Tuesday, September 3, 2013

Biografi Ibnu Arabi


Bernama lengkap Abu Bakr Muhammad ibn al-‘Arabi al-Hatimi asal Murcia, Spanyol ini lahir pada tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165. Dirinya dijuluki ”Syaikh al-Akbar” (Sang Mahaguru) dan ”Muhyiddin” (”Sang Penghidup Agama”).  Ayah Ibn ‘Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn’’Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukkan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga Ali membawa pergi keluarganya ke SevillaIa memiliki status sosial yang tinggi.
   Pada masa mudanya Ibn ‘Arabi bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis bernama Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun 590, Ibn ’Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun 597/1200, sebuah ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun kemudian, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan dengan seorang syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang putri. Di Mekkah pula ia berjumpa dengan Majd al-Din Ishaq, seorang syaikh dari Malatya, yang kelak akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn ’Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi (606-673/1210-1274).
Ibn ’Arabi memiliki hubungan baik dengan sultan ini dan mengirimnya surat-surat berisi nasihat praktis. Dia pun merupakan sahabat dari penguasa Aleppo, Malik Zhahir (582-615/1186-1218), putra Sultan Saladin (Shalah al-Din) al-Ayyubi.
Pada tahun 620/1233, Ibn ’Arabi menetap di Damaskus, tempat sejumlah muridnya, termasuk al-Qunawi, menemaninya sampai akhir hayat. Menurut sejumlah sumber awal, ia menikah dengan janda Majd al-Din, ibu al-Qunawi. Selama periode tersebut, penguasa Damaskus dari Dinasti Ayyubiyah, Muzhaffar al-Din merupakan salah seorang muridnya. Ibn ‘Arabi wafat di Damaskus pada 16 November 1240 bertepatan tanggal 22 Rabiul Akhir 638 pada usia tujuh puluh tahun. Pencapaian spiritualnya yang luar biasa telah menyebar ke hampir seluruh Dunia Islam, dan bahkan Barat, hingga sekarang.
Justifikasi Pluralisme terhadap Ibnu Arabi
            Kesatuan agama dalam level yang sama meletakkan posisi wahyu yang dimiliki tiap-tiap agama dalam dua aspek agama, yaitu: pertama, konsep eksoterisyang mana menurut Schoun adalah aspek eksternal, formal, hukum, dogmatis, ritual, etika dan moral pada sebuah agama; kedua, konsep esoteris adalah aspek eksternal dan dogmatis formalistik. Kolerasi dua konsep tersebut ibarat dunia bentuk (aworld form) dalam eksoteris namun ia bersumber pada Esensi yang tak berbentuk (the Formless Essence) yaitu Esoteris. Dalam membangun dikhotomi makna tersebut Schoun menjustifikasinya melalui ajaran tasawwufyang mngekspresikan keindahan pandangan metafisika yang terkandung dalam makna wihdatul wujud Ibnu Arabi dan sufi lainnya. Karena Islam merupakan bagian dari Tuhan yang menajdi substansi nisbi.[5]
   Sedangkan fitnah yang mendasar terhadap pemikiran pluralisme Ibnu Arabi yang dijadikan dalil utama serta factor mendasar pada pemikirannya, yaitu:[6]
Sungguh ajaib, Sebuah taman yang terkepung nyalah api
Hatiku telah sanggup  menerima aneka bentuk,
Ia merupakan padang rumput bagi rusa-rusa,
Biara bagi para rahib-rahib Kristen, kuil anjungan berhala,
Ka’bah tempat orang bertawwaf,
Batu tulis untuk taurat ,
Dan mushaf bagi al-Qur’an
Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya; itulah agama keimananku
     Berdasarkan puisi ini, Nasr mendakwa Ibn Arabi konon “menyadari bahwa jalan-jalan yang diturunkan Tuhan mengantarkan ke satu puncak yang sama (came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit).” Meski sekilas tampak meyakinkan, pemaparan golongan ini jika dikaji lebih teliti sebenarnya jauh panggang dari api. Ibn Arabi bukanlah seorang pluralis atau transendentalis sebagaimana mereka khayalkan. Maksud ungkapannya itu telah ia jelaskan dalam kitab yang ditulisnya sendiri: Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq. Di sana jelas dikatakan bahwa `agama cinta’ yang ia maksud ialah agama Nabi Muhammad SAW, merujuk kepada firman Allah SWT dalam al-Quran, surah Al Imran, ayat 31, yang artinya: “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! –niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Lihat: kitab Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq, ed. Muhammad Salim al-Unsi (Beirut, 1312 H).
Kemudian Tauhid dalam perspektif Ibn ‘Arabi tidak lain dan tidak bukan adalah wahdat al-wujud. Doktrin ini adalah prinsip esoterisme sebagai doktrib menuju jalan esoterisme.  Doktrin ini akan menjadi “the root of all things”. Dan, secara lebih spesifik lagi ia akan mejadi akar metafisikanya. Ketika al-wujud adalah “the one and only Real”, yang lain semuanya akan menjadi relatif atau manifestasi bagi-Nya. Dan sebagai manifestasi, setiap detik seluruh ma siwa Allâh adalah “Dia dan tidak Dia”. Ini adalah apa yang Schuon sering istilahkan sebagai (“the spiritual paradox”) yang mendasari kesetaraan semua agama dimata tuhan.
Sedangkan pendapat Nur Muhammad dalam tasawwufnya, menurut Massignon: “ Cahaya-nya ibarat fermenting light yang ada karena the uncreated light of the mystery yang diemanasi oleh Tuhan sendiri.”Berkaitan dengan ini Ibnu Arabi berpendapat bahwa manusia adalah wujud satu-satunya yang ada dalam prinsip Nur Muhammad dimanifestasikan melalui derajat tertinggi sehingga patut disebut kholifah dan image dari Tuhan.[7] Tanggapan tersebut sangat tidak konsekuen dengan wilayah tasawwuf karena untuk menuju nur muhammadiyah seseorang harus melaksanakan syari’at dengan mutlak.
Tapi benarkah Ibnu Arabi menyatakan hal tersebut dan sesuaikah dengan aspek-aspek tasawwuf serta pandangannya terhadap agama Islam?

No comments:

Post a Comment