Tuesday, April 16, 2013

Shahih Bukhary Hadits Nomor 13

حدثنا مسدد قال حدثنا يحيى عن شعبة عن قتادة عن أنس رضى الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم وعن حسين المعلم قال حدثنا قتادة عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>...
Hadits 13: Cinta dalam Kesempurnaan Iman

Mungkin judulnya terasa romantis. Tapi itulah yang akan kita bahas dalam Shahih Bukhari hadits ke-13. Hadits ini masih termasuk dalam Kitab Iman (كتاب الايمان).

Berikut ini matan haditsnya :


عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Dari Anas r.a. bahwa Nabi SAW bersabda, "Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri"

Imam Bukhari memberikan judul bab untuk hadits ini مِنَ الإِيمَانِ أَنْ يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (Termasuk kesempurnaan iman adalah mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri).

Penjelasan Hadits


لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian

Maksud dari kalimat ini adalah kesempurnaan iman. Artinya, apa yang disebutkan setelah kalimat ini merupakan syarat kesempurnaan iman seseorang. Jika sifat itu tidak ada pada diri seseorang, maka imannya tidak sempurna. Bukan berarti ia tidak beriman alias kafir. Kita perlu berhati-hati dengan hal-hal seperti ini karena kesalahan dalam memahami hakikat kesempurnaan iman bisa mengakibatkan seseorang terperosok dalam pemikiran takfir (mengkafirkan orang lain).

Dalam hadits riwayat Ibnu Hibban dijelaskan لا يبلغ عبد حقيقة الايمان (seseorang tidak akan mencapai hakikat derajat keimanan). Ibnu Hajar Al Asqalani juga menjelaskan: "maksudnya adalah kesempurnaan iman".

حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri

Subhaanallah… betapa indahnya iman yang sempurna. Dan betapa beratnya ia bagi kebanyakan manusia. Salah satu tanda kesempurnaan itu adalah mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Saudara (أخيه) di sini bukanlah saudara kandung, sedarah, atau senasab, melainkan saudara seaqidah. Maka siapapun dia, dari suku dan bangsa manapun, warna kulit apapun, dengan status keduniaan yang betapapun, selama ia memiliki aqidah yang sama maka ia adalah saudara. Dan mencintainya seperti mencintai diri sendiri adalah tanda sekaligus syarat kesempurnaan iman!

"Cinta adalah kecenderungan terhadap sesuatu yang diingini", kata Imam Nawawi, "Sesuatu yang dicintai tersebut dapat berupa sesuatu yang diindera, seperti bentuk atau dapat juga berupa perbuatan seperti kesempurnaan, keutamaan, mengambil manfaat atau menolak bahaya."

Maka mencintai dalam kesempurnaan iman berarti mencintai apa yang terjadi pada dirinya, terjadi pula pada saudaranya. Mencintai jika saudaranya mendapatkan kebahagiaan sebagaimana ia mencintai kebahagiaan itu. Sekali lagi ini berat. Bahkan Umar bin Khatab pernah menyatakan bahwa ia mencintai Rasulullah melebihi siapapun selain dirinya. Setelah dikoreksi Rasulullah, barulah ia mencintai Rasulullah di atas mencintai dirinya.

Itu antara Umar dan Rasulullah. Lalu bagaimana kita mencintai saudara kita sesama muslim seperti mencintai diri kita sendiri? Bukankah ini pekerjaan yang berat. Namun, seperti kata Imam Nawawi: ia adalah pilihan (ikhtiyari). Bukan berarti Umar belum sampai pada kesempurnaan iman di saat itu, sebab yang dituntut Rasulullah adalah kecintaan yang lebih tinggi, bukan cinta yang sama kadarnya.

Maka sejarah umat ini juga memberi teladan terbaik bagi kita. Lihatlah peristiwa hijrah. Sesampainya di Madinah, para sahabat muhajirin dipersaudarakan dengan anshar. Diantara mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Namun dalam kesempurnaan iman, cinta antara mereka tumbuh dengan cepat, kokoh batangnya, lebat daunnya, dan ranumlah buahnya. Diantara buah yang manisnya dicatat umat hingga kini adalah cinta antara Abdurrahman bin Auf dan saudaranya, Sa'ad bin Rabi. Cinta dalam kesempurnaan iman membawa Sa'ad bin Rabi membagi dua segala miliknya. Namun cinta dalam kesempurnaan iman juga yang membuat Abdurrahman bin Auf menolaknya.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Iman bisa bertambah dan berkurang. Iman juga bisa sempurna dan bisa tidak sempurna.
2. Iman bukan semata-mata keyakinan kepada Allah dan bagaimana membangun hubungan dengan-Nya (hablun minallah), tetapi juga berkaitan langsung dengan hubungan sesama (hablun minannas). Iman yang sempurna mensyaratkan ini.
3. Mencintai sesama muslim sebagaimana mencintai dirinya sendiri adalah tanda kesempurnaan iman sekaligus syaratnya. Jika hal ini belum ada pada diri seseorang maka keimanannya belum sempurna.

Demikian penjelasan hadits ke-13 Shahih Bukhari ini, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita. Dan semoga kita dimudahkan Allah SWT untuk mencintai saudara kita sebagaimana mencintai diri kita sendiri lalu kita dijadikan-Nya memiliki iman yang sempurna. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Shahih Bukhary Hadits Nomor 12

حدثنا عمرو بن خالد قال حدثنا الليث عن يزيد عن أبي الخير عن عبد الله بن عمرو رضى الله تعالى عنهما أن رجلا سأل النبي صلى الله عليه وسلم أي الإسلام خير قال تطعم الطعام وتقرأ السلام على من عرفت ومن لم تعرف
d
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>.
Hadits 12: Humanisme Islam
Kitab Iman (كتاب الايمان).

Hadits ke-12 Shahih Bukhari yang akan kita bahas ini memiliki redaksi awal yang hampir sama dengan hadits ke-11 pekan lalu, yakni pertanyaan sahabat yang kemudian dijawab Rasulullah. Imam Bukhari memberikan judul bab "Memberi Makan adalah Perangai Islam" untuk hadits ke-12 ini. Dengan pertimbangan bahwa ada hal lain dalam hadits ini selain memberikan makan, Bersama Dakwah memberikan judul yang lebih luas: "Humanisme Islam".


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو - رضى الله عنهما - أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - أَىُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata, "Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW: 'Bagaimanakah Islam yang paling baik?' Nabi SAW menjawab: 'Memberi makan (orang-orang miskin), mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak engkau kenal.'"

Penjelasan Hadits
Kita lihat pertanyaan ini hampir sama dengan pertanyaan sahabat Nabi pada hadits ke-11. Bedanya, hadits ke-11 menggunakan kata "afdhal" dan pada hadits ini menggunakan kata "khair". Menurut Al-Karmani, afdhal (lebih utama) berarti yang paling banyak pahalanya, dan khair (baik) berarti banyak manfaatnya. Kata yang pertama berkenaan dengan kuantitas, kata kedua berkenaan dengan kualitas.

Akan tetapi, jawaban yang diambil oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani tentang berbedanya jawaban pada dua hadits yang berurutan ini bukan pada perbedaan kata itu. Artinya, baik khair maupun afdhal, keduanya bisa bermakna sama. Yang membedakan perbedaan jawaban Rasulullah adalah berbedanya orang yang bertanya dan para pendengarnya. Rasulullah bermaksud memberikan jawaban yang paling tepat bagi orang yang bertanya. Yang tidak lain merupakan celah bagi orang itu untuk memperbaiki dirinya agar menjadi lebih sempurna.

تُطْعِمُ الطَّعَامَ
Memberi makan

Maksudnya adalah, memberi makan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Berarti pula menjamu tamu. Dalam pengertian yang lebih luas, keislaman yang baik itu adalah yang memiliki kepekaan terhadap problem sosial, khususnya kesejahteraan. Ini sangat diperhatikan oleh Islam. Sebab Islam adalah agama yang sempurna. Bukan hanya mengatur hubungan dengan Allah, melainkan juga memberikan kemanfaatan kepada sesama. Menolong kaum dhuafa', mereka yang lemah. Bentuk sederhananya adalah memberi makan, bentuk luasnya adalah meningkatkan kesejahteraan sesama. Subhaanallah, betapa tingginya nilai humanisme Islam.

تَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang tidak engkau kenal

Sebab Islam adalah agama kedamaian. Salam merupakan simbol perdamaian. Orang lain didoakan supaya selamat setiap bertemu dan berpisah. Saling mendoakan adalah bentuk merealisasikan perdamaian. Ia juga melahirkan kedamaian dan ketentraman, baik bagi yang mengucapkan maupun yang diucapkan salam padanya. Ini sisi humanisme Islam yang lain.

Hebatnya lagi, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mengucapkan salam pada siapa saja baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal. Khususnya dalam masyarakat Islam. Jadi, bila tidak ada kekhawatiran yang signifikan bahwa orang yang dihadapi adalah non muslim, Rasulullah menganjurkan untuk mengucapkan salam. Kenal ataupun tidak kenal.


Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Islam memiliki nilai humanisme yang sangat tinggi. Sebab Islam bukan hanya mengatur hubungan kepada Allah, melainkan juga pada sesama.
2. Memberikan makan kepada fakir miskin dan upaya meningkatkan kesejahteraan mereka merupakan salah satu ajaran Islam yang sekaligus menunjukkan betapa tingginya humanisme Islam;
3. Muslim hendaknya menciptakan kedamaian di manapun ia berada. Menyebarkan salam kepada siapapun, baik yang dikenal maupun tidak adalah bagian dari upaya ini, sepanjang tidak dikhawatirkan mereka itu orang kafir;
4. Rasulullah adalah teladan terbaik yang sangat luar biasa. Beliau menjawab pertanyaan dengan jawaban yang paling tepat sesuai dengan kebutuhan penanya.


Demikian hadits ke-12 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita, memotivasi kita untuk memperbaiki kualitas keislaman kita, hingga menjadikan kita termasuk muslim yang baik dan banyak manfaatnya. Wallaahu a'lam bish shawab. []