Wednesday, December 6, 2017

SIWAK

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html

(فصل)
 والسواك مستحب في كل حال إلا بعد الزوال للصائم وهو في ثلاثة مواضع أشد استحبابا: عند تغير الفم من أزم وغيره وعند القيام من النوم وعند القيام إلى الصلاة.

Artinya:
Bersiwak itu hukumnya sunnah dalam setiap keadaan kecuali setelah condongnya matahari bagi yang berpuasa. Bersiwak sangat disunnah dalam 3 tempat yaitu
(a) saat terjadi perubahan bau mulut; 
(b) setelah bangun tidur; 
(c) hendak melaksanakan shalat.

Bersiwak hukumnya sunah dalam setiap keadaan keculi, setelah condongnya matahari bagi yang berpuasa bersiwak sangat di sunahkan dalam 3 tempat:
  • ketika mulut berubah dikarenakan azm .
  • ketika bangun dari tidur.
  • Ketika akan melakukan shalat,.
KEUTAMAAN SIWAK
Termasuk sunnah yang paling sering dan yang paling senang dilakukan oleh Rosulullah n adalah bersiwak. Siwak merupakan pekerjaan yang ringan namun memiliki faedah yang banyak baik bersifat keduniaan yaitu berupa kebersihan mulut, sehat dan putihnya gigi, menghilangkan bau mulut, dan lain-lain, maupun faedah-faedah yang bersifat akhirat, yaitu ittiba’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendapatkan keridhoan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ (رواه أحمد)
Siwak merupakan kebersihan bagi mulut dan keridhaan bagi Rabb”. [Hadits shahih riwayat Ahmad, Irwaul Ghalil no 66). [Syarhul Mumti’ 1/120 dan Taisir ‘Alam 1/62]
Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu bersemangat melakukannya dan sangat ingin agar umatnya pun melakukan sebagaimana yang dia lakukan, hingga beliau bersabda.
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوْءٍ
“Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudlu”. [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Irwaul Ghalil no 70]
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلىَ أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ باِلسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَّلاَةٍ
“Kalau bukan karena akan memberatkan umatku maka akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat”. [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Irwaul Ghalil no 70]
Ibnu Daqiqil ‘Ied menjelaskan sebab sangat dianjurkannya bersiwak ketika akan shalat, beliau berkata: “Rahasianya yaitu bahwasanya kita diperintahkan agar dalam setiap keadaan ketika bertaqorrub kepada Allah, kita senantiasa dalam keadaan yang sempurna dan dalam keadaan bersih untuk menampakkan mulianya ibadah”. Dikatakan bahwa perkara ini (bersiwak ketika akan shalat) berhubungan dengan malaikat karena mereka terganggu dengan bau yang tidak enak. Berkata Imam As-Shan’ani : “Dan tidaklah jauh (jika dikatakan) bahwasanya rahasianya adalah digabungkannya dua perkara yang telah disebutkan (di atas) sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari hadits Jabir Radhiyallahu ‘anhu.
:
مَنْ أَكَلَ الثَّوْمَ أَوِ الْبَصَالَ أَوِ الْكَرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا لأَنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى بِهِ بَنُوْ آدَمَ
“Barang siapa yang makan bawang putih atau bawang merah atau bawang bakung maka janganlah dia mendekati mesjid kami. Sesungguhnya malaikat terganggu dengan apa-apa yang bani Adam terganggu dengannya” [Taisir ‘Alam 1/63]
Dan ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya bersiwak ketika akan shalat saja, bahkan beliau juga bersiwak dalam berbagai keadaan.
Diantaranya ketika dia masuk kedalam rumah…
رَوَى شُرَيْحٌ بْنُ هَانِئِ قَالَ : سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا بِأَيِّ شَيِءٍ يَبْدَأُ النَّبِيُّ إِذَا دَخَلَ بَيِتَهُ ؟ قَالَتْ : بِالسِّوَاكِ (رواه مسلم)
Telah meriwayatkan Syuraih bin Hani, beliau berkata : “Aku bertanya kepada ‘Aisyah : “Apa yang dilakukan pertama kali oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dia memasuki rumahnya ?” Beliau menjawab :”Bersiwak”. [Hadits riwayat Muslim, Irwaul Ghalil no 72]
Atau ketika bangun malam…
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوْسُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ
“Dari Hudzaifah ibnul Yaman Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Adalah Rasulullah jika bangun dari malam dia mencuci dan menggosok mulutnya dengan siwak”. [Hadits riwayat Bukhari]
Bahkan dalam setiap keadaan pun boleh bagi kita untuk bersiwak. Sesuai dengan hadits di atas (السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِّ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ). Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutlakkannya dan tidak mengkhususkannya pada waktu-waktu tertentu. Oleh karena itu siwak boleh dilakukan setiap waktu (Syarhul mumti’ 1/120, Fiqhul Islami wa Adillatuhu 1/300), sehingga tidak disyaratkan hanya bersiwak ketika mulut dalam keadaan kotor [Syarhul Mumti’ 1/125].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersemangat ketika bersiwak, sehingga sampai keluar bunyi dari mulut beliau seakan-akan beliau muntah.
عَنْ أَبِي مُوْسَى اَلأَشْعَرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ وَهُوَ يَسْتَاكُ بِسِوَاكٍ رَطْبٍ قَالَ وَطَرْفُ السِّوَاكِ عَلَى لِسَانِهِ وَهُوَ بَقُوْلُ أُعْ أُعْ وَالسِّوَاكُ فِيْ فِيْهِ كَأَنَّهُ يَتَهَوَّعُ
“Dari Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia sedang bersiwak dengan siwak yang basah. Dan ujung siwak pada lidahnya dan dia sambil berkata “Uh-uh”. Dan siwak berada pada mulutnya seakan-akan beliau muntah”. [Hadits riwayat Bukhori dan Muslim]
Dan yang lebih menunjukan akan besarnya perhatian beliau dengan siwak yaitu bahwasanya diakhir hayat beliau, beliau masih menyempatkan diri untuk bersiwak sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : دَخَلَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِيْقِ عَنْهُ عَلَى النَّبِيِّ وَ أَنَا مُسْنِدَتُهُ إلَى صَدْرِي – وَمَعَ عَبْدِ الرَّحْمنِ سِوَاكٌ رَطْبٌ يَسْتَنُّ بِهِ – فَأَبَدَّهُ رَسُوْلُ اللهِ بَصَرَهُ، فَأَخَذْتُ السِّوَاكَ فَقَضِمْتُهُ وَطَيَّبْتُهُ، ثُمَّ دَفَعْتُهُ إِلَى النَّبِيِّ فَاسْتَنَّ بِهِ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ اسْتَنَّ اسْتِنَانًا أَحْسَنَ مِنْهُ. فَمَا عَدَا أَنْ فَرَغَ رَسُوْلُ اللهِ رَفَعَ يَدَهُ أَوْ إِصْبَعَهُ ثُمَّ قَالَ : (فِي الرَّفِيْقِ الأَعْلَى) ثَلاَتًا، ثُمَّ قُضِيَ عَلَيْهِ
وَ فِي لَفْظٍ: فَرَأَيْتُهُ يَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَ عَرَفْتُ أَنَّهُ يُحِبُّ السِّوَاكَ فَقُلْتُ آخُذُهُ لَكَ ؟ فَأَشَرَ بِرَأْسِهِ : أنْ نَعَمْ
“Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : Abdurrahman bin Abu Bakar As-Sidik Radhiyallahu ‘anhu menemui Nabi dan Nabi bersandar di dadaku. Abdurrahman Radhiyallahu ‘anhu membawa siwak yang basah yang dia gunakan untuk bersiwak. Dan Rasulullah memandang siwak tersebut (dengan pandangan yang lama). Maka aku pun lalu mengambil siwak itu dan menggigitnya (untuk dibersihkan-pent) lalu aku membaguskannya kemudian aku berikan siwak tersebut kepada Rasulullah, maka beliaupun bersiwak dengannya. Dan tidaklah pernah aku melihat Rasulullah bersiwak yang lebih baik dari itu. Dan setelah Rasulullah selesai dari bersiwak dia pun mengangkat tangannya atau jarinya lalu berkata :
فِي الرَّفِيْقِ الأَعْلَى
Beliau mengatakannya tiga kali. Kemudian beliau wafat.
Dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata :”Aku melihat Rasulullah memandang siwak tersebut, maka akupun tahu bahwa beliau menyukainya, lalu aku berkata : ‘Aku ambilkan siwak tersebut untuk engkau?” Maka Rasulullah mengisyaratkan dengan kepalanya (mengangguk-pent) yaitu tanda setuju”. [Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim]
Oleh karena itu berkata sebagian ulama : “Telah sepakat para ulama bahwasanya bersiwak adalah sunnah muakkadah karena anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesenantiasaan beliau melakukannya dan kecintaan beliau serta ajakan beliau kepada siwak tersebut.” [Fiqhul Islami wa Adillatuhu 1/300]
DEFINISI SIWAK
Siwak adalah nama untuk dahan atau akar pohon yang digunakan untuk bersiwak. Oleh karena itu semua dahan atau akar pohon apa saja boleh kita gunakan untuk bersiwak jika memenuhi persyaratannya, yaitu :
1. Harus lembut, sehingga batang atau akar kayu yang keras tidak boleh digunakan untuk bersiwak karena bisa merusak gusi dan email gigi.
2. Bisa membersihkan dan berserat serta bersifat basah, sehingga akar atau batang yang tidak ada seratnya tidak bisa digunakan untuk bersiwak
3. Seratnya tersebut tidak berjatuhan ketika digunakan untuk bersiwak sehingga bisa mengotori mulut. [Syarhul Mumti’ 1/118]

BOLEHKAH BERSIWAK MENGGUNAKAN SIKAT GIGI MODERN DAN PASTA GIGI?

Sebagian ulama berpendapat tidaklah dikatakan bersiwak dengan sikat gigi adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena siwak berbeda dengan sikat gigi. Siwak memiliki banyak kelebihan dibandingkan sikat gigi. Namun pendapat yang benar bahwasanya jika tidak terdapat akar atau dahan pohon untuk bersiwak maka boleh kita bersiwak dengan menggunakan sikat gigi biasa karena illah (sebab) disyariatkannya siwak adalah untuk membersihkan gigi. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah besiwak dengan jarinya ketika berwudhu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
أدْخَلَ أضصْبِعَهُ عِنْدَ الْوُضُوْءِ وَ حَرَّكَهَا
“Beliau memasukkan jarinya (ke dalam mulutnya-pent) ketika berwudlu dan menggerak-gerakkannya”. [Hadits riwayat Ahmad dalam musnadnya 1/158. Berkata Al-Hafizh dalam talkhis 1/70 setelah beliau membawakan hadits-hadits tentang siwak dengan jari yaitu dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu dan Aisyah dan selain keduanya :”Dan hadits yang paling shahih tentang siwak dengan jari adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu”] [Syarhul Mumti’ 1/118-119]
Dan bersiwak dengan menggunakan akar atau dahan pohon adalah lebih baik dan lebih mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena memiliki faedah yang banyak dan bisa digunakan setiap saat serta bisa dibawa kemana-mana. Namun anehnya banyak kaum muslimin yang merasa tidak senang jika melihat orang yang bersiwak dengan akar atau dahan pohon, padahal tidak diragukan lagi akan kesunnahannya. Mereka memandang orang yang bersiwak dengan akar kayu dengan pandngan sinis atau pandangan mengejek. Apakah mereka membenci sunnah yang sering dilakukan dan dicintai oleh Nabi Shallallawau alaihi wa salam bahkan ketika akhir hayat beliau? Tidak cukup hanya dengan membenci, merekapun memberikan olok-olokan yang tidak layak sampai-sampai mereka mengatakan orang yang bersiwak adalah orang yang jorok.
CARA BERSIWAK
Hendaklah bersiwak dengan menggosok bagian kanan gigi, setelah itu bagian yang kiri. Hal ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah.
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُوْرِهِ وَفِيْ شَاْنِهِ كُلِّهِ
“Adalah menyenangkan Rasulullah untuk memulai dengan yang kanan ketika memakai sendal, menyisir rambut, ketika bersuci, dan dalam semua keadaan” [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]
Dan siwak termasuk dari bersuci. Namun para ulama berselisih tentang mana yang lebih afdhal, apakah memegang siwak dengan menggunakan tangan kanan atau dengan tangan kiri?.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang lebih afdhal adalah dengan tangan kanan. Karena bersiwak adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan sunnah adalah ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak layak dilaksanakan dengan yang kiri.
Sebagian ulama yang lain (diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) menganggap yang lebih afdhal adalah dengan tangan kiri. Karena bersiwak adalah termasuk membersihkan kotoran sebagaimana beristinja’ dan beristijmar. Oleh karena itu lebih baik menggunakan tangan kiri.
Sebagian ulama yang lainnya (yaitu sebagian para ulama dari madzhab Maliki) memerinci. Jika niat bersiwak untuk membersihkan kotoran maka yang lebih afdhal menggunakan tangan kiri, namun jika niatnya hanya sekedar melaksanakan sunnah (walaupun gigi dalam keadaan bersih-pent) seperti bersiwak ketika wudlu atau ketika akan sholat maka lebih baik menggunakan tangan kanan.
Namun tentang masalah ini perkaranya luas (bebas) karena tidak adanya dalil yang jelas yang menunjukan akan hal ini. [Syarhul Mumti’ 1/126-12]

BOLEHKAH SESEORANG YANG BERPUASA BERSIWAK?

Tentang masalah ini juga terjadi khilaf diantara para ulama’. Makruh menurut Syafi’iyah dan Hanabilah seseorang yang berpuasa bersiwak setelah waktu zawal (condongnya matahari) atau sejak masuk waktu shalat dhuhur hingga terbenam matahari. Dalil mereka.
1. Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
إِذَا صُمْتُمْ فَاسْتِكُوْا بِالْغَدَاةِ وَلاَ تَسْتَكُوْا بِالْعَشِيِّ
“Jika kalian berpuasa maka bersiwaklah ketika pagi hari dan janganlah kalian bersiwak ketika sore hari”(setelah zawal-pent)”. [Hadits riwayat Daruqutni dari hadits Ali bin Abi Thalib, namun sanadnya dha’if lihat Irwaul Ghalil no 67]
2. Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسكِ
“Bau mulutnya orang yang berpuasa sungguh lebih baik di sisi Allah daripada bau misik”. [Hadits riwayat Bukhari dan Muslim]
Dan bau mulut tersebut biasanya tidaklah muncul kecuali pada sore hari. Dan bau tersebut muncul dari ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, maka tidak selayaknya untuk dihilangkan sebagaimana darahnya para syuhada’ tidak boleh dihilangkan sehingga mereka dikuburkan bersama darah-darah mereka dan tanpa dimandikan.
Dan tidak dimakruhkan sama sekali secara mutlak menurut Malikiah dan Hanafiah seseorang yang berpuasa untuk bersiwak kapan saja. Dan ini adalah pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Berkata Imam Syaukani :”Yang benar disunnahkan orang yang berpuasa untuk bersiwak sejak awal siang hingga akhirnya (dari semenjak pagi sampai terbenam matahari –pent), dan inilah pendapat jumhur para imam”. [Fiqhul Islami 1/302]
Dalilnya yaitu :
1. Hadits-hadits yang menganjurkan untuk bersiwak itu bersifat umum baik bagi orang yang tidak berpuasa maupun yang berpuasa. Dan tidak ada satu dalilpun yang shahih yang mengkhususkan bahwa tidak dianjurkan bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah dhuhur. Sedangkan hadits Ali Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Daruqutni, hadits tersebut dhai’f maka tidak bisa dijadikan hujjah.
Syaikh Al-Albani berkata mengomentari hadits Ali yang dha’if ini :”…Dan jika engkau telah mengetahui lemahnya hadits ini maka tidak ada hujjah padanya (hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah akan makruhnya bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah zawal-pent). Lagi pula hadits ini bertentangan dengan dalil-dalil yang umum tentang disyari’atkannya siwak yang berlaku bagi orang yang berpuasa pada setiap waktu. Dan betapa baik apa yang telah diriwayatkan oleh At-Thabrani :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ غَنِمٍ قَالَ : سَأَلْتُ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ : آتَسَوَّكُ وَأَنَا صَائِمٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ, قُلْتُ : أَيُّ النَّهَارِ ؟ قَالَ : غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً. قُلْتُ : إِنَّ النَّاسَ يَكْرَهُوْنَ عَشِيَّةً وَ يَقُوْلُوْنَ إِنَّ رَسُلَ اللهِ قَالَ : لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسكِ ؟ قَالَ : سُبْحَانَ اللهِ لَقَدْ أَمَرَهُمْ بِالسِّوَاكِ, وَ مَا كَانَ بِالَّذِيْ يَأْمُرُهُمْ أَنْ يُنَتِّنُوْا أَفْوَاهَهُمْ عَمْدًا, مَا فِيْ ذَالِكَ مِنَ الْخَيْرِ شَيْءٌ بَلْ فِيْهِ شَرٌّ. قَالَ الحَافِظُ فِيْ التَّلْخِيْصِ (ص 113) : إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ
“Dari Abdurrahman bin Ghanim berkata : “Aku bertanya kepada Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu : Apakah aku bersiwak padahal aku berpuasa?” Beliau menjawab :”Ya”, Aku berkata : “Di siang hari kapan?”, Beliau berkata :”Di waktu pagi dan sore”. Aku berkata :”Orang-orang membenci (bersiwak) pada sore hari. Dan mereka berkata bahwa Rosulullah n bersabda : “Bau mulutnya orang yang berpuasa sungguh lebih baik di sisi Allah daripada bau misik”. Beliau berkata سُبْحَانَ اللهِ Rasulullah sungguh telah memerintahkan mereka untuk bersiwak dan tidaklah layak (bagi mereka) atas apa yang telah mereka telah diperintahkan oleh Rasulullah, mereka sengaja membuat mulut mereka menjadi berbau busuk. Tidak ada pada perbuatan mereka itu kebaikan sedikitpun, bahkan kejelekan yang ada pada perbuatan mereka itu.” Berkata Al-Hafiz dalam “Talkhis” hal 113 : “Sanadnya baik” [Lihat Irwaul Ghalil hal 1/106)]
2. Hadits Rasulullah bersiwak dalam keadaan berpuasa
قَالَ عَامِرُ بْنُ رَبِيْعَةَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ مَا لاَ أُحْصِي يَتَسَوَّكُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Berkata Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu ‘anhu : Aku telah melihat Rasulullah apa yang tidak bisa aku menghitungnya yaitu beliau bersiwak dan beliau dalam keadaan berpuasa”. [Hadits riwayat Abu Dawud].
Namun hadits ini dha’if dan tidak bisa dijadikan hujjah. [Lihat Irwaul Ghalil no 68].
3. Sedangkan diqiaskannya bau mulut orang yang berpuasa dengan darah para syuhada’ adalah qias yang salah. Karena ‘illah dari tidak dimandikannya para syuhada’ adalah pada hari kiamat mereka akan dibangkitkan dalam keadaan luka-luka mereka berdarah dengan warna darah namun mengeluarkan bau misik. Hal ini berbeda dengan puasa, tidak ada dalil yang menunjukan bahwa orang yang berpuasa akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan mengeluarkan bau mulut yang tidak dibersihkan dengan bau yang harum.
4. Adapun mengatakan bahwa bau mulut itu biasanya muncul pada waktu sore hari, ini tidaklah mutlaq. Bukankah terkadang bau itu muncul sebelum dhuhur, karena sebab munculnya bau ini adalah kosongnya lambung. Jika seseorang sahurnya terlalu cepat maka lambungnya akan kosong pada waktu pagi, sehingga di pagi hari mulutnya sudah bau. Seharusnya kalau ‘illah dari larangan bersiwak adalah bau mulut, maka kapan saja mulut itu bau maka tidak boleh bersiwak baik di siang hari maupun di pagi hari. Apalagi ada orang yang tidak memiliki bau mulut ketika berpuasa karena pencernaannya lambat atau karena yang lainnya (maka tentunya tidak mengapa baginya untuk bersiwak -pent). [Lihat Syarhul Mumti’ 1/121-124]
Berkata Syaikh Ali Bassam : “Tidak ada dalil pada hadits ini (yaitu hadits لَخُلُوْفُ فَمِ …. ). Sebab siwak tidaklah bisa menghilangkan bau yang timbul dari sumbernya yaitu dari lambung, berbeda dengan mulut yang bisa dibersihkan dengan siwak” [Taudihul Ahkam 1/106]
Demikianlah sekilas mengenai siwak semoga bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

KULIT YANG DI SAMAK

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html

(فصل)
 وجلود الميتة تطهر بالدباغ إلا جلد الكلب والخنزير وما تولد منهما أو من أحدهما وعظم الميتة وشعرها نجس إلا الآدمي. ولا يجوز استعمال أواني الذهب والفضة ويجوز استعمال غيرهما من الأواني.
 

Terjemah:
Kulit bangkai dapat suci dengan disamak kecuali kulit anjing dan babi dan hewan yang terlahir dari keduanya atau dari salah satunya. Adapun tulang bangkai itu najis kecuali tulang mayat manusia. Tidak boleh menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak. Boleh menggunakan wadah yang selain dari emas dan perak.

 

Samak kulit bangkai


1-وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ الْلَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ - أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ . وَعِنْدَ الْأَرْبَعَةِ: - أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ

Artinya : Dari Ibnu Abbas r.a., beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Apabila kulittelah disamak, maka ia telah menjadi suci.” (Dikeluarkan oleh Muslim, Di sisi Imam yang empat ; “Kulit mana saja yang disamak,”

[1]


2-وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْمُحَبِّقِ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ الْلَّهِ – صلى الله عليه وسلم - - دِبَاغُ جُلُودِ الْمَيْتَةِ طُهُورُهاَ – صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ

Artinya : Dari Salamah bin al-Muhabbiq r.a., beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Samak kulit bangkai dapat menyucikannya.” (Telah dishahihkan oleh Ibnu Hibban)

[2]


3-وَعَنْ مَيْمُونَةَ رَضِيَ الْلَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: - مَرَّ النبي- صلى الله عليه وسلم - بِشَاةٍ يَجُرُّونَهَا، فَقَالَ: "لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا؟" فَقَالُوا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ، فَقَالَ: "يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ" - أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ، وَالنَّسَائِيُّ

Artinya : Dari Maimunah r.a., beliau berkata : “Nabi SAW melewati kambing yang sedang ditarik, lalu beliau bersabda : “Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya ?” Mereka berkata : “Sesungguhnya ia sudah menjadi bangkai.”. Ia dapat disucikan oleh air dan daun qaradh.” (Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Nisa-i)

[3]


                Menurut keterangan Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab mengenai hukum kulit bangkai, dapat dijelaskan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai hukum kulit bangkai dalam tujuh mazhab, yaitu sebagai berikut :

1. Tidak suci kulit bangkai apapun dengan sebab samak. Ini merupakan salah satu pendapat yang masyhur dari Ahmad dan Malik.

2. Kulit bangkai yang dimakan dagingnya suci dengan sebab samak, tidak suci kulit bangkai lainnya. Ini merupakan pendapat Auza’i, Ibnu Mubarak, Abu Daud dan Ishaq Rahawiyah

3. Semua bangkai suci dengan sebab samak kecuali kulit anjing dan babi dan yang diperanakkan dari salah satu keduanya. Ini merupakan Mazhab Syafi’i. Pendapat ini juga merupakan pendapat yang diriwayat dari Ali dan Ibnu Mas’ud

4. Semua kulit bangkai suci kecuali kulit babi. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah

5. Semuanya kulit bangkai, termasuk anjing dan babi adalah suci, kecuali yang sucinya itu hanyalah luarnya saja, tidak suci dalamnya. Ini merupakan Mazhab Malik dalam satu riwayat

6. Semua kulit bangkai, luarnya atau dalamnya adalah suci dengan sebab samak. Ini merupakan pendapat Daud dan ahli dhahir

7. Kulit bangkai dapat dimanfaatkan tanpa samak. Ini merupakan pendapat al-Zuhri



Mazhab Syafi’i sebagaimana dijelaskan diatas berpendapat semua kulit bangkai adalah suci kecuali kulit anjing dan babi serta yang yang diperanakkan dari salah satu keduanya. Dalil pendapat ini adalah berdasarkan dhahir hadits di atas. Adapun pengecualian anjing dan babi adalah karena kedua binatang ini najis pada ketika hidupnya. Ini tentunya berbeda dengan binatang lainnya yang suci pada ketika hidupnya, maka dengan sebab disamak kulitnya pada ketika menjadi bangkai berarti mengembalikannya kepada suci sebagaimana halnya pada ketika hidup.


Adapun dalil-dalil dari mazhab lain adalah sebagai berikut :

1. Ahmad dan yang setuju dengannya, berdalil dengan sebagai berikut :

1). Dhahir firman Allah SWT :

حرمت عليكم الميتة

Artinya : Diharamkan atas kamu bangkai (Q.S. al-Maidah : 3 )

Kandungan ayat di atas mencakup kulit dan lainnya.

Bantahannya :

Ayat ini memang bersifat umum, tetapi telah dikhususkan dengan maksud hadits shahih riwayat Ibnu Abbas, Salamah bin al-Muhabbiq dan Maimunah di atas yang menjelaskan samak dapat meyucikan kulit bangkai.

2). Hadits Abdullah bin ‘Akiim, beliau berkata :

أتانا كتاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل موته بشهر أن لا تنتفعوا من الميتة باهاب ولا عصب

Artinya : Datang kepada kami surat dari Rasulullah SAW sebulan sebelum beliau wafat, yang berisi : “Jangan kalian manfa’atkan bangkai, baik kulit maupun sarafnya

Bantahannya :

         a). Menurut para hafidh, hadits ini mursal

b). Disamping itu, hadits ini matannya juga mudhtharib (goyang)

c). Hadits ini dalam bentuk tulisan (surat), sedangkan hadits-hadits shahih yang menjelaskan samak dapat menyucikan kulit bangkai di atas merupakan sabda Nabi SAW yang diriwayat melalui mendengar dan lebih shahih sanadnya serta lebih banyak riwayatnya. Karena itu, hadits yang menjelaskan samak dapat menyucikan kulit bangkai lebih patut di utamakan dan lebih kuat

d). Hadits ini sifatnya umum yang dikhususkan oleh hadits shahih riwayat Ibnu Abbas, Salamah bin al-Muhabbiq dan Maimunah di atas, maka larangan dalam hadits ini hanya pada kulit sebelum samak.

e). Pengertian “ihaab” adalah kulit bangkai sebelum disamak. Sesudah disamak tidak dinamakan dengan ihaab. Karena itu tidak bertentangan dengan maksud hadits riwayat Ibnu Abbas, Salamah bin al-Muhabbiq dan Maimunah di atas.

3). Kulit adalah bagian dari bangkai. Karena itu, tidak suci dengan sebab sesuatupun sebagaimana halnya daging

         Bantahannya :

         a). Qiyas kepada daqing tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash

         b). Samak pada daging tidak ada maslahahnya dan hanya merusak daging itu sendiri, berbeda dengan kulit

4). Alasan kulit bangkai menjadi najis adalah karena mati yang tidak dapat terpisah darinya dengan sebab samak. Karena itu, hukumnya tidak dapat berobah dengan sebab samak.

Bantahannya :

Alasan ini bertentangan dengan nash yang menjelaskan bahwa samak kulit bangkai dapat menyucikannya. Lagi pula samak selain kulit hanya merusaknya, berbeda dengankulit.

2. Auza’i, Ibnu Mubarak dan lainnya berargumentasi dengan antara lain :

a. Hadits riwayat Abu al-Malih ‘Amir bin Itsamah dari bapaknya, beliau berkata :

ان رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن جلود السباع

Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang dari kulit binatang buas.(H.R. Abu Daud, Turmidzi, al-Nisa-i dan lainnya dengan sanad shahih)

     Hadits ini juga telah diriwayat oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, beliau berkata : “Hadits ini adalah shahih.”

    Bantahannya :

a). Larangan dalam hadits ini, karena biasanya, kulit bintang buas yang diambil orang tetap dipertahankan bulunya. Karena itu, ia tidak dapat suci dengan sebab samak

      b). Larangan tersebut pada kulit yang belum disamak.

             Kedua penafsiran ini supaya tidak bertentangan dengan dalil-dalil shahih riwayat Ibnu Abbas, Salamah bin al-Muhabbiq dan Maimunah di atas. Jadi kandungan hadits ini tidak menunjuki penyamakan kulit binatang buas yang tidak dimakan tidak dapat menyucikannya

b. Hadits Salamah ibnu al-Muhabbiq :

دباغ الاديم ذكاته

Artinya : Penyamakan kulit adalah menyembelihnya.

                   Mereka mengatakan :

“Penyembelihan binatang yang tidak dimakan tidak dapat menyucikannya.”

Maksud pernyataan ini adalah binatang yang tidak dimakan tidak dapat disembelih, karena itu, penyamakan kulitnya tidak dapat menyucikannya, karena penyamakan kulit binatang hanya dapat dilakukan dengan menyembelihnya.

Bantahannya :

Pengertian hadits ini adalah penyamakan kulit dapat menyucikannya sama halnya dengan menyembelihnya. Jadi, bukan berarti penyamakannya harus dengan menyembelihnya. Seandainya yang terakhir ini menjadi maksud hadits ini, maka tentu bertentangan dengan dalil-dalil shahih riwayat Ibnu Abbas, Salamah bin al-Muhabbiq dan Maimunah di atas yang menyatakan samak kulit bangkai dapat menyucikannya.

c. Hewan yang tidak dimakan, maka tidak suci kulitnya dengan sebab samak, sama halnya dengan anjing.

Bantahannya :

Qiyas kepada anjing tidaklah tepat, karena anjing memang najis pada ketika hidup, berbeda halnya dengan kulit bangkai lainnya yang suci pada ketika hidup

3. Pendapat Abu Hanifah bahwa samak kulit dapat menyucikannya dengan mengecualikan kulit babi dan pendapat Daud dengan tanpa pencualian sesuatupun adalah berdalil dengan beramal dengan keumuman hadits mengenai samak dan juga karena diqiyas kepada keledai.

Bantahan :

a). Sifat hidup lebih kuat dari samak, buktinya sifat hidup menjadi sebab suci sejumlah benda, sedangkan samak hanya dapat menyucikan kulit. Karena itu, kalau sifat hidup tidak dapat menyucikan anjing dan babi, maka tentunya samak lebih patut tidak dapat menyucikannya.

b). Najis hanya hilang dengan cara mu’alajah (melakukan sesuatu atasnya) apabila najis tersebut merupakan yang datang kemudian. Adapun apabila najis tersebut mulazamah dengan benda, maka tidak dapat dihilangkan, seperti tahi, maka demikian juga anjing.

     c). Hadits di atas, meskipun umum tetapi sudah ditakhshis dengan yang bukan anjing dan babi berdasarkan dalil-dalil di atas.

     d). Apabila kita setujui dengan pendapat Abu Hanifah yang mengecualikan babi, maka tentunya anjing semakna dengan babi.

     e). Qiyas kepada keledai kurang tepat, karena keledai suci pada ketika hidup, maka dengan sebab samak kulit bangkainya, berarti mengembalikan kepada kesuciannya pada ketika hidup yang merupakan asalnya, berbeda dengan anjing dan babi dimana keduanya najis pada ketika hidup

4. Pendapat Malik dalam riwayat lain yang mengatakan samak hanya menyucikan luar kulitnya saja bertentangan dengan dhahir umum hadits yang menerangkan samak dapat menyucikan kulit bangkai

5. Pendapat al-Zuhri yang mengatakan kulit bangkai dapat dimanfaatkan tanpa samak berargumentasi dengan hadits Ibnu Abbas, beliau berkata :

هلا اخذتم اهابها فانتفعتم به

     Artinya : Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya untuk dimanfaatkannya.

    

     Bantahannya :

     Hadits ini bersifat mutlaq, maka dipertempatkan sesuai dengan hadits-hadits shahih di atas.]