Wednesday, December 6, 2017

BATAL PUASA

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


والذي يفطر به الصائم عشرة أشياء: ما وصل عمدا إلى الجوف والرأس والحقنة في أحد السبيلين والقيء عمدا والوطء عمدا في الفرج والإنزال عن مباشرة والحيض والنفاس والجنون والردة

Yang membatalkan puasa ada sepuluh yaitu suatu benda yang sampai dengan sengaja ke dalam perut dan kepala dan suntik ke salah satu dua jalan (kemaluan depan belakang), muntah dengan sengaja, hubungan intim (jimak/watik) secara sengaja di kemaluan wanita, keluar mani (sperma) sebab persentuhan, haid, nifas, gila, murtad

1. Memasukkan suatu benda dengan sengaja ke dalam lubang yang berhubungan dengan lambung
Sesuatu yang membatalkan puasa adalah makan, minum dan segala sesuatu yang masuk melalu lubang pada anggota tubuh yang berkesinambungan (mutasil) sampai lambung, dan memasukannya dengan unsur sengaja.
Artinya apabila perbuatan tersebut dilakukan tanpa kesengajaan atau lupa, maka tidak membatalkan puasa.
"...makan dan minumlah sampai waktu fajar tiba dengan dapat membedakan antara benang putih dan hitam..." (QS. al-Baqarah, 2: 187)
 Sedangkan dalil yang menjelaskan makan dan minum karena ketidaksengajaan (lupa) itu tidak membatalkan puasa:
"Siapa yang lupa keadaannya sedang berpuasa, kemudian ia makan dan minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang memberikan makanan dan minuman itu”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1797 dan Muslim: 1952)

2. Mengobati kemaluan dan dubur
Pengobatan yang dilakukan pada salah satu dari dua jalan (kemaluan dan dubur) atau kedua-duanya, bagi orang yang sakit, maka pengobatan yang seperti itu dapat membatalkan puasa
3. Muntah disengaja
Muntah-muntah dengan disengaja, dan apabila tanpa disengaja atau karena sakit, maka tidak membatalkan puasa seperti keterangan di atas.
Dari Abu Hurairah r.a, menuturkan, sesungguhnya Nabi s.a.w, bersabda: “siapa yang tidak sengaja muntah, maka ia tidak diwajibkan untuk mengganti puasanya, dan siapa yang sengaja muntah maka ia wajib mengganti puasanya”. (Hadits Hasan Gfarib, riwayat al-Tirmidzi: 653 dan Ibn Majah: 1666)
4. Melakukan hubungan seksual dengan sengaja
Hubungan seksual baik dilakukan pasangan suami isteri atau bukan dapat menyebabkan batalnya puasa dengan ketentuan melakukannya dalam keadaan sadar dan sengaja.
Suatu perbuatan dapat dikatakan hubungan seksual dengan batas minimal masuknya khasafah (penis) ke dalam farji (vagina), dan apabila kurang dari itu maka tidak dikatagorikan hubungan seksual dan tidak membatalkan puasa.
Hukum bagi pasangan yang berhubungan seksual saat menjalankan ibadan puasa Ramadan sangat berat.
Barang siapa melakukan hubungan seksual dengan sengaja pada saat menjalankan ibadah puasa Ramadan, sedangkan malam harinya ia berniat menjalankan puasa, maka orang tersebut berdosa dengan alasan telah merusak ibadah puasa, oleh karena itu ia diwajibkan untuk mengqadla dan membayar kifarat (memerdekakan budak perempuan mu’min) sebagai hukumnya.
Jika tidak menemukan seorang budak untuk dimerdekakan atau tidak mampu untuk memerdekakannya dari segi pembiayaan, maka menggantinya dengan berpuasa dua bulan secara berurut-urut di bulan selain bulan Ramadhan.
Apabila ia tidak mampu juga maka diwajibkan membayar fidyah untuk 60 orang fakir atau miskin.
Dan bagi tiap-tiap orang miskin mendapatkan satu mud dari makanan yang mencukupi untuk zakat fitrah (jumlahnya sesuai takaran zakat fitrah).
Apabila ia tidak mampu semuanya, maka kafarat tersebut tidak gugur dan tetap menjadi tanggungannya. Dan pada saat ia ada kemampuan untuk membayar dengan cara mencicil, maka lakukan saja dengan segera.
Dari Abu Hurairah r.a, menceritakan, seorang pria datang kepada Rasulullah s.a.w, ia berkata: “celaka aku wahai Rasulullah”, Nabi s.a.w, bertanya: “apa yang mencelakakanmu?”, pria itu menjawab: “aku telah bercampur dengan isteriku pada bulan Ramadhan”, Nabi s.a.w, menjawab: “mampukah kamu memerdekakan seorang budak?”, ia menjawab: “tidak”. Nabi s.a.w, betanya padanya: “mampukah kamu berpuasa dua bulan berturut-turut?”, pria itu menjawab: “tidak mampu”. Rasulullah s.a.w, bertanya lagi: apakah kamu memiliki makanan untuk member makan enam puluh orang miskin?”, ia menjawab; “tidak”, kemudian pria itu duduk. Lalu Nabi diberi satu keranjang besar berisi kurma, dan Rasulullah s.a.w, berkata kepadanya : “bersedekahlah dengan kurma ini”. Pria itu bertanya: “Apakah ada orang yang lebih membutuhkan dari kami?, tidak ada keluarga yang lebih membutuhkan kurma ini selain dari keluarga kami”. Nabi s.a.w. tertawa, sehingga terliuat gigi taringnya, dan Beliau bersabda: “kembalilah ke rumahmu dan berikan kurma itu pada keluargamu”. (Hadits Shahih, riwayat al-Bukhari: 1800 dan Muslim: 1870).

5. Keluar air mani sebab bersentuhan
Keluarnya air mani disebabkan bersentuhan (tanpa hubungan seksual) maka menyebabkan batalnya puasa, baik keluar dengan usaha tangan sendiri (masturbasi) atau menggunakan tangan seorang isteri yang halal.
Dengan kata lain, apabila keluar air mani tanpa bersentuhan semisal bermimpi basah maka puasanya tidak batal.
6. Haid
Haid, yaitu darah yang keluar dari kemaluan perempuan yang sudah menginjak usia batas minimal 9 tahun.
Dengan waktu haid paling cepat selam 24 jam, ghalibnya (keumuman) keluar darah selama satu minggu, paling lama selama 15 hari, dan jarak antara kedua masa haid batas minimal 15 hari.
Darah yang keluar dari kemaluan perempuan dengan cirri-ciri seperti di atas, apabila keluar di saat seorang perempuan sedang menjalankan ibadah puasa maka puasanya batal.
“Kami (kaum perempuan) diperintahkan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan, tetapi tidak diperintahkan untuk mengganti shalat yang ditinggalkan”. (Hadits Shahih, riwayat Muslim: 508)
7. Nifas
Nifas, yaitu darah yang keluar dari kemaluannya perempuan setelah proses melahirkan dengan rentang waktu sampai dua bulan (ukuran maksimal) juga dapat menyebabkan batalnya puasa, apabila keluar di saat sedang berpuasa.
8. Gila
Gila yang terjadi ketika seseorang sedang mengerjakan ibadah puasa, maka puasanya batal.
9. Murtad
Murtad, sesuatu hal yang menyebabkan seseorang keluar dari islam dengan (semisal) melakukan pengingkaran akan keberadaan Allah SWT sebagai dzat tunggal, disaat ia sedang melaksanakan ibadah puasa, maka puasanya batal. (*)

10.Memasukkan suatu benda dengan sengaja ke dalam kepala melalui lubang lubang keplala seperti telinga dan hidung

RUKUN PUASA

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


وفرائض الصوم أربعة أشياء: النية والإمساك عن الأكل والشرب والجماع وتعمد القيء 

Adapun fardhu/rukun atau tatacara puasa ada empat yaitu niat, menahan diri dari makan dan minum, jimak (hubungan intim), sengaja muntah. 

Rukun Puasa 

1. Niat

? Beberapa Permasalahan Terkait Pembahasan Niat
 Pertama: Makna Niat
Makna niat secara bahasa adalah bermaksud (القصد). Adapun secara istilah adalah,

العزم على فعل العبادة تقربا إلى الله تعالى

“Bertekad untuk melakukan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.” [Taysirul ‘Allaam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, 1/18]
 Kedua: Fungsi Niat
Niat memiliki dua fungsi:
1) Untuk membedakan tujuan ibadah, apakah karena Allah ataukah karena selain-Nya, maka ibadah yang diterima hanyalah ibadah yang ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman-Nya,

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا الله مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء

“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah saja dengan mengikhlaskan semua ibadah hanya kepada-Nya serta berpaling dari kesyirikan.” [Al-Bayyinah: 4]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا الأعْمَالُ بَالْنيَاتِ، وَإنَّمَا لِكل امرئ مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتهُ إلَى اللّه وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتهُ إلَىاللّه وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرتُهُ لِدُنيا يُصيبُهَا، أو امْرَأةيَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُه إلَى مَا هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih, atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu]
Perusak niat adalah riya’ dan sum’ah, yaitu beribadah karena ingin diperlihatkan atau diperdengarkan kepada orang lain agar mendapat pujian. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا : وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : الرِّيَاءُ ، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : إِذَا جُزِيَ النَّاسُبِأَعْمَالِهِمْ : اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاؤُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً

“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya: Apa itu syirik kecil itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda: (Syirik kecil itu) riya’; ketika amalan-amalan manusia telah dibalas pada hari kiamat, Allah ‘azza wa jalla berfirman: Pergilah kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan amalan-amalan kalian, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan dari mereka?!” [HR. Ahmad dari Mahmud bin Labid radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 951]
Dan niat yang ikhlas dalam berpuasa adalah sebab yang menjadikan ibadah puasa itu bernilai dan berpahala besar, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى

“Setiap amalan anak Adam dilipatgandakan, satu kebaikan menjadi sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali. Allah ‘azza wa jalla berfirman: Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya, karena ia telah meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan lafaz ini milik Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
Dalam riwayat lain,

يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : الصَّوْمُ لِي ، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ ، يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

“Allah ‘azza wa jalla berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya, karena ia telah meninggalkan makannya, minumnya dan syahwatnya karena Aku.” [HR. Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
2) Untuk membedakan jenis ibadah, yaitu membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya dan membedakan antara ibadah dengan kebiasaan.
Contoh pertama, membedakan antara puasa wajib dan puasa wajib lainnya, karena puasa wajib itu ada tiga macam: Puasa Ramadhan, puasa kaffaroh dan puasa nazar.
Demikian pula membedakan antara puasa wajib dan puasa sunnah, dan membedakan antara puasa sunnah dan puasa sunnah lainnya, karena puasa sunnah banyak macamnya.
Contoh kedua, membedakan antara puasa dan kebiasaan menahan lapar dan dahaga.
Maka apabila di bulan Ramadhan, hendaklah diniatkan berpuasa Ramadhan, andai seseorang berniat puasa kaffaroh atau nazar atau sunnah atau kebiasaan saja, maka tidak sah puasa Ramadhannya menurut pendapat yang paling kuat insya Allah.
Demikian pula andai seseorang berpuasa tanpa berniat sama sekali maka tidak sah puasanya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

إنَّمَا الأعْمَالُ بَالْنيَاتِ، وَإنَّمَا لِكل امرئ مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتهُ إلَى اللّه وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتهُ إلَىاللّه وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرتُهُ لِدُنيا يُصيبُهَا، أو امْرَأةيَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُه إلَى مَا هَاجَرَ إليهِ

“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang mendapatkan balasan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia mendapatkan pahala hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin ia raih, atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَقَدْ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْعِبَادَةَ الْمَقْصُودَةَ لِنَفْسِهَا كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ لَا تَصِحُّ إلَّا بِنِيَّةِ

“Dan telah sepakat ulama bahwa ibadah yang dimaksudkan karena ibadah itu sendiri seperti sholat, puasa dan haji, tidak sah kecuali dengan niat.” [Majmu’ Al-Fatawa, 18/257]
 Ketiga: Cara Berniat
Cara berniat puasa sungguh sangat mudah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

كُلُّ مَنْ عَلِمَ أَنَّ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ صَوْمَهُ فَقَدْ نَوَى صَوْمَهُ

“Setiap orang yang mengetahui bahwa besok hari termasuk bulan Ramadhan, dan ia ingin berpuasa maka sesungguhnya ia telah berniat puasa.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/215]
Dan niat tempatnya di hati, melafazkannya baik sendiri maupun berjama’ah termasuk mengada-ada dalam agama, tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak pula dari sahabat dan tabi’in, tidak juga dari imam yang empat; Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad rahimahumullaahu ta’ala.
 Keempat:  Apakah Wajib Menentukan Niat atau Boleh Berniat Secara Muthlaq?
Menentukan niat maknanya menetapkan dalam hati bahwa niatnya untuk berpuasa Ramadhan misalkan, adapun berniat secara muthlaq adalah tanpa menentukan puasa tertentu. Pendapat yang kuat insya Allah adalah wajib menentukan niat berpuasa Ramadhan apabila seseorang mengetahui bahwa bulan Ramadhan telah masuk, karena puasa wajib Ramadhan itulah yang Allah perintahkan kepadanya.
 Kelima: Bolehkah Berniat Secara Mu’allaq?
Misalkan ketika seseorang masih ragu apakah sudah masuk Ramadhan atau belum, lalu ia berniat apabila besok Ramadhan maka puasanya adalah wajib dan apabila belum masuk Ramadhan maka puasanya sunnah, ini yang dimaksud berniat secara mu’allaq (niat yang menggantung). Pendapat yang benar insya Allah adalah sah niatnya.
Namun apabila seseorang ragu akan masuknya Ramadhan hendaklah ia tidak berniat puasa Ramadhan karena ada larangan berpuasa di hari yang diragukan. Sahabat yang Mulia Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhuma berkata,

مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barangsiapa berpuasa di hari yang diragukan maka ia tidak taat kepada Abul Qoshim (Nabi Muhammad) shallallahu’alaihi wa sallam.” [HR. Al-Bukhari]
 Keenam: Waktu Berniat Puasa Wajib
Waktu berniat puasa wajib adalah di malam hari, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa tidak berniat puasa sejak malam hari maka tidak ada puasa baginya.” [HR. An-Nasaai dari Hafshah radhiyallahu’anha, Shahihul Jaami’: 6535]
Hadits yang mulia ini menunjukkan kewajiban berniat puasa di malam hari. Dan waktu malam hari adalah setelah terbenam matahari (waktu Maghrib) sampai terbit fajar (waktu Shubuh). Barangsiapa tidak berniat di malam hari maka tidak sah puasanya, kecuali orang yang baru mengetahui masuknya Ramadhan di siang hari atau baru diwajibkan atasnya puasa Ramadhan di siang hari, seperti orang yang baru masuk Islam, anak yang mencapai baligh dan orang gila yang sadar, maka pendapat yang kuat insya Allah adalah hendaklah mereka berniat pada saat itu juga dan mulai berpuasa sampai terbenam matahari, kecuali anak wanita yang mencapai baligh dengan keluarnya haid maka tidak boleh baginya berpuasa sampai suci, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
 Ketujuh: Waktu Berniat Puasa Sunnah
Adapun waktu berniat puasa sunnah maka pendapat yang kuat insya Allah adalah boleh pada siang hari, baik sebelum tergelincir matahari maupun sesudahnya sebagaimana dinukil dari sebagian sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.Berdasarkan hadits Umul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: «هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟» فَقُلْنَا: لَا، قَالَ: «فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ» ثُمَّ أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، أُهْدِيَ لَنَا حَيْسٌ فَقَالَ: «أَرِينِيهِ، فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا» فَأَكَلَ

“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menemui aku suatu hari seraya berkata: Apakah kalian punya makanan? Maka kami berkata: Tidak. Beliau pun bersabda: Kalau begitu aku berpuasa. Kemudian beliau mendatangi kami di hari yang lain, maka kami berkata: Wahai Rasulullah, kami dihadiahkan makanan haisun, beliau bersabda: ‘Perlihatkanlah makanan itu kepadaku, sungguh aku berpuasa pagi ini.’ Beliau pun makan.” [HR. Muslim]
Akan tetapi kebolehannya dengan syarat belum melakukan pembatal puasa di hari tersebut, tanpa ada khilaf ulama atas syarat ini dan pahala puasanya dimulai sejak berniat, maka orang yang berniat puasa sunnah di pagi hari lebih afdhal daripada yang berniat di siang hari
Oleh karena itu puasa sunnah yang ditentukan jenisnya seperti puasa Senin Kamis, Asyuro, Arafah, enam hari di bulan Syawwal dan lain-lain hendaklah diniatkan sejak malam hari agar mendapat pahala puasa satu hari penuh, sebab apabila seseorang berniat puasa di pagi hari maka ia hanya berpuasa di sebagian hari bukan sehari penuh.
 Kedelapan: Apakah Niat Puasa Ramadhan Cukup Sekali Niat untuk Sebulan Ataukah Harus Setiap Malam?
Pendapat yang kuat insya Allah cukup sekali niat untuk sebulan penuh Ramadhan, berdasarkan keumuman dalil tentang niat, kecuali apabila puasa seseorang terhenti karena sakit atau safar maka ketika ia memulainya kembali hendaklah berniat kembali. Oleh karena itu apabila seseorang tertidur misalkan sebelum Maghrib dan terbangun setelah masuk waktu Shubuh, tanpa sempat berbuka, tanpa sahur dan tanpa berniat untuk hari berikutnya maka puasanya untuk hari berikutnya itu sah karena pada asalnya ia telah berniat puasa sebulan penuh
 Kesembilan: Niat Dapat Membatalkan Puasa
Barangsiapa berniat membatalkan puasa atau menghentikan puasanya di siang hari maka puasanya batal, walau ia tidak melakukan pembatal puasa, karena ibadah bergantung kepada niat, berdasarkan keumuman dalil Oleh karena itu, apabila seseorang tidak mendapati makanan dan minuman untuk berbuka, boleh baginya berbuka dengan meniatkannya saja, dan tidak perlu menghisap jari atau mengumpulkan ludahnya lalu menelan kembali.
 Kesepuluh: Batalkah Orang yang Berniat Membatalkan Puasanya Apabila Mendapatkan Makanan atau Minuman?
Adapun orang yang berniat membatalkan puasa apabila mendapati makanan atau minuman maka puasanya tidak batal sampai ia makan atau minum
Faidah: Kaidah Bermanfaat
Barangsiapa berniat keluar dari ibadah maka batal ibadahnya kecuali pada haji dan umroh, dan barangsiapa berniat melakukan salah satu pembatal ibadah maka ibadahnya tidak batal sampai ia melakukannya.

2. Menahan Diri dari makan minum
Allah ta’ala berfirman
,
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam.” [Al-Baqoroh: 187]
Fajar yang dimaksud adalah fajar yang kedua atau fajar shodiq, yaitu garis putih atau cahaya putih yang membentang secara horizontal di ufuk, dari Utara ke Selatan,apabila fajar tersebut telah muncul, maka telah masuk waktu Shubuh, dan itulah awal waktu puasa, tidak boleh lagi makan dan minum.
Adapun fajar yang pertama atau fajar kadzib adalah garis putih atau cahaya putih yang memanjang secara vertikal, tidak membentang.
Sedangkan waktu malam yang dimaksud adalah terbenamnya matahari, dan dapat diketahui dengan tiga cara, yaitu melihatnya tenggelam, mendengar berita yang terpercaya atau mendengar adzan Maghrib
3. Menahan dari melakukan hubungan suami istri dengan sengaja.
4. Menahan dari melakukan muntah-muntah dengan sengaja