وفرائض الصوم أربعة أشياء: النية والإمساك عن الأكل والشرب والجماع وتعمد القيء
Adapun fardhu/rukun atau tatacara puasa ada empat yaitu niat, menahan
diri dari makan dan minum, jimak (hubungan intim), sengaja muntah.
Rukun Puasa
1. Niat
? Beberapa Permasalahan Terkait Pembahasan Niat
Pertama: Makna Niat
Makna niat secara bahasa adalah bermaksud (القصد). Adapun secara istilah adalah,
العزم على فعل العبادة تقربا إلى الله تعالى
“Bertekad untuk melakukan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala.” [
Taysirul ‘Allaam Syarhu ‘Umdatil Ahkam, 1/18]
Kedua: Fungsi Niat
Niat memiliki dua fungsi:
1) Untuk membedakan tujuan ibadah, apakah karena Allah ataukah karena
selain-Nya, maka ibadah yang diterima hanyalah ibadah yang ikhlas
karena Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman-Nya,
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا الله مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada
Allah saja dengan mengikhlaskan semua ibadah hanya kepada-Nya serta
berpaling dari kesyirikan.” [Al-Bayyinah: 4]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إنَّمَا الأعْمَالُ بَالْنيَاتِ، وَإنَّمَا لِكل امرئ مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتهُ إلَى اللّه وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتهُ إلَىاللّه وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرتُهُ لِدُنيا يُصيبُهَا، أو امْرَأةيَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُه إلَى مَا هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang
mendapatkan balasan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia mendapatkan pahala hijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin
ia raih, atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa
yang ia niatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu]
Perusak niat adalah riya’ dan sum’ah, yaitu beribadah karena ingin
diperlihatkan atau diperdengarkan kepada orang lain agar mendapat
pujian. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالُوا : وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ : الرِّيَاءُ ، يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ : إِذَا جُزِيَ النَّاسُبِأَعْمَالِهِمْ : اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاؤُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً
“Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirik
kecil. Para sahabat bertanya: Apa itu syirik kecil itu wahai Rasulullah?
Beliau bersabda: (Syirik kecil itu) riya’; ketika amalan-amalan manusia
telah dibalas pada hari kiamat, Allah ‘azza wa jalla berfirman:
Pergilah kepada orang-orang yang dahulu kalian perlihatkan amalan-amalan
kalian, maka lihatlah apakah kalian akan mendapatkan balasan dari
mereka?!” [HR. Ahmad dari Mahmud bin Labid radhiyallahu’anhu,
Ash-Shahihah: 951]
Dan niat yang ikhlas dalam berpuasa adalah sebab yang menjadikan
ibadah puasa itu bernilai dan berpahala besar, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ
أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ
وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى
“Setiap amalan anak Adam dilipatgandakan, satu kebaikan menjadi
sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali. Allah ‘azza wa jalla
berfirman: Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah
yang akan membalasnya, karena ia telah meninggalkan syahwatnya dan
makannya karena Aku.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan lafaz ini milik Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu]
Dalam riwayat lain,
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : الصَّوْمُ لِي ، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ ، يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي
“Allah ‘azza wa jalla berfirman: Puasa itu untuk-Ku, dan Aku-lah yang
akan membalasnya, karena ia telah meninggalkan makannya, minumnya dan
syahwatnya karena Aku.” [HR. Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
2) Untuk membedakan jenis ibadah, yaitu membedakan antara satu ibadah
dengan ibadah lainnya dan membedakan antara ibadah dengan kebiasaan.
Contoh pertama, membedakan antara puasa wajib dan puasa wajib lainnya, karena puasa wajib itu ada tiga macam: Puasa Ramadhan, puasa
kaffaroh dan puasa nazar.
Demikian pula membedakan antara puasa wajib dan puasa sunnah, dan
membedakan antara puasa sunnah dan puasa sunnah lainnya, karena puasa
sunnah banyak macamnya.
Contoh kedua, membedakan antara puasa dan kebiasaan menahan lapar dan dahaga.
Maka apabila di bulan Ramadhan, hendaklah diniatkan berpuasa Ramadhan, andai seseorang berniat puasa
kaffaroh atau nazar atau sunnah atau kebiasaan saja, maka tidak sah puasa Ramadhannya menurut pendapat yang paling kuat insya Allah.
Demikian pula andai seseorang berpuasa tanpa berniat sama sekali maka
tidak sah puasanya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam,
إنَّمَا الأعْمَالُ بَالْنيَاتِ، وَإنَّمَا لِكل امرئ مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتهُ إلَى اللّه وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتهُ إلَىاللّه وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرتُهُ لِدُنيا يُصيبُهَا، أو امْرَأةيَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُه إلَى مَا هَاجَرَ إليهِ
“Sesungguhnya amalan-amalan manusia tergantung niat, dan setiap orang
mendapatkan balasan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya maka ia mendapatkan pahala hijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ingin
ia raih, atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa
yang ia niatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Umar Bin Khaththab radhiyallahu’anhu]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَقَدْ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْعِبَادَةَ
الْمَقْصُودَةَ لِنَفْسِهَا كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالْحَجِّ لَا
تَصِحُّ إلَّا بِنِيَّةِ
“Dan telah sepakat ulama bahwa ibadah yang dimaksudkan karena ibadah
itu sendiri seperti sholat, puasa dan haji, tidak sah kecuali dengan
niat.” [
Majmu’ Al-Fatawa, 18/257]
Ketiga: Cara Berniat
Cara berniat puasa sungguh sangat mudah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
كُلُّ مَنْ عَلِمَ أَنَّ غَدًا مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ صَوْمَهُ فَقَدْ نَوَى صَوْمَهُ
“Setiap orang yang mengetahui bahwa besok hari termasuk bulan
Ramadhan, dan ia ingin berpuasa maka sesungguhnya ia telah berniat
puasa.” [
Majmu’ Al-Fatawa, 25/215]
Dan niat tempatnya di hati, melafazkannya baik sendiri maupun
berjama’ah termasuk mengada-ada dalam agama, tidak ada contohnya dari
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, tidak pula dari sahabat dan
tabi’in, tidak juga dari imam yang empat; Abu Hanifah, Malik, Syafi’i
dan Ahmad rahimahumullaahu ta’ala.
Keempat: Apakah Wajib Menentukan Niat atau Boleh Berniat Secara
Muthlaq?
Menentukan niat maknanya menetapkan dalam hati bahwa niatnya untuk berpuasa Ramadhan misalkan, adapun berniat secara
muthlaq adalah
tanpa menentukan puasa tertentu. Pendapat yang kuat insya Allah adalah
wajib menentukan niat berpuasa Ramadhan apabila seseorang mengetahui
bahwa bulan Ramadhan telah masuk, karena puasa wajib Ramadhan itulah
yang Allah perintahkan kepadanya.
Kelima: Bolehkah Berniat Secara
Mu’allaq?
Misalkan ketika seseorang masih ragu apakah sudah masuk Ramadhan atau
belum, lalu ia berniat apabila besok Ramadhan maka puasanya adalah
wajib dan apabila belum masuk Ramadhan maka puasanya sunnah, ini yang
dimaksud berniat secara
mu’allaq (niat yang menggantung). Pendapat yang benar insya Allah adalah sah niatnya.
Namun apabila seseorang ragu akan masuknya Ramadhan hendaklah ia
tidak berniat puasa Ramadhan karena ada larangan berpuasa di hari yang
diragukan. Sahabat yang Mulia Ammar bin Yasir radhiyallahu’anhuma
berkata,
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa berpuasa di hari yang diragukan maka ia tidak taat
kepada Abul Qoshim (Nabi Muhammad) shallallahu’alaihi wa sallam.” [HR. Al-Bukhari]
Keenam: Waktu Berniat Puasa Wajib
Waktu berniat puasa wajib adalah di malam hari, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa tidak berniat puasa sejak malam hari maka tidak ada puasa baginya.” [HR. An-Nasaai dari Hafshah radhiyallahu’anha
, Shahihul Jaami’: 6535]
Hadits yang mulia ini menunjukkan kewajiban berniat puasa di malam
hari. Dan waktu malam hari adalah setelah terbenam matahari (waktu
Maghrib) sampai terbit fajar (waktu Shubuh). Barangsiapa tidak berniat
di malam hari maka tidak sah puasanya, kecuali orang yang baru
mengetahui masuknya Ramadhan di siang hari atau baru diwajibkan atasnya
puasa Ramadhan di siang hari, seperti orang yang baru masuk Islam, anak
yang mencapai baligh dan orang gila yang sadar, maka pendapat yang kuat
insya Allah adalah hendaklah mereka berniat pada saat itu juga dan mulai
berpuasa sampai terbenam matahari, kecuali anak wanita yang mencapai
baligh dengan keluarnya haid maka tidak boleh baginya berpuasa sampai
suci, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Ketujuh: Waktu Berniat Puasa Sunnah
Adapun waktu berniat puasa sunnah maka pendapat yang kuat insya Allah
adalah boleh pada siang hari, baik sebelum tergelincir matahari maupun
sesudahnya sebagaimana dinukil dari sebagian sahabat Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam.Berdasarkan hadits Umul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata,
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: «هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ؟» فَقُلْنَا: لَا، قَالَ: «فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ» ثُمَّ
أَتَانَا يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، أُهْدِيَ لَنَا
حَيْسٌ فَقَالَ: «أَرِينِيهِ، فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا» فَأَكَلَ
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menemui aku suatu hari
seraya berkata: Apakah kalian punya makanan? Maka kami berkata: Tidak.
Beliau pun bersabda: Kalau begitu aku berpuasa. Kemudian beliau
mendatangi kami di hari yang lain, maka kami berkata: Wahai Rasulullah,
kami dihadiahkan makanan
haisun,
beliau bersabda: ‘Perlihatkanlah makanan itu kepadaku, sungguh aku berpuasa pagi ini.’ Beliau pun makan.” [HR. Muslim]
Akan tetapi kebolehannya dengan syarat belum melakukan pembatal puasa di hari tersebut, tanpa ada khilaf ulama atas syarat ini dan
pahala puasanya dimulai sejak berniat, maka orang yang berniat puasa
sunnah di pagi hari lebih afdhal daripada yang berniat di siang hari
Oleh karena itu puasa sunnah yang ditentukan jenisnya seperti puasa
Senin Kamis, Asyuro, Arafah, enam hari di bulan Syawwal dan lain-lain
hendaklah diniatkan sejak malam hari agar mendapat pahala puasa satu
hari penuh, sebab apabila seseorang berniat puasa di pagi hari maka ia
hanya berpuasa di sebagian hari bukan sehari penuh.
Kedelapan: Apakah Niat Puasa Ramadhan Cukup Sekali Niat untuk Sebulan Ataukah Harus Setiap Malam?
Pendapat yang kuat insya Allah cukup sekali niat untuk sebulan penuh
Ramadhan, berdasarkan keumuman dalil tentang niat, kecuali apabila puasa
seseorang terhenti karena sakit atau safar maka ketika ia memulainya
kembali hendaklah berniat kembali. Oleh karena itu apabila seseorang
tertidur misalkan sebelum Maghrib dan terbangun setelah masuk waktu
Shubuh, tanpa sempat berbuka, tanpa sahur dan tanpa berniat untuk hari
berikutnya maka puasanya untuk hari berikutnya itu sah karena pada
asalnya ia telah berniat puasa sebulan penuh
Kesembilan: Niat Dapat Membatalkan Puasa
Barangsiapa berniat membatalkan puasa atau menghentikan puasanya di
siang hari maka puasanya batal, walau ia tidak melakukan pembatal puasa,
karena ibadah bergantung kepada niat, berdasarkan keumuman dalil Oleh
karena itu, apabila seseorang tidak mendapati makanan dan minuman untuk
berbuka, boleh baginya berbuka dengan meniatkannya saja, dan tidak
perlu menghisap jari atau mengumpulkan ludahnya lalu menelan kembali.
Kesepuluh: Batalkah Orang yang Berniat Membatalkan Puasanya Apabila Mendapatkan Makanan atau Minuman?
Adapun orang yang berniat membatalkan puasa apabila mendapati makanan
atau minuman maka puasanya tidak batal sampai ia makan atau minum
Faidah: Kaidah Bermanfaat
Barangsiapa berniat keluar dari ibadah maka batal ibadahnya kecuali
pada haji dan umroh, dan barangsiapa berniat melakukan salah satu
pembatal ibadah maka ibadahnya tidak batal sampai ia melakukannya.
2. Menahan Diri dari makan minum
Allah ta’ala berfirman
,
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ
الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam.” [Al-Baqoroh: 187]
Fajar yang dimaksud adalah fajar yang kedua atau fajar
shodiq, yaitu garis putih atau cahaya putih yang membentang secara horizontal di ufuk, dari Utara ke Selatan,apabila
fajar tersebut telah muncul, maka telah masuk waktu Shubuh, dan itulah
awal waktu puasa, tidak boleh lagi makan dan minum.
Adapun fajar yang pertama atau fajar
kadzib adalah garis putih atau cahaya putih yang memanjang secara vertikal,
tidak membentang.
Sedangkan waktu malam yang dimaksud adalah terbenamnya matahari, dan
dapat diketahui dengan tiga cara, yaitu melihatnya tenggelam, mendengar
berita yang terpercaya atau mendengar adzan Maghrib
3. Menahan dari melakukan hubungan suami istri dengan sengaja.
4. Menahan dari melakukan muntah-muntah dengan sengaja