Saturday, August 5, 2017

AL-QUR'AN

IMAN

ILMU

INDEX AL-QURA                  TOPIK DALAM AL_QUR"AN 


Kedudukan ilmu

Majlis ilmu atau tempat pendidikan

Menyampaikan ilmu

Etika ilmu

Fatwa

Mimpi

Pengobatan atau meditasi

Perhitungan tahun

IBADAH

AHLAK DAN ADAB

HUKUM PRIVAT

MAKANAN DAN MINUMAN

PAKAIAN DAN PERHIASAN

MUAMALAT

A.    Pengertian Fiqih Muamalah

Fiqih Muamalah terdiri atas dua kata, yaitu fiqih dan muamalah. Berikut penjelasan dari Fiqih, Muamalah, dan Fiqih Muamalah.

·        Fiqih

Menurut etimologi, fiqih adalah الفهم)) [paham], seperti pernyataan : فقهت الدرس  (saya paham pelajaran itu). Arti ini sesuai dengan arti fiqih dalam salah satu hadis riwayat Imam Bukhari berikut:

من يرد ا لله به خيرا يفقهه في الد ين

Artinya: “Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisiNya, niscaya diberikan kepadaNya pemahaman (yang mendalam) dalam pengetahuan agama.”

Secara  terminologi, fiqih pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah, akhlak, maupun  ibadah sama dengan arti syari’ah islamiyah. Namun, pada perkembangan selanjutnya, fiqih diartikan sebagai bagian dari syariah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.

·        Muamalah

secara etimologi, kata muamalah adalah bentuk masdar dari kata’amala yang artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengenal.

Secara terminology Muamalah ialah segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya. Aturan agama yang mengatur hubungan antar sesama manusia,  dapat kita temukan dalam hukum Islam tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat, hibah perdagangan, perburuan, perkoperasian dll. Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya dapat kita temukan antara lain dalam hukum Islam tentang makanan, minuman, mata pencaharian, dan cara memperoleh rizki dengan cara yang dihalalkan atau yang diharamkan.

·        Fiqih Muamalah

Pengertian fiqih muamalah secara terminologi dapat dibagi menjadi dua:

   a)      Fiqih muamalah dalam arti luas

   1.       Menurut Ad-Dimyati, fiqih muamalah adalah aktifitas untuk menghasilkan duniawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.

   2.       Menurut pendapat Muhammad Yusuf Musa yaitu ketentuan-ketentuan hukum mengenai kegiatan perekonomian, amanah dalam bentuk titipan dan pinjaman, ikatan kekeluargaan, proses penyelesaian perkara lewat pengadilan, bahkan soal distribusi harta waris.

  3.       Menurut pendapat Mahmud Syaltout yaitu ketentuan-ketentuan hukum mengenai hubungan perekonomian yang dilakukan anggota masyarakat, dan bertendensikan kepentingan material yang saling menguntungkan satu sama lain.

Berdasarkan pemikiran diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa fiqh muamalah adalah mengetahui ketentuan-ketentuan hukum tentang usaha-usaha memperoleh dan mengembangkan harta, jual beli, hutang piutang dan jasa penitiapan diantara anggota-anggota masyarakat sesuai keperluan mereka, yang dapat dipahami dan dalil-dalil syara’ yang terinci.

   b)      Fiqih muamalah dalam arti sempit:

   1 .    Menurut Hudhari Beik, muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.

   2.       Menurut Idris Ahmad adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.



A.                   Ruang Lingkup Fiqih Muamalah

Ruang lingkup fiqih muamalah terbagi menjadi dua:

·         Al-Muamalah Al-Adabiyah. Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.

·         Al-Muamalah Al-Madiyah

     1.       Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah)

     2.       Gadai (rahn) 

     3.       Jaminan/ tanggungan (kafalah)

     4.       Pemindahan utang (hiwalah)

     5 .       Jatuh bangkit (tafjis)

     6.       Batas bertindak (al-hajru)

     7.       Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)

     8.       Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)

     9 .       Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)

   10.    Upah (ujral al-amah)

   11.    Gugatan (asy-syuf’ah)

   12.    Sayembara (al-ji’alah)

   13.    Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah)

   14.    Pemberian (al-hibbah)

   15.    Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu)

   16.    beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah), seperti masalah bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnnya.

    17.    Pembagian hasil pertanian (musaqah)

    18.    Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah)

    19.    pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf)

    20.    Pihak penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh)

   21.    Pinjaman barang (‘ariyah)

   22.    Sewa menyewa (al-ijarah)

   23.    Penitipan barang (wadi’ah)

  Fikih Muamalah dan Kemajuan Zaman

Seiring dengan bermunculannya konsep-konsep bisnis baru yang menawarkan berbagai konsep transaksi bisnis, tentu sebagai salah satu sumber hukum agama mayoritas di Indonesia seharusnya fiqh muamalah juga harus lebih cekatan dalam menyiasati dan memecahkan masalah hukum dari transaksi bisnis tersebut, kalau memang hal itu haram menurut agama maka tugas para fuqaha baru adalah memunculkan konsep produk transaksi baru yang mirip dengan transaksi tersebut tapi tetap sesuai dengan konsep syari’ah.

Jika dilihat perkembangan bisnis sekarang, memang dapat disimpulkan bahwa konsep fiqh muamalah klasik tersebut tidak relevan lagi dengan perkembangan bisnis sekarang oleh karena itu kehadiran konsep fiqh muamalah kontemporer yang menawarkan konsep transaksi bisnis kontemporer sangat membantu dalam memecahkan masalah ini, sehingga kita sebagai ummat islam dapat dengan nyaman menjalankan bisnis tersebut tanpa khawatir akan melanggar ketentuan yang ditetapkan hukum Islam.

Akan tetapi perlu diingat juga bahwa sebagian besar konsep fiqh muamalah kontemporer itu masih banyak mengasopsi konsep fiqh muamalah klasik karena para ulama kontemporer tetap memakai prinsip-prinsip hukum muamalah klasik dalam menetapkan hukum transaksi muamalah kontemporer karena memang prinsip itu tidak dapat dihilangkan, hanya saja melalui proses ijtihad yang disesuaikan dengan konteks sekarang.

Jadi walaupun fiqh muamalah klasik itu sudah dianggap tidak relevan lagi dengan konteks bisnis kontemporer sekarang tidak dapat dipungkiri juga kalau fiqh muamalah klasik mempunyai peran yang sangat penting dalam pembuatan konsep fiqh muamalah kontemporer karena fiqh muamalah klasik itulah yang menjadi konsep utamanya walaupun sudah dimodifikasi sedemikian rupa.

Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menilai terjadinya perubahan, yaitu faktor tempat, faktor zaman, faktor kondisi social, faktor niat, dan faktor adat kebiasaan.

Pada dasarnya, kita masih dapat menerapkan kaidah-kaidah muamalat klasik namun tidak semuanya dapat diterapkan pada bentuk transaksi yang ada pada saat ini. Dengan alasan karena telah berubahnya sosio-ekonomi masyarakat. Sebagaimana kaidah yang telah diketahui:

المحفظة بالقديم الصلح و الأخذ بالجديد الأصلح

Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah

Yaitu memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan membiarkan terus praktik yang telah ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya. Dengan kaidah di atas, kita dapat meyimpulkan bahwa transaksi ekonomi pada masa klasik masih dapat dilaksanakan selama relevan dengan kondisi, tempat dan waktu serta tidak bertentangan dengan apa yang diharamkan.

Dalam kaitan dengan perubahan social dan pengaruh dalam persoalan muamalah ini, nampak tepat analisis yang dikemukakan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah ketika beliau merumuskan sebuah kaidah yang amat relevan untuk diterapkan di zaman modern dalam mengatisipasi sebagai jenis muamalah yang berkembang.

Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menilai terjadinya perubahan, yaitu faktor tempat, faktor zaman, faktor kondisi social, faktor niat, dan faktor adat kebiasaan. Faktor-faktor ini amat berpengaruh dalam menetapkan hokum bagi para mujtahid dalam menetapkan suatu hokum bidang muamalah. Dalam menghadapi perubahan social yang disebabkan kelima faktor ini, yang akan dijadikan acuan dalam menetapkan hukum suatu persolan muamalah adalah tercapainya maqashid asy-syari’ah. Atas dasar itu, maqashid asy-syari’ah lah yang menjadi ukuran keabsahan suatu akad atau transaksi muamalah.





     A.     Pengertian Harta

Harta di dalam bahasa Arab disebut al-mal atau jamaknya al-amwal(Munawir, 1984). Harta (al-mal) menurut kamus Al-Muhith tulisan Al Fairuz Abadi, adalah ma malaktahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai). Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual beli, pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian (An-Nabhani, 1990). Di dalam Al Quran, kata al mal dengan berbagai bentuknya disebut 87 kali yang terdapat dalam 79 ayat dalam 38 surat. Berdasarkan pengertian tersebut, harta meliputi segala sesuatu yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari (duniawi), seperti uang, tanah, kendaraan, rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil perikan-lautan, dan pakaian termasuk dalam katagori al amwal. Islam sebagai agama yang benar dan sempurna memandang harta tidak lebih dari sekedar anugerah Allah swt yang dititipkan kepada manusia.



Menurut Jumhur ulama, al-Mal (harta):

كل ما له قيمة يلزم متلفها بضمانه  

Segala sesuatu yang mempunyai nilai, dan dikenakan ganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya.

Menurut Hanafiyah: Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat dimanfaatkan. Menurut definisi ini, harta memiliki dua unsur, yaitu:

1.      Harta dapat dikuasai dan dipelihara secara nyata. Sesuatu yang tidak  bisa disimpan atau dipelihara secara nyata, seperti ilmu, kesehatan, kemuliaan, kecerdasan, udara, panas matahari, cahaya bulan, tidak dapat dikatakan harta.

2.       Dapat dimanfaatkan menurut kebiasaan. Segala sesuatu yang tidak bermanfaat seperti daging bangkai, makanan yang basi, tidak dapat disebut harta; atau bermanfaat, tetapi menurut kebiasaan tidak diperhitungkan manusia, seperti satu biji gandum, setetes air, segenggam tanah, dan lain-lain. Semua itu tidak disebut harta sebab terlalu sedikit sehingga zatnya tidak dapat dimanfaatkan, kecuali kalau disatukan dengan sesuatu yang lain. 

Salah satu perbedaan dari definisi yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan jumhur ulama adalah tentang benda yang tidak dapat diraba, seperti manfaat. Ulama Hanafiyah memandang bahwa manfaat termasuk sesuatu yang dapat dimiliki, tetapi bukan harta. Adapun menurut ulama selain hanafiyah (jumhur),manfaat termasuk harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan zatnya.

Jadi, perbedaan esensi harta antara ulama Hanafiyah dan Jumhur:

1.      Bagi jumhur ulama harta tidak saja bersifat materi, namun juga nilai manfaat yang terkandung di dalamnya.

2.      Adapun menurut ulama mazhab Hanafi harta hanya menyangkut materi, sedangkan manfaat termasuk ke dalam pengertian hak milik.

Sementara menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy,  yang dimaksud dengan harta ialah:

1.      Nama selain manusia yang diciptakan allah untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat, dan dikelola (tasharruf) dengan jalan ikhtiar.

2.      Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik oleh seluruh manusia maupun oleh sebagin manusia

3.      Sesuatu yang sah untuk diperjualbelikan

4.      Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai(harga)

5.      Sesuatu yang berwujud, Sesutu yang tidak berwujud meskipun dapat diambil manfaatnya tidak termasuk harta,

6.      Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.

Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal, 40), secara linguistik, al maal didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, dan bisa dimiliki oleh manusia dengan sebuah upaya (fi'il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi) seperti; komputer, Kamera digital, hewan ternak, tumbuhan, dan lainnya. Atau pun berupa manfaat, seperti, kendaraan, atau tempat tinggal. Berdasarkan definisi ini, sesuatu akan dikatakan sebagai al-maal, jika memenuhi dua kriteria;

·         Sesuatu itu harus bisa memenuhi kebutuhan manusia, hingga pada akhirnya bisa mendatangkan kepuasan dan ketenangan atas terpenuhinya kebutuhan tersebut, baik bersifat materi atau immateri.

·         Sesuatu itu harus berada dalam genggaman kepemilikan manusia. Konse-kuensinya, jika tidak bisa atau belum dimiliki, maka tidak bisa dikatakan sebagai harta. Misalnya, burung yang terbang diangkasa, ikan yang berada di lautan, bahan tambang yang berada di perut bumi, dan lainnya

B.     Cara Mendapatkan Harta Atau Asal Usul Harta dan Pemanfaatannya

Islam tidak membatasi cara seseorang dalam mencari dan memperoleh harta selama yang demikian itu tetap diberlakukan dalam prinsip umum yang berlaku yaitu halal dan baik. Hal ini berarti islam tidak melarang seseorang untuk mencari kekayaan sebanyak mungkin, karena bagaimanapun yang menentukan kekayaan yang dapat diperoleh seseorang adalah Allah SWT sendiri sebagaimana yang disebutkan dalam ayat diatas. Di samping itu dalam pandangan islam harta itu bukanlah tujuan, tetapi alat untuk mencapai keridhaan Allah.

Adapun bentuk usaha dalam memperoleh harta yang menjadi karunia Allah untuk dimiliki oleh manusia bagi menunjang kehidupannyasecara garis besar ada dua bentuk :

1.      Pertama, memperoleh harta tersebut secara langsung sebelum dimiliki oleh siapapun. Cara seperti ini sering disebut dengan penguasaan harta bebas(ihrazu al-mubahat). Disamping itu juga harta bebas bisa diperoleh melalui berburu hewan, mengumpulkan kayu dan rerumputan di hutan rimba, dan menggali barang tambang yang berada diperut bumi selama belum ada pihak yang menguasinya, baik individu maupun Negara.

2.      Kedua, memperoleh harta yang telah dimiliki oleh seseorang melalui suatu transaksi atau akad. Bentuk ini dipisahkan pada dua cara. Pertama peralihan harta berlangsung dengan sendirinya atau disebut juga ijbari yang siapapun tidak dapat merencanakan atau menolaknya seperti melalui warisan. Kedua peralihan harta berlangsung tidak dengan sendirinya,, dengan arti atas kehendak dankeinginan sendiri yang disebut ikhtiyari, baik melalui kehendak sepihak seperti hibah atau pemberian maupun melalui kehendak dan perjanjian timbale balik antara dua atau beberapa pihak seperti jual beli.

Cara memperoleh harta yang dilarang ialah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, yaitu memperoleh harta dengan cara-cara yang mengandung unsur paksaan dan tipuan yang bertentanga dengan prinsip sukarela, seperti merampas harta orang lain, menjual barang palsu, mengurangi ukuran dan timbangan, dan sebagainya. Kemudian memperoleh hartanya dengan cara yang justru mendatangkan mudharat/keburukan dalam kehidupan masyarakat, seperti jual beli ganja, perjudian, minuman keras, prostitusi,dan lain sebagainya. Atau memperoleh harta dengan jalan yang bertentangan dengan nilai keadilan dan tolong menolong, seperti riba, meminta balas jasa tidak seimbang dengan jasa yang diberikan. Juga menjual barang dengan harga jauh lebih tinggi dari harga yang sebenarnya, atau bisa dikatakan mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Adapun petunjuk Allah SWT  yang berkaitan dengan penggunaan harta adalah sebagai berikut:

1.      Digunakan untuk kepentingan kebutuhan hidup sendiri penggunan harta untuk kebutuhan hidup dinyatakan Allah dalam Firman-Nya pada beberapa ayat al-qur’an diantaranya pada surat al-Mursalat ayat 43Artinya:

    “ Makan dan minumlah kamu dengan enak apa yang telah kamu kerjakan.”

Walupun yang disebutkan dalam ayat ini hanyalah makan dan minum, namun tentunya yang dimaksud disini adalah semua kebutuhan hidup seperti pakaian dan perumahan.

2.      Digunakan untuk memnuhi kewajibannya terhadap Allah. Kewajiban kepada Allah itu ada dua macam:

a.       Kewajiban materi yang berkenaan dengan kewajiban agama yang merupakan utang terhadap Allah seperti keperluan membayar zakat atau nazar atau kewajiban materi lainnya, meskipun secara praktis juga digunakan dan dimanfaatkan meskipun secara praktis juga digunakan dan dimanfaatkan untuk manusia. Kewajiban materi dalam bentuk ini dinyatakan allah dalam beberapa ayat al-qur;an diantaranya surat al baqarah ayat 267. Artinya:

“Wahai orang orang yang beriman nafkahkanlah (zakatkanlah) dari yang baik-baik apa yang kamu usahakan dan apa-apa yangkami keluarkan untukmu dari dalam bumi”.

b.     kewajiban materi yang harus ditunaikan untuk keluarga yaitu anak, istri dan kerabat. Tentang kewajiban materi untuk istri dan anak dijelaskan Allah dalam surat al-Baqarah ayat 233.  Artinya:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

3.      Dimanfaatkan bagi kepentingan sosial. Hal ini dilakukan karena meskipun semua orang dituntut untuk berusaha mencari rezeki namun yang diberian allah itu tidaklah sama untuk setiap orang. Kenyataan berbedanya perolehan rezeki ini dinyatakan Allah dalam surat An-Nahl ayat 71. Artinya:

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”.

Orang yang mendapatkan kelebihan rezeki itu dituntut untuk menafkahkan sebagian dari perolehannya itu, sebagaimana disebutkan Allah dalam banyak tempat, diantaranya surat al-Munafiqun ayat 10 yang artinya: “Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang Telah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, Mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan Aku dapat bersedekah dan Aku termasuk orang-orang yang saleh?"

C.    Macam-Macam Harta

1.      Mal Mutaqawwim dan Ghair Mutakawwim.

Menurut Wahbah Zuhaili(1989,IV,hal.44), al-maal al mutaqawwim adalah harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh syara' untuk memanfaatkannya, seperti makana, pakaian, kebun apel, dan lainnya. al-maal gairu al mutaqawwim adalah harta yang belum diraih atau dicapai dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut belum sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia, seperti mutiara di dasar laut, minyak di perut bumi, dan lainnya. Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat, seperti minuman keras. Bagi seorang muslim, harta gairu al mutaqawwim tidak boleh dikonsumsi, kecuali dalam keadaan darurat. Namun demikian, yang diperbolehkan adalah kadar minimal yang bisa menyelamat-kan hidup, tidak boleh berlebihan.

Bagi non-muslim, minuman keras dan babi adalah harta mutaqwwim, ini menurut pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat seorang muslim atau non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, maka berkewajiban untuk menggantinya.

Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas tersebut termasuk dalam ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Dengan alasan, bagi non-muslim yang hidup di daerah Islam harus tunduk aturan Islam dalam hal kehidupan bermuamalah. Apa yang diperbolehkan bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi non-muslim, dan apa yang dilarang bagi muslim, juga berlaku bagi non-muslim.

Harta mutakawwim adalah semua harta yang baik jenisnya maupun cara memperoleh dan penggunaannya. Dan harta ghair mutaqawwim adalah yaitu yang tidak boleh diambil manfaatnya, baik jenisnya, cara memperolehnya maupun cara penggunaannya.

2.      Mal Mitsli dan Mal Qimi.

Mal Mitsli adalah benda-benda yang ada persamaan dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya ditemapt yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Dan Mal Qimi adalah benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya karenanya tidak dapat berdiri sebagian ditempat sebagian yang lainnya tanpa ada perbedaan.

Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanannya dipasaran, tanpa adaya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau kesatuannya. Harta mitsli dapat dikatagorikan menjadi empat bagian:

1)       Al makilaat (sesuatu yang dapat ditakar) seperti; gandu, terigu, beras;

2)       Al mauzunaat (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti; kapas, besi, tembaga;

3)       Al 'adadiyat (sesuatu yang dapat dihitung) seperti; pisang, telor, apel, begitu juga dengan hasil-hasil industri, seperti; mobil yang satu tipe, buku-buku baru, perabotan rumah, dan lainnya;

4)       Al dzira'iyat (sesuatuyang dapat diukur dan memiliki persamaan atas bagian-bagiannya) seperti; kain, kertas, tapi jika terdapat perbedaan atas juz-nya (bagian), maka dikatagorikan sebagai harta qimi, seperti tanah.

Al maal al qimi adalah harta yang tidak terdapat padanannya di pasaran, atau terdapat padanannya, akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda, seperti domba, tanah, kayu, dan lainnya. Walaupun sama jika dilihat dari fisiknya, akan tetapi stiap satu domba memiliki nilai yang berbeda antara satu dan lainnya. Juga termasuk dalam harta qimi adalah durian, semangka yang memilki kualitas dan bntuk fisik yang berbeda.

Dalam perjalanannya, harta mistsli bisa berubah menjadi harta qimi atau sebaliknya;

1.      Jika harta mitsli susah untuk didapatkan di pasaran (terjadi kelangkaan atau scarcity), maka secara otomatis berubah menjadi harta qimi,

2.      Jika terjadi percampuran antara dua harta mitsli dari dua jenis yang berbeda, seperti modifikasi Toyota dan Honda, maka mobiltersebut menjadi harta qimi,

3.      Jika harta qimi terdapat anyak padanannya di pasaran, maka secara otomatis menjadi harta mitsli.

3.      Harta Istihlak dan Harta Isti’mal.

Harta istihlak terbagi dua, yaitu istihlak haqiqi yang artinya suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas zatnya habis sekali digunakan. Dan yang kedua istihlak huquqi yang artinya harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya masih tetap ada.

·         Harta isti’mal adalah sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap terpelihara.

·         Al maal al istikhlaki adalah harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan merusak bentuk fisik harta tersebut, seperti aneka warna makanan dan minuman, kayu bakar, BBM, uang, dan lainnya. Jika kita ingin memanfaatkan makanan dan minuman, maka kita harus memakan dan meminumnya sampai bentuk fisiknya tidak kita jumpai, artinya barang tersebut tidak akan mendatangkan manfaat, kecuali dengan merusaknya.

Adapun untuk uang, cara mengkonsumsinya adalah dengan membelanjakanya. Ketika uang tersebut keluar dari sakudan genggaman sang pemilik, maka uang tersebut inyatakan hilang dan hangus, karena sudah menjadi milik orang lain, walaupun mungkin secara fisik, bentuk dan wujudnya masih tetap sama. Intinya, harta istikhlaki adalah harta yang hanya bisa dikonsumsi sekali saja.

·         Al maal al isti'mali adalah harta yang mungkin untuk bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya, seperti perkebunan, rumah kontrakan, kendaraan, pakaian, dan lainnya. Berbeda dengan istikhlaki, harta isti'mali bisa dipakai dan dikonsumsi untuk beberapa kali.

4.      Harta ‘Iqar dan Manqul

Menurut Hanafiyah (1989.IV, hal.46), manqul adalah harta yang memungkinkan untuk dipindah, ditransfer dari suatu tempat ke tempat lainnya, baik bentu fisiknya (dzat atau 'ain) berubah atau tidak, dengan adanya perpindahan tersebut. Diantaranya adalah uang, harta perdagangan, hewan, atau apa pun komoditas lain yang dapat ditimbang atau diukur.
Sedangkan 'iqar adalah sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan. Namun demikian, tanaman, bangunan atau apapun yang terdapat di atas tanah, tidak bisa dikatakan sebagai iqar kecuali ia tetap mengikuti atau bersatu dengan tanahnya.

Jika tanah yang terdapat bangunannya dijual, maka tanah dan bangunan tersebut merupakan harta 'iqar. Namun, jika bangunan atau tanaman dijual secara terpisah dari tanahnya, maka bangunan tersebut bukan merupakan harta 'iqar. Intinya, menurut Hanafiyah, harta 'iqar hanya terfokus pada tanah, sedangkan manqul adalah harta selain tanah.

Berbeda dengan Hanafiyah, ulama madzhab Malikiyah cenderung mempersempit makna harta manqul, dan memperluas makna harta iqar. Menurut malikiyah, manqul adalah harta yang mungkin untuk dipindahkan atau ditransfer dari satu tempat ketempat lainnya tanpa adanya perubahan atas bentuk fisik semula, seperti kendaraan, buku, pakaian, dan lainnya. Sedangkan 'iqar adalah harta yang secara asal tidak mungkin bisa dipindah atau ditransfer. seperti tanah, atau mungkin dapat dipindah, akan tetapi terdapat perubahan atas bentuk fisiknya, seperti pohon, ketika dipindah akan berubah menjadi lempengan kayu.

Dalam perkembanganya, harta manqul dapat berubah menjadi harta 'iqar, dan begitu juga sebaliknya. Pintu, listrik, batu bata, semula merupakan harta manqul, akan tetapi setelah melekat pada bangunan, maka akan berubah menjadi harta 'iqar. Begitu juga dengan batu bara, minyak bumi, emas, ataupun barang tambang lainnya, semula merupakan harta 'iqar, akan tetapi setelah berpisah dari tanah berubah menjadi harta manqul.

5.      Harta ‘Ain dan Dayn

Harta ‘ain ialah harta yang berbentuk benda, harta ‘ain terbagi dua yang pertama harta ‘ain dzati qimah yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai. Yang kedua harta ‘ain ghyar dzati qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta karena tidak memiliki harga. Sedangkan Harta Dayn adalah sesuatu yang ada dalam tanggung jawab.[13]

6.      Mal al-‘aini dan mal al-naf’i.

Harta ‘aini ialah benda yang memiliki nilai dan berbentuk. Dan harta naf’I adalah a’radl yang berangsur-angsur tumbuh menurut perkembangan masa.

7.      Harta Mamluk, Mubah dan Mahjur.

Harta mamluk ialah sesuatu yang masuk kebawah milik, milik perorangan maupun milik badan hukum. Harta mamluk terbagi dua, yang pertama harta perorangan yang berpautan dengan harta bukan pemilik. Dan yang kedua harta perkongsian anatara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya. Asalnya bukan milik seseorang.

Harta mubah ialah sesuatu yang pada seperti air pada mata air. Dan harta Mahjur ialah sesuatu yang tidak boleh dimiliki sendirin memberikan pada orang lain menurut syariat.

8.      Harta yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.

Harta yang dapat dibagi ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi. Dan Harta yang tidak dapat dibagi ialh harta yang menimbulkan kerusakan atau kerugian apabila harta tersebut dibagi-bagi.

9.      Harta pokok dan harta hasil.

Harta pokok ialah harta yang mungkin darinya terjadi harta yang lain, dan harta hasil ialah terjadi dari harta yang lain.

10.  Harta khas dan harta ‘am

Harta khas ialah harta pribadi, tidak sekutu dengan yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya. Dan harta ‘am ialah harta milik bersama yang boleh diambil manfaatnya.  

    D.    Fungsi Harta

Harta berfungsi untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah khas, sebab ibadah memerlukan alat-alat. Untuk meningkatkan keimanan kepada Allah. Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode selanjutnya. Untuk menyelaraskan kehidupan dunia dan akherat. Untuk menegakan dan mengembangkan ilmu-ilmu. Untuk memutarkan peranan-peranan kehidupan. Untuk menumbuhkan silaturahim.

Harta dipelihara manusia karena manusia membutuhkan manfaat harta  tersebut. Diantar sekian banyak fungsi harta antara lain sebagai berikut:

Untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah).

b.      Untuk meningkatkan keimanan (ketakwaan) kepada Allah.

c.       Untuk meneruskan kehidupan dari suatu periode ke periode berikutnya.

d.      Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan)antara kehidupan dunia dan akhirat.

Untuk mengembangkan dan meningkatkan ilmu-ilmu.

Peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan atau adanya orang kaya dan orang miskin.


  Konsep AL-Huquq (Hak-hak Dalam Islam) 

        Pengertian hak

secara etimologi berarti milik, ketetapan, dan kepastian Al-haqq berarti menetapkan dan menjelaskan Q.S Al-Anfal : 8

ليحق الحق و يبطل الباطل...

"agar Allah menetapkan yang hak (islam) dan membatalkan yang bathil (syirik)…

Al-haqq berarti bagian (kewajiban) Q.S Al-Baqarah : 241

وللمطلقات متاع بالمعروف حقا على المتقين

"kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendklah diberikan oleh suaminya mut'ah) menurutyang ma'ruf sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang taqwa"



        Rukun-rukun hak

1. pemilik hak (orang yang berhak)

2. objek hak

  

       Macam-macam hak

·         dari segi pemilik hak :

a. Hak Allah (segala bentuk yang boleh mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkan-Nya, dan menyebarluaskan syi'ar agama-Nya, seperti : ibadah, jihad)

b. Hak Manusia (pada hakikatnya untuk memelihara kemaslahatan setiap pribadi manusia, misalnya : pewarisan hak qishas)

c. Hak Berserikat (gabungan) antara hak Allah dengan hak manusia, tetapi ada kalanya hak Allah lebih dominant, seperti : persoalan 'iddah



·         dari segi objek hak

a. haq mali (hak yang terkait dengan harta, seperti : hak penjual terhadap harga barang yang dijual)

b. haq ghair mali (hak yang tidak terkait dengan kehartabendaan, seperti : hak qishas)

c. haq asy-syakhshi (hak yang ditetapkan syara' bagi seorang pribadi, berupa kewajiban terhadap orang lain, seperti : hak penjual untuk menerima harga barang yang dijual, hak terhadap orang yang berhutang)

d. haq al-'aini (hak seseorang yang ditetapkan syara' terhadap zat sesuatu, sehingga ia memiliki kekuasaan penuh untuk menggunakan dan mengembangkan haknya itu, seperti : hak memiliki sesuatu benda)

e. haq al-irtifaq (hak terhadap benda yang dijadikan sebagai jaminan hutang)



·         dari segi kewenangan pengadilan terhadap hak itu

a. haq diyani (hak yang tidak boleh dicampuri / intervensi oleh kekuasaan pengadilan, misalnya : dalam persoalan hutang yang tidak boleh dibuktikan pemberi hutang karena tidak cukupnya alat-alat bukti dipengadilan)

b. haq qadha'I (seluruh hak yang tunduk dibawah kekuasaan pengadilan, dan pemilik hak itu mampu untuk menuntut dan membuktikan haknya itu didepan hakim)



          Sumber atau sebab hak

a. syara' (seperti berbagai ibadah yang diperintahkan)

b. akad (seperti jual beli, hibah dan wakaf dalam pemindahan hak milik)

c. kehendak pribadi (seperti janji dan nazar)

d. perbuatan yang bermanfaat (seperti melunasi hutang)

e. perbuatan yang menimbulkan kemudharatan bagi orang lain (seperti mewajibkan seseorang membayar gantu rugi akibat kelalaiannya dalam menggunakan milik seseorang)



      Akibat hukum sesuatu hak

      a.   menyangkut pelaksanaan dan penuntutan hak



  KONSEP HAK MILIK (Milikiyah)

Milkiyah merupakan bagian terpenting dari hak aini.

 1. Keistimewaan yang diberikan oleh syara' kepada pemilik harta:

     ü  menghalangi orang lain untuk memanfaatkan tanpa ijin pemiliknya.

2. Halangan syara' yang membatasi kebebasan pemilik dalam bertasarruf:

    a. Disebabkan pemilik dipandang tidak cakap secara hukum. Seperti: anak kecil

        atau cacat mental (safih).

    b. Untuk melindungi hak orang lain, seperti: pada harta bersama.

 3. Sebab-sebab pemilikan 

    a. Ihraz al-mubahat (penguasaan harta mubah) = harta benda yang tidak termasuk

       dalam milik yang dilindungi (dikuasai oleh orang lain) dan tidak ada larangan

       hukum untuk memilikinya. Seperti: ikan di laut;  rumput di pinggir sungai; hewan

       di hutan. Syarat yang harus dipenuhi:

       1) tidak ada orang lain yang mendahului      من سبق إلى مـباح فقـد ملكه.  

       2) penguasaan harta itu dilakukan untuk tujuan dimiliki.

          

           Dalam sebuah negara: konsep ihraz al-mubahat menjadi terbatas, karena adanya aturan hukum yang membatasi harta mubah apa saja yang dapat dimiliki secara bebas. Karena demi melindungi kepentingan publik, negara berhak menyatakan sumber kekayaan alam tertentu sebagai milik negara. Misalnya: barang tambang – kayu di hutan – hewan langka – cagar alam dan lain-lain. Maka kata "larangan hukum" = mencakup kebijakan yang diterbitkan negara.

    b. Tawallud (berkembang biak)                                                                        

         berlaku = pada harta yang bersifat produktif = hewan – kebun – sektor jasa

         mobil – rumah (sewa).

    c.  khalafiyah (penggantian), ada 2 cara:

      1) Penggantian atas seseorang oleh orang lain, misalnya: pewarisan.

      2) Penggantian benda atas benda yang lainnya, misalnya: pertanggungan karena

          merusakkan barang/menghilangkan.

    d.  Akad = merupakan sebab pemilikan yang paling kuat dan luas berlaku dalam

         kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi harta kekayaan.

         Dalam Islam: pemilik harta bebas memanfaatkan dan mengembangkannya

         sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari'ah Islam.  Namun

         pemilik hakiki adalah Allah, harta di tangan manusia adalah amanah. – Individu

         bagian dari masyarakat, maka dalam setiap harta yang dimiliki oleh individu

         terdapat hak-hak orang lain yang harus dipenuhi = zakat. – maka kebebasan

        dalam bertindak terhadap milik pribadinya tidak boleh melanggar hak publik

        yang berkaitan dengan kepentingan umum.

4. Pembagian macam-macam milkiyah: 

    a. Dari segi obyek:

    1) milk al-'ain (benda)

    2) milk al-manfaah

    3) milk ad-dain (milik piutang). Seperti: harta yang dihutangkan – harga jual yang

        belum terbayar – harga kerugian barang yang dirusak.

    b. Dari segi unsur harta (benda dan manfaat)

        1) Al-milk at-tam = pemilik benda dan manfaat

        2) Al-milk an-naqish = pemilik hanya salah satu unsur harta saja.

             a) pemilikan atas manfaat: diperoleh via ijarah – i'arah – wakaf

             b) pemilikan atas benda tanpa manfaat: wasiat 

    c.  Dari segi bentuk, milik dibedakan menjadi:

        1) milk mutamayyaz (milik jelas) = pemilikan sesuatu benda yang mempunyai batas-batas yang jelas; tertentu yang dapat dipisahkan dari yang lainnya. Seperti: pemilikan seekor binatang – sebuah kitab – sebuah rumah.

        2) milk masya' (milik campuran) = pemilikan atas sebagian, tidak tertentu dari sebuah harta benda. Seperti: pemilikan atas separuh rumah;  1/4 kebun dan sebagainya. Jika diadakan pembagian atas harta campuran maka menjadi milk mutamayyaz.

             Milk masya' = bisa berupa milk 'ain  atau milk dain, seperti ad-duyun al-musytarikah: 2 orang atau lebih membeli sesuatu secara tangguh.

     Ø  BEBERAPA PRIPSIP PEMILIKAN

3.     Pada prinsipnya milk 'ain disertai milk manfa'ah, bukan sebaliknya.

2       Pada prinsipnya pemilikan pertama pada benda yang belum pernah dimiliki sebelumnya adalah sebagai milk tam.

3       Pada prinsipnya pemilikan sempurna tidak dibatasi waktu, sedang pemilikan naqish dibatasi waktu.

4       Pada prinsipnya pemilikan benda tidak dapat digugurkan, namun dapat dialihkan/dipindah.

5       Pada prinsipnya milk masya' atas benda, dalam hal tasharruf, sama posisinya dengan milk mutamayyaz = dalam hal ini boleh menjual, mewakafkan, berwasiat, tetapi tidak boleh tasharruf dalam 3 akad:

a. Rahn tujuan rahn: agunan pelunasan hutang, sehngga marhun (obyek rahn) harus diserahkan kepada murtahin. Tentu dalam hal ini tidak boleh hanya sebagian.

b. Hibah harus disertai penyerahan, sedang penyerahan hanya dapat dilakukan pada milk mutamayyaz.

c. ijarah = tidak boleh hanya sebagian. 



     Ø  HAK MILIK INDIVIDU

1. hak untuk memiliki

 2. hak untuk memanfaatkan

3. Hak untuk memindahtangankan kekayaan yang diakui dan dipelihara dalam Islam.

Tetapi mereka mempunyai kewajiban moral untuk menyerahkan harta, karena kekayaan itu juga merupakan hak masyarakat. Adz-dzariyat (51): 19



  KONSEP UMUM AQAD

     PENGERTIAN AKAD

Kata akad berasal dari Bahasa Arab al-‘aqd yang secara etimolagi berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan, (al-ittifaq).[1] Secara terminology fiqh, akad didefinisikan dengan ”pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada objek perikatan”. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, yang mengutip definisi yang dikemukakan Al-Sanhury, akad ialah: perikatan ijab dan Kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak. 

Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan Kabul dengan cara yang dibenarkan syara, yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada objeknya.

  TUJUAN AKAD 

Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu :Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.

      ü  Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.

      ü  Tujuan akad harus dibenarkan syara’.



      RUKUN DAN SYARAT AKAD

Dalam menjalankan Akad perlu adanya Rukun dan syarat akad yang harus dijalani, berikut adalah rukun dan syaratnya:

     Ø Rukun-rukun akad

1. ‘Aqid, adalah orang yang berakad terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa beberapa orang. 

2. Ma’qud alaih, ialah benda-benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah (pemberian), gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
3. Maudhu’ al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. 

4. Shighat al-aqd, ialah ijab Kabul, ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Kabul ialah perkataam yang keluar dari pihak yang berakad pula yang diucapkan setelah adanya ijab. 

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat al-aqd (akad) ialah:

a. Shighat al-aqd harus jelas pengertiannya, misalnya: “aku serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah atau pemberiannya”.

b. Harus bersesuian antara ijab dan Kabul. 

c. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, atau tidak karena diancam. 

cara yang diungkapkan dari para ulama’ fiqh dalam berakad

1. Dengan cara tulisan atau kitabah, misalnya dua aqid berjauhan tempatnya maka ijab Kabul boleh dengan kitabah atau tulisan. 

2. Isyarat, bagi orang tertentu akad atau ijab Kabul tidak dapat dilaksanakan dengan tulisan maupun lisan, misalnya pada orang bisu yang tidak bias baca maupun tulis, maka orang tersebut akad dengan isyarat.
3. Perbuatan, cara lain untuk membentuk akad selain secara lisan, tulisan atau isyarat ialah dengan cara perbuatan. Misalnya seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang tertentu kemudian penjual menyerahkan barang yang dibelinya. 

4. Lisan al-hal. Menurut sebagian ulama’, apabila seseorang meninggalkan barang-barang dihadapan orang lain kemudian dia pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada akad ida’ (titipan). 

    Ø Syarat-syarat akad

Syarat-syarat ang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad: 

     1.       Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), maka akad orang tidak cakap (orang gila, orang yang berada dibawah pengampuan (mahjur) karena boros dan lainnya akadnya tidak sah

     2.       Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya.

   3.        Akad itu diijinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan akid yang memiliki barang.

    4.       Akad bukan jenis akad yang dilarang.

    5.       Akad dapat memberi faedah.

    6.       Ijab harus berjalan terus, maka ijab tidak sah apabila ijab tersebut dibatalkan sebelum adanya qobul.

   7.        Ijab dan qobul harus bersambung, jika seseorang melakukan ijab dan berpisah sebelum terjadinya qobul, maka ijab yang demikian dianggap tidak sah.


 Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini juga disebut dengan idhofi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan. 



PRINSIP-PRINSIP AKAD

Dalam hukum Islam telah menetapkan beberapa prinsip akad yang berpengaruh kepada pelaksanaan akad yang dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan adalah sebagai berikut: 

· prinsip kebebasan berkontrak

· prinsip perjanjian itu mengikat

· prinsip kesepakatan bersama

· prinsip ibadah

· prinsip keadilan dan keseimbangan prestasi.

· prinsip kejujuran (amanah)



DASAR HUKUM SYAR’I AKAD

Adapun dasar-dasar akad diantaranya : 

Firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 1 yakni: 

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
Dalam kaidah fiqih dikemukakan yakni: 

Hukum asal dalam transaksi adalah keridlaan kedua belah pihak yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan. Maksud keridlaan tersebut yakni keridlaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridlaan kedua belah pihak. 

HIKMAH AKAD

Diadakanya akad dalam muamalah antar sesama manusia tentu mempunyai hikmah, hikmah akad antara lain: 

    ü  Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih dalam bertransaksi

    ü  Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian.

    ü  Akad merupakan paying hokum didalam kepemilikan sesuatu, sehingga orang lain tidak dapat menggugat atau milikinya.


Secara etimologi akad berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan. Adapun secara terminology, Akad adalah perikatan ijab dan Kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan keridlaan dari kedua belah pihak.

Rukun-rukun akad meliputi: ‘aqid, orang yang berakad. Mauqud alaih, benda-benda yang diakadkan. Maudhu’ al-aqd, tujuan atau maksud pokok melakukan akad. Shighat al-aqd, ijab Kabul.
Akad memiliki berbagai macam, tergantung dari ahli fiqh muamalah itu memandang dari sudut pandangnya. Selain itu, akad memiliki kedudukan yang sangat penting dalam fiqh muamalah dalam kehidupan sehari-hari umat manusia. 



  BENTUK-BENTUK PEMBERIAN  HARTA KEPADA ORANG LAIN

  HIBAH,SEDEKAH dan HADIAH

v    HIBAH

Pengertian Hibah

Secara etimologi kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba, yang berarti pemberian.

Sedangkan hibah menurut istilah adalah akad yang pokok persoalannya, pemberian harta milik orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan.

Hibah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia hidup tanpa adanya imbalan sebagai tanda kasih sayang.

 Firman Allah SWT. :

 وَأَتَىالْمَالَ عَلَىحُبِّهِ ذَوِىالْقُرْبَىوَالْيَتَمَىوَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالسَّائِلِيْنَ وَفِىالرِّقَابِ

“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta dan (memerdekakan) hamba sahaya” (QS. Al Baqarah : 177).

Memberikan Sesuatu kepada orang lain, asal barang atau harta itu halal termasuk perbuatan terpuji dan mendapat pahala dari Allah SWT. Untuk itu hibah hukumnya mubah.

Sabda Nabi SAW. :

عَنْ خَالِدِابْنِ عَدِيِ أَنَّ النَّبِىَص م قَالَ مَنْ جَاءَهُ مِنْ اَخِيْهِ مَعْرُوْفٌ مِنْ غَيْرِإِسْرَافٍ وَلاَمَسْأَلَةٍ فَلْيَقْبِلْه ُ  وَلاَيَرُدُّهُ فَإِنَّمَا هُوَرِزْقٌ سَاقَهُ الله ُاِلَيْهِ (رواه احمد)

“Dari Khalid bin Adi, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. telah bersabda, : “Barang siapa yang diberi oleh saudaranya kebaikan dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak ia minta, hendaklah diterima (jangan ditolak). Sesungguhnya yang demikian itu pemberian yangdiberikan Allah kepadanya” (HR. Ahmad).



  Rukun dan Syarat Hibah

a. Pemberi Hibah (Wahib)

Syarat-syarat pemberi hibah (wahib) adalah sudah baligh, dilakukan atas dasar kemauan sendiri, dibenarkan melakukan tindakan hukum dan orang yang berhak memiliki barang.

b. Penerima Hibah (Mauhub Lahu)

Syarat-syarat penerima hibah (mauhub lahu), diantaranya :

Hendaknya penerima hibah itu terbukti adanya pada waktu dilakukan hibah. Apabila tidak ada secara nyata atau hanya ada atas dasar perkiraan, seperti janin yang masih dalam kandungan ibunya maka ia tidak sah dilakukan hibah kepadanya

 c. Barang yang dihibahkan (Mauhub)

Syarat-syarat barang yang dihibahkan (Mauhub), diantaranya : jelas terlihat wujudnya, barang yang dihibahkan memiliki nilai atau harga, betul-betul milik pemberi hibah dan dapat dipindahkan status kepemilikannya dari tangan pemberi hibah kepada penerima hibah.

d.   Akad (Ijab dan Qabul)

misalnya si penerima menyatakan “saya hibahkan atau kuberikan tanah ini kepadamu ”, si penerima menjawab, “ya saya terima pemberian saudara”.

      Macam-macam Hibah

Hibah dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu :

1.      Hibah barang adalah memberikan harta atau barang kepada pihak lain yang mencakup materi dan nilai manfaat harta atau barang tersebut, yang pemberiannya tanpa ada tendensi (harapan) apapun. Misalnya  menghibahkan rumah, sepeda motor, baju dan sebagainya.

2.       Hibah manfaat, yaitu memberikan harta kepada pihak lain agar dimanfaatkan harta atau barang yang dihibahkan itu, namun materi harta atau barang itu tetap menjadi milik pemberi hibah. Dengan kata lain, dalam hibah manfaat itu si penerima hibah hanya memiliki hak guna atau hak pakai saja. Hibah manfaat terdiri dari hibah berwaktu (hibah muajjalah) dan hibah seumur hidup (al-amri). Hibah muajjalah dapat juga dikategorikan pinjaman (ariyah) karena setelah lewat jangka waktu tertentu, barang yang dihibahkan manfaatnya harus dikembalikan.

      Hikmah Hibah

Adapun hikmah hibah adalah :

1.        Menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama

2.         Menumbuhkan sikap saling tolong menolong

3.         Dapat mempererat tali silaturahmi

4.         Menghindarkan diri dari berbagai malapetaka.

     Syarat Hibah             

Adapun syarat-syarat hibah sebagai berikut :

a.       Syarat bagi Penghibah (pemberi hibah) :

1.      Penghibah adalah orang yang memiliki dengan sempurna sesuatu atas harta yang dihibahkan. Dalam hibah terjadi pemindahan milik karena itu mustahil orang yang tidak memiliki akan menghibahkan sesuatu barang kepada orang lain.

2.       Penghibah itu adalah orang yang mursyid, yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi persoalan atau perkara yang berkaitan dengan pengadilan mengenai harta tersebut.

3.       Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain, jadi penghibah itu harus orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.

4.       Penghibah harus bebas tidak ada tekanan dari pihak lain dipaksa karena hibah disyratkan kerelaan dalam kebebasan.

5.       Seseorang melakukan hibah itu dalam mempunyai iradah dan ikhtiyar dalam melakukan tindakan atas dasar pilihannya bukan karena dia tidak sadar atau keadaan lainnya. Seseorang dikatakan ikhtiar dalam keadaan tindakan apabila ia melakukan perbuatan atas dasar pilihannya bukan karena pilihan orang lain, tentu saja setelah memikirkan dengan matang.



b.   Syarat bagi Penerima Hibah :

1.      Bahwa ia telah ada dalam arti yang sebenarnya karena itu tidak sah anak yang lahir

menerima hibah.

2.       Jika penerima hibah itu orang yang belum mukalaf, maka yang bertindak sebagai penerima hibah adalah wakil atau walinya atau orang yang bertanggung jawab memelihara dan mendidiknya.

c.       Syarat bagi barang atau harta yang dihibahkan :

1.      Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya waktu hibah dilaksanakan.

2.      Barang yang dihibahkan itu adalah barang yang boleh dimiliki secara sah oleh ajaran Islam.

3.      Barang itu telah menjadi milik sah dari harta penghibah mempunyai sebidang tanah yang akan dihibahkan adalah seperempat tanah itu, di waktu menghibahkan tanah yang seperempat harus dipecah atau ditentukan bagian dan tempatnya.

4.       Harta yang dihibahkan itu dalam kekuasaan yang tidak terikat pada suatu perjanjian dengan pihak lain seperti harta itu dalam keadaan digadaikan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) membatasi harta yang dihibahkan sebanyak-banyaknya sepertiga ( 1/3 ) dari harta milik penghibah, sebagaimana tersebut dalam Pasal 210 Ayat ( 1 ).



    Mencabut Hibah

Jumhur ulama berpendapat bahwa mencabut hibah itu hukumnya haram, kecuali hibah orang tua terhadap anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. :

لاَيَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُعْطِىعَطِيَّةًأَوْيَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعُ فِيْهَا إِلاَّالْوَالِدِفِيْمَايُعْطِىلِوَلَدِهِ

“Tidak halal seorang muslim memberikan suatu barang kemudian ia tarik kembali, kecuali seorang bapak kepada anaknya” (HR. Abu Dawud).



Sabda Rasulullah SAW. :

اَلْعَائِدُ فِىهِبَتِهِ كَااْلكَلْبِ يُقِئُ ثُمَّ يَعُوْدُفِىقَيْئِهِ (متفق عليه)

“Orang yang menarik kembali hibahnya sebagaimana anjing yang muntah lalu dimakannya kembali muntahnya itu” (HR. Bukhari Muslim).

Hibah yang dapat dicabut, diantaranya sebagai berikut :

1.      Hibahnya orang tua (bapak) terhadap anaknya, karena bapak melihat bahwa mencabut itu demi menjaga kemaslahatan anaknya.

2.      Bila dirasakan ada unsur ketidak adilan diantara anak-anaknya, yang menerima hibah..

3.      Apabila dengan adanya hibah itu ada kemungkinan menimbulkan iri hati dan fitnah dari pihak lain

v SEDEKAH

Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata. Sedekah dalam pengertian di atas oleh para fuqaha (ahli fikih) disebuh sadaqah at-tatawwu' (sedekah secara spontan dan sukarela).

Shadaqah itu tidak hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk tindakan seperti senyum kepada orang lain termasuk shadaqah. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW. :

تَبَسُّمُكَ فِىوَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ (رواهالبخارى)

“Tersenyum dihadapan temanmu itu adalah bagian dari shadaqah” (HR. Bukhari).

Hukum hadiah-menghadiahkan dari orang Islam kepada orang diluar Islam atau sebaliknya adalah boleh karena persoalan ini termasuk sesuatu yang berhubungan dengan sesama manusia (hablum minan naas).

Shadaqah itu tidak hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam bentuk tindakan seperti senyum kepada orang lain termasuk shadaqah. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW. :

تَبَسُّمُكَ فِىوَجْهِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ (رواهالبخارى)

“Tersenyum dihadapan temanmu itu adalah bagian dari shadaqah” (HR. Bukhari).

Hukum hadiah-menghadiahkan dari orang Islam kepada orang diluar Islam atau sebaliknya adalah boleh karena persoalan ini termasuk sesuatu yang berhubungan dengan sesama manusia (hablum minan naas).

    Hukum Shadaqah

Hukum shadaqah adalah sunah

Sabda Rasulullah SAW. :

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّهُمَّ عَنْهُمَ عَنِ النَّبِيْ ص م قَالَ لَوْدُعِيْتُ إِلَىذِرَاعٍ أَوْكُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ

أُهْدِيَ اِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْكُرَاعٌ لَقَبِلْتُ (رواه البخارى)

“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW.telah bersabda sekiranya saya diundang untuk makan sepotong kaki binatang, undangan itu pasti saya kabulkan, begitu juga kalau potongan kaki binatang dihadiahkan kepada saya tentu saya terima” (HR. Bukhari).

     Syarat-syarat Shadaqah

A.       Orang yang memberikan shadaqahitu sehat akalnya dan tidak dibawah perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang kurang sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqahnya.

B.       Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena keadaannya yang terlantar.

C.       Penerima shadaqah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi shadaqah atau hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah.

D.       Barang yang dishadaqahkan harus bermanfaat bagi penerimanya.

     Rukun Shadaqah

A.       Pemberi shadaqah

B.       Penerima shadaqah

C.       Ijab dan Qabul artinya pemberi menyatakan memberikan, penerima menyatakan suka.

D.       Barang atau Benda (yang dishadaqahkan).

           

      Hikmah Shadaqah

A.     Menumbuhkan ukhuwah Islamiyah

B.     Dapat menghindarkan dari berbagai bencana

C.     Akan dicintai Allah SWT.

Sabda Nabi Muhammad SAW. :

تَهَادُوْافَإِنَّ الْهَدِيَّةَتُذْهِبُ وَحَرَّالصَّدْرِ (رواه ابو يعلى)

“Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat menghilangkan tipu daya dan

kedengkian” (HR. Abu Ya’la).

عَلَيْكُمْ بِالْهَدَايَافَاِنَّهَاتُورِثُ الْمَوَدَّةَوَتُذْهِبُ الضَّغَائِنَ (رواه الديلمى)

“Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena ia akan mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR. Dailami).



    v    HADIAH

Hadiah adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada orang lain tanpa adanya imbalan sebagai penghormatan atas suatu prestasi.

   Hukum Hadiah

Hukum hadiah adalah mubah artinya boleh saja dilakukan dan boleh ditinggalkan.

Sabda Rasulullah SAW. :

عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّهُمَّ عَنْهُمَ عَنِ النَّبِيْ ص م قَالَ لَوْدُعِيْتُ إِلَىذِرَاعٍ أَوْكُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ

أُهْدِيَ اِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْكُرَاعٌ لَقَبِلْتُ (رواه البخارى)

“Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW.telah bersabda sekiranya saya diundang untuk makan sepotong kaki binatang, undangan itu pasti saya kabulkan, begitu juga kalau potongan kaki binatang dihadiahkan kepada saya tentu saya terima” (HR. Bukhari).

       Syarat-syarat Hadiah

A.       Orang yang memberikan hadiah itu sehat akalnya dan tidak dibawah perwalian orang lain. Hadiah orang gila, anak-anak dan orang yang kurang sehat jiwanya (seperti pemboros) tidak sah shadaqah dan hadiahnya.

B.       Penerima haruslah orang yang benar-benar memerlukan karena keadaannya yang terlantar.

C.       Penerima hadiah haruslah orang yang berhak memiliki, jadi hadiah kepada anak yang masih dalam kandungan tidak sah.

D.       Barang yang dihadiahkan harus bermanfaat bagi penerimanya.

      Hukun Hadiah

A.       Pemberi hadiah.

B.       Penerima hadiah.

C.       Ijab dan Qabul artinya pemberi menyatakan memberikan, penerima menyatakan suka.

D.       Barang atau Benda (yang dihadiahkan).

      Hikmah Hadiah

A. Menjadi unsur bagi suburnya kasih sayang

B. Menghilangkan tipu daya dan sifat kedengkian.

Sabda Nabi Muhammad SAW. :

تَهَادُوْافَإِنَّ الْهَدِيَّةَتُذْهِبُ وَحَرَّالصَّدْرِ (رواه ابو يعلى)

“Saling hadiah-menghadiahkan kamu, karena dapat menghilangkan tipu daya dan

kedengkian” (HR. Abu Ya’la).

عَلَيْكُمْ بِالْهَدَايَافَاِنَّهَاتُورِثُ الْمَوَدَّةَوَتُذْهِبُ الضَّغَائِنَ (رواه الديلمى)

“Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena ia akan mewariskan kecintaan dan menghilangkan kedengkian-kedengkian” (HR. Dailami).

            v       persamaan dan Perbedaan Antara Sedekah, Hibah, dan Hadiah

Baik sedekah, hibah, maupun hadiah merupakan perbuatan memberikan sesuatu kepada orang lain yang menerimanya. Namun demikian, terdapat perbedaan antara ketiganya. Persamaan dan perbedaannya adalah sebagai berikut.

           ü       persamaan

1.         Sedekah, hibah, dan hadiah sama-sama merupakan wujud kedermawanan yang dimiliki seseorang

2.         Sedekah, hibah, dan hadiah merupakan pemberian secara cuma-cuma tanpa mengharap pemberian kembali.

          ü       perbedaan

Ø    Sedekah

·              pemberian sesuatu yang didasarkan atas kepedulian terhadap fakir miskin.

·              Perbuatan ini dilakukan semata-mata untuk mencari Ridha Allah SWT

·              Sebagai salah satu perwujudanrasa syukur kepada Allah SWT

·              Pemberian ini ditujukan kepada fakir miskin dan anak yatim

·              Pemberian biasanya dalam bentuk uang

·              Untuk melaksanakan sedekah tidak perlu tata cara tertentu

·              Sedekah hukumnya sunnah muakkad

Ø    Hibah

·              Merupakan pemberian yang didasarkan atas kasih sayang

·              Pemberian ini lebih bersifat keduniawian

·              Pemberian ini ditujukan kepada orang-orang yang masih dalam hubungan keluarga

·              Pemberian ini biasanya dalam bentuk barang tidak bergerak

·              Untuk melaksanakan hibah perlu tata cara tertentu, misalnya dilakukan secara tertulis

·              Hibah hukumnya sunnah

Ø    Hadiah

·              Merupakan pemberian yang diberikan atas keadaan atau peristiwa tertentu

·              Pemberian ini lebih bersifat keduniawian

·              Pemberian ini ditujukan kepada orang-orang tertentu

·              Pemberian ini biasanya dalam bentuk barang, baik barang bergerak seperti alat-alat sekolah, televisi, dan lain-lain, maupun barang bergerak

·              Untuk melaksanakan hadiah, bisa melalui tata cara atau prosedur tertentu dan bisa pula tidak

Hadiah hukumnya mubah (boleh)

  Perdagangan (Al Buyu’) dan Hal-hal yang Berhubungan Dengannya

Pengertian Jual Beli (Al Buyu’)

Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.

Dasar Hukum Jual Beli

Landasan atau dasar hukum mengenai jual beli ini disyariatkanberdasarkan Al-Qur’an, Hadist Nabi, dan Ijma’ Yakni :

1.      Al Qur’an

Yang mana Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa : 29

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (QS. An-Nisa : 29).

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah : 275).

2.      Sunnah

Nabi, yang mengatakan:” Suatu ketika Nabi SAW, ditanya tentang mata pencarian yang paling baik. Beliau menjawab, ’Seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Bajjar, Hakim yang menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’). Maksud mabrur dalam hadist adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu dan merugikan orang lain.

3.    Ijma’

Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. Mengacu kepada ayat-ayat Al Qur’an dan hadist, hukum jual beli adalah mubah (boleh). Namun pada situasi tertentu, hukum jual beli itubisa berubah menjadi sunnah, wajib, haram, dan makruh.

Rukun dan Syarat Jual Beli

Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli ayang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum islam).

Rukun Jual Beli:

·          Dua pihak membuat akad penjual dan pembeli

·          Objek akad (barang dan harga)

·          Ijab qabul (perjanjian/persetujuan)

a.       Orang yang melaksanakan akad jual beli ( penjual dan pembeli )

Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah :

1.      Berakal, jual belinya orang gila atau rusak akalnya dianggap tidak sah.

2.      Baligh, jual belinya anak kecil yang belum baligh dihukumi tidak sah. Akan tetapi, jika anak itu sudah mumayyiz (mampu membedakan baik atau buruk), dibolehkan melakukan jual beli terhadap barang-barang yang harganya murah seperti : permen, kue, kerupuk, dll.

3.      Berhak menggunakan hartanya. Orang yang tidak berhak menggunakan harta milik orang yang sangat bodoh (idiot) tidak sah jual belinya. Firman Allah ( Q.S. An-Nisa’(4): 5):

b.      Sigat atau Ucapan

Ijab dan Kabul. Ulama fiqh sepakat, bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).

Adapun syarat-syarat ijab kabul adalah :

1.      Orang yang mengucap ijab kabul telah akil baliqh.

2.      Kabul harus sesuai dengan ijab.

3.      Ijab dan kabul dilakukan dalam suatu majlis.



c.       Barang Yang Diperjual Belikan

Barang yang diperjual-belikan harus memenuhi syarat-syarat yang diharuskan, antara lain :

1.  Barang yang diperjual-belikan itu halal.

2. Barang itu ada manfaatnya.

3.  Barang itu ada ditempat, atau tidak ada tapi ada ditempat lain.

4.  Barang itu merupakan milik si penjual atau dibawah kekuasaanya.

5.  Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembelidengan jelas, baik zatnya, bentuknya dan kadarnya, maupun sifat-sifatnya.



d.      Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sampai sekarang ini berupa uang).

Adapun syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual itu adalah :

1.      Harga jual disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.

2.      Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli, walaupun secara hukum, misalnya pembayaran menggunakan kartu kredit.

3.      Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-muqayadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa uang).

Syarat Jual-Beli

Syarat jual beli menurut madzhab Hanafiyah

Dalam akad jual beli harus disempurnakan empat (4) syarat, yaitu:

·         Syarat In’iqad (dibolehkan oleh syar’i)

·         Syarat Nafadz (harus milik pribadi sepenuhnya)

·         Syarat Umum (terbebas dari cacat)

·         Syarat Luzum (Syarat yang membebaskan dari khiyar)

Syarat jual beli menurut madzhab Malikiyah

Malikiyah merumuskan 3 macam syarat jual beli, yaitu:

·         Aqid

·         Sighat

·         Obyek Jual Beli

 Syarat jual beli menurut madzhab Syafi’iyah

Syafi’iyah merumuskan dua kelompok persyaratan jual beli, yaitu:

·         Ijab Qabul

·         Obyek Jual beli.

Menurut Madzhab Hanabilah

Madzhab Hanabilah merumuskan tiga kategori syarat jual beli, yaitu:

·         Aqid

·         Sighat

·         Obyek Jual Beli

Hal-hal Yang Terlarang Dalam Jual Beli

Jual beli dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, antara lain ditinjau dari segi sah atau tidak sah dan terlarang atau tidak terlarang.

1.      Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.

2.      Jual beli yang terlarang dan tidak sah (bathil) yaitu jual beli yang salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan (disesuaikan dengan ajaran islam).

3.      Jual beli yang sah tapi terlarang ( fasid ). Jual beli ini hukumnya sah, tidak membatalkan akad jual beli, tetapi dilarang oleh Islam karena sebab-sebab lain.

4.      Terlarang sebab Ahliah (Ahli Akad). Ulama telah sepakat bahwa jual beli dikategorikan sah apabila dilakukan oleh orang yang baliqh, berakal, dapat memilih. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya sebagai berikut :

Ø Jual beli yang dilakukan oleh orang gila.

Ø Jual beli yang dilakukan oleh anak kecil. Terlarang dikarenakan anak kecil belum cukup dewasa untuk mengetahui perihal tentang jual beli.

Ø Jual beli yang dilakukan oleh orang buta. Jual beli ini terlarang karena ia tidak dapat membedakan barang yang jelek dan barang yang baik.

Ø Jual beli terpaksa

5.      Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang lain tanpa seizin pemiliknya.

6.      Jual beli yang terhalang. Terhalang disini artinya karena bangkrut, kebodohan, atau pun sakit.

7.      Jual beli malja’  adalah jual beli orang yang sedang dalam bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan zalim.

8.      Terlarang Sebab Shigat. Jual beli yang antara ijab dan kabulnya tidak ada kesesuaian maka dipandang tidak sah. Beberapa jual beli yang termasuk terlarang sebab shiqat sebagai berikut :

Ø  Jual beli Mu’athah. Jual beli yang telah disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan barang maupun harganya, tetapi tidak memakai ijab kabul.

Ø  Jual beli melalui surat atau melalui utusan dikarenakan kabulyang melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak sah, seperti surat tidak sampai ketangan orang yang dimaksudkan.

Ø  Jual beli dengan syarat atau tulisan. Apabila isyarat dan tulisan tidak dipahami dan tulisannya jelek (tidak dapat dibaca), maka akad tidak sah.

Ø  Jual beli barang yang tidak ada ditempat akad. Terlarang karena tidak memenuhi syarat in’iqad (terjadinya akad). Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan kabul.

Ø  Jual beli munjiz  adalah yang dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan pada waktu yang akan datang.

9.      Terlarang Sebab Ma’qud Alaih (Barang jualan) Ma’qud alaih adalah harta yang dijadikan alat pertukaran oleh orang yang akad, yang biasa disebut mabi ’(barang jualan) dan harga. Tetapi ada beberapa masalah yang disepakati oleh sebagian ulama, tetapi diperselisihkan, antara lain :

Ø  Jual beli benda yang tidak ada atau dikhwatirkan tidak ada.

Ø  Jual beli yang tidak dapat diserahkan. Contohnya jual beli burung yang ada di udara, dan ikan yang ada didalam air tidak berdasarkan ketetapan syara’.

Ø  Jual beli gharar adalah jual beli barang yang menganung unsur menipu (gharar)..

Ø  Jual beli barang yang najis dan yang terkena najis. Contohnya : Jual beli bangkai, babi, dll.

Ø  Jual beli air

Ø  Jual beli barang yang tidak jelas (majhul). Terlarang dikarenakan akan mendatangkan pertentangan di antara manusia.

Ø   Jual beli  yang tidak ada ditempat akad (gaib) tidak dapat dilihat. Jual beli sesuatu sebelum dipegangi. Jual beli buah-buahan atau tumbuhan apabila belum terdapat buah, disepakati tidak ada akad. Setelah ada buah, tetapi belum matang, akadnya fasid.

10.  Terlarang Sebab Syara’ Jenis jual beli yang dipermasalahkan sebab syara’ nya diantaranya adalah:

·         jual beli riba

·         Jual beli dengan uang dari barang yag diharamkan. Contohnya jual beli khamar, anjing, bangkai.

·         Jual beli barang dari hasil pencegatan barang yakni mencegat pedagang dalam perjalanannya menuju tempat yang dituju sehingga orang yang mencegat barang itu mendapatkan keuntungan.

·         Jual beli waktu adzan jum’at.Terlarang dikarena bagi laki-laki yang melakukan transaksi jual belidapat mengganggukan aktifitas kewajibannya sebagai muslim dalam mengerjakan shalat jum’at.

·         Jual beli anggur untuk dijadikan khamar .

·         Jual beli barang yang sedang dibeli oleh orang laing. Jual beli hewan ternak yang masih dikandung oleh induknya.

MACAM-MACAM JUAL BELI

1.    Macam- Macam Jual Beli Ditinjau dari Segi Obyek Jual Beli

a.    Jual beli benda yang kelihatan 

Yaitu pada waktu melakukan akad jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh dilakukan, seperti membeli beras di pasar. 

b.   Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian.

Yaitu jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai, salam pada awalnya berarti meminjamkan barang atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika akad

c.    Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat

Yaitu jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu sehingga dikhawatirkan barang tersebut diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.

2.    Macam-Macam Jual Beli Ditinjau dari Segi Pelaku Akad (Subyek)

a.    Dengan lisan

Penyampaian akad yang dilakukan oleh kebanyakan orang seperti dengan berbicara.

b.   Dengan perantara atau utusan

Penyampaian akad jual beli melalui perantara, utusan, tulisan, atau surat-menyurat sama halnya dengan ijab qabul dengan ucapan, misalnya Via Pos dan Giro. Jual beli ini dilakukan antara penjual dan pembeli tidak berhadapan dalam satu majelis akad, tetapi melalui Pos dan Giro, jual beli seperti ini dibolehkan menurut syara’.

c.    Jual beli dengan perbuatan 

Yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab qabul, seperti seseorang mengambil rokok yang sudah bertuliskan label harganya, dibandrol oleh penjual kemudian diberikan uang pembayarannya kepada penjual. Jual beli dengan cara demikian dilakukan tanpa sighat ijab qabul antara penjual dan pembeli, menurut sebagian Syafi’iyah tentu hal ini dilarang sebab ijab qabul sebagai rukun jual beli. Tetapi sebagian lainnya, seperti Imam Nawawi membolehkan jual beli barang kebutuhan sehari-hari dengan cara yang demikian, yakni tanpa ijab qabul terlebih dahulu. 

3.    Macam-Macam Jual Beli Berdasarkan Pertukaran

a.    Jual beli saham (Pesanan)

Jual beli saham adalah juual beli melalui pesanan, yaitu jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.

b.   Jual beli muqayadhah (barter)

Jual beli muqayadhah adalah  jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.

c.    Jual beli muthlaq

Jual beli muthalaq adalah jual beli barang dengan suatu yang telah disepakati sebagai alat penukaran seperti uang

d.   Jual beli alat penukar dengan alat penukar

Jual beli alat tukar dengan alat penukaran adalah jual beli barang yang bisa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainya, seperti uang perak dengan uang emas.

4.    Macam-Macam Jual Beli Berdasarkan Segi Harga

a.    Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah).

b.    Jual beli yang tidak menguntungkan (at-tauliyah)

Yaitu jual beli yang tidak menguntungkan yang menjual barang dengan harga aslinya, sehingga penjual tidak mendapatkan keuntungan.

a.    Jual beli rugi(al-khasarah).

b.    Jual beli al-musawah..

Jual beli al-musawah adalah penjual menyembunyikan harga aslinya tetapi kedua orang yang akad saling meridhai,jual beli seperti inilah yang sekarang berkembang.

  Khiyar dan Macam-Macamnya

A.    Pengertian Khiyar

1.      Secara Kata Bahasa Arab.

Menurut kamus besar bahasa arab al-munawwir, kata-kata khiyar dapat di jumpai dengan kata-kata “الحيار ولاختيار ‘’ artinya pilihan. Sedangkan ‘’ حر ية ‘’ artinya kebebasan memilih dan ‘’احتيارا  ‘’ dengan kemauan sendiri serta ‘’ artinya kebaikan dikiuti kata-kata “ الخيرية ‘’ berdasarkan kemauan sendiri.

Jadi khiyar secara bahasa dapat diartikan ‘’pilihan, kebebasan memilih, kemauan sendiri, kebaikan, berdasarkan kemauan sendiri.

2.      Secara Terminology Ulama’

Sedangkan menurut istilah yang disebutkan didalam kiitab fiqih islam yaitu ‘’khiyar artinya boleh memilih antara dua, meneruskan aqad jual beli atau di urungkan, (ditarik kembali tidak jadi jual beli).

Diadakannya khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli agar dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh. Supaya tidak terjadi penyesalan di kemudia hari, lantaran merasa tertipu.

Secara terminologis para ulama fiqh mendefinisikan al-khiyar dengan:

أَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَاقِدِ الْخِيَارُبَيْنَ إِمْضَاءِ الْعَقْدِ وَعَدَمِ إِمْضَائِهِ بِفَسْخِهِ رفقا لِلْمُتَعَا قِدَيْنِ.

Artinya : hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.

3.      Pendapat Ahli Fiqih

a.       Menurut ulama fiqih pengertian khiyar yaitu

انيكون للمتعاقدالحق في امضاء العقد او فسخه ان كا ن الخيار شرط اورءسة او عي او ان يختاراحد البيعين ان كان الخيارخيار ثعيين

Artinya sesuatu keada yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan aqadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta’yin.

a.       Menurut dr. H. Hendi suhendi, m.si.

Yatiu menurut agama islam di bolehkan memilih atau melanjutkan jual beli atau membatalkannya.

b.      Menurut asy-syekh muhammad bin qosim al-ghozali

Khiyar adalah bagi penjual dan pembeli ada hak khiyar (memilih) antara meneruskan atau membatalkan jual belinya.

Maksudnya yaitu bagi penjual dan pembeli ada hak tetap untuk memilih beberapa macam aqad jual beli di tempatnya (khiyar majlis) seperti pesanan (salam), selama keuanya belum terpisah artinya suatu masa tidak terpisah kedua belah pihak menurut kebiasaan.

c.       Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah

Sedangkan pengertian khiyar menurut kompilasi hukum ekonomi syariah (khes) pasal 20 (8) adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual beli yang dilakukannya.

B, Pembagian Khiyar

1.      Khiyar Syarat

Menurut ulama fiqih khiyar syarat yaitu:

اَنْ يَكُوْنَ ِلأَحَدِالْعَاقِدَيْنِ اَوْلِكِيْلَهُمَا اَوْ لِغَيْرِهُمَاالْحَقِّ فىِ فَسْحِ الْعَقْدِاِوْاِمْضَائِهِ خِلاَلَ مُدَّةٍ مَعْلُوْمَةٍ

Artinya’’ sesuatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang aqad atau masing-masing yang aqad atau selain kedua belah pihak yang aqad memiliki hak atas pembatalan  atau penetapan aqad selama waktu yang ditentukan.’’

Contohnya:

‘’seorang pembeli berkata’’

   ‘’saya beli dari kamu barang ini, dengan catatan saya ber-khiyar (pilih-pilih) selama sehari atau tiga hari.’’ Khiyar di syariatkan antara lain untuk menghilangkan unsur kelalaian atau tipu-menipu bagi pihak yang aqad,

2. Khiyar Majlis

Khiyar majlis menurut pengertian ulama’ fiqih

اَنْ يَكُوْنَ لِكُلِّ مِنَ الْعَا قِدَيْنِ حَقٌّ فَسْحُ الْعَقْدِ مَادَامَ فِى مَجْلِسٍ الْعَقْدِ لَمْ يَتَفَرَّقَاَ بِاَبْدَانِهَايُخَيِّرُاَحَدُهُمَااْلا خَرَ فَيُخْتَارُ لُزُوْمُ اْلعَقْدِ

Artinya: ‘ hak bagi semua pihak yang melakukan akad atau membatalkan akad selagi masih berada di tempat akad dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.

Khiyar majlis di kenal dikalangan ulama syafiiyah dan hanabilah.

Dengan demikian , akad akan menjadi lazim jika kedua belah pihak telah berpisah atau memilih. Khiyar majlis hanya ada pada akad yang sifatnya pertukaran, seperti jual beli, upah-mengupah dan lain-lain

3.      Khiyar ‘Aib

Menurut ulama fiqih arti khiyar ‘aib(cacat) yaitu:



اَنْ يَكُوْنَ ِلأَحَدِالْعَاقِدَيِنِ الْحَقَّ فِى فَسْخِ الْعَقْدِاَوْاِمْضَاءِهِ اِذَا وُجِدَ عَيْبٌ فِى اَحَدِ الْبَدْ لَيْنِ وَلَمْ يَكُنْ صَا حِبُهُ عَالِمًابِهِ وَقْتَ الْعَقْدِ

 artinya: keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya.

Penyebab khiyar aib adalah adanya cacat pada barang yang dijual belikan (ma’qul alaih) atau harga (tsaman), karena kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud, atau orang yang dalam akad tidak meneliti kecacatannya ketika akad.

                        khiyar aib disyaratkan dalam islam, yang didasarkan pada hadits, salah satunya ialah:

اَلْمُسْلِمُ اَخُواْلمُسْلِمِ لَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ اَخِيْهِ بَيْعًا وَفِيْهِ عَيْبٌ اِلَّابَيّنَةٌ لَهُ.

 (رواه بن ماجه عن عقبة بن عار)

Artinya: “seorang muslim adalah saudara muslim yang lain. Tidaklah halal bagi seorang muslim untuk menjual barang bagi saudaranya yang mengandung kecacatan, kecuali jika menjelaskanya terlebih dahulu.

4.      Khiyar Ru’yah

                        khiyar ru’yah ialah hak pembeli untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad ketika dia melihat obyek akad dengan syarat dia belum melihatnya ketika berlangsung akad atau sebelumnya dia pernah melihatnya dalam batas waktu yang memungkinkan telah terjadi perubahan atasanya.

                        konsep khiyar ini disampaikan oleh fuqoha hanafiyah, malikiyah, hanabilah dan dhahiriyah dalam kasus jual beli benda yang ghaib (tidak ada ditempat) atau benda yang belum pernah diperiksa. Sedangkan menurut imam syafi’i khiyar ru’yah ini tidak sah dalam proses jual beli karena menurutnya jual beli terhadap barang yang ghaib (tidak ada ditempat) sejak semula dianggap tidak sah. Adapun landasan hukum mengenai khiyar ru’yah sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits:

من اشترى شيئا لم يراه فهو بالخيار اذاراه (رواهالدارقطنى عن أبي هريرة)

“barang siapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka baginya hak khiyar ketika melihatnya.” (hr ad-daruqutni dari abu hurairah).



5.         Khiyar Naqd (Pembayaran)



                        khiyar naqd tersebut terjadi apabila dua pihak melakukan jual beli dengan ketentuan jika pihak pembeli tidak melunasi pembayaran, atau pihak penjual tidak menyerahkan barang dalam batas waktu tertentu. Maka pihak yang dirugikan mempunyai hak untuk membatalkan atau tetap melangsungkan akad.

  Bentuk Kerjasama Dalam Perdagangan : Syirkah dan Mudharabah

Ø Syirkah

I.          Pengertian Syirkah

Kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fi’il mâdhi),yasyraku (fi’il mudhâri’), dan mashdar (kata dasar)nya ada tiga wazn(timbangan), boleh dibaca dengan salah satunya, yaitu: syirkatan /syarikatan /syarakatan; artinya persekutuan atau perserikatan. Dan dapat diartikan pula dengan percampuran, sebagaimana firman Allah dalam surat Shaad, ayat 24. (Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601).

Akan tetapi, menurut Abdurrahman Al-Jaziri, dibaca syirkah lebih fasih. (Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, III/58)

Adapun menurut istilah para ulama fikih, syirkah adalah suatu akad kerja sama antara dua orang atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerugian akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. (Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusydi II/253).

II. Hukum Syirkah:

Syirkah hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan  berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:

A.    Al-Qur’an:

Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)

Dan firman-Nya pula: “Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)

Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).

B.     Hadits:

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).

C.    Ijma’:

Ibnu Qudamah berkata: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasisyirkah secara global walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.” (Al-Mughni V/109).

III. Rukun syirkah yang pokok ada 3 (tiga) yaitu:

Menurut mayoritas ulama fikih, bahwa rukun syirkah itu ada 3 (tiga), yaitu:

(1) akad (ijab-kabul), disebut juga shighat; (2) dua pihak yang berakad (al‘âqidâni), syaratnya harus memiliki kecakapan melakukan tasharruf(pengelolaan harta); (3) obyek akad, disebut juga alma’qûd ‘alaihi, yang mencakup pekerjaan (alamal) dan atau modal (almâl). (Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibi al-Arba’ah, Abdurrahman al-Jaziri).

Adapun syarat sah akad ada 2 (dua) yaitu: (1) obyek akadnya berupa tasharruf, yaitu aktivitas pengelolaan harta dengan melakukan akad-akad, misalnya akad jual-beli; (2) obyek akadnya dapat diwakilkan (wakalah), agar keuntungan syirkah menjadi hak bersama di antara para syarîk (mitra usaha).

IV. Syarat Syirkah

Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafi dibagi menjadi empat bagian:

Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah baik dengan harta maupun lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat yaitu: 

·         Yang berkenaan dengan benda yang diaqadkan adalah harus dapat diterima sebagai perwakilan

·         Yang berkenaan dengan keuntungan yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui kedua pihak

 Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal (harta) dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi yaitu:

Ø Modal yang dijadikan objek aqad syirkah adalah alat pembayaran seperti riyal dan rupiah

Ø Yang dijadikan modal ada ketika aqad syirkah dilakukan.



Dalam syarikat mufawadhah disyaratkan:

Ø Modal dalam syirkah mufawadhah harus sama

Ø Bagi yang bersyirkah ahli untuk kafalah

Ø Bagi yang dijadikan objek aqaddisyaratkan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli/perdagangan.

 Syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-syarat syirkah mufawadah.

 Menurut Malikiyah syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan aqad ialah:

Ø Merdeka

Ø Baligh

Ø Pintar (Rusyd)

V. Macam-Macam Syirkah:

Syirkah ada dua jenis:

Pertama: Syirkah Amlaak (Hak Milik)

Yaitu penguasaan harta secara kolektif, berupa bangunan, barang bergerak atau barang berharga. Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkahseperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya. (Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah Al-Bassam IV/601).

Misalnya; si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut. (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/258, dan Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/794)

Kedua : Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak)

Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan, misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkahseperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkahseperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkahdengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.

·        Macam-Macam Syirkah Uquud (Transaksional/kontrak):

Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah: yaitu: (1) syirkah al- inân; (2) syirkah al-abdân; (3) syirkah al-mudhârabah; (4) syirkah al-wujûh; dan (5)syirkah al-mufâwadhah.

Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inân,abdân, mudhârabah, dan wujûh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inân, abdan, dan mudhârabah. Menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah, yang sah hanya syirkah inân dan mudhârabah. Sedangkan menurut Hanafiyah semua bentuk syirkah boleh/sah bila memenuhi syarat-syaratnya yang telah ditetapkan. (Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu,Wahbah Az-Zuhaili, IV/795).

[1]. Syirkah al-‘Inaan, Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dengan harta masing-masing untuk dikelola oleh mereka sendiri, dan keuntungan dibagi di antara mereka, atau salah seorang sebagai pengelola dan mendapat jatah keuntungan lebih banyak daripada rekannya.

Jenis syirkah ini yang sering dilakukan oleh kebanyakan orang, karena tidak disyaratkan adanya kesamaan modal, usaha dan tanggung jawab.

Dan hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/796).

Contoh syirkah inân: A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.

Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modalsyirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad.

Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).

Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).

[2]. Syirkah al-Mudharabah, Yaitu, seseorang sebagai pemodal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudharib) untuk diperdagangkan, dan dia berhak mendapat prosentase tertentu dari keuntungan. (masalah mudharabah telah kami bahas pada Majalah Pengusaha Muslim, edisi 3 volume 1 tgl 15 Maret 2010, rubrik Fikih Muamalah).

[3]. Syirkah al-Wujuuh, Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka. (Bada-i’u ash-Shana-i’, karya al-Kasani VI/77)

Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/801)

Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik, sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan nama baik tersebut.

Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).

Dalam syirkah wujûh ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan.

[4]. Syirkah al-Abdaan (syirkah usaha), Yaitu kerja sama antaradua orang atau lebih dalam usaha yang dilakukan oleh tubuh mereka, yakni masing-masing hanya memberikan konstribusi kerja (‘amal), tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama sesame dokter di klinik, atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah.

Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.

Syirkah ini kadang-kadang disebut juga dengan Syirkah al-A’maal dan ash-Shanaa-i’.

Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah ‘abdan terdiri dari beberapa tukang kayu dan tukang besi. (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/260). Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal.

Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syarîk).

Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.

Syirkah ‘abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah binMas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Hal itu diketahui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan beliau membenarkannya dengan taqrîr.

[5]. Syirkah al-Mufawadhah, Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.

Syirkah Mufawadhah juga merupakan syirkah komprehensif yang dalamsyirkah itu semua anggoga sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘inan, abdan dan wujuh. Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya. Atau syirkah ini bisa pula diartikan kerja sama dalam segala hal.
Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda, seperti mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.

Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah ini adalah kesamaan dalam hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama. (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, karya Wahbah Az-Zuhaily IV/798, dan Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq III/259-260).

Hukum Syirkah ini dalam pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya.

Adapun keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).

Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.

Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujudsyirkah inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûhantara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.

MENGAKHIRI SYIRKAH

Syirkah akan berakhir apabila terjadi hal-hal:

·         Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan pihak yang lainnya

·         Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf, baik karena gila maupun alasan yang lainnya

·         Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota syirkah lebih dari dua orang, yang batal hanyalah yang meniggal saja

·         Salah satu pihak jatuh  bangkrut yang berakibat tidak berkuasa lagi atas harta yang menjadi saham syirkah

·         Modal para anggota syirkah lenyap sebelum dibelanjakan atas nama syirkah



     Ø  MUDHARABAH ATAU QIRADH

     I.       PENGERTIAN MUDHARABAH

Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang berarti secara harfiah adalah bepergian atau berjalan sebagaimana firman Allah:

واخرون يضربون فى الارض يبتعون من فضل الله

“Dan yang lainnya, bepergian di muka bumi mencari karunia Allah. (Al Muzamil: 20)”.

Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu,  berarti al-qath’u (potongan). Karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya.

Menurut istilah, mudharabah atau qiradh adalah aqad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.

II.                HUKUM MUDHARABAH

Aqad mudharabah dibenarkan dalam Islam, karena bertujuan selain membantu antara pemilik modal orang yang memutarkan uang. Sebagai landasannya adalah firman  Allah:

ليس عليكم جناح أن تبغوافضلا من ربكم….

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu….” (Al Baqarah: 198).

Melakukan mudharabah atau qiradh adalah boleh (mubah). Dasar hukumnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dari Shuhaib r.a. Rasulullah saw bersabda:

ثلاث فيهن البركة البيع إلى اجل والمقارضة وخلط البر باالشعير للبيت ولا للبيع

“Ada tiga perkara yang diberkati: jual beli yang ditangguhkan, memberi modal dari mencampur gandum dengan jelai untuk keluarga bukan untuk dijual.”

III.                RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH

Menurut ulama Syafi’iyah, rukun-rukun mudharabah ada 6, yaitu:

    1.       Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya

     2.       Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang

     3.       Aqad mudharabah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang

     4.       Harta pokok/modal

     5.       Pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba

     6.       Keuntungan.

 Syarat sah mudharabah berhubungan dengan rukun mudharabah itu sendiri.

Syarat sah mudharabah antara lain:

    1.       Modal/barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila barang itu berbentuk emas/perak batangan (tabar), emas hiasan/barang dagang lainnya, mudharabah tersebut batal.

     2.       Bagi yang melakukan aqad disyaratkan mampu melakukan tasharuf. Maka dibatalkan aqad anak-anak yang masih kecil, orang gila

   3.       Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba

   4.       Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas presentasinya

5.       Melafadzkan ijab dari pemilik modal

6.       Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di Negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu pada waktu-waktu tertentu.

IV.              MENGAKHIRI MUDHARABAH

Aqad mudharabah dinyatakan batal/berakhir apabila:

1.       Masing-masing pihak menyatakan bahwa aqad itu batal

2.       Salah seorang yang berakad gila

3.       Pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam)

4.       Modal telah habis terlebih dahulu sebelum dikelola pelaksana.

Bentuk-Bentuk Pemberian Kepercayaan dalam Muamalah

I.                    HIWALAH

ü  Pengertian Hiwalah

Menurut bahasa berarti pemindahan, pengalihan atau pengoperan. Menurut istilah berarti pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.

Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah adalah memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah  Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.

ü  Dasar Hukum Hiwalah

Pelaksanaan Al Hiwalah dibenarkan dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, (artinya) : ”Orang yang mampu membayar haram atas melalaikan hutangnya. Apabila salah seorang diantara kamu memindahkan hutangnya kepada orang lain, hendaklah diterima pilihan itu, asal yang lain itu mampu membayar”. (HR. Ahmad dan Baihaqi)

ü  Rukun Hiwalah

a)      Pihak pertama (muhil) yaitu orang yang menghiwalahkan (memindahkan) utang

b)      Pihak kedua (muhal) yaitu orang yang dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang kepada muhil)

c)      Pihak ketiga (muhal ‘alaih) yaitu orang yang menerima hiwalah

d)     Ada piutang muhil kepada muhal

e)      Ada piutang muhal ‘alaih kepada muhil

f)       Ada sighat hiwalah yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya, “Akuhiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada fulan” dan kabuldari muhal dengan kata-katanya, “Aku terima hiwalah engkau”. (Ahmad Idris, Fiqh al-Syafi’iayah, hal. 57-58)

ü  Syarat Hiwalah

a)      Ada kerelaan muhil (orag yang berhutang dan ingin memindahkan hutang)

b)      Ada persetujuan  dari muhal (orang yang member hutang)

c)      Hutang yang akan dialihkan keadaannya masih tetap dalam pengakuan

d)     Adanya kesamaan hutang muhil dan muhal ‘alaih (orang yang menerima pemindahan hutang) dalam jenisnya, macamnya, waktu penangguhannya dan waktu pembayarannya.Dengan hiwalah hutang muhil bebas.

ü  Berakhirnya Akad Hiwalah

a)      Fasakh. apabila akad hiwalah telah fasakh ( batal) , maka hak muhal untuk menuntut utang kembali kepada muhil, pengertian fasakh dalam istilah fukaha adalah berhentinya akad sebelum tujuana akad tercapai.

b)      Hak muhal ( utang) sulit untuk dapat kembali karena muhal alaih meninggal dunia, boros, ( safih) atau lainnya, dalam keadaan semacam ini dalam urusan penyelesaian utang kembalikepada muhil. Pendapat ini dikemukakan oleh hanafiah, akan tetapi menurut malikiyah, syafi’iah, hanabilah. Apabila akad hiwalah sudah sempurnadan hak sudah berpindah serta di setujuioleh muhal maka hak penagihan tidak kembali kepada muhil, baik hak tersebut bisa dipenuhi atau tidak karena meninggalnya muhal muhal alaih atau boros. Apabila dalam pemindahan utang tersebut terjadi gharar (penipuan) menurut malikiyah, hak penagihan utang kembali kepada muhil.

c)      Penyerahan harta oleh muhal alaih kepada muhal.

d)     Meninggalnya muhal atau muhal alaih mewarisi harta hiwalah.

e)      Muhal menghibahkan hartanya kepada muhal alaih dan ia menerimanya.

f)       Muhal menyerahkan hartanya kepada muhal alaih dan dia menerimanaya

g)      Muhal membebaskan muhal alai

ü  Macam-Macam Hiwalah

a.       Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi’ah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.

b.      Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.

c.       Hawalah al haq adalah pemindahan hak atau piutang dari seorang pemilik piutang lainnya biasanya itu dilakukan bila pihak pertama mempunyai hutang kepada pihak kedua ia membayar utangnya tersebut  dengan piutannya pada pihak lain. Jika pembayaran barang/ benda, maka perbuatantersebut dinamakan sebagai hawalah hak. Pemilik piutang dalam hal ini adalah muhil, karena dia yang memindahkan kepada orang lain untuk memindahkan haknya

d.      Hawalah al dain yaitu lawan dari lawan al haq. Hawalah ad dain adalah pengalihan utang dari seorang penghutang  kepada penghutang lainnya. Ini dapat dilakukan karena penghutang pertama masih mempunyai piutang pada penghutangkedua. Muhil dalam hawalah ini adalah orang yang berutang, karena dia memindahkan kepada orang lain untuk membayar hutangnya. Hiwalah ini di syariatkanberdasarkan kesepakatan ulama.

     II.     IJARAH

ü  Pengertian Ijarah

Menurut bahasa berarti balasan, tebusan atau pahala. Menurut istilah berarti melakukan aqad mengambil manfaat sesuatu yang diterima dari orang lain dengan jalan membayar sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan dengan syarat-syarat tertentu.

Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

ü  Dasar Hukum Ijarah

Al- Qur’an

“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.(QS.al-Baqarah:233)

Al-Hadits

“Berikanlah upah kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”.(HR. Abu Ya’la, Ibnu Majah, at-Thabrani dan Tirmidzi)

ü  Rukun Ijarah

a)                Mu’jar (orang/barang yang disewa)

b)                Musta’jir (orang yang menyewa)

c)                Sighat (ijab dan qabul)

d)               Upah dan manfaat

ü  Syarat Ijarah

a)      Kedua orang yang berakad harus baligh dan berakal

b)      Menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah

c)      Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara sempurna

d)     Objek ijarah boleh diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat

e)      Objek ijarah sesuatu yang dihalalkan oleh syara’ dan merupakan sesuatu yang bisa disewakan

f)       Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa

g)      Upah/sewa dalam akad harus jelas, tertentu dan sesuatu yang bernilai harta.

ü  Akhir Ijarah

a)      Menurut ulama hanafiayah, ijarah dipandang habis dengan meninggalnya salah seorang yang akad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak untuk meneruskannya. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal tetapi diwariskan

b)      Pembatalan akad

c)      Terjadi kerusakan pada barang yang disewa, akan tetapi menurut ulama lainnya kerusakan pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya ijarah, tetapi harus diganti selagi masih bisa diganti.

d)     Habis waktu, kecuali ada uzur.

ü  Macam-Macam Ijarah

Berdasarkan obyeknya, Ijarah terdiri dari:

a)      Ijarah dimana obyeknya manfaat dari barang, seperti sewa mobil, sewa rumah, dsb

b)     Ijarah dimana obyeknya adalah manfaat dari tenaga seorang seperti jasa konsultan, pengacara, buruh, kru, jasa guru/dosen,dll. Pendapatan yang diterima dari transaksi Ijarah disebut ujrah. Al-Ujrah ialah imbalan yang diperjanjikan dan dibayar oleh pengguna manfaat sebagai imbalan atas manfaat yang diterimanya

       I    II.   ARIYAH

     ü  Pengertian Ariyah

Menurut bahasa berarti saling menukar dan mengganti dalam konteks tradisi pinjam meminjam. Menurut istilah berarti Kebolehan memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu imbalan.

            Menurut mazhab Hambali ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya atau pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara mutlak dengan tanpa imbalan ongkos.

      ü  Dasar Hukum Ariyah

a.       Al-Qur’an

Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

(Q.S Al-Maidah: 2)

Artinya: “orang-orang yang lalai terhadap sholatnya (5), yang berbuat ria (6) dan enggan (memberikan) bantuan.(7)”

(Q.S Al-Ma’un 5-7)

b.      Al-hadist

“Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari Khaibar pernah meminjam perisai daripada Shafwan bin Umaiyah, lalu berkata Shafwan kepada beliau: Apakah perisai ini diambil terus dari padaku, wahai Muhammad!, Beliau menjawab: Tidak, tetapi hanya pinjaman yang dijamin.” (Riwayat Abu Dawud dan Ahmad)”.

Rasullah SAW bersabda:       

والله فىي عون العبد ما كا ن العبد في عون أخيه

“Dan Allah selalu menolong hamba-Nya, selama ia menolong saudaranya” (shahih: Shahibul Jami’us Shaghir no: 6577)

والعا رية مؤداة

Ariyah (barang pinjaman) adalah barang yang wajib dikembalikan.” (Riwayat Abu Dawud dan at-Turmudzi)

من أخذ اموال النّاس يريد اداءها ادّى الله عنه ومن اخذ ير يد إتلافها اتلفه الله

(رواه البخاري)

“Siapa yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya, maka Allah akan membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan kemauan melenyapkannya maka Allah akan melenyapkan hartanya”. (Hadits riwayat Al-Bukhari).

     ü  Rukun Ariyah

a)      Mu’ir (peminjam)

b)      Musta’ir (yang meminjamkan)

c)      Mu’ar (barang yang dipinjam)

d)     Shigat (ijab dan qabul)

      ü  Syarat Ariyah

1.      Mu’ir berakal sehat

Orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama lainnya menambahakan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya tanpa dipaksa, bukan anak kecil dan bukan orang bodoh.

2.      Pemegangan barang oleh peminjam

Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah

3.      Barang (mu’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, akad tidak sah.

Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian,binatang dan lain-lain.

    ü  Berakhirnya Akad Ariyah

a.       Pemberi pinjaman meminta agar pinjamannya dikembalikan. Hal ini karena akad peminjaman tidaklah mengikat, sehingga ia berakhir dengan pembatalan (fasakh).

b.      Peminjam mengembalikan barang yang dia pinjam.

c.       Salah satu pihak pelaku akad gila atau tidak sadarkan diri.

d.      Kematian salah satu pihak pelaku akad, pemberi pinjaman atau peminjam.

e.       Al- Hajr (pelarangan untuk membelanjakan harta) terhadap salah satu pihak pelaku akad karenakedunguan (safah).

f.       Al- Hajr yang disebabkan kebangkrutan pemberi pinjaman. Hal ini karena dengan kebangkrutannya, maka dia tidak boleh mengabaikan manfaat dari harta bendanya dan tidak mengambilnya. Ini adalh untuk kepentingan para pemberi utangnya.

    ü  Macam-Macam Ariyah

a)      Ariyah muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan jangaka waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan pembatasan tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang berharta, sehingga untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat tertentu.

Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. Jika ada perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.

b)      Ariyah mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi. Melalui akad ‘ariyah ini, peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang pinjaman, meskipun tanpa ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang membutuhkan pinjaman, pemilik barang sama sekali tidak memberikan syarat tertentu terkait obyek yang akan dipinjamkan.

       I   V.     RAHN

      ü  Pengertian Rahn

Menurut bahasa berarti tertahan. Menurut istilah berarti memperlakukan harta sebagai jaminan atas hutang yang dipinjam, supaya dianggap sebagai pembayaran manakala yang berhutang tidak sanggup melunasi hutangnya.

      ü  Dasar Hukum Rahn

Perjanjian gadai dibenarkan oleh islam, berdasarkan:

a.       Al qur’an surat Al Baqarah ayat:  283

Artinya: jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh penggadai). Akan tetapi jikasebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya.

b.      Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah, dari Anas r.a, yang artinya:”Rosulullah merungguhkan baju besi kepada seorang yahudi di madinah ketika beliau mengutangkan gandum dari seorang yahudi”.

c.       Ijma ulama atas hukum mubah(boleh) dalam perjanjian gadai

Hal ini menjadikan adanya khilafah pada beberapa ulama, diantaranya madzhab Dhahiri, Mujahid, Al Dhahak, hanya memperbolehkan gadai pada saat berpergian saja, berujuk pada surat Al Baqoroh ayat 283.

     ü  Rukun Rahn

a)      Orang yang menggadai/orang yang menyerahkan barang jaminan(rahin)

b)      Orang yang menerima barang gadai (murtahin)

c)      Barang yang dijadikan jaminan(borg/marhun).

d)     Akad(ijab dan qobul)

e)      Adanya hutang yang dimiliki oleh penggadai.

II.3.4. Syarat Rahn

a)   Sehat fikirannya

b)   Dewasa, baligh

c)   Barang yang digadaikan telah ada di waktu gadai

d)  Barang gadai bisa diserahkan/dipegang oleh penggadai.

     ü  Berakhirnya Akad Rahn

a)      Barang telah diserahkan kembali pada pemiliknya

b)      Rahin(penggadai)membayar hutangnya

c)      Dijual secara pakasa

Maksudnya, yaitu apabila hutang telah jatuh tempo danrahin tidak mampu melunasi maka atas permintaan hakim,rahin bisa menjual borg(barang gadaian).apabila rahin tidak mau menjual hartanya maka hakim yang menjualnya untuk melunasi utangnya(rahin).dengan telah di lunasinya hutang tersebut,maka akad gadai telah berakhir.

d)     Pembatalan hutang dengan cara apapun sekalipun dengan pemindahan oleh murtahin

e)      Pembatalan oleh murtahin,meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.

f)       Rusaknya barang gadaian oleh tindakan/penggunaan murtahin.

g)      Memanfatkan barang gadai dengan penyewaan,hibah,atau sedekah,baik dari pihak rahin atau murtahin

h)      Meninggalnya rahin (menurut Malikiyah) atau murtahin (menurut Hanafiyah). sedangkan syafi`iyah dan Hambali,menganggap kematian para pihak tidak mengakhiri akad rahn

     ü  Macam-Macam Rahn

a)      Rahn ‘Iqar/Rasmi (rahn Takmini/Rahn Tasjily)

Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih tetap dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai. Maksudnya bagaimana ya? Jadi begini:

Tenriagi memiliki hutang kepada Elda sebesar Rp. 10jt. Sebagai jaminan atas pelunasan hutang tersebut, Tenriagi menyerahkan BPKB Mobilnya kepada Elda secara Rahn ‘Iqar. Walaupun surat-surat kepemilikan atas Mobil tersebut diserahkan kepada Elda, namun mobil tersebut tetap berada di tangan Tenriagi dan dipergunakan olehnya untuk keperluannya sehari-hari. Jadi, yang berpindah hanyalah kepemilikan atas mobil dimaksud.

Konsep ini dalam hukum positif lebih mirip kepada konsep Pemberian Jaminan Secara Fidusia atau penyerahan hak milik secara kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep Fidusia tersebut, dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda tersebut, sedangkan fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.

b)      Rahn Hiyazi

Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep Gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum positif.  Jadi berbeda dengan Rahn ‘Iqar yang hanya menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada Rahn Hiyazi tersebut, barangnya pun dikuasai oleh Kreditur.

Jika dilihat dalam contoh pada point 1 di atas, jika akad yang digunakan adalah Rahn Hiyazi, maka Mobil milik Tenriagi tersebut diserahkan kepada Elda sebagai jaminan pelunasan hutangnya. Dalam hal hutang Tenriagi kepada Elda sudah lunas, maka Tenriagi bisa mengambil kembali mobil tersebut.

      I   V.  WADI’AH

A. PENGERTIAN WADI’AH

Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.

Menurut bahasa wadiah artinya yaitu meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga. Sedangkan menurut istilah wadiah artinya yaitu memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.

Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh, yaitu :

1.Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan :

 “ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”

Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya.

 2.Madzhab Hambali, Syafi’I dan Maliki ( jumhur ulama ) mendefinisikan wadi’ah sebagai berikut :

“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “

 B. DASAR HUKUM WADI’AH

– Q.S. An Nisaa’(4) ayat 58:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

– Q.S. Al Baqarah (2) ayat 283:

 “…Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanahnya (titipannya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Tuhannya…”

– Hadist Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi

Rasulullah Saw bersabda, “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu”

C. RUKUN DAN SYARAT WADI’AH

1. Orang yang berakad

Orang yang berakad adalah muwaddi sebagai orang yang menitipkan barangnya (penitip) dan mustauda sebagai orang yang dititipi barang (penerima titipan).

Orang yang berakad hendaklah orang yang sehat (tidak gila) diantaranya yaitu:

Baligh

Berakal

Kemauan sendiri, tidak dipaksa

Dalam mazhab Hanafi baliqh dan berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang sedang berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad wadi’ah ini.

2. Barang titipan

Barang yang dititipkan harus jelas dan dapat dipegang atau dikuasai, maksudnya ialah barang itu haruslah jelas identitasnya dan dapat dikuasai untuk dipelihara.

3. Sighah (akad)

Syarat sighah yaitu kedua belah pihak melafazkan akad yaitu orang yang menitipkan (muwaddi) dan orang yang diberi titipan (mustauda).

D. PEMBAGIAN DAN PENERAPAN WADI’AH

1. Wadi’ah Yad Amanah

Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima (Mustauda) tidak diperkenankan penggunaan barang/uang dari si penitip (Muwaddi) tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan oleh kelalaian si penerima titipan (Mustauda). Dan sebagai gantinya si penitip (Muwaddi) wajib untuk membayar kepada orang yang dititipi (Mustauda), namun boleh juga untuk tidak membayar asalkan orang yang dititipi tidak merasa keberatan dan menganggapnya sedekah.

Contoh penerapannya dalam perbankan syariah adalah safe deposit box. Layanan Safe Deposit Box (SDB) adalah jasa penyewaan kotak penyimpanan harta atau surat-surat berharga yang dirancang secara khusus dari bahan baja dan ditempatkan dalam ruang khasanah yang kokoh dan tahan api untuk menjaga keamanan barang yang disimpan dan memberikan rasa aman bagi penggunanya.

2. Wadi’ah Yad adh Dhamanah.

Wadi’ah Yad Dhamanah adalah akad penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang dapat memanfaatkan barang atau uang yang dititipkan  dan harus bertanggungjawab  terhadap kehilangan atau kerusakan barang tersebut.

Contoh penerapannya dalam perbankan syariah adalah giro dan tabungan wadi’ah. Giro Wadi’ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadi’ah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Sarana penyimpanan dana dengan pengelolaan berdasarkan prinsip al-Wadi’ah Yad Dhomanah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan media cek atau bilyet giro. Dengan prinsip tersebut titipan akan dimanfaatkan dan diinvestasikan Bank secara produktif dalam bentuk pembiayaan kepada berbagai jenis usaha dari usaha kecil dan menengah sampai pada tingkat korporat secara profesional tanpa melupakan prinsip syariah. Bank menjamin keamanan dana secara utuh dan ketersediaan dana setiap saat guna membantu kelancaran transaksi.

Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Nasabah jika hendak mengambil simpanannya dapat datang langsung ke bank dengan membawa buku tabungan, slip penarikan, atau melalui fasilitas ATM.

V.                 LUQATHAH (Barang Temuan)

1.      Pengertian Luqathah

Barang temuan dalam bahsa arab (bahasa fuqaha) disebut al-Luqathah, menurut bahasa (etimologi) artinya ialah : sesuatu yang ditemukan atau didapat. Sedangkan menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri al-Luqathah ialah : nama untuk sesuatu yang ditemukan. Luqathah ialah harta yang hilang dari tangan pemilikinya, yang kemudian ditemukan orang lain. Luqathah adalah menemukan barang yang hilang karena jatuh, terlupa, dan sebagainya

2.      Dasar Hukum Luqathah

Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemuannya. Hukum pengambilan barang temuan antara lain sebagai berikut.

a.       Sunat, bagi orang yang percaya kepada dirinya,sanggup mengerjakan segala yang bersangkutan dengan pemeliharaan kepada barang itu sebagaimana mestinya,tetapi bila tidak diambil pun barang-barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia atau tidak akan diambil oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya.

b.      Wajib, yakni wajib mengambil barang temuan bagi penemunya apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu sebagaimana mestinya dan terdapat sangkaan berat bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

c.       Makruh, bagi seseorang yang menemukan harta, kemudian masih ragu-ragu apakah dia akan mampu memlihara benda-benda tersebut atau tidak dan bila tidak diambil benda tersebut tidak dikhawatirkan akan terbengkalai, maka bagi orang tersebut makruh untuk mengambil benda-benda tersebut.

d.      Haram, bagi orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara harta tersebut sebagaimana mestinya, maka dia haram untuk mengambil benda-benda tersebut.

e.        Jaiz atau Mubah, Jika luqathah ditemukan dibumi tak bertuan atau dijalan yang tidak dimiliki seseorang atau di selain tanah haram Mekkah. Didalam kasus semacam ini, seseorang diperkenankan memilih antara memungut luqathah untuk dijaga dan dimiliknya setelah luqathah diumumkan, atau membiarkannya. Namun lebih diutamakan memungut luqathah jika dia percaya mampu menangani berbagai persoalan yang berkenaan dengan luqatha.

3.      Rukun dan Syarat Luqathah ada dua macam yaitu :

1.      Yang mengambil, sekiranya yang mengambil orang yang tidak adil, hakim berhak mencabut barang itu dari orang tersebut, dan memberikannya kepada orang yang adil dan ahli. Begitu juga kalau yang mengambilnya anak kecil hendaklah diurus oleh walinya.

2.      Barang-dapat.

4        Macam-macam barang yang diperoleh

Terdapat macam-macam benda yang dapat ditemukan oleh manusia, macam-macam benda temuan itu adalah sebagai berikut.

a.       Barang yang dapat disimpan lama (seperti emas dan perak) hendaklah disimpan ditempat yang layak dengan keadaan barang itu, kemudian diberitahukan kepada umum ditempat-tempat ramai dalam masa satu tahun pun hendaklah dikenal beberapa sifat-sifat barang yang didapatnya itu, umpamanya tempatnya, tutupnya, ikatnya, timbangannya, atau bilangannya. Sewaktu memberitahukannya hendaklah diterangkan sebagian dari sifat-sifat itu jangan semuanya, agar jangan terambil oleh orang yang tidak berhak.

b.      Barang yang tidak tahan disimpan lama, seperti makanan.barang serupa ini yang mengambil boleh memilih antara mempergunakan barang itu asal dia sanggup menggantinya apabila bertemu dengan yang punya barang, atau ia jual, uangnya hendaklah ia simpan agar kelak dapat diberikannya kepada yang punya apabila bertemu.

c.       Barang yang dapat tahan lama dengan usaha, seperti susu, dapat disimpan lama apabila dibikin keju. Yang mengambil hendaklah memperhatikan yang lebih berfaedah kepada yang empunya (dijual atau dibikin keju).

d.      Suatu yang berhajat kepada nafakah yaitu binatang atau manusia seperti anak kecil umpamanya. Tentang binatang ada dua macam :

 pertama : binatang yang kuat berarti dapat menjaga dirinya sendiri dari pada binatang yang buas seperti unta, kerbau, kuda,binatang yang seperti ini lebih baik dibiarkan saja tidak usah diambil.

Kedua : binatang yang lemah, tidak kuat menjaga dirinya daripada bahaya binatang yang buas. Binatang seperti ini hendaklah diambil, sesudah diambil ia harus melakukan salah satu dari tiga cara :

a.       Disembelih dan terus dimakan, dengan syarat ia sanggup membayar harganya apabila bertemu dengan yang empunya

b.      Dijual dan uangnya disimpan, agar dapat diberikannya kepada yang empunya.

c.       Dipelihara dan diberi makan dengan secara menolong semata-mata.

Kalau barang yang didapat itu barang yang besar atau berharga hendaklah diberitahukan dalam masa satu tahun, tetapi kalau barang yang kecil-kecil (tidak begitu berharga) cukup diberitahukan dalam masa sekira-kira yang kehilangan sudah tidak mengharapkannya lagi.

Adapun apabila yang didapat itu manusia,seperti anak kecil atau orang bodoh, maka wajib kifayah atas muslimin mengambilmya dan menjaganya, begitu juga mendidiknya, dan wajib ditinggalkan pada orang yang dipercayai serta bersifat adil. Belanjanya, kalau ia ada membawa harta benda atau diketahui bahwa ia ada mempunyai harta belanjanya diambilkan dari hartanya sendiri. Tetapi kalau dia tidak mempunyai harta, belanjanya, diambilkan dari Baitulmal, kalau baitulmal teratur, kalau tidak atas tanggungan umat islam yang mampu.

  Kerjasama Atas Lahan Pertanian

1.         MUZARA’AH

     ü  Definisi Muzara’ah

                        Menurut bahasa, al-muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’ahyang berarti tharh al-zur’ab (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-badzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua ialah makna hakiki.

                        Sedangkan menurut istilah:

·          Menurut Hanafiyah, muzara’ah ialah:

الٲرضِ مِنَ الْخَارِجِ بِبَعْضِ الَّزرْعِ عَقدٌعَلَى

“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi.”

·          Menurut Hanabilah, muzara’ah ialah:

الْحَبُّ لَهُ وَبَدْفَعُ يِزَرْعِهَا يَقُوْمُ الَّذِيْ لِلْعَامِلِ ٲَرْضَهُ رَعَۃِ اْلمُزَا الصَّالِحَۃِ اْلَٲرْضِ صَاحِبُ فَعَيَدْ اَنْ

“Pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit.”

·          Menurut Malikiyah, muzara’ah ialah:

الْعَقْدِالزُّرْعِ فِى الشِّرْكَۃُ

“Bersekutu dalam akad pertanian.”

                        Lebih lanjut dijelaskan dari pengertian tersebut dinyatakan bahwa muzara’ahadalah menjadikan harga sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan.

·          Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa muzara’ah ialah:

الْمَالِكِ وَالْبَذْرُمِنَ مِنْهَا مَايَخْرُجُ بِبَعْضِ فِى الْأَرْضِ الْعَامِلِ عَمَلُ

“Pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah."

Muzara’ah memiliki kesamaan maksud dengan Mukhabarah. Persamaannya yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Terdapat pula perbedaanya, yaitu pada mukhabarah modal dari pengelola, sedangkanmuzara’ah modal dikeluarkan pemilik tanah.

    ü  Dasar Hukum Muzara’ah

                        Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum muzara’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas RA. Nabi SAW. menyatakan:

خَهُ ٲَوْلِيَمْنَحْهَااَ فَلْيَزْرَعْهَا أَرْضٌ لَهُ كَانَتْ مَنْ بِقَوْلِهِ بِبَعْضِ بَعْضُهُمْ يَرْفُقَ اَمْرَانَ الْمُزَارَعَۃُ وَلَكِنْ يُحَرِّمِ لَمْ اَرْضَهُفَلْيُمْسِكْ ٲَبَى فَاِنْ

“Tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya: barang siapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.”

     ü  Rukun Muzara’ah

            Menurut Hanafiyah, rukun Muzara’ah ialah:

Ø  Akad, yaitu ijab dan qabul antara pemilik dan pekerja.

Ø  Tanah

Ø  Perbuatan pekerja

Ø  Modal

Ø  Alat-alat untuk menanam

Menurut Hanabilah,  rukun Muzara’ah ada satu, yaitu ijab dan qabul, boleh dilakukan dengan lafazh apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan qabul, dan bahkan muzara’ah sah dilafazhkan dengan lafazh ijarah.

ü  Syarat Muzara’ah

·          Syarat yang bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.

·          Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.

·          Yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu: a) bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (prosentasenya ketika akad), b) hasil adalah milik bersama, c) bagian antara Amil dan Malik adalah dari satu jenis barang yang sama, d) bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui, e) tidak disyaratkan bagi salah satunya penambahan yang ma’lum.

·          Yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami, yaitu: a) tanah tersebut dapat ditanami, b) tanah tersebut dapat diketahui seperti batas-batasnya.

·          Yang berkaitan dengan waktu, yaitu: a) waktunya telah ditentukan, b) waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang dimaksud, c) waktu itu memungkinkan dua belah pihak hidup menurut kebiasaan.

·          Yang berkaitan dengan alat-alat muzara’ah, disyaratkan berupa hewan atau yang lainnya dibebankan kepada pemilik tanah.



ü  Berakhirnya Akad Muzara’ah

·          Jangka waktu yang disepakati berakhir.

·          Menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah, akad tersebut berakhir apabila salah seorang Aqid wafat.

·          Adanya Uzur salah satu pihak, baik dari pihak pemilik tanah maupun dari pihak petani yang menyebabkan mereka tidak boleh melanjutkan akad muzara’ah itu

2.      MUSAQAH

·          Definisi Musaqah

            Musaqah diambil dari kata al-Saqa, yaitu seorang yang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya) atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemashlahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan.

            Secara etimologi, Musaqah berarti transaksi dalam pengairan. Secara terminologis fiqh, musaqah didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut:

     1.    Menurut Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah, musaqah ialah:



بَيْنَهُمَا ثَمَرٍيَكُوْنُ مِنَ تَعَالَى مَارَزَقَۃُاللہُ اَنَّ عَلَى وَالتَّرُبِيَۃِ شَجَرٍ عَلَى لِيَتَعَهَّدَهَابِالسَّقِى اِنْسَانَايُعَامِلَ اَنْ

“Mempekerjakan manusia untuk mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya dan hasil yang dirizkikan Allah dari pohon itu untuk mereka berdua.”

      2.    Menurut Hasbi ash-Shiddiqie, musaqah ialah:



اِسْتِثْمَارِالشَّجَرِ عَلَى زِرَاعِيَّۃٌ شِرْكَۃٌ

“Syarikat pertanian untuk memproleh hasil dari pepohonan.”

·          Dasar Hukum Musaqah

            Asas hukum musaqah ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Amr RA, bahwa Rasulullah SAW. bersabda:

أَعطَى خَيْبرَ بِشَطْرِ مَايَخْرُجُ مِنْهاَ مِنْ ثَمَرٍ أَو زَرْعٍ وَ فِى رِوَايَةٍ دَفَعَ إِلَى الْيَهُوْدِيِّ خَيْبَرَ وَأَرْضَهاَ عَلَى أَنْ يَّعْمَلُوْ هَا مِنْ أَمْوَا لِهِمْ وَ أَنَّ لِرَ سُوْلِ اللّه صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ شَطْرَهَا



“Memberikan tanah Khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasul menyerahkan tanah Khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya untuk Nabi.”

·          Rukun Musaqah

            Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, rukun Musaqah ada lima, yaitu:

1.            Dua orang/pihak yang melakukan transaksi;

2.            Tanah yang dijadikan obyek musaqah;

3.            Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap;

4.            Ketentuan mengenai pembagian hasil musaqah; dan

5.            Shighat (ungkapan) ijab dan qabul.

            Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad musaqahadalah ijab dari pemilik tanah perkebunan dan qabul dari petani penggarap, dan pekerjaan dari pihak petani penggarap.

·          Syarat Musaqah

1.      Baligh dan Berakal. Cakap hukum.

2.      Obyek al-Musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai buah.

3.      Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani penggarap setelah akad berlangsung untuk digarapi, tanpa campur tangan pemilik tanah.

4.      Hasil (buah) yang dihasilkan dari kebun itu merupakan hak mereka bersama, sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat, baik dibagi dua, dibagi tiga, dan sebagainya.

5.      Lamanya perjanjian itu harus jelas, karena transaksi ini hampir sama dengan transakasi sewa menyewa, agar terhindar dari ketidakpastian.

·           Berakhirnya Akad Musaqah

1.      Tenggang waktu yang telah disepakati dalam akad telah habis;

2.      Salah satu pihak meninggal dunia;

3.      Ada uzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad;

4.      Petani penggarap tidak mampu bekerja



3.      MUGHARASAH

·          Definisi Mugharasah

            Secara etimologi, mugharasah berarti transaksi terhadap pohon. Menurut terminologis fiqh, mugaharsah didefinisikan para ulama fiqh dengan:



فِيْهَاشَجَرًا يَغْرُسُ لِمَنْ اَرْضَہُ الرَّجُلُ يَدْفَعَ أَنْ

“Penyerahan tanah pertanian kepada petani untuk ditanami.”

            Atau sebagaimana yang didefinisikan ulama syafi’i dengan:







“Penyerahan tanah pertanian kepada petani yang pakar di bidang pertanian, sedangkan pohon yang ditanam menjadi milik berdua (pemilik tanah dan petani).”

·          Dasar Hukum Mugharasah

      1.     Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa penyerahan tanah kosong kepada petani dalam waktu tertentu untuk ditanami pepohonan dengan ketetntuan tanah dan pepohonan yang tumbuh di atasnya menjadi milik berdua antara pemilik tanah dengan petani penggarap, hukumnya tidak boleh.

      2.     Ulama Syafi’iyah juga tidak menganggap sah akad mugharasah, karena dalam akad ini makna mengupahkan tanah pertanian kepada seseorang yang upahnya diambilkan dari hasil pertanian itu, sedangkan pengelolaan mugharasah tidak sama dengan pengelolaan musaqah.

     3.     Ulama Hanabilah berpendirian bahwa jika pemilik tanah menyerahkan sebidang tanah kepada petani penggarap dengan ketentuan bahwa seluruh tanah dan pepohonan yang ada di atasnya menjadi milik berdua, maka akad seperti ini menjadi fasik (rusak).

      4.     Ulama Malikiyah berpendirian bahwa kerjasama untuk mengelola pohon-pohon yang tumbuh diatas sebidang tanah boleh diterima apabila dilakukan dengan cara al-ijarah (upah-mengupah).



·          Rukun Mugharasah

   1.     Akad, yaitu kerjasama antara pemilik tanah dengan petani untuk menanami tanah dengan pepohonan produktif, dengan ketentuan bahwa petani penggarap diberi bagian dari     pepohonan, buah, dan tanah itu.

    2.     Dua orang/pihak yang melakukan transaksi;

    3.     Tanah yang dijadikan obyek mugharasah

    4.     Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap;

    5.     Ketentuan mengenai pembagian hasil mugharasah



·          Syarat Mugharasah

    1.     Pohon yang akan ditanam dari jenis yang sama, yaitu dari segi kapan berbuahnya.

    2.     Pohon yang ditanam itu adalah sejenis tanaman keras,  bukan dari jenis tanaman palawija.

    3.     Penentuan waktu berlangsungnya akad mugharasah tidak dalam waktu yang sangat lama.

    4.     Petani penggarap mendapat bagian dari tanah perkebunan dan pohon yang ditanam.

    5.     Kerjasama mugharasah ini bukan tanah wakaf, karena dalam akad mugharasahterkandung makna jual beli, sedangkan harta wakaf tidak boleh diperjual belikan.



·             Batalnya Akad Mugharasah

Ulama Malikiyah menyatakan bahwa akad ini batal/berakhir apabila:

1.      Salah satu pihak dalam dalam akad itu menentukan sendiri bagiannya, tanpa menyebutkan bagian yang akan diterima pihak lain.

2.      Dalam akad mugharasah itu disyaratkan penangguhan pembagian yang harus diterima petani penggarap, atau disyaratkan bagian petani penggraap dibayarkan lebih dahulu, sebagaimana yang berlaku dalam akad bai al-salam (jual beli pesanan)

Konsep Riba dan Kaitannya dengan Bank Konvensional

A.     Pengertian Dan Kedudukan Hukum Riba

Ø   Definisi Riba

Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Dalam transaksi simpan-pinjam dana, secara konvensional si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang diterima si peminjam kecuali ke-sempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil di sini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut.

Demikian juga dana itu tidak akan berkembang dengan sendirinya, hanya dengan faktor waktu semata tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya. Bahkan ketika orang tersebut mengusahakan bisa saja untung bisa juga rugi. Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhahib fiqhiyyah.

B.  Macam- Macam Riba

Ø   Jenis-Jenis Riba

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.

Riba terbagi menjadi empat macam;

1.      Riba Nasii`ah

      Riba Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang, atau sebagai tambahan hutang baru. Misalnya, si A meminjamkan uang sebanyak 200 juta kepada si B; dengan perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut pada tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B menunda pembayaran hutangnya dari waktu yang telah ditentukan (1 Januari 2009), maka si B wajib membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari total hutang. Tambahan pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B tambahan inilah yang disebut dengan riba.

      Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda:

آلاَ إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ

Ingatlah, sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah”. (HR Muslim).

      riba nasiah atau tambahannya diberikan karena tarlambat membayar hutang, ini dilarang dengan ketas dalam islam, kerena dianggap sebagai menimbun kekayaan yang tidak wajar dan mendapatkan keuntungan keuangan tanpa melakukan tindakan kebijakan. Islam membenarkan untuk melakukan perdagangan tapi melarang riba

2.      Riba Fadlal

      Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis.

      Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim.

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan dengan kontan”.HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra).

3.      Riba al-Yadd

      Riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima.

      Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan hadits-hadits berikut ini;

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ

“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)



لْوَرِقُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ

“Perak dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan; gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan“. [Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz IV, hal. 13]

4.      Riba Qardl

      Riba qardl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;

      Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata,

“Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah kepadamu berupa rumput ker­ing, gandum atau makanan ternak, maka janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. [HR. Imam Bukhari]

Hadits di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi.

Praktek-praktek riba yang sering dilakukan oleh bank adalah riba nasii’ah, dan riba qardl; dan kadang-kadang dalam transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba yadd maupun riba fadlal. Seorang Muslim wajib menjauhi sejauh-jauhnya praktek riba, apapun jenis riba itu, dan berapapun kuantitas riba yang diambilnya. Seluruhnya adalah haram dilakukan oleh seorang Muslim.

Dalam kaitan apakah riba sama dengan bunga bank, wahbah az-Zuhaili kemudian mengatakan, “bunga bank adalah haram hukumnya, karena bunga bank adalah riba nasi’ah. Sama saja apakah bunga bank itu mengembang atau munumpuk. Kerena perbuatan bank adalah janji dan janji, sesungguhnya bunga bank merupakan riba yang jelas, bunga bank haram hukumnya karena seperti riba”

C.      Pendapat Ulama Tentang Riba Dan Dampaknya

Sejak dekade 1960-an, perbincangan mengenai larangan riba bunga bank semakin memanas saja. Setidaknya ada dua pendapat mendasar yang membahas masalah tentang riba. Pendapat pertama berasal dari mayoritas ulama yang mengadopsi dan intrepertasi para fuqaha tentang riba sebagaimana yang tertuang dalam fiqh. Pendapat lainnya mengatakan, bahwa larangan riba dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan adanya upaya eksploitasi, yang secara ekonomis menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat.

Kontroversi bunga bank konvensional masih mewarnai wacana yang hidup di masyarakat. Dikarenakan bunga yang diberikan oleh bank konvensional merupakan sesuatu yang diharamkan dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah jelas mengeluarkan fatwa tentang bunga bank pada tahun 2003 lalu. Namun, wacana ini masih saja membumi ditelinga kita, dikarenakan beragam argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga, bahwa bunga tidak sama dengan riba. Walaupun Al-Quran dan Hadits sudah sangat jelas bahwa bunga itu riba. Dan riba hukumnya adalah haram.

Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 : ...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.... Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bung bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya.

Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang tidak boleh menguasai harta riba; dan harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak atas pokok hartanya saja.

Di dalam Kitab I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayahdituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum khamer. Imam Syarbiniy di dalam Kitab al-Iqna’ juga menyatakan hal yang sama Mohammad bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy menyatakan; kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.

Imam Nawawiy di dalam Syarh Shahih Muslim juga menyatakan bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai keharaman riba jahiliyyah secara global. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran; sedangkan keharaman riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih. Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah.

Ulama saat ini sesungguhnya telah ijma’ tentang keharaman bunga bank. Dalam puluhan kali konferensi, muktamar, simposium dan seminar, para ahli ekonomi Islam dunia, Chapra menemukan terwujudnya kesepakatan para ulama tentang bunga bank. Artiya tak satupun para pakar yang ahli ekonomi yang mengatakan bunga syubhat atau boleh. Ijma’nya ulama tentang hukum bunga bank dikemukaka Umer Chapra dalam buku The Future of Islamic Econmic,(2000). Semua mereka mengecam dan mengharamkan bunga, baik konsumtif maupun produktif, baik kecil maupun besar, karena bunga telah menimbulkan dampak sangat buruk bagi perekonomian dunia dan berbagai negara.

Ø  Dampak dari Riba

1.      Bagi jiwa manusia

hal ini akan menimbulkan perasaan egois pada diri, sehingga tidak mengenal melainkan diri sendiri. Riba ini menghilangkan jiwa kasih sayang, dan rasa kemanusiaan dan sosial. Lebih mementingkan diri sendiri daripada orang lain.

2.      Bagi masyarakat

Dalam kehidupan masyarakat hal ini akan menimbulkan kasta kasta yang saling bermusuhan. Sehingga membuat keadaan tidak aman dan tentram. Bukannya kasih sayang dan cinta persaudaraan yang timbul akan tetapi permusuhan dan pertengkaran yang akan tercipta dimasyarakat.

3.      Bagi roda pergerakan ekonomi

Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat membahayakan perekonomian.

·         Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1929, 1930, 1940an, 1950an, 1970an. 1980an, 1990an, 1997 dan sampai saat ini.

·         di bawah sistem ekonomi ribawi, kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant, sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.

·         Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan terciptanya pengangguran.

·         Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara signifikan menimbulkan inflasi.

·         Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.

D.   Bank Konvensional Dan Fiqh Muamalah

Ø  Bank Konvensional

     Sebagai lembaga keuangan yang berorientasi bisnis, bank konvensional juga melakukan berbagai kegiatan, seperti menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Kegiatan perbankan yang paling pokok adalah membeli uang dengan cara menghimpun dana dari masyarakat luas, kemudian menjual uang yang berhasil dihimpun dengan cara menyalurkan kembali kepada masyarakat melalui pemberian pinjaman atau kredit.

     Dari kegiatan jual beli uang inilah bank akan memperoleh keuntungan yaitu dari selisih harga beli (bunga simpanan) dengan harga jual (bunga pinjaman). Disamping itu kegiatan bank lain nya dalam rangka mendukung kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana adalah member jasa- jasa alinnya.

     Dalam perbankan konvensional bunga bank dapat diartikan sebagai bals jas yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli dan menjual produknya.

Dalam kegiatan perbankan konvensional sehari- hari, ada 2 macam bank yang diberikan kepada nasabahnya, yaitu :

1.      Bunga Simpanan

Merupakan harga beli yang harus dibayar bank kepada nasabah pemilik simpanan. Bunga ini diberikan sebagai rangsngan atau balas jasa, kepada nasabah yang menyimpan uangnya dibank.

Sebagai contoh jasa giro, bunga tabungan dan bunga deposito.

2.      Bunga pinjaman

Merupakan bunga yang dberikan kepada para peminjam (deditur) atau harga jual yang harus dibayar oleh nasabah peninjam kepada bank. bagi bank bunga peminjam harga jual dan contoh bunga jual adalah bunga kredit.

     Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan pendapatan bagi bank konvensional, untuk melangsungkan kegiatan dalam bertransaksi keuangan nya sehari- hari.



Ø  Fiqh Muamalah (Bank Syariah)

     Permasalahan bagi kebanyakan orang terhadap kegiatan usaha lembaga keuangan perbankan jika dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam bukanlah dari fungsi lembaga tersebut, melainkan dari konsep usahanya serta tekhnik operasional usahanya yang menyangkut jenis-jenis perjanjian yang dipergunakan.

      Bank mempunyai peranan sangat penting dalam pembangunan nasional karena fungsi Bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya menghimpun dana dari masyarakat dan memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan berdasarkan prinsip-prinsip syariah islam.

     Bank syariah dalam penyaluran dana kepada masyarakat dengan dua jenis, yaitu pembiayaan dengan sistem bagi hasil dan pembiayaan dengan sistem jual-beli dengan pembayaran ditangguhkan. Pembiayaan murabahah sangat bermanfaat untuk nasabah disaat kekurangan dana dan membutuhkan barang, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidupnya atau peningkatan usaha. Maka nasabah dapat meminta bank untuk memenuhi kebutuhan dengan pembayaran yang dilakukan secara cicilan dalam kurun waktu yang telah disepakati.

1.      Akad dalam bank syariah

Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut :

a.       Rukun

Seperti, penjualan, pembeli, barang, harga dan akad/ijab-qabul.

b.      Syarat

Seperti syarat berikut.

-          Barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.

-          Harga barang dan jasa harus jelas

-          Tempat penyerahan (delivery) harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi.

-          Barang yang ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan tidak boleh menjual sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada transaski short sale dalam pasa modal.

Fiqih muamalat Islam membedakan antara wa’ad dengan akad. Wa’ad adalah janji (promise) antara satu pihak kepada pihak lainnya, sementara akad adalah kontrak antara dua belah pihak. Wa’ad hanya mengikat satu pihak, yakni pihak yang memberi janji berkewajiban untuk melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak yang diberi janji tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya. Dalam wa’ad, terms and condition-nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik (belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral.

Di lain pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat, yakni masing-masing pihak terkait untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu.

Dalam akad, terms and condition-nya sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudahwell-defined). Bila salah satu atau kedua belah pihak yang terkait dalam kontrak itu tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/ mereka menerima sanksi seperti yang sudah disepakati dalam akad.