِلَى الْيَمَنِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ آخُذَ مِمَّا سَقَتِ السَّمَاءُ: الْعُشُرَ، وَفِيْمَا سُقِيَ باِلدَّوَالِيْ: نِصْفَ الْعُشُرِ
Rasûlullâh mengutusku ke negeri Yaman lalu memerintahkan aku untuk mengambil dari yang disirami hujan sepersepuluh dan yang diairi dengan pengairan khusus maka seperduapuluh [HR. an-Nasâ’i dan dishahihkan al-Albâni rahimahullah dalam Shahîh Sunan an-Nasâ`i 2/193]
Sedangkan Ijma’ telah menetapkan kewajiban zakat pada gandum, anggur kering dan kurma sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Mundzir rahimahullah dan Ibnu Abdilbarr rahimahullah serta Ibnu Qudâmah rahimahullah.[1]
SYARAT KEWAJIBAN ZAKAT PADA HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN
a. Berupa Biji-bijian atau Buah-buahan.
Ini berdasarkan hadits Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu secara marfu’ yang berbunyi:
لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَلاَ ثَمَرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ…
Tidak ada (kewajiban) zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausâq (lima wasaq) [HR Muslim]
Hadits ini menunjukkan adanya kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma, selainnya tidak dimasukkan disini. [Lihat al-Kâfi karya Ibnu Qudamah 2/131]
b. Bisa ditakar karena diukur dengan wasq yaitu satuan alat takar, seperti dalam hadits diatas. Syarat ini masih diperselisihkan para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyanggah persyaratan dapat ditakar. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa syarat “dapat ditakar” itu hanya ada pada komoditi ribawi saja agar terwujud kesetaraan yang mu’tabar. Dan syarat ini tidak berlaku dalam masalah zakat. Beliau rahimahullah merajihkan pendapat yang menetapkan syarat wajib zakat pada barang yang keluar dari bumi hanyalah dapat disimpan (al-Iddikhâr), karena adanya pengertian yang sesuai dengan kewajiban zakat. Berbeda dengan takaran, karena ia sekedar satuan ukuran semata dan timbanganpun sama artinya dengannya. (lihat al-Ikhtiyârât al-fiqhiyat, hlm 149 dan Shahîh Fiqhissunnah 2/42). Yang rajih –wallâhu a’lam- pensyaratan dapat ditakar adalah mu’tabar karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan takaran wasaq dalam menentukan nishab zakat hasil pertanian dan perkebunan ini. Oleh karena itu, Syaikh Prof.DR. Shâlih bin Abdillah Al Fauzân –hafizhahullâh- menyatakan, “Diwajibkan zakat pada hasil perkebunan seperti korma, Anggur kering dan sejenisnya dari semua yang ditakar dan dapat disimpan lama (Iddikhâr). [al-Mulakhash al-Fiqh 1/233].
c. Dapat disimpan, karena semua komoditi yang disepakati dikenai kewajiban zakat berupa komoditi yang bisa disimpan. Oleh karena itu diwajibkan zakat pada semua biji-bijian dan buah-buahan yang dapat ditakar dan disimpan, seperti gandung, kurma, anggur kering (Zabib) dan lain-lainnya. (lihat al-Kâfi, 2/132).
d. Tumbuh dengan usaha dari manusia. Tanaman yang tumbuh liar tidak ada zakatnya, karena bukan menjadi kepemilikannya secara resmi. Syarat ini diungkapkan dengan istilah:
وَيُعْتَبَرُ أَنْ يَكُوْنَ النِّصَابُ مَمْلُوْكاً لَهُ وَقْتَ وُجُوْبِ الزَّكَاةِ
Dan nishab yang dianggap adalah nishab yang menjadi miliknya ketika waktu kewajiban zakat [lihat asy-Syarhul Mumti’ 6/78].
e. Mencapai nishab yaitu seukuran 5 wasaq berdasarkan sabda beliau :
لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَلاَ ثَمَرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ…
Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq) [HR Muslim].
Satu wasaq sama dengan enampuluh sha’ (60 sha’) dan satu sha’ sama dengan 4 mud. Satu mudnya adalah seukuran penuh dua telapak tangan orang yang sedang. Lima wasaq yang dijadikan standar adalah setelah pembersihan biji-bijian dan kering pada buah-buahan. [al-Mughni, 4/162]
Dalam masalah ukuran nishab ini para Ulama terjadi perbedaan pendapat dalam dua pendapat:
a. Zakat pertanian dan buah-buahan tidak diwajibkan hingga mencapai 5 wasaq. Ini adalah pendapat mayoritas Ulama. Diantara mereka adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , Jâbir Radhiyallahu anhu, Abu Umâmah bin Sahl Radhiyallahu anhu, Umar bin Abdulaziz, Jâbir bin Zaid, al-Hasan al-Bashri, ‘Atha’, Makhûl, al-Hakam, an-Nakhâ’i, Mâlik, ats-tsauri, al-‘Auza’i, Ibnu Abi Laila, asy-Syâfi’i, Abu Yûsuf , Muhammad bin al-Hasan dan banyak Ulama lainnya. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Kami belum tahu seorangpun yang menyelisihi mereka kecuali Mujâhid dan Abu Hanîfah serta pengikutnya.”[al-Mughni 4/161]
b. Mujâhid rahimahullah dan Abu Hanîfah rahimahullah serta pengikutnya berpendapat bahwa zakat diwajibkan baik sedikit maupun banyak, karena keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فِيْمَا سَقَتِ السَّمَاءُ: الْعُشُرُ
Semua yang ditanam dengan tadah hujan dikenai seper sepuluh.
Juga karena dalam zakat hasil bumi ini tidak menggunakan standar haul (genap setahun) maka tentunya juga tidak menggunakan standar nishab.
Sementara itu, Ibnu Qudâmah rahimahullah dengan tegas menyatakan pilihannya pada pendapat pertama dengan menyatakan, “Kami memiliki dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima wasaq). [Muttafaqun ‘Alahi]
Hadits yang bersifat ini khusus ini yang wajib didahulukan dan hadits ini mentakhsish (mengkhususkan) keumuman yang mereka riwayatkan tersebut.” [al-Mughni, 4/161].
Oleh karena itu, jelaslah kebenaran pendapat pertama karena adanya dalil yang cukup tegas dalam masalah nishab. Wallahu a’lam.
MENCAMPUR HASIL BUMI DALAM SETAHUN DALAM MENYEMPURNAKAN NISHAB
Sudah diketahui bersama bahwa buah kurma memiliki banyak spesies, ada sukkari, barkhi dan khullash serta yang lainnya. Untuk menyempurnakan, maka spesies-spesies itu dicampur dan disatukan. Demikian juga misalnya beras dengan ragam spesiesnya. Apabila seorang memiliki area persawahan yang tersebar dibeberapa lokasi lalu ditanami padi dengan spesies yang berbeda-beda, maka hasil panennya dihitung semuanya tanpa membedakan spesiesnya.. Apabila sudah mencapai nishab, maka diwajibkan membayar zakat. Demikian juga bila panennya lebih dari sekali, maka dicampurkan panen selama setahun lalu zakatnya ditunaikan.
Namun bila jenisnya berbeda seperti kurma dengan zabib (anggur kering/kismis), maka itu tidak dicampur dalam menghitung nishabnya.
Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat diantara para Ulama pada selain biji-bijian dan atsman (emas dan perak) untuk tidak disatukan satu jenis dengan jenis yang lainnya dalam penyempurnaan nishab. Hewan ternah ada tiga jenis yaitu onta, sapi dan kambing. Tidak dicampur satu jenis dari hewan ternak tersebut dengan lainnya dan buah-buahan tidak dicampur dengan buah lainnya. Sehingga kurma tidak dicampur dengan zabib (anggur kering) dan kacang (lauz) tidak dicampur dengan kacang fustaq serta tidak sesuatu dari hal-hal ini dicampur kepada lainnya. Atsmân (emas dan perak) tidak dicampur dengan hewan ternak dan tidak juga dengan biji-bijian dan buah-buahan. Tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka bahwa spesies dari jenis-jenis tersebut dicampur dalam penyempurnaan nishab. Kami tidak mengetahui perbedan diantara mereka juga dalam barang dagangan dicampur dengan atsmân dan atsmân dicampur dengan barang dagangan, kecuali imam asy-Syâfi’i rahimahullah yang tidak menggabungnya kecuali kepada jenis yang dijadikan barang dibeli; karena nishabnya mu’tabar”. [al-Mughni, 4/203-204]
Spesies biji-bijian dari satu jenis digabungkan, sehingga jenis gandum yang beragam digabungkan. Demikian juga jenis beras dengan rajalele, sadani, mentik wangi, IR dan lainnya digabungkan untuk menyempurnakan nishab. Demikian juga bila seorang memiliki beberapa lahan di tempat yang berbeda, maka digabungkan hasil dari semua lahan yang ada untuk menyempurnakan nishab.
Ibnu Qudâmah rahimahullah menjelaskan bahwa Ulama berbeda pendapat dalam menggabungkan biji-bijian untuk menyempurnakan nishab dan menyatukan emas dan perak kepada yang lainnya. Diriwayatkan dari imam Ahmad tiga riwayat yaitu :
a. Riwayat pertama yaitu tidak digabung satu jenis biji-bijian dengan lainnya dan nishabnya dengan standar dalam satu jenis tersebut saja. Ini adalah pendapat ‘Atha’, Makhûl, Ibnu Abi laila, al-Auzâ’i, ats-Tsauri, al-Hasan bin Shalih, Syuraik, asy-Syâfi’i, Abu Ubaid, Abu Tsaur dan ashâb ar-ra’i; karena biji-bijian itu beda jenisnya sehingga nishabnya diperhitungkan dalam setiap jenisnya seperti buah-buahan dan hewan ternak.
b. Riwayat kedua: biji-bijian seluruhnya digabungkan dalam menyempurnakan nishab. Ini adalah pendapat Ikrimah dan Ibnu Mundzir menceritakannya dari Thawûs.
c. Riwayat ketiga: al-hinthah digabungkan dengan gandum dan al-quthniyat juga. al-Quthniyat adalah jenis biji-bijian berupa ‘adas, al-himsh, beras, as-simsim, ad-dakhn dan kacang tanah. Ini disampaikan al-Khiraqi dari Ahmad dan ini adalah madzhab imam Mâlik.
Setelah menyampaikan hal ini Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan, “Riwayat pertama lebih rajih –insya Allâh-, karena biji-bijian tersebut beda jenisnya sehingga mungkin dibedakan, tidak digabungkan seperti buah-buahan. [al-Mughni, 4/204-205. (Lihat juga asy-Syarhu al-Mumti’ 6/77)]
KAPAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN DITUNAIKAN?
Zakat pada biji-bijian mulai diwajibkan apabila biji-bijian itu sudah kuat dan tahan bila di tekan. Sedangkan pada buah-buahan adabila sudah layak konsumsi seperti sudah memerah atau menguning pada buah korma. Penjelasan tentang layak konsumsi ini ada dalam beberapa hadits diantaranya :
a. Hadits Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu secara marfû’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Haditsnya berbunyi :
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى تُزْهَي. قِيْلَ: وَمَا زَهْوَهَا؟ قَالَ: تَحْمَارُّ وتُصْفَارُّ
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga matang. Ada yang bertanya, ‘Apa tanda matangnya?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Memerah dan menguning.’ [Muttafaqun ‘Alaih]
b. Hadits Anas Radhiyallahu anhu juga , beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ، وَعَنْ بَيْعِ اْلحَبِّ حَتَّى يَشْتَدَّ
Nabi melarang menjual anggur hingga berwarna kehitaman dan (melarang) dari jual beli biji-bijian hingga masak. [HR Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dan dishahihkan al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abi Daud 2/344]
c. Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata :
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنْ بَيْعِ الثِّمَارِ حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُهَا، نَهَى اْلبَائِعَ وَاْلمُبْتَاعَ. وَفِيْ لَفْظٍ لِلْبُخَارِيْ: كَانَ إِذَا سُئِلَ عَنْ صَلاَحِهَا قَالَ: حَتَّى تَذْهَبَ عَاهَتُهَا
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga nampak layak. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang yang jual dan yang membeli. (Dalam lafadz Imam al-Bukhâri) : Apabila Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang layaknya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Hingga hamanya hilang’ [Mmuttafaqun ‘Alaihi].
Apabila buah-buahan sudah nampak layak dikonsumsi atau biji-bijian sudah matang, maka diwajibkan padanya zakat, ini menurut pendapat yang rajih dalam hal ini. Sebagian Ulama ada yang berpegang kepada keumuman firman Allâh Azza wa Jalla pada surat al-An’âm ayat ke-141 untuk mewajibkan zakat pertanian pada saat panennya. Namun mayoritas Ulama memandang waktu wajibnya zakat pertanian adalah ketika sudah matang dan pada hasil perkebunan ketika layak konsumsi. [lihat al-Mughni 4/169 dan Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’ 4/89].
Apa manfaat dari mengetahui waktu kewajiban zakat ini ? Manfaatnya adalah pemilik seandainya beraktifitas pada buah-buahan atau biji-bijian tersebut sebelum terkena kewajiban zakat maka dia tidak berdosa. Seperti seseorang yang mengkonsumsi hewan ternaknya atau menjualnya sebelum genap setahun maka ia tidak mengapa dan tidak dikenai hukuman apapun. Dia tidak berdosa dengan syarat tidak ada maksud atau niatan untuk lari dari kewajiban zakat. Apabila ia sengaja melakukan sesuatu dengan niatan dan maksud lari dari kewajiban zakat maka kewajiban zakat tetap berlaku dan tidak gugur. Tidak akan dianggap masuk masa wajib zakat hingga hasil bumi tersebut masuk kelumbung atau tempat penyimpanan. Seandainya hasil bumi tersebut hilang atau berkurang sebelum waktu tersebut tanpa ada kesengajaan, maka tidak ada zakat padanya (bila tidak sampai sisanya nishab) walaupun sudah ditebas atau belum. Apabila hilang setelah masuk dalam penyimpanan, menurut Ibnu Qudâmah hukumnya menjadi tanggungannya, karena kewajiban sudah masuk dalam tanggung jawabnya, sehingga menjadi hutangnya. [lihat al-Mughni, 4/169-171]
Berdasarkan hal ini maka hasil pertanian dan perkebunan memiliki tiga keadaan:
a. Hilang atau lenyap sebelum masa kewajiban zakat yaitu sebelum biji-bijian menjadi masak dan sebelum buah-buahan layak konsumsi, maka pemiliknya tidak dikenakan apa-apa, baik ada unsur kesengajaan atau keteledoran atau tanpa keduanya, kecuali bila sengaja untuk lari dari kewajiban zakat.
b. Hilang atau lenyap setelah masa wajib zakat namun belum sampai disimpan dalam lumbung atau tempat penyimpanan. Maka hukumnya dirinci, bila karena kesengajaan atau keteledoran pemilik maka ia wajib mengganti zakat tersebut dan bila tanpa kesengajaan dan keteledoran maka tidak ada kewajiban mengganti zakat tsrebut.
c. Hilang atau lenyap setelah disimpan, maka imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan wajib menunaikan zakatnya dalam semua keadaan, baik ada kesengajaan atau tidak, karena zakat sudah masuk masa wajibnya dan menjadi tanggung jawabnya. (al-Mughni 4/170-171). Sedangkan syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan, “Yang benar dalam keadaan yang ketiga ini adalah tidak wajib zakat selama tidak ada unsur kesengajaan atau keteledoran; karena harta yang ada padanya setelah disimpan ditempat penyimpanan adalah amanah. Apabila ada kesengajaan atau keteledoran seperti menunda-nunda pembayaran zakatnya sampai harta tersebut dicuri atau yang sejenisnya, maka ia bertanggung jawab (menggantinya). Apabila tidak ada kesengajaan atau keteledoran dan telah berusaha semampunya untuk segera membayarnya namun hilang juga dengan adanya usaha yang benar dalam memelihara dan menjaganya, maka tidak ada kewajiban menggantinya.[asy-Syarhu al-Mumti’ 6/82].
UKURAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Ukuran zakat hasil pertanian dan perkebunan ini dapat dirinci dalam 5 keadaan:
1. Diwajibkan mengeluarkan seper sepuluh (10 %) apabila disiram tanpa pembiayaan (tadah hujan dan sejenisnya), seperti pertanian tadah hujan, pertanian menggunakan sungai dan mata air
2. Wajib mengeluarkan seperduapuluh (5 %) apabila diairi dengan pembiayaan, berdasarkan hadits Abdullâh bin Umar Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فِيْمَا سَقَتِ السّماءُ وَاْلعُيُوْنُ، أَوْ كَانَ عَثَريّاً : الْعُشُرُ، وَمَا سُقِيَ بِالنَّضْحِ: نِصْفُ الْعُشُرِ
Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar (atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil seperduapuluh. [HR al-Bukhâri]
3. Diwajibkan mengeluarkan 7,5 % apabila diairi dengan pembiayaannya 50 % dan tadah hujannya 50 %. Hal ini sudah menjadi Ijma’ (kesepakatan) para Ulama sebagaimana disampaikan Ibnu Qudâmah dalam al-Mughni 4/165. Lihat juga ar-Raudh al-Murbi’ dengan Hasyiyah Ibnu Qâsim 2/277.
4. Yang diairi dengan pembiayan dan non pembiayaan secara bergantian. Contohnya sawah yang diairi dengan irigasi yang bayar dan juga terkena hujan, maka dilihat mana yang paling berpengaruh pada pertumbuhan tanaman tersebut. Bila yang tadah hujan yang labih dominan maka diwajiban mengeluarkan 10 % dan bila sebaliknya maka diwajibkan 5 % saja.
5. Apabila tidak diketahui ukuran mana yang dominan maka diwajibkan mengeluarkan 10 %, karena pada asalnya diwajibkan zakat 10 % hingga diketahui dengan jelas bahwa itu diairi dengan pembiayaan. (al-Mughni 4/166).
Demikian beberapa hukum seputar zakat hasil pertanian dan perkebunan, semoga bermanfaat

ZAKAT EMAS DAN PERAK

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


(فصل)
 ونصاب الذهب عشرون مثقالا وفيه ربع العشر وهو نصف مثقال وفيما زاد بحسابه ونصاب الورق مائتا درهم وفيه ربع العشر وهو خمسة دراهم وفيما زاد بحسابه ولا تجب في الحلي المباح زكاة.
Nisab emas adalah 20 miskal (96 gram). Untuk jumlah ini zakatnya sepertempatnya sepersepuluh (2.5%) yaitu sama dengan 1/2 miskal. Untuk selebihnya (dizakati) menurut perhitungan.
Nisab perak adalah 200 dirham (200 talen atau 672 gram) untuk jumlah ini zakatnya seperempatnya sepersepuluh (2.5%) yaitu (sama dengan) 5 dirham. Untuk selebihnya (dizakati) menurut perhitungannya. Untuk perhiasan emas perak yang mubah (diperbolehkan) tidaklah wajib dizakati.

Syekh Zakariya al-Anshari menjelaskan sedikit hikmah dari kewajiban zakat emas dan perak, beliau berkata:

وَالْمَعْنَى فِي ذَلِكَ أَنَّ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ مُعَدَّانِ لِلنَّمَاءِ كَالْمَاشِيَةِ السَّائِمَةِ (وَلَا) زَكَاةَ (فِي غَيْرِهِمَا مِنْ) سَائِرِ (الْجَوَاهِرِ) وَنَحْوِهَا كَيَاقُوتٍ وَفَيْرُوزَجَ وَلُؤْلُؤٍ وَمِسْكٍ وَعَنْبَرٍ لِأَنَّهَامُعَدَّةٌ لِلِاسْتِعْمَالِ كَالْمَاشِيَةِ الْعَامِلَةِ وَلِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ الزَّكَاةِ إلَّا فِيمَا أَثْبَتَهَا الشَّرْعُ فِيهِ

“Hikmah zakat wajib atas emas dan perak adalah sesungguhnya keduanya dipersiapkan untuk berkembang sebagaimana binatang ternak yang sâimah (tidak dipekerjakan). Selain dua barang itu, tidak ada kewajiban zakat atas barang-barang berharga (berupa logam atau sejenisnya) seperti yaqut, fairuz, intan, misik dan ‘ambar karena sesungguhnya barang-barang tersebut dipersiapkan untuk dipakai sebagaimana binatang ternak yang dipekerjakan, dan karena sesungguhnya hukum asal dalam syariat adalah tidak ada kewajiban zakat kecuali pada harta yang telah ditetapkan oleh syariat.” (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cetakan ketiga, 2000, jilid 5, halaman: 74)

Karena Islam memandang emas dan perak termasuk dari harta yang memiliki potensi berkembang sebagaimana binatang ternak, maka ia mewajibkan zakat atas keduanya bila telah mencapai nishab dan haul (satu tahun), baik berupa emas dan perak batangan, leburan, logam, bejana, suvenir, ukiran, dan lain sebagainya. 

Namun jika emas dan perak dipergunakan sebagai perhiasan yang halal seperti kalung, anting, dan gelang yang dipakai oleh para wanita, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya kecuali menurut mazhab Hanafi.  (Ibn al’Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cetakan pertama, 2001, jilid 3, halaman: 227)

Sedangkan perhiasan emas dan perak yang dipergunakan secara haram, seperti perhiasan emas yang dipakai oleh orang laki-laki, atau perhiasan yang dikenakan melampaui batas kewajaran, wajib dizakati. Menurut sebagian ulama, batas kewajaran dalam menggunakan perhiasaan emas atau perak adalah apabila berat perhiasan yang dikenakan tidak melebihi 720 gram (200 mitsqal). (Syekh Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh Ibn al-Qasim, Semarang, Toha Putra, cetakan ketiga, 2003, jilid 1, halaman: 273)

Kewajiban zakat emas dan perak ditemukan dasarnya pada hadits riwayat Abu Dawud rahimahullah:

فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ ، وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَىْءٌ حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا ، فَإِذَا كَانَتْ لَكَ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ ، فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ

“Jika engkau memiliki perak 200 dirham dan telah mencapai haul (satu tahun), maka darinya wajib zakat 5 dirham. Dan untuk emas, anda tidak wajib menzakatinya kecuali telah mencapai 20 dinar, maka darinya wajib zakat setengah dinar, lalu dalam setiap kelebihannya wajib dizakati sesuai prosentasenya.” (HR. Abu Dawud)

Dalam hadits ini ditegaskan bahwa zakat emas dan perak wajib dibayarkan ketika sudah mencapai nishab dan telah melewati masa haul. Dan dari hadits ini pula dapat pifahami bahwa zakat yang dikeluarkan adalah 2,5 persen dari aset emas dan perak yang dimiliki. Sebab, 5 dirham adalah 2,5 persen dari 200 dirham, begitu pula setengah dinar adalah 2,5 persen dari 20 dinar.

Hanya saja, dalam urusan konversi (perubahan dari satuan ke satuan yang lain, dalam hal ini dari satuan mitsqal ke satuan gram) emas dan perak, para ulama berbeda pendapat. Sehingga, dalam ukuran emas dan perak tertentu, menurut sebagian ulama wajib dizakati sebab telah mencapai nishab, sedangkan menurut ulama yang lain tidak wajib zakat sebab belum mencapai nishab. Di atas telah disampaikan bahwa nishab emas murni adalah 20 dinar/20 mitsqal sedangkan nishab perak murni adalah 200 dinar. Dan berikut ini adalah tabel nishab emas murni dan perak murni setelah disesuaikan dengan beberapa hasil konvensi para ulama: