Kewajiban Jumat dimulai saat Rasulullah Saw masih berada di Mekkah, tepatnya pada waktu malam Isra’ Mi’raj. Namun belum pernah dilaksanakan di sana karena belum terpenuhinya standar jumlah orang yang merupakan salah satu syarat wajibnya Jumat. Di sisi lain, pada waktu itu dakwah Nabi SAW masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga belum memungkinkan untuk dilakukan.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menegaskan bahwa beberapa hadits shahih menunjukkan shalat Jumat difardhukan di Madinah. Pendapat sang maha guru para ulama’ ahli hadits ini tidak bertentangan dengan keterangan di atas. Pendapatnya diarahkan bahwa kewajiban Jumat baru tercapai secara sempurna di Madinah karena telah terpenuhinya syarat-syarat kewajiban menjalankannya, tidak menutup kemungkinan sebelum di Madinah shalat Jumat sudah diwajibkan namun masih terdapat udzur-udzur yang menggugurkan kewajiban menjalankannya.
Hukum shalat Jumat adalah fardlu ‘ain bagi laki-laki apabila terpenuhi syarat-syarat wajibnya. Terdapat beberapa dalil yang menegaskan hal tersebut.
Allah SWT berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ الله وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ
خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya, “Hai orang-orang beriman, apabila kamu diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah. Tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,” (Surat Al-Jumu‘ah ayat 9).
Kata “ila dzikrillah, mengingat Allah” yang diperintahkan untuk dilakukan segera dalam ayat tersebut ditafsirkan sebagai shalat Jumat. Pendapat lain menafsirkannya dengan khutbah Jumat. Secara zhahir, perintah dalam ayat “Fas’au ila dzikrillah” mengarah pada arti wajib. Larangan jual-beli dalam ayat ini semakin mempertegas kewajiban Jumat. Sebab jual-beli pada dasarnya mubah. Hukumnya bisa haram apabila berdampak pada kelalaian kewajiban Jumat sesuai dengan kaidah.
لَا يُنْهَى عَنْ فِعْلِ الْمُبَاحِ اِلَّا لِفِعْلٍ وَاجِبٍ
Artinya, “Tidak dilarang melakukan perkara mubah kecuali demi sebuah kewajiban.”
Rasulullah SAW bersabda:
لِيَنْتَهِيَنَّ
أَقْوَامٌ مِنْ وَدْعِهِمْ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللهُ عَلَى
قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنْ الْغَافِلِينَ
Artinya, “Sungguh berhentilah kaum-kaum dari meninggalkan beberapa Jumat atau sungguh Allah menutup hati mereka sehingga mereka termasuk orang-orang yang lalai,” (HR Muslim).
Dalam hadits lain disebutkan:
رَوَاحُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
Artinya, “Berangkat Jumat adalah kewajiban bagi setiap orang yang aqil baligh,” (HR An-Nasa’i dengan sanad sesuai standar syarat Imam Muslim).
Dalam riwayat lain ditegaskan:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ إلَّا أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوْ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Artinya, “Jumat adalah kewajiban bagi setiap Muslim kecuali empat orang. Hamba sahaya yang dimiliki, wanita, anak kecil, dan orang sakit,” (HR Abu Daud dengan sanad sesuai standar syarat Bukhari dan Muslim).
Demikian sejarah dan dalil kewajiban shalat Jumat. Semoga kita diberikan taufiq untuk senantiasa konsisten menjalankan shalat Jumat. Uraian ini disarikan dari Hasyiyah I’anatut Thalibin, Beirut, Dar Ibn ‘Asshashah, 2005 M, juz II, halaman 62. Wallahu a’lam.