Wednesday, December 6, 2017

ZAKAT BARANG TEMUAN

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


وما استخرج من معادن الذهب والفضة يخرج منه ربع العشر في الحال وما يوجد من الركاز ففيه الخمس

Apa yang telah digali dari tambang emas dan perak, harus dikeluarkan (zakat) dari padanya sepertempatnya sepersepuluh (2.5%) seketika itu juga. Dan apa yang didapat dari rikaz (barang-barang terpendam dari jaman jahiliyah) zakatnya adalah seperlima (20@)

Istilah harta karun sudah sangat tidak asing lagi bagi kita. Dalam ilmu Fiqih Islam, harta karun atau harta terpendam dikenal dengan istilah ar-rikâz, sedangkan barang tambang dikenal dengan istilah al-ma’din.
Para Ulama telah sepakat tentang wajibnya zakat pada barang tambang dan barang temuan (harta karun), akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang makna barang tambang (al-ma’din), barang temuan (ar-rikâz), atau harta simpanan (kanz), jenis-jenis barang tambang yang wajib dikeluarkan zakatnya dan kadar zakat untuk setiap barang tambang dan temuan.
Menurut Hanafiyyah (para pengikut madzhab imam Abu Hanîfah), bahwa ar-rikâz dan al-ma’din adalah harta yang sama atau satu makna. Sedangkan menurut mayoritas Ulama (Mâlikiyyah, Syâfi’iyyah dan Hanabilah, pent), kedua hal tersebut maknanya berbeda.
Ar-Rikâz, secara bahasa artinya adalah sesuatu yang terpendam dalam perut bumi berupa barang tambang atau harta terpendam. Sedangkan menurut pengertian syar’i, ar-rikâz ialah harta terpendam zaman jahiliyah yang didapatkan tanpa mengeluarkan biaya dan kerja keras, baik berupa emas, perak, maupun selainnya.
al-Ma’din, secara bahasa berasal dari kata al-‘adn yang berarti al-iqâmah. Dan inti segala sesuatu adalah ma’din-nya. Sedangkan menurut pengertian syar’i, ialah segala sesuatu yang keluar dari bumi yang tercipta dalam perut bumi dari sesuatu yang lain yang memiliki nilai.
Barang tambang ada yang berbentuk benda padat yang dapat dicairkan dan dibentuk dengan menggunakan api, seperti emas, perak, besi, tembaga, dan timah. Dan ada pula yang berbentuk cairan, seperti minyak, ter dan sejenisnya.
Menurut madzhab Hanafi, harta terpendam dan barang tambang adalah sama, sementara menurut mayoritas Ulama keduanya berbeda. Mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَالْمَعْدِنُ جُبَارٌ ، وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
…menggali barang tambang mengandung resiko , dan pada harta terpendam seperlima
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membedakan antara harta terpendam dan barang tambang.

LANDASAN DISYARIATKANNYA ZAKAT HARTA KARUN (TERPENDAM)

Para Ulama telah sepakat bahwa harta karun atau harta terpendam dan barang tambang wajib dikeluarkan zakatnya, berdasarkan keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Wahai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. [al-Baqarah/2:267]
Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
Dan pada harta terpendam (zakatnya) seperlima.

JIKA SESEORANG MENEMUKAN HARTA KARUN, APA YANG HARUS DILAKUKAN?

Barangsiapa menemukan harta karun atau terpendam, maka ia tidak lepas dari lima keadaan berikut :
Pertama : Ia menemukannya di tanah yang tidak berpenghuni atau tidak diketahui pemiliknya. Maka harta itu menjadi milik orang yang menemukannya. Ia mengeluarkan zakat seperlimanya, dan empat perlimanya menjadi miliknya. Ini sebagaimana hadits :
عن عَمْرو بنِ شُعَيْبٍ عن أبيه عن جَدِّه : – أن النبيَّ صلى الله عليه وسلم قال في كَنْزٍ وَجَدَهُ رَجُلٌ في خَرِبَة جَاهِلِيَّة : إنْ وَجَدْتَهُ في قَرْيَةٍ مَسْكُونَةٍ أو في سَبِيلِ ميتاء فَعَرِّفْهُ , و إنْ وَجَدْتَهُ في خَرِبَة جَاهِلِيَّة أوفي قَرْيَةٍ غير مَسْكُونَةٍ فَفِيهِ وفِي الرِّكازِ الخُمْسُ
Diriwayatkan dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata –tentang harta terpendam yang ditemukan seseorang di puing-puing Jahiliyah- , “Jika ia menemukannya di kampung yang berpenghuni atau di jalan yang dilalui orang, maka ia harus mengumumkannya. Jika ia menemukannya di puing-puing Jahiliyah atau di kampung yang tidak berpenghuni, maka itu menjadi miliknya dan zakatnya adalah seperlima.”
Kedua: Ia menemukannya di jalan yang dilalui orang atau di kampung yang berpenghuni, maka ia harus mengumumkannya. Jika pemilik harta datang, maka harta itu milik pemilik harta. Jika tidak ada yang datang, maka harta itu menjadi haknya, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Ketiga: Ia menemukannya di tanah milik orang lain. Dalam hal ini ada tiga pendapat Ulama
1. Harta itu untuk pemilik tanah. Ini adalah pendapat Abu Hanîfah dan Muhammad bin al-Hasan, qiyas dari pendapat imam Mâlik, dan salah satu riwayat dari imam Ahmad.
2. Harta itu milik orang yang menemukannya. Ini adalah riwayat yang lain dari imam Ahmad, dan dianggap bagus oleh Abu Yusuf (Murid Abu Hanîfah).
Mereka mengatakan, karena harta terpendam tidaklah dimiliki dengan kepemilikan tanah. Jadi harta itu menjadi milik orang yang menemukannya.
3. Dengan perincian: jika harta itu diakui oleh pemilik tanah, maka harta itu menjadi miliknya. Jika ia tidak mengakuinya, maka harta itu milik pemilik tanah yang pertama. Ini adalah madzhab imam asy-Syâfi’i.
Keempat : Ia menemukannya di tanah yang dimilikinya dengan pemindahan kepemilikan, dengan cara membeli atau selainnya. Dalam hal ini ada dua pendapat:
1. Harta itu milik orang yang menemukannya di tanah miliknya. Ini adalah madzhab imam Mâlik, imam Abu Hanîfah dan pendapat yang masyhur dari imam Ahmad, yaitu jika pemilik pertama tidak mengakuinya.
2. Harta itu milik pemilik tanah yang sebelumnya, jika ia mengakuinya. Jika tidak, maka milik pemilik tanah yang sebelumnya lagi dan seterusnya. Jika tidak diketahui pemiliknya, maka harta tersebut hukumnya seperti harta hilang, yaitu menjadi luqathah (barang temuan). Ini adalah pendapat imam asy-Syâfi’i.
Kelima: Ia menemukannya di dar al-harb (negeri yang diperangi). Jika digali bersama-sama oleh kaum Muslimin, maka itu adalah ghanimah (harta rampasan perang), hukumnya seperti ghanimah.
Jika ia mengusahakannya sendiri tanpa bantuan orang lain, dalam hal ini ada dua pendapat Ulama
1. Harta itu milik orang yang menemukannya. Ini adalah madzhab Ahmad, diqiyaskan dengan harta yang ditemukannya di tanah yang tidak berpenghuni.
2. Jika pemilik tanah mengetahuinya, sedangkan ia kafir harbi yang berusaha mempertahankannya, maka itu adalah ghanimah. Jika pemiliknya tidak mengetahuinya dan tidak berusaha mempertahankannya, maka itu adalah harta terpendam. Ini adalah madzhab imam Mâlik, Abu Hanîfah, dan Syafi’iyyah. Berdasarkan perincian yang mereka buat.

APAKAH DISYARATKAN NISHAB DAN HAUL PADA HARTA TERPENDAM?

Tidak disyaratkan nishab dan haul (berputarnya harta selama satu tahun) pada harta terpendam, dan wajib dikeluarkan zakatnya ketika ditemukan. Yaitu dikeluarkan seperlima atau dua puluh persen (20 %), berdasarkan makna yang nampak dari sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَفِى الرِّكَازِ الْخُمُسُ
Pada harta terpendam (zakatnya) seperlima.
Dan ini adalah pendapat mayoritas Ulama.

SIAPAKAH YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT DARI SEPERLIMA HARTA TERPENDAM TERSEBUT?

Para Ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan tempat penyaluran seperlima harta terpendam menjadi dua pendapat :
Pendapat Pertama : Tempat penyaluran seperlima tersebut sama dengan tempat penyaluran zakat untuk delapan golongan. Ini adalah pendapat imam asy-Syâfi’i dan imam Ahmad. Akan tetapi imam Ahmad mengatakan, jika ia menyedekahkannya kepada orang miskin, maka itu sudah cukup baginya.
Mereka melandasi pendapatnya ini dengan dua hujjah (argument), yaitu:
1. Apa yang diriwayatkan dari Abdullâh bin Bisyr al-Khats’ami rahimahullah , dari seseorang dari kaumnya yang biasa dipanggil Hajmah. Ia berkata, “Sekantung uang kuno jatuh menimpaku di Kufah dekat pekuburan Bisyr. Di dalamnya berisi empat ribu Dirham. Aku membawanya kepada Ali bin Abu Thâlib Radhiyallahu anhu , maka dia berkata, “Bagikanlah lima bagian!” aku membagikannya. Ali Radhiyallahu anhu mengambil seperlima darinya dan memberikan kepadaku empat perlimanya. Saat aku ingin pergi, dia memanggilku seraya berkata, “Apakah ada tetanggamu yang fakir dan miskin ?” Aku jawab, “Ya.” Dia berkata, “Ambillah ini, dan bagikan kepada mereka.”
2. Karena diperoleh dari bumi, maka disamakan dengan tanaman.
Pendapat Kedua : Tempat penyalurannya adalah tempat penyaluran harta fai’ (harta rampasan yang diperoleh dari orang kafir tanpa peperangan, pent). Ini adalah pendapat imam Abu Hanîfah, imam Mâlik, dan sebuah riwayat dari imam Ahmad yang dishahihkan oleh Ibnu Qudâmah.
Mereka melandasi pendapatnya ini dengan dua hujjah (argument), yaitu :
1. Apa yang diriwayatkan dari asy-Sya’bi, bahwa ada seorang lelaki menemukan seribu Dinar yang terkubur di luar Madinah. Ia membawanya ke hadapan Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu anhu, lalu Umar Radhiyallahu anhu mengambil seperlima darinya, yaitu dua ratus Dinar, dan memberikan sisanya kepada orang tersebut. Mulailah Umar Radhiyallahu anhu membagikan dua ratus dinar tersebut kepada kaum Muslimin yang hadir hingga tersisa beberapa dinar, maka dia berkata, “Dimanakah pemilik dinar tadi ?” Ia bangkit dan berjalan kearahnya, lalu Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Ambillah dinar ini, karena ini milikmu.”
Mereka mengatakan, jikalau itu zakat, pastilah dikhususkan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya, dan tidak dikembalikan lagi kepada orang yang menemukannya.
2. Karena ini wajib atas kafir dzimmi, sementara zakat tidak wajib atasnya. Dan karena harta itu termasuk harta makhmus (yang harus dikeluarkan seperlimanya) yang telah terlepas kepemilikannya dari tangan orang kafir (dengan anggapan harta itu termasuk harta terpendam milik kaum jahiliyah), maka disamakan seperti pembagian seperlima harta ghanimah.
Syaikh Abu Mâlik Kamal bin as-Sayyid Salîm berkata, “Dua dalil di atas tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Oleh karena itu syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Tidak ada dalam al-hadits yang menguatkan penjelasan salah satu dari kedua belah pihak atas pihak yang lainnya. Oleh karena itu, aku memilih dalam ahkâm (hukum-hukum) harta terpendam, tempat penyalurannya dikembalikan kepada keputusan (kebijakan) pemimpin kaum Muslimin. Ia menyalurkannya ke mana saja yang ada kemaslahatan bagi Negara. Inilah pendapat yang dipilih Abu Ubaid dalam kitab al-Amwâl.”

APAKAH BARANG TAMBANG TERMASUK DALAM HUKUM HARTA TERPENDAM YANG WAJIB DIKELUARKAN ZAKATNYA?

Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para Ulama fiqih menjadi dua pendapat :
Pendapat Pertama : Imam Mâlik –dalam salah satu dari dua riwayatnya-, dan imam asy-Syâfi’i dalam pendapatnya yang kedua berpendapat tidak ada kewajiban apa-apa pada barang tambang kecuali pada dua barang berharga (emas dan perak).
Pendapat Kedua : Mayoritas Ulama berpendapat, barang tambang dengan berbagai macam jenisnya, seperti emas, perak, tembaga, besi, timah dan minyak bumi, seperti rikâz (barang terpendam) yang wajib dikeluarkan zakatnya, walaupun mereka berselisih tentang kadar zakatnya.
TARJIH :
Pendapat yang râjih (kuat dan benar) adalah pendapat kedua, berdasarkan keumuman firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
Wahai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allâh) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. [al-Baqarah/2:267]
Tidak diragukan lagi, minyak bumi yang dikenal dengan sebutan “emas hitam” termasuk barang tambang yang paling berharga. Oleh karena itu, tidak sah mengeluarkannya dari hukum zakat ini. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab

KADAR ZAKAT YANG WAJIB DiKELURKAN PADA BARANG TAMBANG

Dalam masalah ini juga terjadi perbedaan pendapat para Ulama fiqih menjadi beberapa pendapat :
Pendapat Pertama: Imam Abu Hanîfah dan para sahabatnya, Abu Ubaid, dan selainnya berpendapat bahwa wajib dikeluarkan seperlima atau dua puluh persen (20 %) dari barang tambang seperti harta terpendam (harta karun).
Pendapat Kedua: Mayoritas Ulama berpendapat bahwa zakatnya seperempat puluh atau dua setengah persen (2,5 %), diqiyaskan dengan emas dan perak.
Sebab perselisihan ini adalah perbedaan pendapat tentang makna ar-rikâz (harta terpendam/harta karun); apakah barang tambang termasuk dalam kategorinya ataukah tidak?
Pendapat Ketiga: Sebagian Ulama fiqih membedakannya; jika hasil yang didapat banyak, jika dibandingkan dengan usaha dan biayanya, maka wajib dikeluarkan seperlimanya (20 %). Jika hasil yang didapat sedikit dibandingkan dengan usaha dan biayanya, maka wajib dikeluarkan seperempat puluhnya (2,5 %).
Demikian penjelasan singkat tentang panduan praktis zakat harta karun atau harta terpendam dan barang tambang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

ZAKAT DAGANGAN

https://hsssnwwwayyya58.blogspot.co.id/2017/12/fathul-qorib-mujib.html 


(فصل)
 وتقوم عروض التجارة عند آخر الحول بما اشتريت به ويخرج من ذلك ربع العشر

(Hendaklah) dihitung barang-barang dagangan itu ketika akhir tahun dengan harga berapa barang-barang itu telah dibeli. Dan wajiblah dikeluarkan dari harga barang-barang dagangan itu (jika telah mencapai nisabnya) seperempatnya sepersepuluh (2.5%).

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ دَاوُدَ بْنِ سُفْيَانَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى -أَبُو دَاوُدَ-، حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سَعْدِ بْنِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ، حَدَّثَنِي خُبَيْبُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِيهِ –سُلَيْمَانَ- عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ z قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ n كَان يَأمُرُنا أَن نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
Muhammad bin Dawud bin Sufyan berkata kepada kami: Yahya bin Hassan berkata kepada kami: Sulaiman bin Musa -Abu Dawud- berkata kepada kami: Ja’far bin Sa’d bin Samurah bin Jundub berkata kepada kami: Khubaib bin Sulaiman berkata kepadaku, dari bapaknya –Sulaiman–, dari Samurah bin Jundub1 z, beliau berkata: “Amma ba’du, sesungguhnya Rasulullah n memerintahkan kami untuk mengeluarkan sedekah (zakat) dari apa yang kita siapkan untuk diperdagangkan.”
Takhrij Hadits
Abu Dawud t meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya As-Sunan, Kitab Az-Zakat (2/95) no. 1562, beliau diamkan hadits ini tanpa memberikan komentar.
Melalui jalan Abu Dawud, Al-Baihaqi meriwayatkan hadits Samurah z dalam As-Sunan (4/146-147).
Dikeluarkan pula oleh Ad-Daruquthni t dalam Sunan-nya (2/309 cet. Dar Al-Ma’rifah) dari jalan Ja’far bin Sa’d dari Khubaib bin Sulaiman dari bapaknya dari Samurah z, dengan lafadz yang berbeda dengan riwayat Abu Dawud, di akhirnya dikatakan:
… وَكَانَ يَأمُرُنا أَن نُخْرِجَ مِنَ الرَّقِيقِ الَّذِي يُعَدُّ لِلْبَيْعِ
“… dan Rasulullah n memerintahkan kita mengeluarkan zakat dari budak yang dipersiapkan untuk diperdagangkan.”
Sanad hadits Samurah z ini dha’if (lemah), padanya ada Ja’far bin Sa’d, Khubaib bin Sulaiman dan bapaknya, Sulaiman.
Rawi pertama, dia adalah Ja’far bin Sa’d bin Samurah bin Jundub Al-Fazari, berkata Ibnu Hajar t: “Laisa bil qawi.” (Dia bukan orang yang kuat).
Rawi kedua, Khubaib. Dia adalah Khubaib bin Sulaiman bin Samurah bin Jundub Abu Sulaiman Al-Kufi, Ibnu Hajar t berkata tentangnya: “Majhul.” (Tidak dikenal).
Adapun rawi ketiga dia adalah Sulaiman bin Samurah bin Jundub Al-Fazari. Ibnu Hajar t berkata tentangnya: “Maqbul.”2
Ibnu Hibban t menyebutkan ketiganya dalam Ats-Tsiqat (6/137), (6/274) dan (4/312). Namun penyebutan itu tidak bisa dijadikan hujjah untuk menguatkan hadits ini, mengingat manhaj (metode) beliau yang tasahul (bermudah-mudah) dalam menguatkan rawi-rawi yang majhul (tidak dikenal).3
Hadits Samurah z didha’ifkan Ibnu Hazm sebagaimana dalam Al-Muhalla, demikian pula Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabi rahimahumullah.
Al-Hafizh t berkata: “Wa isnaduhu layyin.” (Dan sanad haditsnya lemah) (Bulughul Maram, no. 623)
Beliau juga berkata: “Fi isnadihi jahalah.” (Dalam sanadnya ada rawi-rawi yang majhul). (At-Talkhish, 2/179)
Adz-Dzahabi t berkata: “Dia (yakni Ja’far bin Sa’d) memiliki hadits tentang zakat dari anak pamannya (yakni Khubaib). Ibnu Hazm menolak hadits ini dan berkata: ‘Keduanya majhul …’ Kesimpulannya (hadits Samurah) sanadnya gelap.” (Mizanul I’tidal, 1/407)
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t mendha’ifkannya dalam Irwa’ul Ghalil (3/310, no. 827).
Wallahu ta’ala a’lam.

Makna hadits
Hadits Samurah bin Jundub z menunjukkan kewajiban zakat atas barang-barang yang diperjualbelikan. Zakat inilah yang diistilahkan dengan zakat ‘urudh tijarah (barang-barang yang diperjualbelikan) –selanjutnya kita katakan zakat ‘urudh tijarah–.
Hadits Samurah z –seandainya shahih– tegas menunjukkan kewajiban tersebut karena adanya perintah dari Rasulullah n. Hukum asal dari perintah adalah wajib selama tidak ada dalil lain yang memalingkannya dari kewajiban.
Ash-Shan’ani t (wafat 1182 H) berkata: “Hadits ini adalah dalil atas diwajibkannya zakat pada barang dagangan. Dijadikan dalil pula atas wajibnya (zakat ‘urudh tijarah) firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian hasil usahamu yang baik-baik.” (Al-Baqarah: 267)
Mujahid t berkata: “Ayat ini turun berkenaan dengan harta perdagangan.” (Subulus Salam, 2/136)
Menjadikan hadits Samurah z sebagai dalil wajibnya zakat ‘urudh tijarah bisa diterima bagi mereka yang melihat keabsahan hadits ini. Ibnu Abdil Barr t misalnya, beliau menghasankan hadits Samurah z, sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Az-Zaila’i Al-Hanafi t dalam Nashbur-Rayah (2/376).
Akan tetapi hadits ini dha’if, sehingga untuk membangun sebuah hukum dibutuhkan dalil lain yang menetapkan adanya zakat ‘urudh tijarah.
Ulama kita -semoga Allah l merahmati mereka- telah berbeda pendapat dalam masalah zakat ‘urudh tijarah dengan perbedaan yang cukup kuat, sebagaimana pula mereka bersilang pendapat dalam beberapa masalah zakat lainnya.
Pembaca rahimakumullah. Pada kesempatan yang berbahagia ini dengan mengharap rahmat Allah l sejenak kita simak pendapat yang disebutkan dalam masalah zakat ‘urudh tijarah. Semoga Allah l memberi rahmat dan taufik kepada kita semua.

Pendapat jumhur ulama tentang zakat Tijarah
Jumhur ulama, di antaranya imam yang empat: Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat wajibnya zakat urudh tijarah. Bahkan Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’ menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) akan kewajiban tersebut.
Pendapat ini dinisbatkan kepada sahabat Umar bin Al-Khaththab, putranya, dan juga Abdullah bin Abbas g.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Adapun barang-barang yang diperdagangkan, maka padanya ada zakat. Ibnul Mundzir berkata: ‘Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) di kalangan ahlul ilmi bahwa pada barang-barang yang dimaksudkan untuk diperdagangkan dikenai zakat, jika telah genap satu tahun (haul).
Pendapat ini diriwayatkan dari Umar dan putranya, Ibnu Abbas g. Ini pula pendapat tujuh fuqaha’, Al-Hasan, Jabir bin Zaid, Maimun bin Mihran, Thawus, An-Nakha’i, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, dan Abu ‘Ubaid …” (Majmu’ Fatawa 23/15)
Di atas pendapat jumhur tersebut, banyak ulama masa kini yang mengikutinya. Seperti Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Fauzan, dan Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad, sebagaimana tampak pada beberapa fatwa mereka yang akan kita nukilkan, insya Allah.

Dalil-dalil Jumhur
Pendapat jumhur, disandarkan pada dalil-dalil di antaranya:
Pertama: Firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, belanjakanlah sebagian hasil usahamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu…” (Al-Baqarah: 267)
Mujahid t menafsirkan firman Allah l ﮙ ﮚ dengan tijarah (perdagangan).
Al-Bukhari t membuat bab dalam Shahih-nya untuk ayat ini dengan judul, “Bab Shadaqatu Al-Kasbi wat Tijarah.” (Bab zakat usaha dan perdagangan)

Kedua: Hadits Samurah bin Jundub z yang sedang kita bahas:
كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
“Sesungguhnya Rasulullah n memerintahkan kami untuk mengeluarkan sedekah (zakat) dari barang-barang yang kita siapkan untuk diperdagangkan.”

Ketiga: Hadits Abu Dzar Al-Ghifari z, bahwasanya Rasulullah n bersabda:
… فِي الْإِبِلِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبَزِّ صَدَقَتُهَا
“… Pada unta ada zakat, pada kambing ada zakat, dan pada baju/kain (yang diperdagangkan) ada zakat.”4

Keempat: Jumhur juga berdalil dengan ijma’ (kesepakatan ulama) tentang zakat ‘urudh tijarah. Ijma’ (kesepakatan) ulama tersebut dinukilkan Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Sallam (157-224 H) dan Ibnul Mundzir Abu Bakr Muhammad bin Ibrahim (242-318 H).
Abu ‘Ubaid t berkata: “…Kaum muslimin bersepakat bahwa zakat adalah fardh dan wajib atasnya (yakni pada ‘urudh tijarah).” (Al-Amwal hal. 434 no. 1202)
Ibnul Mundzir t berkata: “Dan mereka bersepakat (ijma’) bahwa barang-barang yang diperdagangkan dikenai zakat jika genap satu tahun.” (Al-Ijma’, hal. 85 no. 137)
Ibnu Hubairah t berkata: “Mereka bersepakat bahwa dalam barang-barang yang diperdagangkan –apapun barangnya– ada zakat, jika nilai/harganya telah mencapai nishab emas atau perak. Padanya ada zakat sebesar seperempat puluh.” (Al-Ifshah 1/208)

Kelima: Jumhur juga berdalil dengan beberapa atsar mauquf dan maqthu’ di antaranya:
a) Atsar Umar bin Al-Khaththab z. Dari Abu ‘Amr bin Himas Al-Laitsi dari bapaknya dia berkata:
مَرَّ بِي عُمَرُ فَقَالَ: يَا حِمَاسُ أَدِّ زَكَاةَ مَالِكَ! قُلْتُ: مَا لِي مَالٌ إِلَّا جِعَابٌ وَأدمٌ. فَقَالَ: قَوِّمْهَا قِيْمَةً ثُمَّ أَدِّ زَكَاتَهَا
Umar berjumpa denganku lalu berkata: “Wahai Himas, keluarkan zakat hartamu!” Maka kukatakan: “Aku tidak memiliki harta kecuali kecuali ji’ab5 dan kulit.” Berkata Umar: “Hargailah barangmu kemudian keluarkan zakatnya.”6
b) Atsar Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab c:
لَيْسَ فِي الْعُرُوضِ زَكَاةٌ إِلَّا مَا كَانَ لِلتِّجَارَةِ
“Tidak ada zakat pada barang-barang kecuali apa yang diperjualbelikan.”7
c) Atsar Umar bin Abdul Aziz t, beliau berkata pada sebagian amilnya:
انْظُرْ مَنْ مَرَّ بِكَ مِنَ الْـمُسْلِمِينَ فَخُذْ مِمَّا ظَهَرَ مِنْ أَمْوَالِهِمْ مِمَّا يُدِيرُونَ مِنَ التِّجَارَاتِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ دِيْنَارًا …
“Lihatlah siapa yang kau jumpai dari kalangan muslimin, ambillah apa yang tampak dari harta-harta mereka yang mereka kelola dalam perdagangan, dari masing-masing empat puluh dinar diambil zakatnya satu dinar… “8

Keenam: Sabda Rasulullah n dalam hadits Umar bin Al-Khaththab z:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan dari amalannya sesuai apa yang dia niatkan.” (Muttafaqun’alaih)
Sisi pendalilannya, dikatakan: Orang yang berdagang tidak menjadikan barang dagangannya sebagai maksud, tetapi tujuan dan niat sesungguhnya adalah uang (mencari laba). Maka barang-barang itu sesungguhnya uang yang diharapkan labanya. Demikian pula apa yang ada pada niatan para pedagang.
Dikatakan pula, seandainya uang yang disimpan oleh orang-orang biasa -tanpa ada harapan tambahan- saja ada zakatnya jika telah mencapai nishab dan genap satu tahun, lebih-lebih lagi harta orang-orang kaya, para pedagang, yang terus berkembang dan diniatkan labanya tentu masuk dalam zakat.
Demikian beberapa dalil yang dikemukakan jumhur ulama. Allahu a’lam.

Bagaimana menghitung zakat yang dikeluarkan dari harta perdagangan?
Jika telah genap satu tahun (haul) sejak meniatkan atas suatu barang untuk diperdagangkan hendaknya dilihat barang dagangannya untuk ditetapkan berapa nilai/harganya saat itu. Nilai/harga barang dagangannya ini kemudian ditambahkan dengan uang tunai yang ada. Jika jumlah konversi barang dan uang tunai yang dimilikinya telah mencapai salah satu nishab emas atau perak maka dikeluarkan zakatnya (1/40) atau 2,5 persen.
Beberapa keterangan penting mengenai haul dan perhitungan zakat uang termasuk ‘urudh tijarah dapat dilihat kembali pada majalah kita Vol. IV/No. 45/1429 H/2008 hal. 55-59, rubrik Problema Anda, dengan judul Zakat Uang.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t ditanya tentang seorang yang memiliki usaha berbagai jenis perdagangan, seperti baju-baju, bejana-bejana, atau lainnya. Bagaimana cara dia mengeluarkan zakatnya?
Beliau menjawab: “Wajib atasnya mengeluarkan zakat atas barang-barang yang diperdagangkan jika telah sempurna haulnya (genap satu tahun) dan (nilai/harga barang dagangannya) mencapai nishab emas atau perak, berdasarkan hadits-hadits dalam masalah ini. Di antaranya hadits Samurah bin Jundub dan Abu Dzar c.” (Fatawa Ibn Baz, 14/159)
Dalam kesempatan lain, beliau ditanya tentang cara mengeluarkan zakat atas tanah atau sejenisnya (yang diperdagangkan), cukupkah zakat dikeluarkan sekali saat terjualnya barang setelah beberapa tahun sebelumnya tidak terjual?
Beliau menjawab: “Jika tanah atau sejenisnya seperti rumah, mobil, atau lainnya diperdagangkan, maka diwajibkan zakat setiap tahunnya sesuai nilai/harga barang tersebut saat sempurnanya haul. Tidak boleh mengakhirkan zakat kecuali bagi yang tidak mampu mengeluarkan zakatnya karena tidak ada harta kecuali barang dagangan. (Dalam keadaan ini) boleh baginya menunda zakat hingga terjualnya barang. (Jika terjual) dia tunaikan zakat-zakat dari semua tahun (yang belum dia bayarkan zakatnya), masing-masing tahun dikeluarkan zakatnya sesuai nilai/harga barang di tahun itu …” (Fatawa Ibn Baz 14/161)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t ditanya tentang seorang yang membeli sebidang tanah untuk tempat tinggal. Tiga tahun kemudian dia berniat untuk memperdagangkan tanah tersebut, apakah ada zakat atas tanah pada tiga tahun yang telah berlalu (yang tidak dia niatkan untuk diperdagangkan)?
Beliau menjawab: “Tidak wajib zakat atasnya karena pada tiga tahun yang telah lalu dia menghendaki tanahnya untuk ditinggali, akan tetapi sejak dia niatkan tanah tersebut untuk diperdagangkan dan mengembangkan harta mulailah dihitung haulnya, jika telah sempurna haulnya (sejak dia niatkan) maka saat itulah wajib atasnya zakat.” (Fatawa Arkanil Islam hal. 433)

Pendapat tidak wajibnya zakat ‘urudh tijarah dan dalil-dalilnya
Setelah kita melihat dalil-dalil jumhur dalam masalah zakat ‘urudh tijarah, tiba saatnya kita melihat dalil-dalil ulama yang melihat tidak wajibnya zakat tersebut. Pendapat ini diikuti oleh Dawud Azh-Zhahiri, Ibnu Hazm, dan diriwayatkan dari Al-Imam Malik.9
Kepada jumhur ulama dikatakan, bagaimana kalian mewajibkan zakat atas ‘urudh tijarah? Bukankah Rasulullah n telah membatasi zakat pada jenis-jenis harta tertentu, yaitu emas, perak, hewan ternak (unta, sapi, kambing, dan hasil bumi (gandum dan kurma)? Bukankah Rasulullah n bersabda:
لَيْسَ فِيمَا دُوْنَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ، وَلَيْسَ فِيْمَا دُونَ خَمْسِ ذُودٍ مِنَ الْإِبِلِ صَدَقَةٌ
“Tidak ada zakat atas (gandum dan kurma) yang kurang dari lima wasaq, dan tidak ada zakat atas unta yang kurang dari lima ekor.”10
Dalam hadits ini, Rasulullah n telah membatasi jenis-jenis harta yang diwajibkan atasnya zakat. Oleh karenanya, tidak ada zakat pada jenis-jenis lain seperti kuda atau budak. Bahkan ini adalah nash dari sabda Rasulullah n yang lain:
لَيْسَ عَلَى الْـمُسْلِمِ فِي فَرَسِهِ وَغُلَامِهِ صَدَقَةٌ
“Tidak ada atas seorang muslim zakat bagi kuda dan budaknya.”11
Jumhur menjawab: Kami memandang bahwa hadits-hadits di atas tidak meniadakan adanya zakat ‘urudh tijarah.
Hadits-hadits tersebut hanya menunjukkan pembatasan wajibnya zakat dilihat dari dzat (jenis harta) yaitu unta, sapi, kambing serta hasil panen berupa kurma dan gandum, namun tidak menafikan zakat yang melihat nilai/harga barang dan bukan jenis barangnya.
Sebagai contoh, seorang memiliki jenis hewan ternak yaitu unta sebanyak empat ekor, maka pada unta ini tidak ada kewajiban zakat meskipun nilai/harganya melebihi nishab emas atau perak, karena dalam zakat hewan ternak, yang dilihat adalah dzat (jenis) dan bukan nilai/harga barang.
Demikian pula seandainya seorang memiliki hewan-hewan ternak kambing ternak 25 ekor, unta 3 ekor, dan sapi 10 ekor, tidak ada zakat atasnya, meskipun jika semuanya digabung tentu melebihi nilai nishab emas dan perak.
Berbeda dengan zakat ‘urudh tijarah. Zakat ini tidak melihat dzat/jenis barangnya akan tetapi melihat nilai/harga dari barang dagangan tersebut. Sehingga dipahami bahwa zakat ‘urudh tijarah adalah bentuk zakat lain. Maka zakat ‘urudh tidak termasuk yang dinafikan hadits-hadits di atas. Allahu a’lam.
Zakat ‘urudh ditetapkan dengan dalil-dalil lain yang telah kami (jumhur) kemukakan, oleh karena itu zakat ‘urudh tijarah tidak masuk dalam penafian. Abdullah bin Umar c berkata:
لَيْسَ فِي الْعُرُوضِ زَكَاةٌ إِلَّا مَا كَانَ لِلتِّجَارَةِ
“Tidak ada zakat pada barang-barang (dari selain yang ditetapkan nash) kecuali apa yang diperjualbelikan.”12
Tentang hadits tidak adanya zakat pada kuda, jumhur ulama mengatakan: “Maksud dari kuda yang tidak ada zakatnya adalah kuda yang disiapkan untuk dipakai –dan ini tidak ada khilaf–. Berbeda dengan kuda yang diperjualbelikan, maka zakat ‘urudh tijarah ditetapkan pada kuda-kuda tersebut dengan dalil lain, di antaranya ijma’. Dan di atas inilah ahlul ilmi berpendapat.
At-Tirmidzi (209-279 H) berkata: “Hadits Abu Hurairah hadits hasan shahih, dan di atas inilah ahlul ilmu beramal, bahwasanya tidak ada zakat atas kuda peliharaan, demikian pula budak-budak jika digunakan untuk khidmah (melayani/ sebagai pembantu). Adapun jika untuk tijarah (diperjualbelikan) maka ada zakat atas harga mereka jika telah genap haulnya.” (Sunan At-Tirmidzi 3/15)
Demikian perkataan At-Tirmidzi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah z:
لَيْسَ عَلَى الْـمُسْلِمِ فِي فَرَسِهِ وَلَا فِي عَبْدِهِ صَدَقَةٌ
“Tidak ada atas seorang muslim zakat bagi kuda dan budaknya.”

Dalil Kedua: Kami tidak menetapkan zakat ‘urudh tijarah, berpegang pada bara’ah ashliyyah, yaitu pada asalnya harta seorang muslim terjaga dan tidak boleh diambil kecuali dengan dalil syar’i.
Sementara itu kita tidak temukan adanya dalil shahih yang marfu’ dari Rasulullah n yang secara sharih (jelas) mewajibkan zakat ‘urudh tijarah.
Hadits Samurah bin Jundub z demikian pula hadits Abu Dzar z yang merupakan nash dalam masalah zakat ‘urudh tijarah, keduanya lemah dan tidak sah dari Rasulullah n.
Maka seharusnya dalam masalah harta kaum mukminin, kita kembali kepada hukum asal yaitu terjaganya harta mereka, sebagaimana ditunjukkan dalam khutbah Rasulullah n saat haji wada’. Beliau n bersabda:
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، لِيَبْلُغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ …
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, kehormatan-kehormatan kalian di antara kalian haram, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini. Hendaknya yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir…”  (Muttafaqun ‘alaih)
Jumhur menjawab bahwa dalil-dalil yang kami kemukakan cukup untuk menetapkan disyariatkannya zakat ‘urudh tijarah.
Demikian beberapa dalil pendapat kedua dan munaqasyah (tanggapan) jumhur. Jawaban-jawaban atas dalil-dalil jumhur dapat dilihat lebih lanjut pada munaqasyah Ibnu Hazm atas dalil-dalil jumhur dalam kitabnya Al-Muhalla.

Khatimah
Adalah Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah, beliau merajihkan pendapat jumhur. Di antara yang sering beliau ucapkan dalam majelis beliau bahwa zakat tijarah adalah ijma’ (kesepakatan) tujuh fuqaha’ Madinah di masa tabi’in. Mereka adalah Sa’id bin Al-Musayyab, ‘Urwah bin Az-Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq, ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, Kharijah bin Zaid, Sulaiman bin Yasar, dan Abu Salamah bin Abdirrahman bin ‘Auf.
Pembaca rahimakumullah, ada kecenderungan hati untuk menguatkan pendapat jumhur, pendapat yang diikuti kibarut tabi’in sebagai generasi terbaik sesudah sahabat. Terlebih lagi, ini adalah pendapat Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu ‘Abbas g, dan sepertinya tidak ada riwayat sahabat lain yang menyelisihinya –wal ‘ilmu ‘indallah– bahkan dinukilkan ijma’.
Adapun bagi mereka yang tidak berpendapat akan wajibnya zakat perdagangan, hendaknya memperbanyak sedekah tanpa ukuran yang ditetapkan.
Sedekah tersebut dikeluarkan sesuai dengan kerelaan sebagaimana ditunjukkan sabda Rasulullah n yang memerintahkan para pedagang mengeluarkan sedekah –secara mutlak (bebas)– dari harta perdagangannya. Sebagaimana diriwayatkan At-Tirmidzi dalam Sunan-nya dari sahabat Qais bin Abi Gharzah z bahwasanya Rasulullah n bersabda:
يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ إِِنَّ الشَّيْطَانَ وَالْإِثْمَ يَحْضُرَانِ الْبَيْعَ فَشُوبُوا بَيْعَكُمْ بِالصَّدَقَةِ
“Wahai sekalian pedagang, sesungguhnya setan dan dosa menghadiri jual beli, maka padukanlah jual beli kalian dengan bersedekah.” (Shahih, diriwayatkan At-Tirmidzi dalam As-Sunan [3/514], beliau berkata: “Hadits Qais bin Abi Gharzah z adalah hadits yang hasan shahih.”)13

Peringatan Penting
Apa yang kita bahas mengenai zakat ‘urudh tijarah, mengingatkan kita akan satu pendapat aneh yang dibanggakan sebagian manusia saat ini. Mereka mewajibkan zakat atas seluruh barang kekayaan yang dimiliki seorang meskipun bukan barang dagangan.
Mereka datangi pemilik harta lalu menghitung seluruh kekayaan yang dimiliki berupa rumah tempat tinggal, mobil, motor, sepeda, bahkan perabot rumah tangga berupa karpet, perkakas dapur, gelas, panci, dan semua yang dimiliki berupa barang-barang yang digunakan sehari-hari tidak luput dari perhitungan. Barang-barang tersebut didata lalu dihargai dengan nilai uang untuk kemudian dikeluarkan zakatnya sebanyak 2,5 persen.
Subhanallah, ketahuilah sesungguhnya zakat yang seperti ini tidak dikenal dalam Islam.
Mereka berdalil dengan keumuman dalil seperti firman Allah l:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (At-Taubah: 103)
Mereka berkata: “Perabot rumah tangga dan seluruh yang dimiliki juga termasuk harta yang disebutkan secara umum dalam ayat ini, maka wajib juga diambil zakatnya.”
Kepada mereka kita katakan, bahwa pendapat ini menyelisihi sabda-sabda Rasulullah n seperti:
لَيْسَ عَلَى الْـمُسْلِمِ فِي فَرَسِهَ وَغُلَامِهِ صَدَقَةٌ
“Tidak ada atas seorang muslim zakat bagi kuda dan budaknya.”
Juga sabda-sabda beliau n lainnya.
Sesungguhnya pendapat ini telah keluar dari kesepakatan kaum muslimin dalam masalah zakat, dan pelakunya telah mengambil harta yang maksum tanpa hak, dan ini haram. Allahul Musta’an.
Berbeda dengan zakat ‘urudh tijarah, zakat ini adalah zakat yang masyhur di kalangan Ahlus Sunnah dan ulama mereka, dan masyhur di tengah salaf, yakni sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in.
Wallahu ta’ala a’lam, washalallahu ‘ala Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.