Wednesday, June 5, 2013

Hadits 35: Korelasi Iman dan Shalat pada Lailatul Qadar

Setelah membahas tanda-tanda munafik pada hadist sebelumnya, kita kini akan membahas kembali tanda-tanda keimanan dan kebaikannya.

Hadits yang akan kita bahas berikut adalah hadits ke-35, masih berada di bawah kitab iman. Ia berbicara mengenai keutamaan (fadhilah) menghidupkan lailatul Qadar. Dalam kaitannya dengan iman, menghidupkan lailatul Qadar adalah salah satu bagiannya. Karenanya, Imam Bukhari memberikan judul "Menegakkan Shalat pada Lailatul Qadar adalah sebagian dari Iman."

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-35:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Abu Hurairah, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menegakkan shalat pada Qadar karena iman dan mengharapkan perhitungan (pahala), maka diampuni dosanya yang telah lalu"

Penjelasan Hadits

Setelah Imam Bukhari menyebutkan hadits mengenai tanda-tanda kemunafikan, beliau kembali menyebutkan hadits mengenai tanda-tanda iman dan kebaikan/keutamaannya, karena pembicaraan tentang iman adalah tujuan utama dari kitabul iman. Maka di hadits ini beliau menjelaskan tentang shalat pada lailatul qadar adalah sebagian dari iman. Pada hadits selanjutnya nanti beliau menyebutkan shalat malam pada Ramadhan dan puasa Ramadhan adalah juga sebagian dari iman.

Berbeda dengan perawi lain yang menyebutkan matan hadits ini dengan fi'il madhi, matan hadits ke-35 Shahih Bukhari ini menggunakan fiil mudhari (kata kerja bentuk sekarang) pada kalimat syarat dan fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau) pada kalimat jawab/konsekuensinya. Fi'il madhi pada kalimat jawab merupakan isyarat kepastian balasan dari Allah. Sedangkan fi'il mudhari pada kalimat syarat di hadits ini mengisyaratkan bahwa shalat pada lailatul qadar itu tidak dapat dipastikan. Ini berbeda dengan shalat malam dan puasa pada bulan Ramadhan pada hadist selanjutnya (37 dan 38). Keduanya dapat dipastikan sehingga haditsnya memakai fi'il madhi.

مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ الْقَدْرِ
Menegakkan shalat pada lailatul Qadar

Inilah yang tidak dapat dipastikan. Selain Rasulullah, tidak ada manusia yang dapat memastikan bahwa saat itu adalah lailatul Qadar, meskipun dari berbagai hadita yang ada dapat diketahui tanda-tandanya dan malam keberapa di bulan Ramadhan yang lebih berpeluang menjadi waktu turunnya lailatul Qadar.

Yang dapat dilakukan adalah bermujahadah (sungguh-sungguh) untuk mendapatkan lailatul Qadar dengan memegakkan shalat pada malam-malam Ramadhan, terutama pada malam ganjil pada sepuluh hari terakhir. Dengan demikian, ketika turun lailatul Qadar, ia akan mendapatkan balasan/keutamaan yang ada pada hadita ini sebab ia pada saat itu terhitung menegakkan shalat di malam Qadar.

إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
karena iman dan mengharapkan perhitungan (pahala)

Artinya dengan ikhlas. Seseorang menegakkan shalat karena iman dan mengharap ridha serta perhitungan (pahala) dari Allah, bukan mengharapkan sesuatu dari selain-Nya seperti pujian, dikatakan kuat beribadah dan lain-lain. Hadits ini dan yang sejenis juga menjadi dalil bahwa seorang hamba yang beribadah dengan mengharapkan pahala serta ingin memperoleh surga tetap masuk dalam kategori ikhlas. Tidak seperti klaim sebagian sufi yang mengatakan bahwa beribadah dengan mengharap surga dan takut neraka berarti tidak ikhlas.

غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Diampuni dosanya yang telah lalu

Subhaanallah... adakah balasan lain yang lebih hebat daripada ini. Sungguh Allah maha pengampun lagi penyayang. Dia berkenan mengampuni dosa-dosa hambaNya dengan wasilah shalat malam pada lailatul Qadar. Jika seorang hamba telah mendapatkan ampunan, bukankah tempat kembalinya adalah surga? Adakah yang lebih hebat dari ini? Jika demikian, berarti lelah dan beratnya mujahadah untuk mencari lailatul Qadar dengan menegakkan shalat di malam-malam Ramadhan tidaklah seberapa dibandingkan dengan dahsyatnya balasan yang akan diterimanya

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Menegakkan shalat pada lailatul Qadar adalah sebagian dari iman;
2. Ibadah harus ikhlas dengan dilandasi iman, jika tidak ikhlas maka tidak akan diterima Allah SWT;
3. Diantara keutamaan shalat pada lailatul Qadar dengan ikhlas adalah diampuninya dosa yang telah lalu.

Demikian hadits ke-35 Shahih Bukhari dan penjelasannya. Semoga kita dimudahkan Allah untuk beribadah, diantaranya berupaya mencari lailatul qadar dengan menegakkan shalat pada malam-malam Ramadhan. Wallaahu a'lam bish shawab.[]

Hadits 34: Tanda-tanda Munafik (2)

Pembahasan hadits Shahih Bukhari, biidznillah, kini memasuki hadits ke-34. Hadits ini masih berada di bawah Kitab Al-Iman (كتاب الإيمان).

Sebagaimana hadits ke-33, hadits ke-34 ini juga membicarakan tanda-tanda munafik. Bedanya, jika pada hadits ke-33 disebutkan tiga tanda, pada hadits ini ada empat. Karenanya, pembahasan hadits Shahih Bukhari ke-34 ini kita beri judul "Tanda-tanda Munafik (2)".

Berikut ini matan (redaksi) hadits Shahih Bukhari ke-34:


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

Dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW bersabda, "Empat hal, barangsiapa memilikinya maka ia adalah munafik tulen. Barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat itu, maka ia memiliki karakter munafik hingga ia melepaskannya: Jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika berdebat ia bertindak tak terpuji."

Penjelasan Hadits

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا ، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا
Empat hal, barangsiapa memilikinya maka ia adalah munafik tulen. Barangsiapa yang memiliki salah satu dari sifat itu, maka ia memiliki karakter munafik hingga ia melepaskannya:

Kita mungkin bertanya, mengapa pada hadits sebelumnya disebutkan tiga tanda munafik sedangkan pada hadits ini disebutkan ada empat hal? Imam Al Qurthubi menjawab, "Ada kemungkinan Rasulullah SAW baru mengetahui sifat tambahan itu." Namun, pendapat ini tidak disetujui oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani.

Ibnu Hajar menjelaskan bahwa kedua hadits di atas (hadits ke-33 dan ke-44) tidak ada pertentangan. Karena sifat yang menunjukkan karakter orang munafik belum tentu tanda-tanda munafik. Karena bisa saja tanda-tanda tersebut merupakan sifat asli munafik. Dan jika ditambahkan sifat yang lain maka kemunafikannya akan semakin sempurna (tulen).

Dalam riwayat Muslim ada tambahan kata مِنْ (dari) sehingga berbunyi مِنْ عَلاَمَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ (diantara tanda-tanda munafik itu ada tiga). Riwayat Muslim dari Abu Hurairah tersebut malah mengindikasikan tidak adanya pembatasan terhadap tanda-tanda munafik. Masih ada tanda lain di luar tiga itu, meskipun tiga tanda yang telah disebutkan pada hadits ke-33 adalah tanda-tanda pokok atau utama.

Empat hal yang akan disebutkan dalam lanjutan hadits ini jika terhimpun dalam diri seseorang, maka itu menjadi indikator bahwa orang tersebut adalah munafik tulen. Jika salah satu atau sebagiannya dimiliki seseorang, maka ia termasuk berkarakter munafik, sampai ia meninggalkan atau melepaskan sifat-sifat tersebut.

Apa saja keempat sifat itu?

إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
Jika dipercaya ia berkhianat, jika berbicara ia bohong, jika berjanji ia mengingkari, dan jika berdebat ia bertindak tak terpuji

Tiga hal yang disebutkan pertama adalah sama dengan tiga tanda-tanda munafik yang disebutkan pada hadits ke-33. Seperti disebutkan di awal, itulah tanda-tanda utama. Mengapa? Sebab domain amal seseorang hanya tiga; perkataan, perbuatan dan niat. Dusta itu merusak perkataan, khianat itu merusak perbuatan, mengingkari janji itu merusak niat. Sedangkan jika janji tidak terpenuhi tanpa sengaja (sebenarnya sudah berusaha tapi tidak berhasil), maka ia tidak dikategorikan sebagai tanda munafik, sebagaimana dijelaskan Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin.

Hal baru dalam hadits ini yang tidak disebutkan sebagai tanda munafik dalam hadits sebelumnya adalah bertindak "fujur" ketika berdebat. Fujur yang dimaksud dalam hadits ini adalah meninggalkan kebenaran dan menggunakan tipu daya untuk menolaknya. Sebenarnya karakter ini bisa dimasukkan dalam kategori berdusta dalam berbicara.

Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Tanda-tanda munafik yang pokok ada tiga. Namun, selain yang tiga itu ada sifat lain yang dimiliki oleh munafik, diantaranya bersikap buruk ketika berdebat dengan berdusta dan menggunakan tipu daya untuk menolak kebenaran;
2. Jika seseorang secara sempurna memiliki tanda-tanda munafik atau sifat munafik, maka ia adalah munafik tulen. Jika sebagian sifat yang dimiliki sedangkan yang lainnya tidak, maka ia memiliki sebagian kemunafikan;
3. Selain tiga tanda kemunafikan yaitu jika berbicara ia dusta, jika berjanji ia mengingkari dan jika diberi amanah ia berkhianat, orang yang munafik memiliki sifat fujur ketika berdebat (meninggalkan kebenaran dan menggunakan tipu daya untuk menolak kebenaran itu).

Demikian hadits ke-34 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga kita dilindungi Allah SWT dari kemunafikan dan orang munafik, serta dikaruniai taufiq agar terjauh dari tanda-tanda munafik. Wallaahu a'lam bish shawab.[]