Tuesday, April 16, 2013

Hadits Shahih Bukhary Nomor 10

حدثنا آدم بن أبي إياس قال حدثنا شعبة عن عبد الله بن أبي السفر وإسماعيل عن الشعبي عن عبد الله بن عمرو رضى الله تعالى عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه قال أبو عبد الله وقال أبو معاوية حدثنا داود عن عامر قال سمعت عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم وقال عبد الأعلى عن داود عن عامر عن عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم

 Hadits 10: Hakikat Muslim dan Muhajir (Orang yang Berhijrah)

Alhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari kini memasuki hadits ke-10. Hadits ini masih termasuk dalam Kitab Iman (كتاب الايمان).

Hadits ke-10 Shahih Bukhari yang akan kita kaji ini akan memaparkan karakter muslim secara singkat. Di samping itu, ia juga menjelaskan hakikat muhajir (orang yang berhijrah) dalam maknanya yang luas. Karenanya Bersama Dakwah memberi judul untuk pembahasan hadits ke-10 ini "Hakikat Muslim dan Muhajir (Orang yang Berhijrah)".


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو - رضى الله عنهما - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

Dari Abdullah bin Umar r.a. Nabi SAW bersabda, "Muslim adalah orang yang menyelamatkan semua orang muslim dari lisan dan tangannya. Dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah"

Penjelasan Hadits

الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Muslim adalah orang yang menyelamatkan semua orang muslim dari lisan dan tangannya

Matan hadits ini menjelaskan salah satu karakter muslim. Sebagaimana salah satu makna Islam adalah "selamat" yang diambil dari asal kata salima, seorang muslim adalah seorang yang menyelamatkan. Tidak mencelakakan orang lain, terlebih sesama muslim.

Maka itulah karakter muslim yang juga menjadi hakikat muslim sejati. Ia tidak membahayakan muslim yang lain, tidak pula mencelakakan mereka. Ia tidak membuat sesama muslim yang pada hakikatnya adalah saudaranya sendiri menjadi binasa karena lisan dan tangannya. Lisan berarti adalah ucapan dan perkataan. Sedangkan tangan adalah perbuatan, sikap, juga keputusan-keputusannya.

Seorang muslim sejati akan benar-benar menjaga lisan dan tangannya agar tidak sampai menyakiti sesama muslim. Lisannya ia jaga agar jangan sampai mengeluarkan perkataan yang menyakitkan, ucapan yang membuat hati terluka, kebohongan yang mendatangkan keburukan, ghibah yang menjatuhkan harga diri, umpatan yang memicu kemarahan, celaan yang mendatangkan penghinaan, apalagi fitnah yang mencelakakan.

Tangannya juga ia jaga sebaik-baiknya. Agar jangan sampai tangannya memukul sesama muslim, memecah belah persatuan mereka, mendatangkan kerusakan dalam kehidupan mereka, menzhalimi hak-hak mereka, menindas mereka yang lemah, merongrong stabilitas umat, dan sebagainya. Disebutkannya tangan di sini bukan hanya terbatas pada tangan secara fisik yang merugikan orang lain. Lebih strategis dari itu adalah tangan dalam arti kekuasaan sebagaimana dalam hadits lain:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan/kekuasaannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu hendaklah mengubah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman. (HR. Muslim)

Maka jika seorang muslim memiliki kekuasaan, ia harus menjaganya agar jangan sampai kekuasaan itu menyakiti kaum muslimin, menzhalimi, menindas, atau merampas hak mereka.

Matan hadits di atas juga menunjukkan bahwa hakikat Islam bukan hanya baiknya hubungan manusia dengan Rabbnya (hablun minallah), tetapi juga harus baik hubungannya dengan sesama manusia (hablun minannas). Dan salah satu indikasi baiknya hubungan dengan sesama manusia, khususnya sesama muslim, adalah terjaganya kaum muslimin dari gangguan lisan dan tangannya.

وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah

Muhajir adalah orang yang berhijrah. Dalam bentuk jamak, kata muhajir akan berubah menjadi muhajirin, "orang-orang yang berhijrah."

Ketika istilah "hijrah" dan "muhajirin" disebutkan dalam Al-Qur'an, hampir bisa dipastikan maknanya adalah hijrah (berpindahnya) seorang muslim dari negeri kufur ke negeri Islam atau negeri yang aman untuk agamanya. Dalam sirah nabawiyah, dikenal dua hijrah. Yang pertama adalah hijrah ke Habasyah, dan yang kedua adalah hijrah ke Madinah. Hijrah pertama untuk menyelamatkan agama dari tribulasi dakwah yang dilancarkan kaum kafir Quraisy, sementara hijrah ke Madinah lebih besar lagi untuk membangun basis agama Islam sekaligus pendirian negara Islam di Madinah.

Setelah futuhnya Makkah, Rasulullah SAW bersabda tentang dihapuskannya hijrah, khususnya dari Makkah:

لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ

Tidak ada hijrah sesudah fathu Makkah (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan demikian, muhajir dalam matan hadits ini adalah muhajir dalam maknanya yang luas. Yakni orang yang berpindah dari kondisi mendurhakai Allah atau peluang bermaksiat kepada Allah menuju ketaatan yang lebih baik. Lebih tepatnya, meninggalkan larangan-larangan Allah SWT.

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa ada dua bentuk hijrah. Pertama, hijrah zhahirah. Yaitu pergi meninggalkan tempat untuk menghindari fitnah demi mempertahankan agama. Kedua, hijrah bathinah. Yaitu meninggalkan perbuatan yang dibisikkan oleh nafsu amarah dan syetan. Seakan-akan orang yang berhijrah diperintahkan seperti itu, agar hijrah yang mereka lakukan tidak hanya berpindah tempat saja, tetapi lebih dari iru, mereka benar-benar melaksanakan perintah syariat dan meninggalkan larangannya. Orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah berarti ia telah melaksanakan hakikat hijrah.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Islam bukan hanya mengajarkan dan memerintah memperbaiki hubungan dengan Allah (hablun minallah), tetapi juga hubungan dengan manusia (hablun minannas)
2. Salah satu karakter muslim adalah menjaga lisan dan tangannya agar tidak menyakiti atau mencelakai sesama muslim
3. Dalam hadits, kadang satu istilah dipakai untuk makna yang berbeda, yakni makna secara sempit dan makna secara luas
4. Hakikat hijrah adalah meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.

Demikian hadits ke-10 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita, memotivasi kita untuk memperbaiki kualitas keislaman kita, dan menjadikan kita sebagai muslim dan muhajir sejati. Wallaahu a'lam bish shawab. []

Hadits nomor 9 Shahih Bukhary

حدثنا عبد الله بن محمد قال حدثنا أبو عامر العقدي قال حدثنا سليمان بن بلال عن عبد الله بن دينار عن أبي صالح عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الإيمان بضع وستون شعبة والحياء شعبة من الإيمان
c
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Hadits 9: Cabang-cabang Iman

 Kitab Iman (كتاب الايمان).

Hadits ke-9 Shahih Bukhari yang akan kita kaji ini cukup singkat, tetapi menjelaskan hal yang sangat penting. Bahwa iman memiliki cabang-cabang yang banyak, yang jumlahnya disebutkan dalam hadits ini disertai penegasan bahwa malu adalah salah satu cabang iman. Karenanya Bersama Dakwah memberi judul untuk pembahasan hadits ke-9 ini "Cabang-cabang Iman".


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ » .

Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda, "Iman mempunyai lebih dari enam puluh cabang. Dan malu adalah salah satu cabang dari iman."

Penjelasan Hadits

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً
Iman mempunyai lebih dari enam puluh cabang

Banyak ulama yang menjelaskan definisi bidh'un (بِضْعٌ). Al-Qazzaz mengartikannya bilangan antara tiga sampai sembilan. Ibnu Saidah mengartikannya tiga sampai sepuluh. Ada pula yang mengatakan satu sampai sembilan, dua sampai sepuluh, atau empat sampai sembilan. Yang paling banyak dipakai oleh para mufassir adalah pendapat Al-Qazzaz sebagaimana mereka menafsirkan kata yang sama pada QS. Yusuf ayat 42.

Kata syu'bah (شُعْبَةً) artinya adalah potongan. Pada hadits ini arti yang lebih tepat adalah cabang atau bagian.

Jadi, iman itu memiliki banyak cabang, sejumlah 63 sampai 69 cabang. Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, banyak orang yang telah mencoba merumuskan cabang-cabang iman itu, tetapi yang paling mendekati kebenaran adalah rumusan Ibnu Hibban. Ibnu Hibban merinci cabang iman menjadi 69 cabang sebagai berikut:
1. Perbuatan hati yang terdiri dari 24 cabang keimanan.
Yaitu iman kepada dzat, sifat, keesaan dan kekekalan Allah, iman kepada malaikat, kitab-kitab, Rasul, qafha dan qadar, hari Akhir, alam kubur, hari kebangkitan, dikumpulkannya semua orang di padang mahsyar, hari perhitungan, perhitungan pahala dan dosa, surga dan neraka. Kemudian kecintaan kepada Allah, kecintaan kepada sesama, kecintaan kepada Nabi, keyakinan akan kebesarannya, shalawat kepada Nabi dan melaksanakan sunnah. Keikhlasan yang mencakup meninggalkan riba dan kemunafikan, taubat, rasa takut, harapan, syukur, amanah, sabar, ridha terhadap qadha, tawakkal, rahmah, kerendahan hati, meninggalkan kesombongan, iri, dengki, dan amarah.

2. Perbuatan lisan yang terdiri dari 7 cabang keimanan.
Yaitu melafakan tauhid, membaca Al-Qur'an, mempelajari ilmu, mengajarkan ilmu, doa, dzikir, istighfar, dan menjauhi perkataan-perkataan yang tidak bermanfaat.

3. Perbuatan jasmani yang terdiri dari 38 cabang keimanan.
Terkait dengan badan, ada 15 cabang, yaitu bersuci dan menjauhi segala hal yang najis, menutup aurat, shalat wajib dan sunnah, zakat, membebaskan budak, dermawan, puasa wajib dan sunnah, haji dan umrah, thawaf, i'tikaf, mencari lailatul qadar, mempertahankan agama seperti hijrah dari daerah syirik, melaksanakan nadzar dan melaksanakan kafarat.

Terkait dengan orang lain, ada 6 cabang, yaitu iffah (menjaga kesucian diri) dengan menikah, menunaikan hak anak dan keluarga, berbakti kepada kedua orang tua, mendidik anak, silaturahim, taat kepada pemimpin dan berlemah lembut kepada pembantu.

Terkait dengan kemaslahatan umum, ada 17 cabang, yaitu berlaku adil dalam memimpin, mengikuti kelompok mayoritas, taat kepada pemimpin, mengadakan ishlah seperti memerangi para pembangkang agama, membantu dalam kebaikan seperti amar ma'ruf dan nahi munkar, melaksanakan hukum Allah, jihad, amanah dalam denda dan hutang serta melaksanakan kewajiban hidup bertetangga. Kemudian menjaga perangai dan budi pekerti yang baik dalam berinteraksi dengan sesama seperti mengumpulkan harta di jalan yang halal, menginfakkan sebagian hartanya, menjauhi foya-foya dan menghambur-hamburkan harta, menjawab salam, mendoakan orang yang bersin, tidak menyakiti orang lain, serius dan tidak suka main-main, serta menyingkirkan duri di jalanan.

وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
Dan malu adalah salah satu cabang dari iman

Secara bahasa al-hayaa' (الْحَيَاءُ) adalah perubahan yang ada pada diri seseorang karena takut melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan aib. Sedangkan secara terminologi, berarti perangai yang mendorong untuk menjauhi sesuatu yang buruk dan mencegah untuk tidak memberikan suatu hak kepada pemiliknya.

Disebutkannya malu secara khusus dalam hadits ini adalah karena sifat malu adalah motivator yang akan memunculkan cabang iman yang lain, sebab dengan malu seseorang merasa takut melakukan perbuatan yang buruk di dunia dan akhirat sehingga malu bisa berfungsi untuk memerintah dan menghindari atau mencegah. Demikian dijelaskan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Baari.

Dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, bisa dilihat betapa sifat malu ini memang luar biasa sehingga ia tidak menghiasi siapapun kecuali dengan kebaikan.

الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ


Pelajaran Hadits:
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Iman memiliki cabang yang banyak. Dalam hadits di atas disebutkan lebih dari 60 cabang. Ini menegaskan bahwa iman bukan hanya pernyataan secara lisan semata. Sekaligus mendorong kita untuk mengejar kesempurnaan iman dengan memenuhi cabang-cabangnya.
2. Salah satu cabang iman yang istimewa adalah malu. Karena dengan sifat malu, seseorang bisa terjaga dari perbuatan buruk dan hina yang bisa merendahkannya di hadapan Allah kemudian di hadapan manusia.

Demikian hadits ke-9 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita, mengingatkan keimanan kita, serta memotivasi kita memenuhi cabang-cabangnya. Wallaahu a'lam bish shawab. []