Tuesday, April 16, 2013

Shahih Bukhary Hadits Nomor 18

حدثنا أبو اليمان قال أخبرنا شعيب عن الزهري قال أخبرني أبو إدريس عائذ الله بن عبد الله أن عبادة بن الصامت رضى الله تعالى عنه وكان شهد بدرا وهو أحد النقباء ليلة العقبة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال وحوله عصابة من أصحابه بايعوني على أن لا تشركوا بالله شيئا ولا تسرقوا ولا تزنوا ولا تقتلوا أولادكم ولا تأتوا ببهتان تفترونه بين أيديكم وأرجلكم ولا تعصوا في معروف فمن وفي منكم فأجره على الله ومن أصاب من ذلك شيئا فعوقب في الدنيا فهو كفارة له ومن أصاب من ذلك شيئا ثم ستره الله فهو إلى الله إن شاء عفا عنه وإن شاء عاقبه فبايعناه على ذلك
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

 Hadits 18: Klausul Baiat Aqabah I


Alhamdulillah, kini kita memasuki pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-18. Hadits ini masih berada dalam kitab iman (كتاب الإيمان).

Matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-18 ini menjelaskan tentang klausul baiat (janji) Aqabah yang diperintahkan Rasulullah kepada sahabat-sahabat Anshar generasi awal yang hadir pada saat itu untuk diamalkan. Imam Bukhari tidak memberikan judul untuk hadits ini dalam Shahih-nya kecuali menuliskan "bab" yang menurut sebagian ulama itu dimaksudkan karena pembahasannya masih dalam domain bab sebelumnya. Namun, untuk memudahkan pembahasan kita berikan judul bab "Klausul Baiat Aqabah I" untuk hadits ke-18 ini.

Berikut ini matan hadits Shahih Bukhari ke-18:


أَنَّ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ - رضى الله عنه - وَكَانَ شَهِدَ بَدْرًا ، وَهُوَ أَحَدُ النُّقَبَاءِ لَيْلَةَ الْعَقَبَةِ - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ « بَايِعُونِى عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا ، وَلاَ تَسْرِقُوا ، وَلاَ تَزْنُوا ، وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ ، وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ ، وَلاَ تَعْصُوا فِى مَعْرُوفٍ ، فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِى الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ ، وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ » . فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِكَ

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallaahu anhu, salah seorang yang mengikuti perang Badar dan salah seorang utusan dalam pertemuan Aqabah, bahwa Rasulullah SAW sedang dikelilingi oleh para sahabatnya dan beliau bersabda, "Berbaiatlah (berjanji) kalian semua kepadaku untuk: (1) Tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun, (2) Tidak mencuri, (3) Tidak berzina, (4) Tidak membunuh anak-anakmu, (5) Tidak membuat fitnah di antara kalian, (6) Tidak durhaka terhadap perintah kebaikan. Barangsiapa yang menepati perjanjian itu maka ia akan diberi pahala oleh Allah dan barangsiapa yang melanggar salah satu dari perjanjian itu, maka ia akan dihukum di dunia ini. Hukuman itu menjadai kafarah (tebusan) baginya, dan barangsiapa yang melanggar salah satunya kemudian ditutup oleh Allah, maka perkaranya terserah kepada Allah. Jika Dia berkehendak untuk mengampuninya, maka akan diampuni dan jika Dia berkehendak untuk menghukumnya, maka Dia akan menghukumnya." Maka kami pun berbaiat kepada Rasulullah atas yang demikian itu.

Penjelasan Hadits

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -
Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan bahwa dalam kalimat ini ada kata yang dihilangkan (diringkas) namun maknanya bisa dipahami sebagaimana tata bahasa Arab yang sudah dimaklumi. Yaitu kata قال sebelum kalimat di atas. Maksudnya Ubadah bin Shamit berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda hadits ini.

Ubadah bin Shamit adalah salah seorang sahabat Nabi yang berasal dari Anshar. Ia termasuk salah seorang tokoh sahabat dan termasuk pertama masuk Islam dari kalangan Anshar. Ikut serta dalam baiat Aqabah I dan baiat Aqabah II serta perang badar. Pada hadits ini Ubadah bin Shamit meriwayatkan hadits Rasulullah ketika beliau mengambil janji (membaiat) para sahabat Ansar yang berjumlah 12 orang di Aqabah. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai baiat Aqabah I.

وَحَوْلَهُ عِصَابَةٌ مِنْ أَصْحَابِهِ
Dan di sisinya ada sekumpulan sahabatnya

Kata عِصَابَةٌ berarti kelompok yang berjumlah antara 10 sampai 40 orang. Dan seperti keterangan di atas, sahabat Anshar yang turut serta dalam baiat Aqabah I saat itu berjumlah 12 orang.

بَايِعُونِى عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا
Berbaiatlah (berjanjilah) kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun

Penggunaan istilah مبابعة, dalam hadits di atas berbentuk fi'il amar بَايِعُونِى dari kata البيع (jual beli) yang berarti perjanjian adalah termasuk bentuk majaz yaitu diqiyaskan dengan transaksi jual beli. Jual beli antara Allah SWT dengan para hamba-Nya.

Inti dari aqidah Islam adalah tauhid, tidak menyekutukan Allah SWT. Karenanya ia menjadi klausul awal dalam baiat aqabah ini, sebelum perintah-perintah yang lain. Tauhid juga menjadi kunci bagi Islam dan segala amal menjadi sia-sia belaka tanpa tauhid yang benar.

Di awal dakwah Rasulullah, hal yang pertama dibangun adalah tauhid yang benar ini. Aqidah yang selamat. Salimul aqidah. Bagi sahabat Anshar, yang mereka baru pertama bertemu langsung dengan Rasulullah, tauhid ini ditegaskan kembali. Agar mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.

وَلاَ تَسْرِقُوا
Tidak mencuri

Setelah hubungan dengan Allah SWT. Klausul baiat Aqabah kedua ini terkait dengan hak Adam dalam hal bagaimana mendapatkan harta dengan cara yang baik. Dalam hubungan dengan Allah kita dilarang berbuat zalim dengan syirik, dalam hubungan dengan manusia pun kita dilarang berbuat zalim. Maka Allah mengharamkan mencuri. Rasulullah melarang mencuri.

وَلاَ تَزْنُوا
Tidak berzina

Ini klausul baiat aqabah yang ketiga. Larangan berzina. Jika klausul pertama menjaga hak Allah, klausul kedua menjaga harta, maka klausul ketiga ini menjaga keturunan dan kehormatan.

وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ
Tidak membunuh anak-anakmu

Diantara kebiasaan orang jahiliyah di waktu itu adalah membunuh anak, diantaranya yang paling populer adalah dengan modus mengubur anak perempuan. Maka kaum muslimin diperintahkan untuk berbaiat agar tidak membunuh anak-anaknya. Ini sekaligus larangan kepada seluruh kaum muslimin agar tidak membunuh anak-anak. Urusan jiwa adalah milik Allah, manusia tidak berhak membunuhnya tanpa alasan yang benar. Demikian pula rezeki juga urusan Allah. Maka orangtua tidak boleh takut lapar dan takut miskin dengan adanya anak-anak.

وَلاَ تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ
Tidak membuat fitnah di antara kalian

Kata بهتان (fitnah) berarti kebohongan yang dapat menjadikan pendengarnya tersentak. Kata افتراء (bohong) digunakan secara khusus bagi tangan dan kaki.

Banyak penjelasan mengenai kalimat بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ dalam hadits ini. Sebagian ulama menjelaskan maksudnya adalah antara tangan dan kaki, yakni hati. Sebagian lain, seperti Abu Muhammad bin Abu Hamzah menjelaskan bahwa baina aidiikum berarti seketika, sedangkan arjulikum itu masa yang akan datang. Sedangkan Al Karmani menjelaskan bahwa kaki dipergunakan sebagai penguat tangan.

وَلاَ تَعْصُوا فِى مَعْرُوفٍ
Tidak durhaka terhadap perintah kebaikan

Maksudnya dari المعروف adalah kebaikan yang berasal dari Allah baik berupa perintah maupun larangan.

Imam Nawawi menyebutkan kemungkinan lain yang lebih luas: "Maksudnya adalah jangan kalian menentangku atau salah seorang pemimpin kalian dalam kebaikan."

فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
Barangsiapa yang menepati perjanjian itu maka ia akan diberi pahala oleh Allah

Ini adalah konsekeunsi logis yang dikabarkan Rasulullah kepada para sahabat bahwa jika mereka mentaati isi baiat itu, maka mereka mendapatkan pahala dari Allah SWT, yang dalam riwayat yang lain disebutkan lafal jannah. Mendapatkan surga.

، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِى الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ
barangsiapa yang melanggar salah satu dari perjanjian itu, maka ia akan dihukum di dunia ini

Ini menyangkut klausul yang kedua sampai keenam. Bukan tentang syirik. Karena hadits ini secara umum ditujukan kepada kaum muslimin.

Sebagian besar ulama berpendapat bahwa hudud (hukuman-hukuman dalam Islam) adalah sebagai kafarah (tebusan dosa) dengan mengambil dasar dari hadits ini. Akan tetapi sebagian lainnya bependapat hudud bukan berfungsi sebagai kafarah secara pasti. Pendapat terakhir didasarkan pada hadits lain dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Saya tidak tahu apakah hudud adalah sebagai kafarat bagi penderitanya atau tidak."

Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, pendapat yang kuat adalah pendapat pertama. Dengan taubat dan kerelaan menerima hudud, maka itu menjadi kafarah bagi dosa terkait yang dilakukan seorang mukmin. Adapun hadits Abu Hurairah itu disampaikan sebelum hadits Abu Ubadah, sehingga ia dinasakh dengan hadits ini.

وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ ، وَإِنْ شَاءَ عَاقَبَهُ
Dan barangsiapa yang melanggar salah satunya kemudian ditutup oleh Allah, maka perkaranya terserah kepada Allah. Jika Dia berkehendak untuk mengampuninya, maka akan diampuni dan jika Dia berkehendak untuk menghukumnya, maka Dia akan menghukumnya.

Ada kalanya seseorang melanggar hukum Islam tetapi tidak dikenai hudud karena pengadilan tidak tahu dan tidak ada yang melaporkannya. Maka bagi orang yang demikian, keputusannya sepenuhnya di tangan Allah. Ada kalanya diampuni, ada kalanya dihukum di akhirat nanti. Meskipun orang tersebut bertaubat kepada Allah SWT.

. فَبَايَعْنَاهُ عَلَى ذَلِكَ
Maka kami pun berbaiat kepada Rasulullah atas yang demikian itu.

Inilah para sahabat. Mereka tidak perlu melakukan tawar menawar atau keberatan atas segala klausul baiat yang telah disabdakan Rasulullah SAW. Maka pada malam itu, terjadilah peristiwa yang monumental: baiat aqabah I. Kelak ia, dilanjutkan baiat Aqabah II, menjadi pondasi bagi bangunan Madinah yang siap menerima dan melindungi Rasulullah. Siap menjadi basis sosial Islam. Lalu Rasulullah dan para sahabat dari Makkah pun hijrah dan Islam memulai babak baru dalam sejarahnya. Periode Madinah.

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Adanya baiat yang dilakukan para sahabat kepada Rasulullah di Aqabah dengan klausul sebagaimana di atas dan kemudian dikenal dengan nama Baiat Aqabah I;
2. Dilarang syirik, mencuri, berzina, membunuh anak, membuat fitnah, dan tidak mendurhakai kebaikan;
3. Dalam Islam ada hudud (hukuman-hukuman) yang dijatuhkan kepada pelanggar hukum Islam (tertentu, seperti mencuri dan berzina). Bagi orang yang rela menjalani hudud itu -disertai taubat- ia menjadi kafarah (tebusan) atas dosa itu;
4. Ada kalanya dalam Islam, seseorang lolos dari pengadilan agama atau hudud. Jika demikian halnya, maka ia akan berhadapan dengan pengadilan Allah di akhirat nanti. Bisa jadi ia diampuni, bisa jadi ia dijatuhi hukuman;
5. Karakter para sahabat yang dengan serta merta mentaati Rasulullah termasuk dalam klausul perjanjian ini;.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-18. Semoga Allah memberikan hidayah hingga kita lebih paham dengan agama ini dan menjadi hamba-Nya yang tunduk pada aturannya serta setia pada ajaran Rasulullah, termasuk klausul baiat aqabah ini. Wallaahu a'lam bish shawab

Shahih Bukhary Hadits Nomor 17

حدثنا أبو الوليد قال حدثنا شعبة قال أخبرني عبد الله بن عبد الله بن جبر قال سمعت أنسا عن النبي صلى الله عليه وسلم قال آية الإيمان حب الأنصار وآية النفاق بغض الأنصار
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>.

Hadits 17: Diantara Tanda Keimanan dan Kemunafikan

Setelah disebutkan tanda-tanda keimanan pada beberapa hadits sebelumnya, kini kita akan membahas hadits Shahih Bukhari ke-17 yang juga berbicara mengenai tanda keimanan. Kali ini pembahasannya lebih khusus, mengenai korelasi sikap seseorang terhadap kaum Anshar. Hadits ini masih berada dalam kitab iman (كتاب الإيمان).

Karena matan (redaksi) hadits yang berbicara mengenai korelasi sikap orang terhadap Anshar sebagai tanda keimanan atau kemunafikan, maka kita memberi judul pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-17 ini "Diantara Tanda Keimanan dan Kemunafikan"

Berikut ini matan lengkap hadits Shahih Bukhari ke-17:


حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَبْرٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسًا عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ آيَةُ الإِيمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ ، وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الأَنْصَارِ

Telah memberitahu kami Abul Walid, ia berkata telah meberitahu kami Syu'bah, ia berkata telah mengabarkan kepada kami Adullah bin Abdullah bin Jabr, ia berkata, aku mendengar dari Anas bahwa Nabi SAW bersabda: "Diantara tanda-tanda iman adalah mencintai kaum Anshar dan di antara tanda-tanda munafik adalah membencinya."

Penjelasan Hadits


آيَةُ الإِيمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ
Diantara tanda-tanda iman adalah mencintai kaum Anshar

Kata ayat (اية) berarti "tanda" (علامة). Tanda (علامة) adalah khashah (ciri khusus) yang terdapat pada beberapa benda/hal.

Dalam hadits sebelumnya (hadits 13) disebutkan bahwa mencintai saudara sesama mukmin adalah tanda dan syarat kesempurnaan iman. Sedangkan pada hadits ini, kita mendapati kaum anshar yang disebutkan secara khusus. Dalam hadits sebelum ini (hadits 16) juga disebutkan bahwa mencintai orang lain karena Allah merupakan sebab manisnya iman. Lalu dalam hadits ke-17 ini disebutkan cinta kepada kaum Anshar yang tidak lain adalah cinta karena Allah. Jadi di sana kita mendapati obyek umum, sedangkan di sini kita mendapati obyek khusus; Anshar!

Mungkin timbul pertanyaan, apakah jika seorang yang telah berikrar syahadat lalu tidak mencintai kaum Anshar berarti menjadi kafir/munafik? Bukankah kaum Anshar itu banyak dan boleh jadi seseorang, terutama yang sezaman dengan mereka, karena persoalan "manusiwai" kemudian tidak mencintai mereka? Ibnu Hajar Al Asqalani berpendapat bahwa jika sebabnya adalah karena mereka menolong Rasulullah, maka orang itu termasuk munafik. Demikian pula pendapat banyak ulama. Bahkan seseorang bisa menjadi kafir karena membenci Anshar lantaran mereka menolong Rasulullah SAW.

Anshar (الأنصار) merupakan bentuk jamak (plural) dari kata ناصر atau نصير yang berarti "penolong." Huruf lam yang ada pada kata itu untuk membatasi istilah dalam hadits ini dan juga dalam terminologi Islam, bahwa Anshar itu berarti penolong Rasulullah SAW. Mereka adalah suku Aus dan suku Khazraj yang sebelumnya dikenal dengan Ibnay Qailah (dua anak Qailah), nenek moyang mereka. Karena pertolongannya yang begitu besar kepada Rasulullah SAW dan para muhajirin, khususnya sejak hijrah, maka Rasulullah menamakan mereka "Anshar".

Dengan pertolongan yang diberikan kepada Rasulullah, Anshar menjadi dibenci dan dimusuhi oleh banyak kabilah. Oleh karena itu Rasulullah mengingatkan agar kaum muslimin mencintai mereka. Bahkan menjadikan kecintaan itu sebagai tanda keimanan.

Tentu saja, kecintaan itu juga harus dimiliki oleh orang-orang yang datang pada generasi berikutnya, termasuk di zaman kita. Dan bagaimana mungkin kita mampu mencintai sahabat-sahabat Anshar jika kita tidak mengenal mereka? Karenanya, dalam hadits ini secara eksplisit juga terdapat anjuran bagi generasi kita hari ini untuk membaca sejarah mereka hingga kemudian kita mengenal mereka dan mencintainya.

وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الأَنْصَارِ
dan di antara tanda-tanda munafik adalah membenci kaum Anshar

Ada hadits lain yang sejalan dengan hadits ini dan menjelaskannya. Diantaranya adalah hadits riwayat syaikhain berikut ini:

الأَنْصَارُ لاَ يُحِبُّهُمْ إِلاَّ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يُبْغِضُهُمْ إِلاَّ مُنَافِقٌ ، فَمَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللَّهُ ، وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللَّهُ

Anshar. Tidak ada yang mencintai mereka kecuali orang beriman, dan tidak ada yang membencinya kecuali orang munafik. Barang siapa mencintai Anshar, maka Allah akan mencintainya. Dan barang siapa membenci Anshar, maka Allah akan memurkainya. (HR. Bukhari Muslim, ini adalah redaksi Bukhari)

Lalu adakah orang yang membenci Anshar yang luar biasa itu? Kadang-kadang tanpa disadari seorang muslim terperosok dalam kebencian kepada sahabat –termasuk Anshar- ketika ia "lancang" memberikan penilaian kepada para shahabat dengan hal-hal yang tak pantas bagi mereka radhiyallaahu anhum. Khususnya kepada mereka yang terlibat pada masa fitnah. Hingga kemudian kita dapati sebagian kaum muslimin mencela sahabat atau memberikan penilaian negatif kepadanya. Semoga kita dihindarkan Allah dari hal yang demikian.

Pelajaran Hadits
Diantara pelajaran hadits yang bisa kita ambil dari hadits di atas adalah sebagai berikut:
1. Keimanan dan kemunafikan memiliki tanda-tanda;
2. Diantara tanda keimanan adalah mencintai Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membencinya;
3. Tuntunan agar kita mencintai Anshar;
4. Di zaman kita sekarang, agar dapat mencintai Anshar maka kita perlu mempelajari sejarah mereka agar dapat mengenal dan mencintai mereka.

Demikian penjelasan singkat hadits Shahih Bukhari ke-17. Semoga Allah memberikan hidayah hingga kita lebih paham dengan agama ini dan menjadi orang yang beriman, yang mencintai kaum Anshar dan terhindar dari perasaan benci kepada mereka. Wallaahu a'lam bish shawab. []